Adinda sedang membantu memotong sayuran ketika suara berisik terdengar dari ruang keluarga.
“Kak Dindaaaa!”
Hanya berselang beberapa detik Dinda merasakan kedua kakinya dipeluk erat oleh dua orang anak berseragam.
“Hai, Sayang,” balas Dinda riang. Dia meninggalkan kegiatannya dan menurut saat kedua bocah itu menariknya keluar dari dapur.
“Kak, tadi Tasya dapat nilai paling tinggi satu kelas,” kata anak perempuan berkuncir kuda. “Kalau Rasya nomor dua.”
“Tadi pensil Rasya patah, makanya harus diraut dulu. Jadinya Rasya belum sempet ngisi soal nomor terakhir. Kalau enggak pasti Rasya bisa ngalahin Tasya,” kata anak laki-laki yang dipanggil Rasya.
Anak perempuan itu, Tasya, mencibir tidak terima.
“Sudah, nomor satu sama nomor dua sama-sama hebat,” kata Dinda buru-buru menengahi, kalau tidak bisa berjam-jam mereka akan terus beradu mulut.
“Nanti bantuin Rasya bikin pe-er ya, Kak,” kata Rasya.
“Nanti bacain cerita lagi ya, Kak,” Tasya masih tak mau kalah.
Dinda hanya mengangguk mengiyakan semua permintaan mereka. Dia tak pernah bisa menolak permintaan sepasang anak kembar Sarah yang kini berusia lima tahun. Sejak Sarah mengandung lagi lima bulan yang lalu, Dinda seperti menjelma menjadi baby sitter mereka. Dari membangunkan, bersiap-siap sekolah, sarapan, membuat PR, hingga menidurkan menjadi pekerjaan tambahan Dinda. Lelah memang mengurusi dua bocah super aktif yang energinya selalu meluap-luap. Tetapi Dinda bahagia karena keduanya begitu menyayanginya seperti keluarga sendiri.
“Loh, kok Om Bima udah pulang?” teriak Tasya tiba-tiba ketika mereka melewati kamar Bima. Kebetulan pria itu baru saja membuka pintu kamarnya dengan rambut berantakan khas orang bangun tidur.
“Om Bima!” Rasya berteriak girang lalu melompat ke gendongan om kesayangannya. “Om bawa oleh-oleh nggak buat Rasya?”
“Tasya juga dibawain oleh-oleh kan, Om?” Tasya tak mau kalah dan ikut melompat-lompat minta digendong.
Bima dengan sigap menangkap kedua keponakannya meski wajahnya masih diliputi kantuk. “Kalian kok makin besar makin berisik, sih?” ucapnya pura-pura marah. “Om Bima kan masih ngantuk.”
“Kok Om Bima udah di rumah? Kata Oma, Om Bima pulangnya baru nanti malam.”
“Om tukeran tiket sama temen Om.” Bima menurunkan kedua keponakannya itu lalu berjongkok agar sejajar dengan mereka. “Oleh-olehnya nanti malam ya. Om masih capek, mau istirahat dulu.”
“Nggak mau..”
“Sekarang aja Om...”
“Mau oleh-oleh..”
“Tidurnya nanti aja Om...”
Bima meringis ketika dua bocah itu berteriak-teriak tanpa henti. Kopor yang berisi oleh-oleh masih ada di bawah, karena begitu sampai di rumah Bima langsung menuju ke kamarnya dengan satu tujuan, tidur.
“Sayang, Om Bima-nya masih capek, biar istirahat dulu. Kalian juga harus tidur siang seperti Om Bima. Oleh-olehnya buat nanti malam saja, ya,” Dinda berusaha membujuk anak kembar itu. “Nanti Kak Dinda bacain dua cerita, deh.”
“Yang bener, Kak?” seru Tasya.
“Iya dong, yang penting Tasya sama Rasya nurut apa kata Kak Dinda.”
“Hore..”
“Ayo, Kak...”
“Cepetan...”
Tasya dan Rasya dengan cepat beralih pada Dinda, menariknya menuju ke kamar mereka. Bima hanya bisa menghela napas lelah. Inilah yang membuatnya pulang diam-diam. Jika mengikuti jadwal keberangkatan tiketnya yang asli, sudah pasti Kartika dan pasukan kecilnya akan menyambutnya di bandara dengan spanduk selamat datang.
Selamat tinggal hidup tenang, batinnya saat matanya menatap Dinda yang dikelilingi si kembar sambil melompat-lompat dan menarik tangannya masuk ke kamar.
Benar saja. Belum sampai satu jam Bima memejamkan mata, pintu kamarnya kembali diketuk. Tanpa dipersilakan Kartika masuk dan menyuruh Bima bangun.
“Apaan sih, Ma?” erang Bima malas.
“Ditunggu Papa di bawah,” ucap Kartika. Sebelum keluar wanita itu berbalik dan mengancam Bima, “Awas, jangan tidur lagi!”
Dengan mata yang masih mengantuk, Bima keluar mengikuti Kartika ke ruang keluarga. Ayahnya, Iskandar, sudah duduk di sana menonton acara berita ekonomi di televisi. Begitu melihat putra kesayangannya itu, Iskandar mematikan televisi dan berdiri menyambut Bima.
“Hai, Pa,” kata Bima sambil memeluk ayahnya.
“Katamu naik pesawat malam, kok sekarang udah sampai?” tanya Iskandar.
“Pesawatnya dimajuin, Pa.”
“Mana ada yang begituan!” Kartika bergabung dengan keduanya di sofa.
Bima hanya meringis. “Gimana kabar Papa? Kalo kabar Mama udah jelas ketauan, keriputnya tambah banyak, tuh.”
“Bima!” omel Kartika tidak terima sementara suaminya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua orang manusia yang paling disayanginya itu bertengkar.
“Karena kamu sudah di sini, kamu bisa mulai bantuin Papa di kantor, Bim,” kata Iskandar serius. “Kamu bisa pakai perpustakaan Papa untuk ruang kerja kamu di rumah.”
“Nggak usah, Pa. Aku mau fokus ngurus kepindahan perusahaanku dulu. Lagipula aku juga nggak akan tinggal di sini lama-lama. Aku udah beli apartemen deket kantor,” jelas Bima.
"Maksud kamu apa mau tinggal di apartemen? Apa bedanya nanti sama kamu tinggal di luar negeri? Mama setengah mati bujuk kamu biar pulang ke sini, eh malah kamunya mau pindah ke apartemen. Apa enaknya tinggal sendiri? Kalo ada apa-apa siapa yang mau bantuin?" Kartika langsung mengomel.
"Justru karena itu, Ma. Di sini berisik, terlalu banyak orang," kilah Bima. Padahal sebenarnya dia tidak lagi ingin diganggu dengan omelan-omelan Kartika tentang pernikahan.
"Mamamu benar, Bim. Tinggallah dulu di sini untuk sementara. Kamu kan baru pulang, masa sudah mau pindah," Iskandar yang biasanya hanya bicara seperlunya ikut menimpali. "Nanti kalau mamamu sudah tidak kangen lagi, baru kamu pindah."
"Ih, Papa kok malah mendukung Bima pindah, sih?" protes Kartika. Tadinya dia sudah senang karena dibela suaminya. Tapi ternyata ia keliru.
"Bima kan laki-laki, Ma. Biar saja kalau memang dia mau tinggal sendiri. Yang penting nggak di luar negeri lagi. Mama kan bisa sewaktu-waktu main ke apartemen Bima kalau kangen."
Bima menatap ayahnya penuh terima kasih. Sejak dulu memang hanya ayahnya yang selalu mendukungnya. Ibunya lebih senang bersekutu dengan Sarah yang sama-sama cerewet. "Nah, bener itu kata Papa."
"Halah, bilang aja kamu mau bebas makanya pindah ke apartemen," cibir Sarah yang bergabung ke ruang keluarga. "Awas aja kalo ketahuan nginepin cewek!"
“Eh, mana boleh nginepin cewek!” protes Kartika. Wajahnya lalu berubah menjadi lebih lembut dan tersenyum. “Mama udah pilihin calon kamu. Namanya Chelsea.” Kartika menunjukkan foto seorang gadis cantik dari ponselnya. “Dia itu dulu satu SD sama kamu. Inget, nggak?”
Bima mendengus. Kepalanya makin pusing, selain karena tidurnya terganggu, juga karena ibunya terus-terusan berusaha membuatnya cepat menikah. Sungguh dia tidak mengerti jalan pikiran Kartika. Untuk apa menikah jika tanpa itupun Bima bisa mendapat apa yang ia mau dari wanita?
Saat itu Dinda masuk menyajikan lemon hangat dan kopi, meletakkan cangkir lemon hangat di depan Kartika dan sarah serta kopi di hadapan Bima dan Iskandar.
"Kenapa, sih, Mama suka banget nyuruh aku nikah? Udah punya cucu dua, masih kurang?" Bima mulai tidak bisa menahan rasa kesalnya. Dia mengambil cangkir kopi yang baru dihidangkan Dinda dan menyesapnya, tapi sedetik kemudian dia meludah. "Ini apaan, sih? Manis banget. Lo bikinin lagi yang baru! Jangan pake gula!"
Dengan gemetar Dinda meraih cangkir dari tangan Bima. "Maaf, Mas. Saya nggak tahu selera kopi Mas Bima, jadi saya samakan dengan punya Bapak."
"Kalau nggak tau tanya dulu makanya!"
"Bima!" tegur Iskandar. "Sejak kapan sikap kamu jadi arogan begini?"
"Pa!"
"Maaf, Pak Iskandar. Saya yang salah. Mungkin tadi saya kebanyakan naruh gula," kata Dinda cepat-cepat, sedikit membungkuk sambil berlalu ke dapur.
Sebenarnya Bima bukan orang pemarah seperti tadi. Urusan kepindahannya dari New York sungguh membuatnya sangat lelah dan stres. Dia harus memindahkan semua pekerjaannya juga, yang tidak gampang mengingat jarak yang terpisah begitu jauh. Belum lagi masalah perizinan dan administrasi lain yang harus dilengkapi. Kepalanya semakin penuh ketika Kartika menunjukkan foto yang diklaim menjadi calon istrinya. Ketidaktahuan Dinda yang sebenarnya tidak bersalah justru akhirnya menjadi pelampiasan Bima.
Belum juga sehari dia di sini, batin Dinda sedih. Belum ada dua puluh empat jam tetapi Bima sudah dua kali memarahinya.
“Kamu kenapa sedih begitu, Nduk?” tanya Bik Sinah yang sedang mencuci piring. “Kok bikin kopi sambil manyun begitu?”
“Mas Bima itu loh, Bik. Aku sudah dua kali kena semprot,” Dinda masih menekuk wajahnya. “Padahal Bu Tika, Pak Iskandar, sama Mbak Sarah tuh baik banget, tapi adiknya galak begitu.”
“Hus! Nggak boleh ngomong sembarangan begitu, Nduk,” nasihat Bik Sinah yang sudah seperti ibu Dinda sendiri. Bik Sinah sudah berusia lima puluh tahun dan pernah menikah tetapi tidak dikaruniai anak hingga suaminya meminta cerai. Saat Dinda bergabung di rumah keluarga Kartika, Bik Sinah menganggapnya seperti anak sendiri. “Kalau Bu Tika dengar gimana?”
Adinda mencibir, masih kesal dengan Bima yang baginya temperamental. “Bik Sinah aja deh yang nganter kopinya Mas Bima, biar aku yang nyuci piring.”
Bik Sinah hanya menggeleng-geleng kepala dengan sabar dan menuruti permintaan Dinda. Dia tahu betul kalau Dinda sebenarnya takut membuat kesalahan lagi dan dimarahi Bima.
Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”“Aahh!”Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”“Mau dibikinin apa, Mas?”Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri mengha
“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.“Iya, Bik.”Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan m
“Iya, Bu?”Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.“Kamu sudah masak?”“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”Kartika menghela napas sambil melihat jam di
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek