Dhira menjejakkan kakinya di Stasiun Tugu. Ini pertama kali dia datang ke Yogya sendirian. Biasanya Dhira selalu datang bersama keluarga atau teman-temannya yang tentu saja setelah melewati perdebatan panjang bersama kedua kakak lelaki yang sangat berlebihan menjaga adik perempuan satu-satunya itu. Kedua orang tua mereka hanya menjadi penonton yang baik melihat keributan ketiga anaknya. Plus si bungsu yang memilih masuk ke dalam kamarnya dan bermain game.
Langit dan Banyu tidak habis pikir kenapa adiknya sangat ngotot ingin kuliah di Yogya. Padahal kalau mau mengambil jurusan hukum dan menjadi pengacara handal, Dhira bisa kuliah di Bandung. Nilai-nilainya yang nyaris sempurna membuat Dhira bisa lolos dengan mudah. Namun Dhira menjawab kalau kedua kakaknya itu juga memilih kuliah di luar kota, bukan di Bandung. Langit dan Banyu merasa wajar jika mereka kuliah di Jakarta dan Yogya karena mereka anak laki-laki.
Banyu sudah menawarkan opsi agar Dhira kuliah di Jakarta saja. Setidaknya Jakarta – Bandung bisa ditempuh dalam beberapa jam perjalanan. Tidak sejauh Yogya. Tapi Dhira bergeming. Begitulah, walaupun perempuan, Dhira mewarisi dengan baik sifat keras kepala di keluarga itu. Dhira memiliki seribu jawaban untuk membantah ucapan Langit dan Banyu. Apalagi Fauzi dan Anita sama sekali tidak ikut campur. Kedua orang tua paruh baya ini menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Dhira.
Sejak anak-anaknya masih belia, Fauzi dan Anita memang sudah mengajarkan kepada mereka untuk bisa berpikir kritis. Semua kegiatan sekolah maupun di luar sekolah yang dipilih oleh anak-anaknya akan melewati diskusi panjang. Anak-anak terbiasa mengemukakan serta mempertahankan pendapat yang mereka yakini kebenarannya. Mereka juga sudah belajar tentang tanggung jawab dan resiko. Kebebasan berbicara dan menjatuhkan pilihan menjadi satu-satunya kemewahan yang bisa dirasakan oleh keempatnya.
Menjadi anak dosen yang dua-duanya memiliki gelar profesor, tentu menjadi beban tersendiri bagi Langit, Banyu, Dhira, dan si bungsu Kaiva. Beruntungnya, Fauzi dan Anita bukan orang tua yang berpikiran sempit. Mereka tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk selalu menjadi juara kelas atau menang dalam berbagai lomba. Keempat anak mereka tumbuh seperti anak-anak lainnya. Tetap punya waktu bermain yang cukup. Jika akhirnya mereka bisa memiliki nilai yang menonjol, itu karena mereka belajar dengan suasana hati bahagia, tidak ada paksaan.
Dhira memang berbeda. Untuk ukuran anak seusianya, tontonan Dhira sangat tidak biasa. Dhira senang melihat dan mempelajari kasus-kasus kejahatan yang melibatkan para pakar hukum. Jika dirunut dalam keluarganya, tidak ada satupun yang berkecimpung dalam dunia hukum. Fauzi merupakan seorang arsitek yang akhirnya memilih berkarir sebagai dosen untuk mengabdikan ilmunya. Anita pun sama, memilih menjadi dosen ekonomi di salah satu kampus swasta di Bandung. Ditelusuri lagi ke atas, orang tua Fauzi adalah seorang pedagang sedangkan bapaknya Anita adalah guru dan ibunya seorang ibu rumah tangga.
Meski begitu, Fauzi dan Anita tidak pernah membatasi ruang gerak Dhira. Apapun yang menjadi minta sang anak, asal positif pasti mereka dukung sepenuhnya. Seiring bertambahnya usia, keingintahuan Dhira terhadap dunia hukum malah semakin menggurita.
***
Keluar dari kereta, Dhira berdiri sejenak di pinggir peron. Menghirup dalam-dalam semerbak udara Yogya yang terasa begitu romantis. Dhira mengisi penuh rongga paru-parunya dengan aroma mistis yang dipercaya bisa membuat siapapun yang datang ke Yogya pasti akan kembali lagi. Beberapa tahun ke depan, aroma udara inilah yang akan Dhira hirup setiap detik.
Sebelum ini Dhira pernah ke Yogya. Apalagi dulu juga Banyu kuliah di sini. Banyu baru lulus beberapa bulan lalu. Sekarang sedang menunggu beasiswa untuk melanjutkan S2 nya di Jepang. Sedangkan Langit baru saja diterima sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Bandung. Langit yang memiliki otak sangat cemerlang menyelesaikan S1 dan S2 nya kurang dari enam tahun. Prestasi yang lumayan sulit untuk ditandingi oleh adik-adiknya. Langit mampu menancapkan pondasi luar biasa sebagai anak sulung yang harus memberikan teladan kepada ketiga adiknya.
Jika Langit dan Banyu memperlihatkan ketertarikannya dalam bidang akademik, berbeda dengan Dhira. Gadis ini lebih menyukai dunia hukum. Menjadi pengacara adalah impiannya sejak SMP. Dhira ingin menjadi pengacara yang bisa membela rakyat kecil secara gratis. Dia sering geram melihat hukum selalu tumpul jika sudah menghadapi orang-orang yang punya uang dan kekuasaan.
Dhira juga punya cerita tidak enak ketika dia duduk di bangku sekolah dasar. Sahabat dekatnya yang juga teman sebangku Dhira tiba-tiba saja pindah sekolah. Dari berita yang beredar, Dhira mendengar kalau ayah temannya ini melakukan korupsi dan harus di penjara. Ibu temannya Dhira memilih untuk pergi karena malu dan tidak sanggup menghadapi omongan orang-orang di sekitarnya. Dalam beberapa hari, semua televisi ramai menyiarkan berita ini.
Lalu beberapa bulan kemudian, Dhira mendengar kabar dari bapaknya kalau ayah temannya ini terbukti tidak bersalah. Saat itu, dia sedang melaksanakan ibadah haji dan anak buahnya memalsukan tanda tangan dia dalam beberapa dokumen keuangan.
Meski akhirnya bebas, namun tetap tidak bisa begitu saja memulihkan kondisi psikis keluarganya. Hujatan demi hujatan dari masyarakat sudah terlanjur mereka terima. Bahkan ketika terbukti tidak bersalah pun, sebagian masyarakat menilai bahwa semua itu hanya rekayasa saja.
Dhira masih ingat bagaimana sahabatnya berpamitan dan menangis tanpa henti. Kejadian itu terekam dengan sangat baik dalam memori Dhira.
“Terima kasih ya Dhir, masih mau berteman sama aku. Padahal aku anak koruptor.” Ucap sahabatnya disela tangis yang tak kunjung mereda. Mereka berpelukan dengan bahu yang sama-sama terguncang menahan tangis.
Tidak ada obrolan panjang yang biasanya menjadi rutinitas mereka. Kedua anak remaja itu hanya diam seribu bahasa. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Jauh di lubuk hatinya, Dhira mengatakan dia akan menjadi seorang pengacara yang bisa membela orang baik seperti ayah temannya itu.
“Bapak yakin, orang tua teman kamu itu tidak bersalah. Dia orang baik. Bapak kenal dia. Hidupnya sangat lurus. Kita doakan semoga mereka baik-baik saja. Tuhan pasti akan menjaga mereka.” Fauzi menghibur Dhira yang masih berdiri kaku melihat kepergian sahabatnya.
Dhira sudah berada di luar stasiun. Matanya berkelana mencari orang yang akan menjemputnya. Begitulah, walaupun Dhira diberikan izin berangkat sendirian ke Yogya, tapi Banyu tetap saja bersikeras menyuruh temannya yang masih ada di Yogya untuk menjemput Dhira. Sebelumnya, Langit dan Banyu sudah mencarikan tempat kost untuk Dhira. Mereka sama sekali tidak peduli dengan Dhira yang marah-marah tidak terima.
“Terima saja, Dhir. Ibu jug setuju kakak-kakakmu yang mencarikan tempat kost. Ibu jauh lebih tenang. Kamu harusnya bersyukur karena masih ada yang menjagamu.” Ucapan Anita membungkan sumpah serapah yang keluar dari mulut Dhira. Jika ibunya sudah berkata seperti itu, mau tidak mau Dhira hanya bisa pasrah menerima.
Dhira tahu, mereka bersikap demikian karena menyayanginya. Hanya saja, Dhira sering merasa jengah karena merasa diperlakukan seperti anak kecil. Kemana-mana selalu ditemani. Kalau kedua kakaknya tidak bisa, maka Kaiva yang menjadi korban menjadi bodyguardnya. Awalnya Kaiva sering menolak. Namun, akhirnya dia malah bekerja sama dengan Dhira. Mereka keluar dari rumah bersama, lantas berpisah di tengah jalan.
Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya Dhira melihat seseorang membawa sebuah kertas bertuliskan Andhira. Sebelum menghampiri lelaki itu, Dhira terlebih dahulu membuka gawainya dan mencari pesan dari Banyu. Tadi pagi kakaknya itu mengirimkan foto temannya yang akan menjemput Dhira.
Dhira memperhatikan foto itu dengan seksama. Wajahnya berbeda dengan lelaki yang sedang memegang kertas betuliskan namanya. Karena penasaran, Dhira segera menghubungi Banyu dan menjelaskan kalau orang yang menjemputnya itu berbeda dengan foto yang Banyu kirim.
Teman Aa nggak bisa jemput. Jadi yang jemput kamu namanya Dimas.
Banyu mengirimkan pesan kepada Dhira disusul foto laki-laki yang wajahnya sama dengan orang yang sedang dia pandangi.
“Maaf Mas, kalau boleh tahu namanya siapa ya?” Dhira bertanya kepada lelaki muda yang membawa kertas tadi.
“Mbak Andhira ya?” Lelaki itu malah balik bertanya.
“Iya, saya Andhira. Masnya siapa ya?”
“Gue Dimas Mbak. Kenalkan, Dimas Mahendra.” Dimas mengulurkan tangannya kepada Dhira mengajak bersalaman.
“Andhira Bhanuresmi. Bisa dipanggi Dhira aja.” Dhira menyambut uluran tangan Dimas.
***
“Foto siapa, Bang? Selingkuhan ya? Manis banget.” Dimas memandang Rama yang sibuk dengan foto di gawainya lalu menjatuhan tubuhnya di kasur milik sepupunya itu.“Enak aja nuduh selingkuhan. Gini-gini gue cowok setia.” Rama melempar bantal ke arah Dimas.“Terus itu siapa? Kok fotonya ada di elo?”“Adeknya temen gue. Dia mau kuliah di sini. Besok dia datang. Berhubung dia anak cewek satu-satunya, jadi teman gue ini nyuruh gue yang jemput ke stasiun. Cuma gue bingung. Besok gue ada janji ketemu dosen. Gue nggak tahu ketemu jam berapa terus beresnya jam berapa. Dosen gue cuma bilang besok gue harus standby di kampus.” Rama menyimpan kembali gawainya.“Ya udah, gue aja yang jemput.” Dimas menyahut singkat.“Serius? Tumben Lo mau? Lo kesambet apaan?”“Sekali-sekali berbuat baik lah.”“Beneran Lo bisa gantiin gue jemput dia?” Rama masih tak percaya kalau Dimas bisa menggantikannya. Biasanya Dimas nyaris nggak peduli dengan sekitarnya.“Ya ampun, Bang. Lo nggak percaya amat. Iya Bang, gue bi
Mata Dimas awas memandangi gadis dengan penampilan sangat sederhana itu. Sedikit berbeda dari ekspektasinya. Gadis manis berkulit setengah cokelat muda itu tampak santai hanya mengenakan celana jeans warna khaki dan kaos hitam berlengan pendek. Rambut panjangnya yang dibuat ekor kuda ikut bergerak setiap kali gadis itu menggerakan kepalanya. Dimas tersenyum menikmati pemandangan yang menurutnya sangat menggemaskan.Selama ini Dimas nyaris tidak pernah melihat perempuan sepolos Andhira. Mata belo dengan bola mata sehitam biji kopi itu tampak lebih menggoda meski dari kejauhan. Dimas tidak tahu bagaimana jendela jiwa itu mampu menyeretnya untuk berenang di sana.Orang terlihat hilir mudik keluar dari peron kereta menghampiri penjemputnya. Ada juga yang memilih naik taksi online atau ojek online yang mereka pesan lewat aplikasi. Sebagian lainnya sibuk adu tawar dengan kendaraan yang sudah mangkal di stasiun. Sedangkan Dimas sengaja mengulur sedikit waktu agar bisa lebih lama menatap moja
Tidak ada satupun perempuan yang pernah dekat dalam hidup Dimas. Dulu, ketika SMA Dimas pernah mencoba mendekati salah seorang teman sekelasnya. Nama perempuan itu Nirmala.Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari Mala. Kecuali otaknya yang luar biasa. Dia tidak cantik seperti teman-temannya yang lain. Namun, si kulit sawo matang itu akan terlihat sangat manis jika sedang tersenyum. Seingat Dimas, selama dia mengenal Mala, tidak pernah sekalipun Dimas melihat Mala tampil wah. Dia sangat sederhana.Namun, ternyata itulah awal mula Dimas harus meneguk kecewa. Setelah setahun melakukan pendekatan dan yakin kalau Mala juga memiliki perasaan yang sama dengannya, Dimas memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang selama ini ada di hatinya.“Maaf, aku nggak bisa jadi pacar kamu, Dimas.” Jawaban Mala yang disampaikan dengan lemah lembut itu mampu menghantam dinding hati Dimas. Siang menuju sore yang masih terasa menyengat seakan membakar kecewa yang kini mulai hadir di hati Dimas.“Kenapa, Ma
“Kamu harus yakin, Nak. Pergilah, kamu kuliah yang bener. Nggak usah mikirin Ibu. Di sini kan banyak tetangga. Ibu akan baik-baik saja.” Tangan keriput Maria mengusap lembut kepala Janu yang kini berada di pangkuannya. Anak lelakinya ini tetap saja manja meski kini sudah lulus SMA.“Tapi Bu, Bandung itu jauh. Janu kayaknya nggak bisa ninggalin Ibu sendirian di sini.” Setumpuk ragu kini tiba-tiba saja menyelimuti hati Janu.“Kamu laki-laki Nak. Kamu harus merantau. Kejar impian kamu. Ibu tahu, dari kecil kamu sudah seneng gambar. Kalau ada yang tanya kamu mau jadi apa, kamu pasti jawab mau jadi tukang gambar gedung-gedung tinggi kayak di Jakarta. Padahal kamu cuma liat dari TV. Gusti Allah dengar doa kamu. Makanya sekarang kamu diterima di ITB. Ini namanya takdir, Nak. Kamu harus kuat jalaninnya.” Bujuk Maria panjang lebar.Maria tahu, Janu sangat mengkhawatirkan dirinya. Sejak hamil Janu, Maria memilih berpisah dengan suaminya yang ketahuan selingkuh dengan teman sekantornya. Banyak y
“Dhir, kamu dicariin tuh.” Niken duduk di samping Dhira yang sedang menikmati gudeg dengan santainya.“Siapa?” Dhira sedikit mendongak.“Siapa lagi kalau bukan sang pangeran bervespa putih. Tuh orangnya.” Niken menunjuk ke arah seseorang yang sedang mendekat ke arah mereka dengan dagunya.Dhira mengikuti arah yang ditunjuk Niken. Dilihatnya Dimas melambaikan tangan. Dhira membalasnya sambil menyuruh Dimas ke situ.“Katanya bukan pacar, tapi kok ya mesra gitu.” Niken mencibir.Dhira hanya tersenyum tak menanggapi ucapan Niken. Hampir seluruh teman satu angkatannya bahkan mungkin satu jurusan hukum tahu kedekatan Dhira dengan Dimas. Masalah ini juga yang menjadi alasan beberapa teman Dhira mundur teratur tidak jadi mendekati gadis manis itu.Memang, hampir tiap hari Dimas datang ke jurusan hukum mencari Dhira. Padahal Dimas mengambil jurusan ekonomi yang lokasi gedungnya lumayan jauh dari tempat kuliah Dhira. Tapi apa mau dikata. Cinta bisa mengalahkan segalanya.Benarkah mereka saling
“Betul kan yang ini gerbongnya?” Tanya Dhira sambil bolak balik melihat antara tiket di tangannya dengan gerbong kereta di depan matanya.“Betul kok. Udah cepetan masuk. Sebentar lagi kereta berangkat.” Dimas setengah mendorong punggung Dhira agar segera masuk.Keduanya kini sudah duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket. Jam di pergelangan tangan Dhira menunjukan sudah hampir tengah malam. Entah mengapa kantuk masih belum juga datang menghampirinya. Dhira melirik ke samping kirinya, terlihat Dhimas sedang menikmati lagu yang didengarnya melalui earphone.Perjalanan ini di luar dugaan Dhira. Awalnya dia hanya cerita kepada Alma dan Niken tentang rencana kepulangannya ini. Ayahnya sedang tidak enak badan, kebetulan juga hari Kamis dan Jumat ini kuliahnya libur. Jadi Dhira memilih untuk pulang ke Bandung malam Kamis. Siapa nyana kabar itu begitu cepat sampai ke telinga Dimas. Tak sampai enam jam, Dimas sudah ada di kost-an Dhira dengan membawa dua buah tiket ke Bandung.“Kamu
Pagi yang riuh menjadi pemandangan biasa di Stasiun Bandung. Penumpang berhamburan turun dari kereta, pedagang asongan sibuk menawarkan dagangan yang dibawanya, pegawai gerai-gerai di dalam dan di luar stasiun bebenah merapikan lapak mereka, para penjemput memicingkan mata mendekati sanak saudara maupun pacar yang akan mereka jemput, tak lupa suara merdu pengamen sudah mulai terdengar seolah mengucapkan selamat datang.“Kita sarapan dulu.” Dimas mencekal pergelangan tangan Dhira. Menuntunnya turun dari gerbong bisnis yang mereka tumpangi.Kali ini Dhira hanya diam menurut kemana kaki Dimas melangkah. Semalaman Dimas berhasil membuat Dhira tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan lelaki itu. Wajar jika pagi ini Dhira merasakan kepalanya pusing.Cafe yang ada di sebarang stasiun menjadi pilihan Dimas. Dia butuh secangkir kopi pahit lebih dari apapun. Bukan hanya gadis di sampingnya saja yang tidak bisa tidur, tanpa Dhira tahu, pikiran Dimas juga semalam berkelana menanti pagi. Dimas ya
Dhira membuka pintu gerbang rumahnya dengan hati-hati. Sudah jam sepuluh lebih. Pasti kedua orangtua, kakak, dan adiknya tidak ada di rumah. Dengan langkah yang mengendap-endap Dhira berputar ke arah dapur. Tujuannya ya jelas, ingin mengagetkan Bi Asih. Selama Dhira tidak ada Bi Asih pasti hidupnya lebih tenang karena hanya ada Kaivan yang selalu mengganggunya. Jika Dhira dan Kaivan sudah bersama, bisa dipastikan Bi Asih jadi bulan-bulanan mereka.“Biiiiiiiiii...”“Gustiiiiii aya kunti, aya maling, aya garong, aya nu gelo, aya jurig, aya... aduh neng Dhiraaaa...” Bi Asih terduduk di lantai sambil mengelus dadanya.Bi Asih sedang merapikan isi kulkas ketika Dhira masuk dan memanggilnya dengan suara yang setengah menjerit. Posisi Bi Asih yang sudah setengah duduk membuat tubuhnya langsung terjengkang dan duduk dengan sukses.“Ish si bibi masih aja kagetan gitu. Hahahaha.” Dhira memeluk pundak Bi Asih.Perempuan yang sudah memasuki usia enam puluh tahun itu sudah dianggap menjadi bagian
Dhira benar-benar menjalankan rencananya untuk berpisah dari Dimas. Tanpa minta persetujuan dari Dimas lagi, Dhira mendaftarkan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Alasan yang dituliskan oleh Dhira adalah kekerasan dalam rumah tangga. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan cepat. Kekerasan bukan sekedar fisik, tapi bisa juga psikis. Dhira menekankan bahwa kondisinya yang belum juga hamil menjadi pemicu utama kekerasan psikis yang dia terima dari pihak keluarga Dimas.Dimas juga sudah memeriksakan kondisi kesuburannya. Sesuai prediksi dokter, ternyata memang sperma Dimas yang kurang baik. Meski harapan untuk memiliki anak itu ada, tapi akan sangat sulit.Untuk meredam pemberitaan media yang selama ini selalu saja mengincar keluarga Mahendra, Dhira meminta bantuan temannya yang jadi pengacara supaya bisa membungkam mulut para pegawai di Pengadilan Agama. Sejak dulu, Dhira sangat tidak suka dengan publikasi dan berbagai pemberitaan. Meski dia tahu, sebag
Espresso yang tadi dipesannya sudah tandas. Dhira melirik ponselnya. Panggilan dari Dhimas sudah bertambah. Beberapa pesan juga terlihat memenuhi aplikasi yang sering Dhira gunakan. Tangan Dhira bergetar ketika memberanikan diri untuk menghubungi Dimas. Sudah terlalu lama dia menghabiskan waktu untuk melamun di sini. Sekarang atau nanti, dia dan Dimas harus tetap menghadapi kenyataan itu.“Halo, Dim...”Kamu di mana? “Di kafe seberang rumah sakit.”Oke. Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.Benar saja, tak sampai setengah jam Dimas sudah datang. Langkah panjangnya segera menuju ke tempat istrinya itu duduk. Segera dipeluknya Dhira dengan hangat. Seolah mereka sudah tidak bertemu berhari-hari.“Ini apa-apaan sih. Malu diliatin orang.” Omel Dhira.“Emang kenapa? Kamu istriku. Kita nikah udah lima tahun, masa kamu masih aja malu kalau aku peluk di tempat umum.” Goda Dimas.“Ya tetep aja aku malu. Kamu lagi nggak sibuk? Kok bisa langsung ke sini?”“Urusan istriku jauh lebih penting dari ap
Menjelang dinihari saat kereta memasuki Stasiun Tugu. Sejak berangkat, ponsel Dhira nyaris tidak berhenti mendapatkan pesan dari Dimas. Entahlah, sejak obrolannya tempo hari Dhira merasa Dimas sedikit lebih protektif. Meski tidak Dhira pungkiri kalau sebelumnya juga perhatian Dimas selalu berlebihan untuk ukuran seorang sahabat. Apalagi saat ini, ketika lelaki itu sudah berterus terang tentang perasannya.Dimas sudah mewanti-wanti kalau dia yang akan menjemput Dhira. Tentu saja ucapan itu bukan izin melainkan hanya pemberitahuan. Jika setahun lalu Dimas yang bukan siapa-siapa saja sudah begitu antusias menjemput Dhira, bisa dibayangkan kondisinya sekarang ketika Dimas sudah setengah mengakui bahwa Dhira itu calon istrinya.Ups. Seketika Dhira merasa wajahnya sedikit menghangat. Ingatannya melayang ketika Dimas mengatakan calon istri. Benarkah Dimas sudah begitu yakin dengan perasaannya?“Hai.” Sapa Dimas sedikit kikuk ketika menghampiri Dhira yang sudah ada di pintu kedatangan.“Hei,
“Tumben banget udah mau ke Yogya lagi.” Komentar Kaiva melirik Dhira. Saat ini Dhira dan keluarganya plus Janu sedang menikmati sarapan yang sudah disiapkan Bi Asih. Sejak dulu, Anita sudah menetapkan kalau Sabtu Minggu itu wajib sarapan di rumah.Saat anak-anak masih sekolah, Anita bisa mengatur mereka untuk sarapan setiap hari. Namun ketika si sulung dan anak keduanya sudah kuliah, sarapan setiap hari menjadi sesuatu yang sulit direalisasikan. Langit dan Banyu kuliah di luar kota. Kaiva yang sejak kecil susah sekali bangun pagi, lebih sering melewatkan sarapan karena sudah terlambat untuk sekolah. Bagaimana tidak terlambat, setelah shalat Subuh, Kaiva lebih memilih untuk tidur lagi daripada bersiap sekolah.Ketika Langit kembali ke Bandung, Anita dengan tegas menyuruh sulungnya itu datang sarapan di Sabtu Minggu. Alhasil setiap Jumat sore Langit memilih pulang ke rumah orangtuanya daripada harus repot di hari Sabtu berangkat pagi-pagi.“Males aja kalo mepet-mepet. Emangnya kamu. Ap
Setelah menutup paksa obrolannya dengan Dimas, Dhira merebahkan tubuhnya di kasur lalu menatap langit-langit kamar. Perlahan dia menelusuri hatinya. Perasaan apa yang kini ada untuk Dimas.“Dhir... kamu di dalam kan? Bunda masuk ya?”Anita bertanya sambil mendorong pelan pintu kamar Dhira. Tidak dikunci.“Kebiasaan deh ini anak, pintu kamar nggak pernah dikunci. Jangan-jangan kamu di Yogya juga suka lupa mengunci pintu kamar kamu ya? Bahaya loh Dhir. Gimana kalau ada orang iseng yang masuk kamar kamu. Duh ngebayanginnya aja Bunda mah udah ngeri. Kamu jangan bikin khawatir Bunda kamu ini dong.” Ucap Anita panjang lebar sambil melangkahkan kaki mendekati Dhira yang masih terbaring di atas kasurnya.“Heh, kamu denger omongan Bunda nggak?” Lanjut Anita.“Iya, Bundaku sayang. Dhira denger. Lagian di sini ngapain Dhira kunci kamar segala. Kalau Bunda mau masuk kan repot, Dhir kudu bangun bukain kunci.” Dhira memeluk erat Anita. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Dhira memang mendapat keun
“Kamu mau ke mana Dim?” Tanya Yashinta saat melihat anak sulungnya itu sudah berpakaian rapi.“Pulang ke Yogya, Ma.” Dimas menjawab singkat.“Kok buru-buru? Kamu nggak kangen Mama? Sudah hampir dua tahun loh Dim kamu nggak pulang. Sekarang baru semalem di sini kamu udah mau ke Yogya lagi. Mama masih kangen sama kamu.” Gerutu Yashinta.“Bukan gitu, Ma. Dimas lupa kalau banyak tugas yang harus dikumpul hari Senin besok.” Dimas mencoba merayu Yashinta dengan memeluknya.“Alaahhh itu sih alasan kamu aja. Buktinya, kamu kemaren malah ke Bandung. Kalau Papa kamu nggak nyuruh anak buahnya bawa kamu ke sini, pasti kamu juga nggak inget pulang ke rumah kan?”“Nggak gitu Mamaku sayang. Beneran Dimas nggak sengaja ke Bandung. Kebetulan ada temen yang mau pulang ke Bandung, kebetulan juga Dimas kan udah lama banget nggak ke Bandung, sekali-sekali pengen juga lah maen ke sana sendiri.”“Temen apa temen? Katanya cewek. Mana ada kamu temenan sama cewek.” Rajuk Yashinta.“Beneran temen, Ma. Kemajuan
“Gimana rasanya jadi orang Bandung?” Tanya Dhira sambil menatap ke arah Janu.“Luar biasa. Bandung sangat menyenangkan. Semuanya jelas berbeda dengan tempat tinggal saya di Bengkulu.” Janu menjawab tanpa melihat ke mata Dhira. Bagaimana tidak, saat ini hatinya sedang jauh dari kata baik-baik saja. Biasanya Janu mencuri-curi kesempatan agar bisa melihat foto Dhira di ruang tamu Fauzi, kini sosok yang selalu memenuhi kerinduannya itu ada di depan mata Janu. Mata indah yang yang membuat Janu jatuh cinta pada pandangan pertama, malah sedang menatapnya lekat.Setelah hampir satu jam mengelilingi Kota Bandung, kini mereka memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sudut Jalan Braga. Di langit, bintang begitu terang bersinar. Sementara di Jalan Braga lampu-lampu terlihat benderang berpijar. Dhira dan Janu duduk bersisian sambil memandang lalu lalang kendaraan yang tidak pernah berhenti sejak tadi.“Kamu asli dari Bengkulu ya?” Suara Dhira memecah kebisuan.“Nggak juga. Mama aslinya dari B
“Bapak sama Ibu nggak pulang?” Tanya Dhira kepada Kaiva. Dhira melirik jam dinding yang sudah tergantung di ruang tengah itu sejak dia masih SD.“Salah sendiri mau pulang nggak bilang-bilang.” Kaiva meleletkan lidah mengejek kakak perempuannya.Kaiva masih merasa dongkol karena Dhira pulang tanpa memberitahu dirinya. Padahal Kaiva sangat ingin sekali Dhira bisa membawakan bakpia asli Yogya yang sudah menjadi makanan kesukaan Kaiva sejak gigitan pertama. Saat itu Banyu yang sengaja membawakan bakpia itu untuk Kaiva. Sedangkan Dhira sama sekali tidak punya keinginan untuk membawakan oleh-oleh.Pertemuan mereka tadi sore sudah pasti membuat riuh rumah yang biasanya selalu sepi. Bi Asih memilih diam menjadi penonton yang baik. Sejak dulu Kaiva dan Dhira memang yang paling sering ribut dibandingkan yang lainnya. Bisa jadi hal ini dikarenakan jarak usia keduanya yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dengan Langit dan Banyu, jarak mereka cukup lumayan jauh.“Kan emang Teteh tadinya nggak niat m
Jika Dhira sedang asyik berbincang dengan Janu, hal serupa tidak terjadi kepada Dimas. Di saat yang bersamaan pintu kamar hotel tempat Dimas menginap diketuk seseorang. Dimas masih setengah sadar karena baru saja tertidur. Otaknya tidak bisa mencerna siapa yang datang mengetuk pintu kamar dan ingin menemuinya. Bahkan Dimas masih merasa bahwa saat ini dia ada di kamar kostnya di Yogya.Dimas menyeret tubuhnya untuk membuka pintu dengan kesadaran yang masih belum ada setengahnya. “Si...a...pa...” Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat kalau yang ada dibalik pintu itu adalah Roni. Anak buah sekaligus orang kepercayaan papanya yang memang ditempatkan di Bandung. Seketika mata Dimas membelalak karena tak percaya jika saat ini dia berhadapan dengan Roni.“Selamat siang, Mas Dimas. Maaf saya mengganggu. Ini perintah dari Tuan Cipta.” Roni sedikit membungkukan tubuhnya tanda menghormati Dimas. Untunglah Roni tidak menyebut Dimas sebagai Tuan Muda seperti anak buahnya yang lain.“Masuk.” Dim