"Hei ...." Radit membuyarkan lamunanku."Uang itu tidak seberapa, kamu bisa mendapatkan lebih," terang Radit."Bukan masalah uangnya Dit, tapi masalah hati. Selama 8 tahun aku yang menemani, melayani, mengurus segala keperluarnya, ikut menanggung kerugian di saat ia gagal. Tapi apa yang kudapat Dit, Mas Rian mengkhianatiku, diam-diam dia menyimpan uang buat Riana dan Zain. Apa menurutmu itu adil?" keluhku geram."Ok, aku paham masalah itu, tapi jangan sampai merusak pikiran dan kesehatanmu," saran Radit lagi."Mungkin itu sebagai bentuk tanggung jawab Rian pada Zain selama 8 tahun ini Hal," tambahnya.Aku berbalik dan menatap wajahnya, "Sebenarnya kamu bela siapa sih? apa begitu pikiran semua laki-laki? sok mau ngasih nafkah banyak orang, merasa uangnya dihasilkan sediri jadi seenaknya. Dalam hukum pernikahan uang suami itu uang istri Dit, sepeser apapun uang itu dibelanjakan harusnya sepengetahun istri, bukan ngumpet-ngumpet sok biayain orang, apalagi itu milyaran," pungkasku semakin
"Aku harus pamit, Mas. Bian ada jadwal home schooling," ucapku memotong percakapannya dengan Bian."Belajar yang rajin ya sayang," pesannya, menatap bola mata Bian yang terlihat masih canggung dengan sikap Papahnya yang tiba-tiba berubah."Nanti Papah sering berkunjung buat nemenin Bian bermain," tambahnya, lalu mengecup tangan mungil itu.Bian hanya diam dan mengulas senyum sebelum pergi. Bi asih mendorong kursi rodanya keluar."Aku pun pamit, Mas," ucapku lagi hendak pergi."Hati-hati di jalan Hal, jaga anak-anak kita," pesannya lagi. Aku hanya tersenyum tipis sebelum berbalik, melirik Riana yang masih berdiri kokoh di sana meskipun seperti tak dianggap.Aku menutup pintu perlahan, sedikit ragu untuk melangkah. Aku sungguh penasaran ada apa dengan Mas Rian, apa ini hanya sebuah sandiwara?"Ada apa denganmu, Mas?" Samar kudengar suara Riana mulai berbicara.Tapi, sayangnya tidak kudengar jawaban dari Mas Rian. Apa mungkin terlalu jauh? dinding ruangan Mas Rian dibatasi oleh setengah
"Mau kemana?" tanya Radit nongol di jendela mobil."Mau ke cafe," jawabku jutek, memutar kunci kemudi."Nggak mau balik lagi ke kantor Bu Wida, sekalian aku kenalin?" ujarnya.Aku melirik dengan mata malas. Radit malah tersenyum mengejek dengan mata berkedip menggoda. Menyebalkan."Titip salam aja. Bilangan sama Bu Wida kalau gantiin baju bujang lapuk kaya gini jangan ditempat umum, bikin senewen yang lihat," balasku."Ah, kamu aja yang otaknya mesum," tukasnya tak mau kalah."Apa?" Aku melirik sinis, menaikkan kaca jendela."Aw ... aw ... aw ... Halwa nanti aku kejepit," pekiknya setengah berteriak."Rasain," ujarku sembari menginjak gas."Jangan lupa makan siang," teriaknya melambaikan tangan.Mataku menyipit, mengintip melalui kaya spion. Bibir bergerak perlahan menyunggikan senyum.Ada-ada saja ulahnya itu.Sampai di depan cafe terlihat banyak orang berkerumun, aku segera turun untuk melihat situasi.Rini berlari tergesa mencari bantuan."Rini ada apa?" Aku mencegatnya."Gas kompo
"Selamat malam Bu Halwa," sapa seorang suster mendorong troli makanan."Malam, Sus.""Gimana keadaannya sekarang?""Sudah lebih baik, Suster," jawabku lesu."Makan yang banyak ya," ucapnya sembari memeriksa layar detak jantung janinku."Detak jantungnya sudah mulai normal lagi," ujarnya."Alhamdulillah kalau begitu Sus." Aku merasa lega, bayiku sudah baik-baik saja."Kamu akan jadi anak yang kuat kaya kakak Bian ya sayang." Elusku pada perut yang mulai terasa bergetar."Ih, perutmu bergetar, Hal," pekik Radit antusias.Aku hanya tersenyum, lalu kembali mengelusnya. Radit mendekat, terlihat binar matanya bergerak beraturan, memperhatikan getaran perutku."Kamu nanti akan merasakan bahagianya punya anak sendiri, Dit," ucapku pelan.Dia diam, matanya terangkat menatapku lekat."Kamu tidak mau aku jadi ayah dari anak itu dan Bian?" Perkataannya membuat jantungku berlonjakan.Segera kutepis rasa itu, lalu menggeleng."Kamu bisa dapat perempuan yang lebih baik segalanya, Dit. Bukan wanita
"Yeay ... hari ini Mamah pulang," Bian bersorak gembira di depan pintu. Di dorong masuk oleh Radit.Sebenarnya tubuhku sudah pulih sejak hari ke dua di Rumah Sakit, tapi untuk tetap bisa mengontrol kesehatan janin yang ada di dalam kandungan. Radit bersikukuh memintaku untuk berdiam di ruangan pasien ini."Bagaimana kalau sebelum pulang kita mampir dulu ke Mall, bahan makanan di rumah sudah menipis. Kamu kuat kan, Hal?" tanya Radit."Aku bilang dari tiga hari yang lalu, aku udah sehat Radit. Kamunya aja yang bersikukuh aku harus tinggal di kamar ini," ujarku sembari memasukkan barang terakhir."Nggak ada salahnya jaga-jaga, di sini kamu lebih terperhatikan suster dari pada di rumah," tukasnya. Selalu ada saja argumennya yang membuatku hanya bisa diam."Yeay! Bian bisa beli sesuatu di sana Pah?" tanya anak kecil itu.Apa? Apa aku tidak salah dengar."Sayang, kamu manggil Om Radit apa?" tanyaku memastikan."Papah Mah, Om Radit bilang, sekarang Bian bisa memanggilnya dengan sebutan Papah
[Selamat siang Bu Halwa?] Aku mengangkat panggilan dari Bu Wida.[Iya Bu siang,] jawabku dengan suara bergetar, kejadian tempo hari di kantornya membuatku canggung.[Pihak dari Pak Rian meminta bertemu di Pengadilan agama Bu,] paparnya.[Untuk apa Bu? bukannya sidang sudah diputuskan. Perceraian kami sudah sah bukan? hanya tinggal menandatangani berkas saja?] tanyaku merasa aneh.[Iya Bu, betul. Dari pihak Pak Rian ingin berbicara baik-baik sebelum semua benar-benar selesai. Bagaimana Bu?][Ya, baiklah,] jawabku terpaksa.[Saya tunggu satu jam lagi di Pengadilan agama ya Bu.][Iya baik.][Terimakasih.]Ada apa lagi dengan laki-laki itu? bukankah kami sudah sering bertemu sebelumnya. Malas sekali.Niat awal siang ini mau memeriksa renovasi cafe, tapi apa boleh buat aku harus pergi ke pengadilan, ya sudahlah agar semua cepat selesai. Rasanya sudah tak ingin berurusan dengan Mas Rian dan Riana lagi. Aku sungguh tidak paham kemana arah pikiran laki-laki itu sekarang, apakah begitu cintan
Aku menghirup udara segar di belakang rumah Radit, hamparan bunga yang luas dan indah, wewangian alami yang ditimbulkannya, mengundang banyak kupu-kupu yang hinggap. Nyaman, tenang, membahagiakan dan memanjakan mata."Kemarilah, Hal." Tangan Radit melambai jarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku menuruni tangga yang bersisian dengan kolam bunga teratai yang subur dan indah.Radit menghampiri dan memintaku untuk menutup mata.Aku menggeleng, "Nggak ah, nanti kamu ngerjain aku," tolakku bertahan.Namun, telapak tangan Radit malah menutup kedua mataku, sedang tangan yang lainnya menuntun kaki ini untuk melangkah."Aku nggak mau dikerjain," ujarku masih ngeyel. Kebiasaan, saat kuliah dulu dia sangat suka membuatku cemberut karena ulahnya. Meski begitu, perhatiannya tak pernah berubah sampai kini.Tangan Radit perlahan bergeser, cahaya mulai menyelusup tertangkap mata saat pelan kubuka kelopaknya.Hamparan bunga Edelwies bermekaran indah di hadapanku saat ini. Mataku terbelalak den
Hampir seminggu, berita di televisi hanya berkutat tentang gedung ambruk yang dibangun Mas Rian. Banyak opsi bermunculan, banyak pendapat ahli yang memperkirakan penyebab kejadian, bahkan demo keluarga korban tak henti menjadi sorotan. Tercatat sampai hari ini, 5 korban jiwa telah melayang, 15 orang kritis, 30 orang mendapat luka ringan dan sudah bisa dipulangkan dari Rumah Sakit.Bian menunduk lesu saat berita itu kerap terdengar olehnya, beberapa hari ini nafsu makannya pun ikut berkurang."Sayang, Bian kenapa?" Aku memeluk tubuhnya dari belakang."Mah ...," lirihnya melirik wajahku."Apa sayang, bicaralah.""Boleh nggak kalau Bian ingin ketemu Papah Rian?" tanyanya ragu.Bola mataku menatap lekat, melihat kejernihan matanya yang tulus.Apakah Bian lupa sakitnya diabaikan Papahnya?Apakah dia lupa saat laki-laki itu lebih memilih Zain daripada dirinya?"Bian yakin?" tanyaku memastikan.Bian mengangguk pasti."Baiklah, mari kita berangkat sekarang," ajakku.Wajah Bian terlihat baha
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh
Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben
Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui
Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn