"Dakwaan terhadap Rian berat, Hal. Dia dituduh telah memanipulasi dana hingga menggunakan bahan-bahan yang berkualitas buruk, menyebabkan bangunan tinggi itu tak kuat menyanggah," papar Radit.Kami sedang sarapan pagi ini, pemberitaan tentang Mas Rian semakin santer dibicarakan, ia benar-benar tersudut."Aku tidak yakin. Bukan satu kali Mas Rian mengerjakan proyek, ia adalah salah pekerja yang berdedikasi tinggi. Dia tidak bodoh, hal ini pasti terhitungkan kalaupun ia benar-benar melakukan itu," sanggahku."Benar, aku sudah mengenalnya dalam dunia kerja, Rian bukan orang yang seperti itu, terlepas dari masalah pribadinya.""Aku khawatir sama Bian, Dit. Dia sangat murung tiap kali menyaksikan Papahnya di televisi.Apa televisi aku cabut dari belakang ya, biar dia kira rusak?"Aku masih berpikir untuk menenangkan anak itu, hatinya benar-benar lembut. Pagi ini pun ia bahkan tidak mau ikut sarapan."Mamah ...."Aku mendengar Bian menangis di ruangan tv. Aku dan Radit menoleh."Mamah ....
Tepakan kaki kembali terdengar, pria itu berjalan mendekat, tumbuhku semakin beringsut, kaki melipat kebalakang, aku benar-benar ketakutan. Dia duduk di depan cermin rias, perlahan menuangkan alat kecantikan pada kapas, menggosokannya pada wajah.Setiap wajah yang terusap berubah warna, dia masih diam menatap lekat wajahnya di cermin. Hatiku berdegup lebih kencang. Meski jarang bertemu dan hanya terlihat dari pinggir, aku bisa memastikan siapa pemilik wajah itu."Hai ...," sapanya ramah. Namun, bagiku itu seperti sapaan kematian."Heum ... heum ....." Aku berontak untuk membuka ikatan."Sssstt!" Bastian meletakkan telujuk dibibirnya. Menatap, lalu tertawa.Ia meninggalkanku begitu saja yang masih mencoba berontak.Bastian mengambil sebuah remot tv, ia menyalakan sebuah dvd, lalu duduk di ranjang, tepatnya di bawah kakiku."Papah selamat ulang tahun ...." Teriak riang seorang anak, seorang anak laki-laki seusia Bian. Berlari-lari menghampirinya."Makasih sayang."Bastian menggendong
Riana masih bergeming, matanya seperti buta dan tak mampu melihat, tubuhnya nampak kaku, sekilas ia bahkan terlihat tidak bernapas. Hanya diam seperti patung, mati rasa dalam keadaan berdiri."Aw!"Zain membungkuk, memegangi perutnya."Ibu, perut Zain sakit," rintihnya memelas.Brank! makanan kaleng yang dipegangnya terjatuh, tubuhnya terus membungkuk menahan sakit.Aku gamang, kaki bergetar, lemas dan tak mampu lagi berdiri, terduduk menyaksikan kesakitannya."Mana yang sakit Zain?"Radit yang kulihat sudah melihat semuanya dari arah lain segera menghampiri Zain."Aw!" Zain memekik, tubuhnya lemas dan terjatuh ke tanah.Aku beringsut pada Bian.Radit memeriksa keadaan Zain, perutnya mengeras seperti kram."Apa yang terjadi pada Zain, Bu?" tanya Bian dengan suata bergetar. Aku tak mampu berkata hanya mampu memeluknya dalam rasa iba."Aku akan membawa Zain ke rumah sakit," ucap Radit cepat. Membopong tubuh Zain yang terus mengeliat kesakitan."Mari ikut saya, Bu."Petugas polisi membo
Ponsel Radit tidak aktif, sebelum dia pergi ke kantor, aku ingin meminta bantuannya. Jadi harus berangkat pagi-pagi."Mamah mau kemana?" Bian yang baru mengucek matanya setelah bangun tidur, menatap heran karena aku sudah rapi pagi sekali."Mamah mau ke kantor polisi sayang, tapi mau minta bantuan Om Radit. Tunggu sebentar ya," jawabku bergegas pergi menuju apartemen sebelah.Berkali-kali menekan bel, Radit masih tidak kunjung keluar, coba-coba kudorong pintunya ternyata tidak terkunci."Dit ...," panggilku perlahan. Sebenarnya ini pertama kalinya aku masuk apartemen Radit.Aku celingukan, isi apartemennya lengang, hanya ada beberapa forniture di dalamnya. Sedikit aneh jika dia sudah tinggal lama di apartemen ini, kecuali baru pindahan."Dit ...," panggilku lagi.Masih belum ada sahutan dari pria itu. Kemana dia?Aku masih mencarinya ke beberapa tempat, termasuk ke dapur tempatnya membuat makanan yang enak setiap pagi. Benar saja, di bagian apartemen ini hanya peralatan masaknya yang
Dear diary ...Kututup kisahku di masa laluJangan ingatkan ia jika tak perluAku akan menapaki hidupku yang baruMembuka lembaran baru kertasmu.Aku tahu tak bisa hidup di kerajaan Cinderalla yang bahagia selamanya.Ini hidup bukan hanya dongeng.Di kertasmu yang baru akan ada banyak coretan warna warni perjalanan hidupku.Tapi aku mohon, jangan jadikan aku wanita yang terbuang, tersisihkan menjadi serpihan.Tuliskan aku sebagai wanita yang layak dicintai, menjadi pendamping yang berharga hingga maut memisahkan kami.Tuliskan aku sebagai ibu yang bisa menjadi panutan untuk anak-anakku.Menyayangi mereka dengan cara benar, bukan hanya menjadikan mereka sebagai alasan keegoisan._________"Mamah ...."Anak lelaki itu duduk diantara cahaya pagi yang menerobos masuk membawa kehangatan dalam keluarga kecil kami."Iya sayang, kemarilah."Kututup diary, menyimpannya sementara hingga mendapatkan kembali kisah yang layak dibagi.Wajah sendu itu sepertinya sedang mengkhawatirkan sesuatu."Ada
Lelaki berbola mata coklat dan alis rapi itu sudah duduk manis menghadap layar komputer saat dokter mulai memeriksa."Usainya sudah 20 minggu ya, bu?" ucap dokter saat dinginnya jel mulai meresap dalam kulit perut."Iya dokter, hitungan saya pun sama 20 minggu.""Ok, saya lihat lagi."Alat yang disebut transduser itu bergerak perlahan menekan bagian perut."Aw!" Aku sedikit memekik."Ngilu ya?" tanya dokternya datar."Iya dokter.""Belah ya ...," ujarnya lagi, sibuk mengetik di keyboard."Maksudnya dok?" tanya Radit."Ya belah, berarti sama dengan ibunya," jelas dokter tanpa menoleh pada Radit yang aku yakin dia masih bingung dengan istilah itu."Apanya yang belah dok?" tanya Radit lagi. Aku tertawa kecil, sudah kuduga dia bingung dengan istilah itu."Nah, itu yang suka Bapak tengok tiap malam kan belah?" ujar dokter, menoleh sedikit pada Radit dan kembali fokus ke layar. Kulirik Radit, bayangnya memperlihatkan ia sedang menggaruk bagian kepala, nampak sekali ia ingin bertanya lagi
Suara langkah kaki terdengar mendekat, aku segera berbalik melihat Rini yang keluar dari kamar.Memasang senyum yang dipaksakan, "Mau kemana Rin?""Ke toilet," jawabnya lemah.Aku segera menghampiri dan memapahnya ke kamar mandi yang jaraknya hanya bersisian dengan kamar tidur.Radit terlihat bingung dan hanya duduk di kursi.Setelah Rini masuk, aku kembali ke ruangan tamu, Radit menatapku, hanya saja aku masih menghindarinya. Tiba-tiba aku ingat pada sesuatu yang disembunyikan Rini sebelumnya. Aku bergegas menuju kamar, membuka laci yang tadi kulihat.Kulihat beberapa figura foto menelungkup di sana. Hati tersentak saat melihatnya, itu adalah kumpulan foto-foto Radit saat masih kuliah dulu, berukuran kecil yang dijadikan satu.Apakah Rini mencintai Radit sejak dulu? bahkan saat kami masih dekat saat itu?Rini yang tidak menampakkannya atau aku yang kurang peka. Sedangkan kemana pun kami selalu bersama.Mataku kembali terfokus pada sebuah buku diary yang terbuka lengkap dengan pembat
"Neng Halwa," panggil Bi Asih dibalik pintu."Iya Bi, buka aja nggak dikunci kok."Aku sedang merebahkan badan setelah menjemput Bian dari sekolah, entah kenapa punggung terasa sakit, mungkin karena kandunganku semakin besar, dan hari ini belum sempat istirahat.Kulihat perlahan pintu terdorong ke dalam, Bi Asih masuk dan sedikit berbisik."Neng, ada Bapak.""Bapak?""Iya neng, Pak Gunawan, ayahnya Pak Rian.""Oh, sungguh?""Iya Neng."Aku segera bangun dan bersiap-siap memakai baju yang pantas dan sedikit riasan."Kakek datang sendiri?" tanya Bian.Anak itu ternyata sudah menyambut kakeknya lebih dulu."Iya sayang, kakek datang sendiri. Kebetulan nenek lagi kurang sehat," jawab ayah.Aku menghampiri dan mencium punggung tangannya.Bi Asih datang membawa minum dan dan beberapa cemilan."Apakah kakek datang untuk bertemu Bian?" tanya Bian lagi.Ayah memandang Bian dan mencium keningnya, lalu menyimpannya dalam pelukan."Untuk siapa lagi Kakek datang, kalau bukan untuk Bian," jawab ayah
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh
Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben
Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui
Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn