Reva segera mematikan televisi saat melihat raut wajah Dinda. Dia mendekati gadis itu dengan hati-hati. “Din, lo nggak apa-apa?”“Kalo gue resign aja menurut lo gimana, Rev?” ucap Dinda hampa.“Kalo lo beneran resign, mereka akan semakin yakin kalo lo yang salah.”“Tapi kalo gue nggak resign, gue bakal jadi bulan-bulanan mereka terus.”“Kenapa lo nggak ikut bikin konferensi pers aja, Din? Biar lo bisa jelasin ke orang-orang,” Reva memberikan saran meskipun agak ragu.Dinda menggeleng. “Ini bukan cuma masalah gue, Rev. Ada keluarga besar Mas Bima juga. Gue nggak bisa asal ngomong di depan media. Bisa dirujak gue sama Bu Tika kalo sampai salah ngomong,” memikirkannya saja membuat Dinda ngeri.“Ya berarti lo harus tahan sama omongan orang-orang. Lama-lama juga mereka cape sendiri.”Mungkin memang tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengatasi omongan orang. Dinda sudah tidak lagi membuka media sosial sehingga ia tidak perlu menanggapi apa yang orang katakan tentangnya di sana. Dia hanya
Beberapa tangan dengan memegang ponsel naik, mulai merekam. Diam-diam Dinda mengutuk penemuan canggih itu. Apapun yang akan terjadi di ruangan itu, bisa dipastikan semua orang di gedung itu sudah melihatnya di jam makan siang.“Maaf, Pak. Apa benar Pak Bima dan Chelsea putus karena Dinda?”Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak sanggup melihat konferensi pers tidak resmi itu. Jantungnya berdebar kencang menanti jawaban Bima.“Tidak benar.”Tangan Dinda turun dari wajahnya, memastikan kalau Bima benar-benar mengatakannya.Devi belum menyerah. “Tapi foto-foto yang beredar menampilkan Pak Bima dan Dinda bersama. Dan Chelsea bilang Pak Bima lebih memilih Dinda.”Bima menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia merasa konyol menjelaskan hubungan pribadinya kepada para pegawainya. Tapi dia tetap melakukannya. Untuk Dinda.“Hubungan saya dan Dinda sudah dimulai sejak lama, jauh sebelum saya bertemu dengan Chelsea lewat perjodohan. Dan kalaupun saya tidak mengenal Dinda, pertun
Bima mengangkat kedua alisnya saat Dinda menolak untuk diantar pulang. Mereka baru menyelesaikan pekerjaan di ruangan Bima saat hari menjelang malam. Hanya tinggal beberapa orang yang sedang lembur termasuk mereka.“Kenapa?”“Ada janji sama orang,” jawab Dinda.“Siapa? Temen kantor? Reva?”Dinda menggigit bibir bawahnya. Ragu. “Bukan.”Pria itu hanya terus menatap Dinda tajam menanti jawabannya.Setelah memikirkan lagi, Kartika tidak mengatakan harus merahasiakannya dari Bima. Jadi mungkin tidak apa-apa kalau dia mengatakan yang sebenarnya. “Bu Tika minta ketemu. Katanya ada yang mau dibicarakan.”Wajah Bima menjadi tegang. “Soal apa?”Dinda mengangkat bahu. “Nggak tahu. Bu Tika nggak bilang apa-apa tentang itu.”“Kamu nggak perlu datang kalau memang nggak mau,” kata Bima sungguh-sungguh.“Tapi aku udah bilang kalau aku setuju untuk datang.”“Kamu yakin? Mau aku temani?”Dinda menggeleng pelan. “Nggak perlu, Mas. Bu Tika ngajak ketemunya di rumah, kok. Jadi aku rasa nggak akan ada apa
Aldi mendorong tubuhnya dari mobil dan menghampiri Dinda. “Butuh tumpangan?”Dinda menggigit bibirnya menimbang-nimbang. Dia tidak tahu keberadaan Bima saat ini. Kalau pria itu sudah pulang ke apartemennya maka akan sangat merepotkan jika harus kembali untuk menjemputnya. Naik taksi online pun harus menunggu ponselnya terisi daya. Sedangkan taksi konvensional tidak melewati kawasan mewah itu, sehingga Dinda harus keluar dari lingkungan perumahan untuk mendapatkannya. Tetapi Dinda merasa tidak enak jika harus diantar pulang oleh Aldi.“Emm, gimana, ya,” Dinda memindahkan berat tubuhnya ke satu kaki.“Bareng saya aja, Din,” kata Aldi. Dia bisa membaca keraguan di wajah Dinda. “Tadi kebetulan waktu saya mau pulang, saya lihat kamu dan Bu Tika di halaman belakang. Saya masih merasa nggak enak karena terakhir kali kita ketemu saya malah tiba-tiba pergi. Biar saya antar kamu pulang sebagai permintaan maaf.”Kedua alis Dinda terangkat, lalu dia tertawa kecil. “Nggak perlu minta maaf, Di. Kam
Dinda tahu Aldi telah mengatakan sesuatu yang sangat sensitif bagi Bima. Pria itu maju dan mencengkeram kerah baju Aldi. Dinda buru-buru menahan kedua tangan Bima, tetapi cengkeraman pria itu sama sekali tidak terpengaruh.“Berani-beraninya lo bilang gitu!” desis Bima marah.“Memang begitu, kan, kenyataannya?” balas Aldi santai. Tidak ada rasa takut meskipun Bima mencengkeramnya. “Atau mau saya perjelas?”“Diam dan pergi dari sini!”Mata Aldi menyala melihat amarah Bima naik. “Apa Anda tahu seperti apa keadaan Dinda dulu? Bagaimana jika saya tidak bertemu dengannya siang itu? Bagaimana jika dia pingsan saat sendirian? Apa dia bisa berdiri di antara kita lagi seperti sekarang?”Bima menggertakkan giginya. Meski ia marah pada dirinya sendiri, menjadikan Aldi sebagai kambing hitam lebih masuk akal baginya. Aldi tidak punya hak untuk menyalahkannya. Dia bukan siapa-siapa. Hanya orang yang kebetulan menolong Dinda. Jika bukan dia yang menolong Dinda, orang lain yang akan melakukannya.“Dan
Sudah dua hari berlalu sejak Bima pergi dari apartemen Dinda malam itu. Dinda merasa Bima sengaja menghindarinya. Pria itu tidak menghubungi Dinda terlebih dulu dan hanya menjawab dengan singkat lewat pesan-pesannya. Tetapi Bima selalu mengirimkan seorang sopir untuk mengantar dan menjemput Dinda saat dia pergi kerja.Mungkin dia sedang banyak pekerjaan, Dinda mencoba menenangkan diri. Hanya saja sikap Bima saat pergi malam itu membuat hatinya tidak tenang. Ada yang aneh dengan Bima, tetapi dia tidak tahu apa pastinya. Jelas itu berhubungan dengan apa yang dikatakan Aldi. Namun Dinda sudah jauh-jauh hari memaafkannya. Dia sudah menutup luka itu dan menerima Bima kembali. Dinda tidak bisa memikirkan alasan di balik sikap Bima yang tiba-tiba berubah dan menjauh.Tangan Dinda naik untuk memijit pelipisnya. Sakit kepalanya datang lagi. Semalam dia tidak bisa tidur hingga dini hari. Kepalanya penuh dengan hal-hal yang tidak ingin ia pikirkan. Tetapi anehnya semakin dia berusaha untuk menga
Sabrina masih terlihat sama seperti dua tahun lalu. Pakaiannya masih menempel ketat di tubuhnya yang seksi. Wajahnya masih dipoles dengan riasan sempurna. Dan Dinda masih tetap tidak suka padanya.“Ngapain lo di sini?” tanya Sabrina saat melihat Dinda. Matanya meneliti Dinda dari atas ke bawah, memberikan penilaian pada penampilannya. Sabrina tersenyum tipis karena meskipun penampilan Dinda sudah berubah, dia merasa tetap lebih seksi dan cantik jika dibandingkan.Dinda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh karena keberadaan Sabrina. Dia berusaha mengingat pengakuan Bima yang mengatakan kalau mereka hanya berteman. Jadi dia tidak perlu curiga.Merasa diabaikan, Sabrina mendengus kesal pada Dinda. Dia lalu menyentuh lengan Bima. “Jangan lama-lama, ya.”Bima tidak memberikan respon apapun pada Sabrina hingga ia masuk kembali. “Kami nggak berdua. Ada yang lain juga.”Dinda akhirnya mengalihkan pandangannya dari lengan Bima yang tadi dipegang oleh Sabrina
“Kenapa?” sembur Dinda. “Kenapa baru sekarang? Apa yang salah?” Setelah semuanya, akan terasa sangat konyol jika Dinda menyerah. Tetapi Dinda tidak tahu di mana letak kesalahannya. Dia lalu teringat apa yang Kartika ucapkan padanya. “Apa karena aku bukan siapa-siapa?”“What?” Bima tersentak. Dia menatap Dinda yang balas menatapnya dengan mata yang hampir menangis. “Bukan karena kamu, Din. Aku yang salah,” bisik Bima.Dinda menggeleng. “Aku nggak ngerti.”Bima menghela napas panjang. “Aku pikir satu-satunya cara untuk menebus semua kesalahanku ke kamu adalah dengan kita kembali bersama dan aku akan membuat kamu bahagia. Tetapi ucapan Aldi bikin aku mikir lagi. Apa yang aku lakukan ke kamu dulu benar-benar menjijikan. Seharusnya kamu nggak perlu memaafkan aku. Bahkan seharusnya kamu melaporkan aku ke polisi. Seharusnya kamu nggak nerima aku lagi.”Kepala Bima menunduk semaki
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek