Arga pov
***Aku berada di sebuah kafe kecil di dekat sebuah hotel. Menikmati secangkir kopi sembari melihat-lihat barangkali ada berita menarik yang bisa ku ambil. Namun alih-alih mencari sebuah ketenangan dan berita secara bersamaan. Aku mendapati seorang wanita dan pria sepertinya sedang berdebat di depan hotel.Tadinya aku ingin mengabaikan namun setelah ku perhatikan dari kejauhan. Aku melihat wanita yang cukup familiar. Dia... Ratih?Sedang apa wanita itu? Apa lelaki itu suaminya? Lantas siapa wanita disebelahnya?Mungkinkah...?Aku segera beranjak. Aku pikir bisa melerai mereka. Sepertinya perdebatan itu semakin sengit.Dari kejauhan aku bisa mendengar suara Ratih yang cukup keras."Biarin aku kasih tau sama Ibuk kamu yang selalu membanggakan kamu, Mas! Biar dia tahu seberapa brengseknya kamu!!""Jangan Ratih!""Biar kamu bisa nikahin Lonte ini," ucapnya menunjuk wanita disebelah lelaki itu. Dan yang membuat darahku tiba-tiba mendidih. Dia mengangkat tangannya hendak dia layangkan di arah Ratih. Sesuai prediksiku, dengan cepat tangan itu menampar wajah Ratih demi membela si perempuan yang di katakan Ratih sebagai Lonte.PLAKKKRatih nyaris tersungkur di tanah akibat kerasnya tamparan itu. Namun jarakku yang sudah sangat dekat langsung menangkapnya. Tubuh Ratih masuk ke dalam rengkuhanku."Anjing! Bisa-bisanya lo kasar sama perempuan sampe kayak gini. Lo banci atau apa, hah?!" Aku melampiaskan kekesalanku. Aku tidak tahu mengapa sesakit ini melihat Ratih di aniaya. Mungkin... Karena rasa kemanusiaan."Siapa kamu?! Jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!""Gak peduli gua siapa! Lo gak pantes memperlakukan perempuan seperti ini. Dia bukan hewan."BughAku melayangkan sebuah pukulan di wajahnya. Hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tubuhnya yang kurus dan tidak ada tampan-tampannya sama sekali. Entah apa yang membuat Ratih mau menikah dengannya."Sialan! beraninya lo.""Kenapa emang?! Lawan lo bukan perempuan. Kalo mau adu kekuatan sama orang yang setara sama lo, anjing!" Aku lagi-lagi mengumpat. Saat tanganku hendak memberikan pukulan telak, Ratih sudah menyeretku.Menarik tanganku agar menjauh darinya."Sudah. Mending kamu pergi dari sini," kata Ratih."Enggak. Kamu bisa dalam bahaya kalo aku tinggalin sendirian, Tih.""Oh. Sekarang aku ngerti. Ternyata kamu selicik ini, ya? Mencari-cari kesalahan suami kamu supaya bisa bersama cowok gila ini. Cih, dasar perempuan licik!""Maksud kamu apa, hah? Mencari pembenaran dan menuduh orang sembarangan. Kamu pikir bisa lolos dari kesalahan kamu?! Enggak, Mas. Aku tetap akan menuntut kamu."Kali ini Ratih benar-benar membawaku menjauh. Aku mengikuti langkahnya, namun sesekali menoleh kearah bajingan itu dengan menatapnya tajam.Kemudian beralih melihat tanganku yang setengah diseret nya agar menjauh.Setelah langkah kami sudah cukup jauh. Barulah kami berhenti di sebuah kedai kopi kecil. Disana Ratih langsung menghempaskan tanganku."Bibir kamu berdarah," ucapku saat menatap wajahnya yang cantik kini harus ternoda dengan lebam disudut bibirnya."Nggak papa. Nanti juga ilang sendiri."Aku terhenyak mendengarnya. Wanita ini.... Sejak awal aku sudah menyadari ada yang tidak beres. Aku menatapnya dalam diam. Sementara dia... Entahlah. Aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu."Apa suami kamu sering melakukan hal seperti ini?" pertanyaanku akhirnya memecah keheningan diantara kami."Ini?" ucapnya menunjuk sudut bibirnya. Aku mengangguk."Baru kali ini. Saat dia kepergok sedang selingkuh sama wanita tadi." Aku melihat senyuman pahit dari wajahnya."Terus? Mau ngajuin cerai?"Dia mengangguk pelan. Meski begitu aku tahu dia sudah yakin dengan keputusannya. Lagi pula untuk apa mempertahankan lelaki seperti itu. Sudah jelek rupa, ahklak. Aku rasa isi dompetnya pun tak kalah jelek. Buktinya dia hanya memesan hotel kelas rendah tadi."Kalo mau, aku bisa bantuin kamu. Nyari pengacara biar masalahnya cepet kelar.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Untuk yang tadi... Makasih. Aku senang kamu mewakili perasaanku dengan memukulnya tadi."Aku tersenyum tipis. Cukup aneh mendengarnya tapi wajar bagiku. Seorang wanita jika sudah disakiti. Maka dia bisa lebih berbahaya dari sebelumnya."Aku harus pulang sekarang," ucapnya beranjak dari duduknya."Biar aku anter.""Nggak usah.""Aku tidak sedang meminta ijin. Dalam keadaan seperti ini. Kamu gak bisa pulang sendirian," ucapku yang membuatnya percaya. Padahal aku pikir, itu hanya alibi agar aku bisa memiliki waktu lebih lama dengannya. Ah... Apa aku sudah tidak waras?Aku menyalakan mesin motor. Ratih naik keatas motor dengan bertumpu pada bahuku."Pegangan Tih.""Ini udah." Aku berdecak. Dia memang pegangan tapi bukan pada pinggang melainkan bahu. Namun untuk menjelaskan rasanya tidak bisa. Aku juga tidak ingin dia berpikir bahwa aku sedang mencari kesempatan disaat seperti ini.Aku melajukan motor dengan kecepatan seperti biasa. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba saja rintik hujan mulai membasahi bumi. Belum deras, namun cukup menimbulkan hawa dingin diantara kami."Mau neduh dulu, nggak?" tanyaku sedikit berteriak.Aku merasakan Ratih memajukan wajahnya kedekat telingaku. Aku tahu terhalang helm namun rasanya... ada debaran yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya."Nggak usah. Cuma rintik doang.""Oke."Sialnya sesuai prediksiku. Rintik yang tadinya hanya memercik kini berubah deras dan mengguyur tubuh kami tanpa ampun. Tanpa meminta persetujuan darinya, aku langsung menepi dibawah sebuah atap ruko yang sedang tutup."Kita berenti dulu."Ratih tak menjawab ucapanku. Dia segera turun dan membenahi rambutnya yang sempat acakan dan basah. Ada tetesan air mengalir dari rambut ke wajahnya yang tanpa polesan make up. Bibirnya yang lembab dan sedikit kemerahan bagai bunga yang baru saja mekar. Aku terpaku pada wajahnya. Aku pikir... Dia sexy.Suasana sekitar begitu hening. Aku pikir karena wilayah ini cukup sepi. Rintik air yang turun dari langit lalu membanjiri beberapa sisi tempat ini.Keadaanya yang setengah basah membuat lekuk tubuh wanita ini terlihat cukup jelas. Apalagi dia tidak mengenakan kaos dalam hingga warna merah bra yang dia kenakan tampak begitu lekat membingkai dada.Semilir hawa dingin menciptakan desir aneh didalam dada. Membawa debar yang cukup familiar dalam ingatan. Tatapanku hanya tertuju padanya. Dan aku... Menelan ludah.Aku segera tersadar. Mengusap wajahku demi menjauhkan segala macam pikiran kotor yang entah mengapa merayap tanpa permisi. Sial!Mungkin lebih baik, aku tidak menatap wajah itu. Bahkan tatapannya saja mampu melumpuhkan. Seperti tersihir oleh sesuatu didalam dirinya yang rapuh."Dingin banget." Aku menoleh saat mendengarnya bergumam. Ratih tidak sedang bicara padaku. Dia memeluk dirinya sendiri dan sesekali menggosok tangannya.Entah naluri macam apa ini, namun aku tanpa sadar meraih tangannya. Sesekali meniupnya."Tih....?" Aku memanggilnya lirih. Pertahananku nyaris runtuh saat ku tatapan wajah sendu itu.Aku melepas jaketku. Ingin memasangkan padanya namun dia menolak. "Nggak usah. Kamu yang nyetir didepan pasti gak kalah dingin.""Aku udah biasa. Kamu aja yang pakek.""Enggak!""Pakek ya... ""Enggak ish!"Aku diam sejenak. Wanita ini memang keras kepala. "Yaudah aku yang pakek.""Iya," sautnya tanpa menoleh kearahku."Tih.... ""Ya.""Aku peluk ya?""Iya... Eh?" Saat Ratih menoleh, aku langsung mendekapnya.Debaran yang cukup familiar terasa hanya beberapa detik. Saat perasaan nyaman mulai menyerang, tiba-tiba saja dorongan keras membuat tubuhku terhuyung ke belakang dan menabrak sebuah tembok pembatas. Bugh"Aw...! Sakit, Tih." "Salah sendiri, main peluk-peluk aja!" Ratih mundur beberapa langkah. Mencoba memberi jarak antara kami. Wajahnya terlihat kesal. "Tapikan aku udah minta ijin. Kamu bilang, iya." Dia menoleh dengan tatapan tajam melumpuhkan. "Aku nggak sengaja bilang gitu. Lagi pula... Aku cukup waras untuk itu. Aku punya suami. Dan wanita yang bermoral tidak akan melakukan tindakan diluar batas. Apalagi sama lelaki lain yang baru saja dikenal. Aku cukup tahu tentang dosa meski aku ini pendosa." "Jangan bilang kayak gitu, Tih. Aku gak ada maksud apa-apa. Kamu kedinginan, ya aku cuma mau bantu ngagetin." "Apapun alasan kamu, hal seperti itu tidak dibenarkan, Arga." "Kamu bilang mau cerai?" "Iya. Tapi sekarang aku masih sah sebagai istrinya. Udahlah! Mending kita lanjutin p
"Jangan lancang kamu, Ratih! seharusnya kamu introspeksi diri. Apa yang kurang dari kamu hingga suamimu berpaling ke perempuan lain," ucap seorang wanita yang memiliki anak perempuan. Aku tidak terkejut. Hanya saja heran. Bisa-bisanya mertuaku mengatakan hal seperti itu. Bukankah itu lucu... Aku menatap mertuaku dengan senyuman sinis. "Ibu terlahir dari rahim perempuan. Ibu juga memiliki anak perempuan. Coba tukar posisi... Bagaimana jika suami Hana selingkuh. Atau menikah lagi. Apa ibu juga akan menyalahkan Hana? Enggak, kan. Bukankah ini lucu? Saat seorang perempuan menyakiti hati sesama perempuan. Bahkan sesama seorang ibu. Dan memiliki anak perempuan. Dengan memojokkan penyebab perselingkuhan adalah akibat dari kesalahannya sendiri." Ibu mertuaku bungkam. Namun aku tahu bahwa mulutnya tidak sabar untuk mengeluarkan cercaan. "Saat poligami diawali dengan perselingkuhan lalu zina. Itu artinya wanita yang di nikahi suamiku bukanlah wanita baik-baik. Hukum agama kita wajib menjau
Setelah menyerahkan beberapa dokumen untuk mendapatkan surat cerai, kami berteduh di kedai kopi kecil yang ada di pinggir jalan. Bukan sebab aku tak mampu membawa Ratih ke tempat makan lebih mewah, hanya saja wanita ini yang memaksa untuk mampir ke kedai kecil seperti ini. Hari ini cuaca begitu panas. Namun ada hal lain yang lebih membakar. Wanita yang ada di hadapanku ini. Aku memesan segelas kopi. Sementara Ratih.... Tetesan keringat mengalir hingga ke ceruk lehernya. Kulit wajah yang semula putih berubah kemerahan karena terik matahari. Wanita itu mengambil sebotol air mineral dan meneguknya sampai tandas. Bagaimana cara air itu melewati tenggorokannya, bagaimana deru nafasnya naik turun karena rasa lelah di tambah dahaga. Dan bagaimana keringat itu membuat tubuhnya sedikit basah. Itu... Membuatku menelan ludah. Dalam keadaan setengah basah seperti itu. Entah mengapa debar familiar kembali muncul hingga menimbulkan sisi liar dalam pikiran. Seksi"Kamu ngeliatin gitu, kenapa
"NAH... ITU DIA! PEREMPUAN GAK TAHU MALU! ITU PASTI SELINGKUHANNYA...!" What the hell... Aku masih berdiri di ambang pintu. Beberapa pria menunjukkan wajah garang. Sementara Ratih terlihat geram. Entah apa yang terjadi. Aku melangkah mendekati mereka. Ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi. Namun belum sempat aku mengeluarkan suara, sebuah tinju melayang ke pelipis hingga membuatku terdorong kebelakang. Shit! Jelas aku belum siap menerima pukulan secepat ini. "Dasar lacur! Jadi ini kelakuan kamu di belakangku, hah!" teriak seorang pria yang aku ingat sebagai suami Ratih. Ah tidak, mantan suami. Kulihat wajah geram Ratih. Wanita itu maju dan mengangkat wajahnya. "Heh Prasetyo! Urusan kamu sama aku apa, hah! Mau aku ngapain aja dibelakang kamu, juga bukan urusan kamu lagi. Kamu tuh gak tahu malu, atau apa? Bikin rusuh di tempat orang pakek bawak rombongan segala. Malu-maluin." "Jelas, ini menjadi urusanku karena kamu masih istriku! Seharusnya kamu yang malu. Tidur sama laki
Aurin? Ya. Wanita itu Aurin. Wajahnya nampak sumringah saat melihat kedatanganku. Dia berdiri dan segera menghampiri. "Ga? Dari mana aja? Kamu nggak keliatan beberapa hari ini. Aku pikir sakit." "Aku sehat kok. Cuma lagi ada urusan aja," ucapku setelah melepas helm. Aurin nampak tersenyum tipis. Keningku berkerut menatap wajahnya yang nampak kecewa. "Oh.. Pantes. Kemarin aku tungguin gak dateng-dateng. Lain kali kalau ada urusan, kabarin dulu ya. Biar aku nggak nungguin sampe kemaleman." Apa? Astaga... Aku lupa, kalau kemarin ada janji sama Aurin. Jadi gak enak sama nih cewek. Apalagi liat senyuman pahitnya. "Duh... Sorry ya, Rin." Aku berucap dengan hati tak enak. "Iya nggak papa." "Besok aku temenin sampai selesai deh. Seminarnya masih ada kan?" "Masih." "Yaudah. Besok aku jemput." Kulihat gadis itu tersenyum. Tidak sekaku tadi. Yah... Anggap saja sebagai penebus kesalahanku. Aku akan menemaninya seharian besok. ***"Aurin gak di ajak masuk?" Baru saja kaki melangkah m
"Muka kau kenapa merah gitu, Tih? Abis berantem?" tanya Mbak Nadia saat meliatku. Setelah seharian bekerja dengan gaji 50ribu rupiah. Aku menjemput Raka di rumah ibuku. "Iya. Abis berantem sama anjink," ucapku asal. "Anjink? Maksudmu Prasetyo?" Lah kok dia tahu? Aku mengangguk pelan. "Sialan! Mau aku bantu pecahkan kepala dia itu, Tih? Biar tahu rasa!" "Kepala siapa yang mau kalian pecahkan?" Kami berdua terkejut. Ibu mendengar ucapan Mbak Nadia. Aku langsung menatapnya mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh bercerita apapun pada ibu. "Kepala anjink, bu.. " saut Mbak Nadia dengan santai. Aku menghela nafas lega. "Nggak ada kerjaan kalian, mau mecahkan kepala anjink." "Raka mana, bu?" "Ada. Abis mandi langsung tidur dia. Tega kamu ninggalin anak seharian. Nggak kasihan sama Raka," sungut ibuku. "Ratih kerja, bu.. " "Buat apa? Gaji suami kamu kurang? Ya, seharusnya kerja dirumah aja minta modalin bikin usaha kelontong. Biar anakmu tetap keurus." Aku diam saja. Entah harus me
Arga POVDibalik sikapnya yang dingin, ada hati yang rapuh. Aku mengerti. Dibalik sikapnya yang terkadang kasar, ada kelemahan yang dia sembunyikan. Atau mungkin faktor kerasnya kehidupan yang membuat moodnya berantakan. Ratih.Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku. Terpaksa menerima jalan hidup yang tidak seberuntung wanita lain di luar sana. Aku melihat bagaimana dia menyayangi anaknya. Aku melihat sendiri bagaimana dia berusaha kuat dihadapan anaknya hanya agar anaknya tidak bersedih melihatnya di aniaya. Yang menjadi pertanyaanku... Kenapa suaminya tega menyakiti. Kenapa tega memilih wanita lain dan menyia-nyiakan wanita yang pernah bersimbah darah untuk melahirkan anaknya? Bukankah itu tidak adil? Saat aku menariknya masuk kedalam dekapan. Dapat kurasakan tubuhnya berguncang karena isak tangisnya. Dia tidak menolak, mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak. Kubiarkan dia menumpahkan semuanya. Meski debar di dada mungkin bisa di rasakannya. Wanita yang malang. Aku m
"Sumpah! Aku nggak ngapa-ngapin," ucapku saat Ratih menjauhkan diri. Debar di dada masih terasa saat Ratih menindih tubuhku tadi. Wanita itu menyipitkan mata, masih menatapku curiga. "Terus ngapain kamu tiba-tiba ada disini?" "Numpang tidur. Semalem suara geledek kayak berasa mau kiamat, Tih. Aku takut." "Hah?" Ratih terperangah mendengar penjelasanku. Sejurus kemudian wanita itu menarik bajuku dan menyeretku keluar. "Pulang sana!" "Eh.. Kok gitu?" ucapku sedikit terhuyung. "Aku mau kerja. Mending kamu pulang.Suara geledek aja kamu takut, Sok-sok an mau ngelindungi aku dan anakku?" Brak, Ratih menutup pintu dengan kasar. Aku hanya mengusap dada pelan. Merasa di remehkan sekarang. "Belum bisa bayar, Mas?" Aku menoleh pada sumber suara, kemudian terkejut melihat seorang wanita dengan balutan tanktop dan hotpants. Dadanya nyaris menyembul keluar. "Astaga.... " "Kok astaga?" katanya heran. "Pakek baju yang bener, Mbak. Kaget saya." "Ini udah bener, kok. Masak iya, mau ngelo
Sudah lima bulan berlalu sejak Ratih berhasil merebut Raka dari mantan suaminya. Kini mereka memulai kehidupan baru. Dengan di bantu oleh Marlina yang kini menjadi sahabatnya. Mantan wanita malam itu memberanikan diri merubah pekerjaannya hanya ingin kehidupan lebih baik dari sebelumnya. Toko buku sederhana yang mereka bangun kini bukan hanya sekedar menjadi tempat menjual buku, tapi juga ruang bagi komunitas untuk berkumpul berbagi cerita. Tak lupa pula, Arga selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku itu, atau lebih tepatnya kepada Ratih. Di dalam toko buku itu, udara dipenuhi dengan aroma kertas dan tinta, sementara anak-anak membaca dengan suara lantang di pojokan. Marlina membantu Ratih merapikan beberapa buku yang baru saja tiba. "Kalau capek istirahat aja, Mar." Marlina memutar matanya. Tanda bahwa dia merasa kesal setiap kali Ratih menyepelekan tenaganya. "Orang cuma nyusun buku aja kok, Tih. Di bandingin kerjaanku dulu yang goyang dulu, baru dapet duit. Itu ju
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Ratih PovMbak Nadia batal nikah karena ibuku tak mau aku hadir di hari pernikahannya. Itulah kenyataan yang baru saja aku dapati dari adikku. Dadaku semakin terasa sesak. Sebenci itukah ibu padaku? Dan Mbak Nadia... Kenapa sampai harus membatalkan pernikahan hanya karena aku? Aku tahu semua ini sudah takdir. Tentang nasibku yang kini menjadi janda, juga tentang hidupku yang berjalan rumit. Namun disaat seperti ini... Aku rasa harus ada orang untuk di salahkan. Dan mereka adalah keluarga Prasetyo. "Aku udah cantik, belom?" tanyaku pada Marlina. Wanita itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus mewarnai kuku-kukunya. "Nggak usah dandan aja kamu udah cantik, Tih. Males aku ngomonginnya. Entar pelangganku malah ngincer kamu!" ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Itu artinya aku memang sudah cukup enak dilihat. "Nanti kalau ada Arga, bilangin aku keluar sebentar." "Lah? Aku pikir kamu dandan kayak gini, mau ketemu sama Mas mu. Mau ketemu siapa emang
"Jangan lo DP duluan." "Kenapa emang?" Bang Lukman menghela nafas kasar. Wajahnya terlihat kesal padaku. "Pakek nanya! Ya jangan lah. Lo nggak kasihan, entar dia jadi bahan olok olokan keluarga Tante Maya? Lo tahu sendiri, adiknya almarhum papa lo itu kayak apa?"Aku tersenyum masam. Tak Memungkiri ucapan bang lukman yang memang benar adanya. Tante maya dan segala kesombongan yang melekat di dalam diri mereka, jelas akan mempersulit Ratih. Namun bagaimana pun, aku tak akan membiarkan Ratih terbebani olehnya. "Abang tenang aja. Arga nggak sebejat itu kok. Menjaga marwah perempuan adalah tugasku. Dan Ratih... Gak akan Arga biarin deket sama Tante Maya." "Nah, itu keren." Bang Lukman menepuk nepuk bahuku. Seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. "Setelah urusan kita selesai, Arga mau secepatnya menikahi Ratih," ucapku mantap. "Iya... Gue tahu! Udah keliatan dari muka lo yang blingsatan tiap liat si Ratih. Gue juga khawatir kalau kalian terlalu lama." Aku menganggukka
Dan semua yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Sudah menjadi turun temurun, keluarga Prasetyo memperlakukan menantu dengan cara yang tidak baik. Bang Lukman tak pernah diam saja setelah hari itu kumintai pertolongan. Dia menyelidiki keluarga Prasetyo. Dan banyak informasi serta bukti yang kini kami dapatkan. Ratih sendiri tak kalah terkejutnya, kala melihat mantan suaminya kini bergonta-ganti pasangan. Membuat Winda sebagai istri tersakiti secara mental. Itu terjadi juga karena adanya dukungan keluarga. Aku tersenyum saat mendengar Ratih merutuki kebodohannya karena pernah menjadikan Prasetyo sebagai suaminya. "Naudzubillahiminzalik! Kok ada ya, manusia kayak mereka?" ucap Ratih menatapku penuh pertanyaan. Aku hanya mengangkat bahu kemudian mengusap bahunya pelan, dengan sayang. "Ya, ada lah, Yang. Kalau semua manusia baik, entar neraka gak ada penghuninya," ucapku kemudian terkekeh melihat wajah sebalnya. "Inget, disini ada gua woy!" ucap Bang Lukman yang memang berada di antar
Arga PovAku pikir... Ini adalah saat yang tepat, membuat Ratih memelukku secara sukarela. Aku sengaja memilih film horor, sebab yang aku tahu wanita akan berteriak histeris dan memeluk siapa saja hanya karena melihat tokoh hantu yang ada di film. Nyatanya Ratih tak seperti dugaanku. Beberapa kali, aku sengaja memegang tangannya bahkan memeluk pinggangnya agar sama seperti pasangan lainnya. Bukannya membalas perlakuanku, Ratih malah diam saja. Tangannya kaku di dalam genggamanku hingga nyaris berkeringat. Disaat penonton lain berteriak histeris, Ratih malah diam saja. Tak terusik sama sekali. Dia diam tanpa ekspresi hingga membuatku bosan. Ah sial! "Kamu dari tadi diam aja, kenapa? Aku ada salah?" Aku langsung menoleh pada Ratih yang bicara lembut padaku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Setidaknya... Dia menyadari perasaanku. "Kita makan dulu aja, yuk?" Ratih hanya mengangguk. Kami melangkah menuju sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Setelah mempersilahkan Ratih duduk de
"Mbak gak jadi nikah, kenapa?" Aku sengaja datang kerumah Mbak Nadia hanya untuk menanyakan perihal pernikahannya. Sejak kejadian hari itu... Tak pernah lagi kudengar kabar pernikahan Mbak Nadia. Sementara Arga menunggu dengan raut tak sabar. Apalagi tak ada secangkir kopi menemaninya. Hingga yang tertangkap olehku hanya wajah masamnya. Aku ingat betapa tak sabarnya dia. Hanya karena ingin mengajakku jalan-jalan entah kemana. Dia harus rela menungguku mampir kerumah Mbak Nadia. Lagi pula jika dia tak mau, aku tak masalah. Aku bisa jalan kaki. "Jangan lama-lama ya, Yhank. Entar pulangnya kemaleman. Kamu marahnya ke aku," rutuknya kala itu. Aku hanya mengangguk saja. Dan yang melekat sekarang, adalah panggilan sayang padaku... Yhank. Udah kayak panggilan anak sd pacaran saja. Sialnya Arga tetap tak mau mengubah nama panggilan itu. Ya... Terserah deh. "Kenapa kamu biarin aja Raka di ambil sama bapaknya? Kamu pikir anak kamu akan baik-baik saja, berkumpul dengan keluarga gila itu!" A
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s