Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.
“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”
“Aahh!”
Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.
“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.
Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”
“Mau dibikinin apa, Mas?”
Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri menghadapi putra kesayangan keluarga Iskandar yang membuatnya darah tinggi. Bahkan Tasya dan Rasya saja masih lebih jelas kalau minta tolong padanya.
“Itu orang satu maunya apa sih? Jam segini masa minta makan? Mau makan apa juga nggak jelas. Ntar aku yang disalahin lagi,” gerutunya sambil memeriksa kulkas, mencari bahan-bahan yang bisa ia olah untuk menuruti keinginan Bima.
Tak lama kemudian Dinda sudah sibuk mengaduk-aduk nasi goreng di wajan. Masa bodoh kalau tidak sesuai selera tuan muda satu itu. Salahnya sendiri tidak mengatakan dengan spesifik apa yang mau dia makan. Jadilah Dinda memasak nasi goreng sederhana, yang hanya bermodal garam, bawang, dan sedikit cabe. Bahan lain pun hanya telur dan sosis yang kebetulan ia temukan di sudut kulkas.
Tok tok tok.
“Masuk.”
Dinda mendorong pintu kamar Bima dengan kakinya karena kedua tangannya membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas air.
“Mas Bima, ini saya bikinin nasi goreng soalnya....”
Kata-kata Dinda tenggelam di tenggorokan saat melihat Bima yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan hanya mengenakan sepotong handuk yang melilit di pinggangnya. Sepanjang malam dia tak bisa tidur karena jetlag hingga akhirnya perutnya keroncongan. Beruntung dia bertemu Dinda di dapur saat sedang mencari-cari makanan.
Tetapi Dinda hanya mematung di depan pintu. Matanya menjelajahi tubuh berotot Bima yang hanya berbalut handuk. Jika bukan karena cahaya yang temaram, Bima pasti bisa melihat semburat merah yang merona di pipinya.
“Kenapa diam di situ? Udah puas liatin gue?”
Teguran Bima membuat Dinda merasa sangat malu karena ketahuan memperhatikan tubuh pria itu. Seumur-umur baru kali ini Dinda melihat tubuh semi telanjang pria secara langsung. Dengan kepala tertunduk Dinda meletakkan nampan di meja.
“Saya bikin nasi goreng, soalnya Mas Bima tadi nggak bilang mau makan apa,” kata Dinda.
Bima hanya mengangguk. Baginya nasi goreng masih lebih baik daripada roti tawar atau sereal dingin. Dengan cepat dia duduk dan mengambil nasi goreng itu. Tanpa berganti baju lebih dulu. “Nama lo siapa, sih?”
“Dinda, Mas.”
“Umur?”
“Dua puluh tiga, Mas.”
“Udah berapa lama di sini?”
“Tujuh tahun lebih, Mas.”
“Kok gue nggak pernah liat?”
“Saya dulu banyak bantu-bantu di dapur, Mas. Habis Tasya dan Rasya lahir baru saya sering keliling rumah jagain mereka.”
Bima mengangguk-angguk kecil. Dia menimbang-nimbang sebentar sebelum memutuskan untuk meminta maaf. “Yang tadi gue minta maaf, ya. Mama suka banget milihin calon dan nyuruh gue nikah, bikin kepala gue pusing,” katanya beralasan.
“Iya, Mas.” Mana mungkin Dinda tidak memaafkan jika majikannya meminta maaf? Bisa-bisa dia yang malah dipecat dan kehilangan pekerjaan.
Setelah puas karena permintaan maafnya diterima, Bima mulai makan. Lumayan juga rasanya, pikirnya.
“Kalau sudah nggak ada apa-apa lagi saya permisi, Mas,” ucap Dinda yang sedari tadi merasa canggung karena berduaan dengan Bima yang hanya memakai handuk.
“Tunggu sampai gue selesai makan, sekalian nanti lo bawa piring kotornya ke dapur.”
Sungguh malam yang panjang. Bima telah menyuruh Dinda untuk duduk di sampingnya karena di kamar itu hanya ada sepasang sofa dan meja. Dia tak menyadari kecanggungan Dinda karena harus duduk berdekatan dengan pria hampir tanpa busana di dalam kamar.
Berbeda dengan Dinda, Bima justru cuek dan menikmati sarapan dini harinya. Tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun membuat Bima terpengaruh dengan gaya hidup dan pola pikir barat. Dia tidak merasa perlu memakai baju dulu. Bukankah salah satu tujuannya membentuk tubuh berotot agar bisa dilihat orang lain?
“Lumayan, udah lama gue nggak makan nasi goreng,” komentar Bima saat meletakkan piringnya yang sudah kosong ke nampan. Dia meraih gelas dan mengenggak habis isinya. “Tapi jangan terlalu sering , soalnya kalorinya tinggi. Gue jadi harus nambah waktu buat olahraga.”
“Maksudnya gimana, Mas?”
Bima bersandar sambil mengelus perutnya yang rata dan berotot. Mau tak mau Dinda ikut memperhatikan juga. “Perut begini tuh effortnya besar, makanya harus dijaga. Kalo gue tiap malem makan nasi goreng yang ada ini perut jadi bantal. Ngerti?”
“Eh, ngerti Mas.” Dinda buru-buru mengalihkan tatapannya dari perut Bima. “Tapi itu bahannya low calorie semua, kok. Bu Tika selalu bilang harus pakai bahan-bahan yang sehat kalau buat masak. Gulanya juga bukan gula yang biasa, minyaknya pakai olive oil, sayurnya selalu beli yang organik, dagingnya juga yang fresh. Pokoknya bahan-bahannya yang premium, Mas.”
“Oke, good.” Diam-diam Bima memperhatikan Dinda yang nyerocos membicarakan dapur dan isinya. Gadis itu hanya mengenakan salah satu kaos bekas Bima dan celana pendek yang tersingkap saat duduk hingga memperlihatkan sebagian paha mulusnya. Bima pria normal, yang juga akan bergairah jika melihat lawan jenis dengan tubuh seperti Dinda. Terlebih gadis itu mengenakan pakaiannya, meski sudah bekas. Tetapi hal itu justru menambah daya tarik Dinda di mata Bima. Dia tak keberatan Dinda berbicara selama matanya mendapat asupan menggiurkan.
“Gitu, Mas,” Dinda mengakhiri setelah menjelaskan panjang lebar, yang sebagiannya sudah tidak didengarkan lagi oleh Bima karena teralihkan paha mulus itu.
“Oke.”
Dinda kembali terdiam. Sebenarnya dia lumayan cerewet jika berhadapan dengan Bik Sinah atau si kembar. Tetapi biasanya jika menghadapi anggota keluarga Iskandar yang lain dia akan bicara seperlunya. Dinda mengutuk dirinya sendiri karena merasa sudah terlalu banyak bicara hingga membuat Bima bosan.
“Ya udah, Mas. Kalau tidak ada lagi yang dibutuhkan saya pergi,” pamitnya.
Entah bagaimana, saat melangkah untuk mengambil nampan Dinda justru tersandung sandal rumah Bima yang ada di dekatnya. Tubuhnya limbung, jatuh tepat di atas Bima yang masih bersandar di sofa.
Selama beberapa detik Dinda masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhnya jatuh menimpa Bima, namun seperti ada yang janggal. Kedua tangan Bima bermaksud menahan agar tubuh Dinda tidak langsung bersentuhan dengan tubuhnya, tetapi justru telapak tangannya menangkup payudara Dinda.
Dinda merasakan getaran aneh saat payudaranya disentuh Bima. Hanya sesaat, tetapi gelenyar asing mengaliri perut bagian bawah Dinda. Begitu menyadari posisi mereka, Bima cepat-cepat melepas tangannya dari payudara Dinda. Akibatnya tubuh Dinda justru langsung terhempas menimpa Bima, hal yang tadinya ingin ia cegah. Tanpa sengaja bibir Dinda menyentuh bibir Bima. Bagai tersengat listrik, Dinda langsung bangkit begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Ciuman pertamanya baru saja dicuri. Tapi apakah itu bisa disebut sebagai ciuman? Bibir mereka hanya bersentuhan selama beberapa detik. Tidak ada kecupan, hisapan, atau gerakan apapun.
“Maaf, Mas....”
“Nggak perlu minta maaf,” potong Bima. “Gue udah tau apa yang bakal lo omongin.”
“Kalo gitu, saya permisi, Mas.” Dinda mengambil nampan dan keluar. Wajahnya panas, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena takut membuat Bima marah, karena jika pria itu marah dia tidak akan setenang itu. Dinda merasa dadanya hampir meledak karena malu. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi Bima lagi setelah pria itu menyentuh tubuhnya? Dan anehnya Dinda justru merasakan hal tidak wajar saat mengingat sentuhan bibir mereka.
Sementara itu di dalam kamarnya Bima masih duduk di tempat yang sama sejak Dinda keluar. Tatapan matanya tertuju pada telapak tangannya, mengingat kembali bagaimana rasanya saat benda itu berada di genggamannya.
“Shit!” gumamnya, lalu bangkit dan menuju ke kamar mandi. Terpaksa Bima mandi lagi untuk menenangkan tubuh dan pikirannya.
***
Setelah kejadian dini hari itu Dinda mati-matian menghindari Bima. Dia mengarang alasan agar tidak perlu naik ke lantai dua menjemput si kembar. Kalaupun terpaksa, Dinda akan memastikan terlebih dahulu kalau Bima tidak ada di rumah.
“Kamu lagi banyak tugas, Din?” tanya Sarah suatu siang saat mereka sedang mengawasi si kembar berenang di halaman belakang rumah. Mereka duduk di gazebo kayu karena Sarah meminta Dinda untuk memijat bahunya yang tegang. “Sekarang kamu jarang keliatan di rumah. Si kembar sering nyariin kamu.”
Beberapa hari ini Dinda memang sering mengurung diri di kamarnya jika pekerjaannya sudah selesai. Biasanya dia selalu menemani Tasya dan Rasya bermain dan belajar.
“Iya, Mbak. Maaf kalo kerjaan saya jadi keteteran,” ucap Dinda beralasan.
“Nggak apa-apa, Din. Justru kalo nggak sibuk aku curiga, kamu sebenernya beneran kuliah atau enggak,” canda Sarah. “Semester depan kamu udah skripsi?”
Dinda mengangguk, lupa kalau Sarah tak bisa melihatnya. “Iya, Mbak. Ini udah mulai cari referensi, tapi masih belum nemu.”
“Coba tanya-tanya ke Bima, jurusan kalian kan sama. Dia pasti punya banyak referensi.”
“Memangnya Mas Bima mau bantuin saya, Mbak?”
“Ya dicoba dulu aja, minimal kamu bisa pinjam buku-bukunya. Dia itu sebenernya kutu buku loh, Din.”
“Tapi gimana bilangnya, Mbak? Saya takut sama Mas Bima,” kata Dinda pelan.
Sarah terbahak mendengar pengakuan Dinda. “Takut kenapa, Din? Bukan karena dia adikku ya, tapi Bima itu ganteng loh. Kok kamu malah takut, sih?”
Suara ceburan air di kolam renang yang diikuti teriakan gembira Tasya dan Rasya membuat perhatian kedua wanita itu teralihkan. Bima baru saja menceburkan diri bergabung dengan si kembar di kolam renang.
“Panjang umur,” gumam Sarah. “Nanti aku bantu bilang ke Bima kalau kamu mau pinjam buku-bukunya.”
Dinda terpaksa mengiyakan dan berterima kasih. Sejujurnya dia senang karena tak perlu repot meminjam buku di perpustakaan. Tetapi saat ini Dinda masih belum bisa melupakan kejadian memalukan dini hari itu. Pipinya tiba-tiba terasa panas saat melihat Bima naik dari kolam hanya memakai celana renang.
“Bim!” panggil Sarah, menyuruh adiknya itu untuk mendekat ke gazebo.
Entah mengapa debaran jantung Dinda semakin kencang ketika jarak Bima dengannya semakin dekat. Dinda mencurahkan seluruh perhatiannya pada bahu Sarah yang sedang ia pijat, menghindari kontak mata dengan Bima seperti yang selalu ia lakukan beberapa hari ini.
“Kenapa, Kak?”
Tatapan Bima sekilas jatuh kepada Dinda yang menunduk. Sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya untuk sesaat ketika melihat Dinda begitu sibuk menghindarinya.
“Stop dulu, Din.”
Mau tak mau Dinda menghentikan pijatannya dan duduk di samping Sarah yang langsung bergerak memberinya tempat begitu menyuruhnya berhenti memijat.
Bima mengambil handuk dan mengeringkan kepalanya. Dinda sedikit berharap Bima menggunakan handuk itu untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Bima melempar handuknya ke lantai dan menghempaskan diri di depan Sarah, memamerkan otot-otot di dada dan perutnya.
“Gini, Bim...”
“MAMI! RASYA NIHHH!!!”
Ucapan Sarah terpotong teriakan Tasya dari kolam renang, membuat wanita itu buru-buru bangkit untuk melerai kedua anaknya yang tengah bertengkar. “Tuh anak dua emang nggak ada berhenti-berhentinya berantem. Kamu ngomong sendiri dulu aja ya, Din.”
Dinda menatap punggung Sarah yang semakin menjauh dengan tatapan nanar. Tentu saja nyali Dinda tidak sebesar itu.
“Lo mau ngomong apa?” tanya Bima dengan kedua alis yang terangkat.
“Eh... bukan apa-apa, Mas,” jawab Dinda kikuk.
“Tapi tadi Kak Sarah bilang...”
“Om Bimaaaa!!!!”
Tiba-tiba saja Rasya berlari ke arah mereka dengan membawa ember mainannya yang penuh dengan air. Sebelum Bima menyadari tindakannya, dia sudah bergerak melindungi Dinda dari serangan air Rasya. Bima menjadikan punggungnya sebagai tameng, sementara kedua tangannya memegangi bahu Dinda. Wajah Dinda memanas meskipun seharusnya dia merasa dingin karena pipinya menempel di dada Bima yang basah.
“Om balas kamu!” teriak Bima saat Rasya bersorak kegirangan. Dia bangkit dan berlari mengejar bocah itu di sekeliling kolam, meninggalkan Dinda yang masih terbengong-bengong mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.“Iya, Bik.”Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan m
“Iya, Bu?”Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.“Kamu sudah masak?”“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”Kartika menghela napas sambil melihat jam di
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek