“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.
“Iya, Bik.”
Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.
“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.
“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.
Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.
“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.
“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan makan dan semua kebutuhan Bima. “
“Ma!” protes Bima seketika. “Aku itu pindah karena ingin sendiri, kenapa Mama malah nyuruh orang buat ...”
“Diam kamu!” potong Kartika. “Pokoknya kalau kamu mau pindah ke apartemen Dinda harus ikut. Dia yang akan menyiapkan kebutuhan kamu. Mama nggak mau kamu tinggal sendiri dan bebas masukin cewek-cewek sembarangan. Mama juga nggak mau kamu cuma makan seadanya. Pokoknya itu syarat dari Mama. Kalau kamu nggak terima, kamu nggak usah pindah. Mama akan acak-acak perusahaan kamu.”
Bima terdiam menerima ancaman mamanya. Dia tahu meskipun Iskandar yang menjalankan semua bisnis keluarganya, Kartika masih memegang peran penting di belakang layar. Perusahaannya yang baru dia rintis bisa bangkrut dan hancur jika Kartika menginginkannya. Terpaksa dia mengiyakan tawaran itu.
Dan di sinilah mereka berada. Setelah perjalanan yang hening, Dinda dan Bima sampai di apartemen mewah di pusat kota. Unit Bima ada di lantai dua puluh, dengan desain minimalis yang maskulin yang sesuai dengan kepribadiannya.
“Di dekat dapur ada kamar, biasanya gue pakai buat naruh barang-barang jadi belum ada kasurnya. Besok baru gue beliin. Malam ini lo tidur di sofa dulu.”
Sebelum Dinda mengiyakan Bima sudah berlalu masuk ke kamarnya. Koper dan tas yang mereka bawa dari rumah tergeletak begitu saja di dekat pintu. Bingung dengan pekerjaannya, Dinda memberanikan diri mengetuk pintu kamar Bima.
“Ada apa?” tanya Bima begitu membuka pintu. Dia sudah melepas bajunya karena berniat untuk mandi.
“Ini saya beresin barang-barangnya Mas Bima dulu boleh?” tanya Dinda takut.
“Lo ini tolol atau gimana, sih? Gitu aja harus nanya ke gue.” Bima masih kesal karena tidak berhasil menolak perintah ibunya.
Air mata Dinda mulai menggenang, tapi dia menahannya sekuat tenaga. “Maaf, tapi katanya Mas Bima nggak suka kalau barang-barang Mas Bima disentuh-sentuh sembarangan, jadi saya tanya dulu.”
Untuk sesaat Bima hanya menatap Dinda, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Terlebih setelah melihat air mata Dinda yang siap jatuh dia hanya bisa menghela napas. “Lo bisa mulai beres-beres. Taruh baju-baju gue di ruang itu,” katanya sambil menunjuk walk-in closet yang ada di kamarnya. “Tugas lo yang lain cuma bersih-bersih dan masak.”
“Baik, Mas.”
***
“Mas Bima, maaf. Di kulkas nggak ada apa-apa yang bisa dimasak. Saya mau ijin keluar buat beli bahan-bahan,” kata Dinda saat selesai membersihkan rumah. Hari sudah menjelang malam dan mereka belum makan apa-apa sejak sampai di sana siang tadi.
“Lo mau beli di mana? Lo tau daerah sini?”
“Nanti biar saya nanya sama satpam di lobi, Mas.”
Entah sudah ke berapa kalinya Bima menghela napas saat menghadapi Dinda. Sikap Dinda yang pasrah dan tak berdaya membuat Bima iba. Dia meraih kunci mobilnya di meja.
“Biar gue anterin. Gawat kalo lo sampe nyasar trus ilang.”
Diam-diam Dinda tersenyum sambil berjalan mengikuti Bima di depannya. Mulut dan sikap Bima memang kasar, tapi jauh di dalam hatinya, dia adalah pria yang baik. Sejak dulu Kartika sering menceritakan bagaimana Bima kecil membawa kucing-kucing liar ke rumah untuk diberi makan. Hanya saja Dinda tak pernah berpikir Bima mau mengantarnya belanja. Dia bahkan setengah tak percaya saat Bima ikut berkeliling ke supermarket bersamanya untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya.
“Mas Bima lebih suka daging ayam atau sapi?”
“Suka dua-duanya.”
Dinda manggut-manggut lalu mengambil beberapa buah fillet dada ayam dan daging sapi.
“Mas Bima suka ikan nggak?” tanya Dinda lagi.
“Suka.”
Lagi, setelah mendengar jawaban Bima, Dinda mengambil fillet salmon dan tuna yang ada di rak.
“Kalau udang? Cumi-cumi?”
“Suka.”
“Mas Bima lebih suka masakan barat atau masakan Indonesia?”
“Semuanya suka, yang penting hangat.”
“Kalau roti?”
“Biasa aja.”
“Pasta?”
“Lumayan.”
“Kalau dessert sukanya apa, Mas? Kalau di rumah Bu Tika suka minta dibikinin puding atau cake. Mas Bima mau juga?”
“Kok gue berasa lagi diinterview sih?” ucap Bima kesal.
“Maaf, Mas. Kalau selera orang rumah kan saya udah paham. Takutnya nanti saya salah waktu masakin buat Mas Bima,” jawab Dinda. Setelah terus bersama-sama dengan Bima rasa takutnya sedikit demi sedikit menguap. Sikap Bima yang cukup tenang selama beberapa jam terakhir membuat keberanian Dinda bertambah.
“Pokoknya gue suka makan yang hangat, yang baru aja dimasak. Lo boleh masak apa aja yang penting enak.”
Untuk pertama kalinya Dinda tersenyum di depan Bima. Dinda merasa begitu gembira diberi kebebasan untuk memilih menu masakan sesuai keinginannya. Dia bisa bebas menentukan menu untuk Bima, tidak seperti saat di rumah Kartika. Dulu dia hanya membantu memasak menu-menu yang sudah ditentukan dan diminta oleh Kartika.
“Siap, Mas!” Dinda memberi hormat ala prajurit dengan senyum di bibirnya.
Bima ikut tersenyum, namun tipis dan hanya sesaat karena dia langsung menyadari apa yang dia lakukan. Tidak seharusnya dia tersenyum bersama Dinda. Bima baru saja menyadari betapa aneh sikapnya seharian ini. Sejak kapan dia mau mengantar dan menemani pembantunya untuk berbelanja?
***
“Lo sekalian makan juga, Din.”
Lagi-lagi Dinda dibuat terkejut dengan ajakan Bima. Setelah mengatur meja makan, Dinda beralih untuk membersihkan dapur. Ajakan Bima membuatnya bimbang karena sebelum ini dia tak pernah ikut makan di meja. Dinda selalu makan di dapur bersama Bik Sinah dan Bik Yati, atau dengan ART keluarga Kartika yang lain.
“Saya nyuci piring dulu, Mas. Mas Bima makan dulu aja,” tolak Dinda.
“Makan sekarang.”
Kali ini Dinda tak berani membantah. Dia mengambilkan makanan ke piring Bima dan menuang air putih sebelum duduk di depan pria itu.
“Nggak apa-apa Mas, kalo saya makan juga?”
“Kalo lo sibuk mondar-mandir di dapur malah bikin gue nggak konsen sarapan.”
“Iya, Mas.”
Dengan canggung Dinda mengambil makanan untuk dirinya. Selama beberapa menit berikutnya hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.
“Nanti siang ada yang nganterin kasur ke sini, jadi lo nggak perlu tidur di sofa lagi.”
“Iya, Mas. Makasih banyak.”
Benar saja, beberapa jam setelah Bima berangkat kerja, ada beberapa orang yang datang ke apartemen. Mereka membawa tempat tidur dan lemari untuk Dinda. Setelah menata kamar dan membersihkan rumah, pekerjaan Dinda telah selesai padahal hari masih siang. Dinda bingung. Di rumah Kartika, dia selalu disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Atau menemani si kembar belajar dan bermain. Berbeda dengan apartemen Bima yang meskipun tak kalah mewah, namun ukurannya lebih kecil. Dinda tak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya. Selain itu, Bima hanya tinggal seorang diri. Tak banyak kebutuhan. Jadilah Dinda hanya diam di kamar, sesekali membaca buku kuliahnya kalau tak malas.
Saat hari menjelang malam, Dinda beranjak ke dapur. Ia menyiapkan makan malam untuk Bima kemudian menunggu pria itu pulang. Dia lupa menanyakan pukul berapa biasanya Bima pulang dan makan malam. Akhirnya Dinda hanya memasak dan menunggu Bima seperti asisten rumah tangga yang baik.
Hampir pukul sembilan malam tetapi Bima masih belum pulang juga. Perut Dinda sudah keroncongan sejak tadi, namun dia tak berani makan apapun sebelum Bima pulang. Sambil menunggu Dinda mencoba mengerjakan tugas kuliahnya lagi. Kali ini dia memberanikan diri menggunakan ruang tengah untuk belajar. Di kamarnya tidak ada meja dan kursi, sehingga Dinda kesulitan untuk menulis tugas-tugasnya. Di ruang tengah ada satu set sofa empuk lengkap dengan mejanya. Dinda memilih duduk di lantai agar bisa dengan mudah untuk menggunakan meja untuk menulis.
“Hei! Bangun!”
Dinda mengerjap. Matanya yang masih mengantuk perlahan terbuka. Butuh beberapa detik sebelum Dinda menyadari di mana dia berada.
“Ngapain lo tidur di sini? Kasur sama lemarinya belum datang?”
Bima yang tampaknya baru saja pulang menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia lalu membuka jas dan melonggarkan dasi yang mengikat lehernya.
“Maaf, Mas. Barang-barang itu sudah datang tadi siang. Ini tadi saya ketiduran waktu bikin tugas.” Dinda membereskan buku-bukunya. Sekilas dia melihat waktu di jam tangan Bima. Ternyata sudah pukul sebelas malam lewat beberapa menit.
“Tugas apa?” Niatnya memejamkan mata Bima urungkan karena penasaran. Dia lalu mengambil salah satu buku yang masih ada di meja. “Lo kuliah?”
“Iya, Mas. Tapi di universitas terbuka, jadi kalau berangkat biasanya hari Sabtu atau Minggu.”
“Ambil Ekonomi? Semester berapa?”
“Iya, Mas. Udah mau skripsi, Mas.”
“Buku gue ada banyak tuh, di ruang kerja. Kalo butuh referensi, lo bisa pakai.”
Mulut Bima bekerja lebih cepat dari pikirannya. Ruang kerjanya adalah tempat pribadi yang hampir tidak boleh dimasuki orang lain. Kemarin Bima sudah berpesan pada Dinda untuk tidak masuk ke ruangan itu. Dia suka menyendiri dan membaca di sana, menenangkan pikiran sambil mengatur strategi-strategi agar perusahaannya semakin besar. Entah apa yang mendorong Bima untuk begitu bermurah hati pada Dinda. Mungkin melihat Dinda yang tidak seperti gadis seusianya yang lain membuat hati Bima tergerak dan merasa kasihan.
Dinda memakai kaos dan celana olahraga bekas milik Bima, bukan minidress dan sepatu berhak tinggi. Wajahnya merona merah ketika dia malu tanpa perlu memakai riasan warna-warni di pipinya. Yang paling membuat Bima heran, Dinda tidak pernah sekali pun menggodanya bahkan ketika mereka hanya berdua di apartemen seperti sekarang. Tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah ditemuinya sebelum ini. Mereka bahkan menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal demi bisa berkencan dengannya.
“Saya boleh pinjam buku-bukunya Mas Bima?” tanya Dinda tak percaya. Di otaknya sudah terbayang buku-buka mahal yang bisa dia baca, yang sebelumnya hanya bisa ia lihat di rak perpustakaan di kampus. Yang bahkan untuk meminjamnya dia harus mengisi daftar tunggu terlebih dahulu.
“Boleh. Yang penting jangan sampai rusak.”
“Siap, Mas!” Lagi-lagi Dinda meluapkan kebahagiaannya dengan memberi hormat ala prajurit. Dia lalu melanjutkan membereskan buku-bukunya dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya. “Oh iya, Mas Bima mau makan malam sekarang? Biar saya angetin dulu.”
“Makan?”
Dinda menunjuk ke meja makan. “Tadi saya sudah siapin makan, tapi kayaknya sekarang sudah dingin.”
“Angetin aja. Gue mandi dulu, baru makan.”
Lagi-lagi Bima bertindak seperti bukan dirinya. Dia sudah makan malam dengan klien tadi. Tapi bayangan Dinda menunggu dan menyiapkan makan malam untuknya membuat Bima tidak tega menghapus senyum dari wajahnya. Dia tahu Dinda belum makan karena beberapa kali terdengar suara keroncongan dari perut gadis itu.
“Din,” Bima tiba-tiba berbalik saat hampir sampai di depan kamarnya. “Besok-besok kalau sampai jam delapan gue belum pulang, lo makan duluan aja.”
“Iya, Bu?”Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.“Kamu sudah masak?”“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”Kartika menghela napas sambil melihat jam di
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
Bima tersnyum saat ponselnya bergetar. Dia meraihnya dan membuka pesan yang masuk. Senyumnya bertambah lebar saat membaca pesan itu. Dengan segera dia mengetikkan balasan dan mengirimnya.“Oke, tadi sampai mana, Van?”Laki-laki di depannya, , menghela napas kesal. Mereka berdua sedang berada di ruangan Bima di kantor, mendiskusikan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tetapi rapat eksklusif itu beberapa kali terhenti karena Bima tidak fokus dan bolak-balik memeriksa ponselnya.“Lo lagi chatting sama siapa sih?” tanya Ivan akhirnya. Jarang sekali Bima membagi fokusnya dengan hal lain saat bekerja. “Penting banget, ya?”“Bukan urusan lo,” balas Bima. Meski tidak sedekat dengan Daniel dan yang lain, Ivan bisa dikategorikan teman sekaligus rekan kerja Bima. Mereka sama-sama membangun perusahaan dari nol. Bima sedikit lebih unggul karena dia menyandang status sebagai direktur dan pemilik perusahaan. Selain itu, keberadaan mereka berdua di kantor sama-sama penting.“Cewek baru?” tanya
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek