“Lalu bagaimana, Tuan?”
Aldric memiliki prosedur pengamanan pada dirinya sendiri. Ia tidak ingin terjebak pada hubungan satu malam. Oleh sebab itu, asistennya selalu melakukan sesuatu yang mereka sebut sebagai operasi pembersihan.
“Seperti biasa?” tanya Marvin memastikan.
“Iya. Lakukan seperti biasa.” Aldric menjawab sambil memakai pakaiannya di depan Marvin.
“Baik. Saya siapkan sebentar.” Marvin kemudian keluar dari kamar Aldric.
Kini Aldric sudah berpakaian lengkap. Kemeja biru muda yang menonjolkan otot lengan, dada dan perutnya bersanding dengan celana panjang navy. Ia memunguti pakaian Sandra yang tercecer dan mengumpulkannya di sisi ranjang.
Nama perancang terkenal di negaranya, Jenny Packham tersemat pada bagian dalam gaun. “Hmm … wanita dengan selera busana yang bagus, dan mahal,” ucap Aldric pelan.
Usai menaruh dress tersebut di atas ranjang, ia kembali naik ke ranjang dan berbaring miring di samping Sandra. Napasnya sedikit tertahan saat melihat banyak bercak darah di seprei. Saat bangun, wanita cantik ini pasti akan merasakan nyeri. Ia akan menangis dan menyalahkan Aldric. Bahkan mungkin akan merengek sambil meminta pertanggungjawabannya. Sesuatu yang klise, pikir Aldric.
Tak lama, Sandra menggeliat dan membuka matanya. “Mmmm ….”
Ia mengerjap-ngerjap bingung dan langsung terduduk.
“Mau aku antar ke kamar mandi?” tawar Aldric.
Sandra menoleh. Dadanya berdebar kencang. Ada apa ini? Ia ada di mana? Dengan cepat ia mengumpulkan kesadaran. Ia tersentak mendapati tubuhnya yang tanpa busana. Tanpa menjawab, Sandra bergegas turun dari ranjang sambil membawa selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Ahh … a-aduh,” rintih Sandra sambil memegangi perut bagian bawahnya.
“Sini. Aku bantu.” Tangan Aldric terjulur ke depan Sandra tetapi wanita itu dengan cepat menggeleng.
Dengan menahan nyeri, Sandra berusaha berjalan, mengambil pakaiannya, masuk ke kamar mandi dan merutuki diri sendiri.
Ia bercermin, memandang bagian tubuh dengan beberapa tanda merah.
‘Sial! Ternyata semalam bukan mimpi,’ sesal Sandra dalam hati.
***
Marvin telah kembali ke dalam kamar dengan satu tas koper uang dan berkas di tangan.
“Cukup?” tanya Marvin memperlihatkan tumpukan uang pada Aldric. Uang yang disiapkan untuk menutup mulut Sandra.
Aldric melirik pada koper yang terbuka dan mengangguk cepat. Ia membaca berkas yang telah disiapkan Marvin. Berkas perjanjian yang harus Sandra tanda tangani agar ia tidak membocorkan kebersamaan mereka semalam kepada media. Selain itu, agar wanita yang bersamanya semalam itu tidak menuntutnya dengan berbagai macam alasan.
Pintu kamar mandi terbuka. Sandra keluar dengan gaun Jenny Packham-nya semalam. Wajah cantiknya terlihat datar. Rambut panjangnya kini tergerai indah dan rapi. Aldric ingat, rambut itu sempat berantakan karena ulahnya semalam.
Sandra berjalan pelan, mengambil tas tangan dan menjinjing heels. Ketika berada di depan Aldric dan Marvin, Sandra membungkukkan tubuhnya.
“Maafkan aku. Aku pamit.” Tanpa menatap Aldric dan Marvin, Sandra mundur satu langkah, membalik cepat tubuhnya dan segera menghilang di balik pintu.
Baru kali ini ada seorang wanita yang pergi dengan cepat setelah tidur dengannya. Alih-alih merengek dan meminta pertanggungjawaban, wanita ini malah mengucapkan kata maaf dan pergi. Seolah-olah apa yang Aldric lakukan semalam sama sekali tidak berkesan. Oleh karena itu, sungguh pengusaha kaya raya itu merasa terhina.
Karena terkejut, Aldric hanya terdiam menatap punggung Sandra yang menjauh dengan berkas di tangan yang sejak tadi telah siap ia sodorkan. Aldric bahkan menahan tubuh Marvin yang akan mengejar Sandra.
“Biarkan dia pergi,” perintah Aldric sambil memberikan berkas perjanjian pada Marvin.
Setelah mendengar titah bosnya, Marvin hanya menghela napas panjang. Ia bergegas membereskan kekacauan di ranjang Aldric; memunguti baju-baju Tuannya dan membuka seprei yang bernoda darah segar. Lalu ia mondar-mandir di sekitar ranjang seperti mencari sesuatu, bahkan melongok pada tempat sampah di pojok ruangan.
“Cari apa?” Aldric menatap heran pada asistennya.
“Di mana anda buang pengamannya, Tuan?” tanya Marvin.
“Oh, itu, aku tidak sempat memakainya semalam,” ucap Aldric santai.
“Apa? Tuan tidak memakai pengaman semalam?”
Tiba saatnya para liaison officer berbaris dan mengucapkan salam perpisahan kepada pengusaha-pengusaha dunia yang akan kembali ke negara masing-masing. Dengan ekor matanya, Sandra melihat Aldric menuju pintu keluar dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Goodbye, Mr Aldric Osborn. Safe flight,” ucap Sandra menundukkan kepalanya tanpa berani menatap Aldric. Sandra menahan sakit hati tak kala Aldric hanya melewatinya tanpa membalas salam perpisahan. Wajahnya lurus ke depan dan pengusaha muda nan tampan itu segera masuk ke mobil tanpa menoleh sedikitpun. Sirine motor-motor pengawal yang mengiringi mobil mewah berwarna hitam mengkilat berbendera Inggris itu bukan hanya meninggalkan halaman lobi hotel, melainkan juga meninggalkan kepingan hati yang terluka. *** Empat tahun kemudian. “Ada apa denganmu? Apa sejak tadi kamu tidak mendengarkanku berbicara?” seru Aldric kepada Marvin. Aldric menatap tajam asistennya. Selain sukses sebagai pengusaha, sekarang ia sedang merambah dunia pol
“Sandra?”Wanita yang dipanggil Aldric menoleh. Wajah cantiknya seketika memucat. Namun begitu, ia terlihat berusaha menguasai dirinya karena sedang bersama Alex.Untuk sesaat mereka hanya saling menatap dengan pandangan tak percaya. Aldric meneliti wanita di depannya yang semakin anggun dengan penampilan yang sangat berbeda. Sementara Sandra dengan spontan merapatkan tubuh Alex kepada tubuhnya.Aldric memaksa Sandra untuk berbicara. Dengan langkah berat, Ibu dari Alex itu mengikuti kemauan lelaki yang telah menyakiti hatinya bertahun-tahun yang lalu. Mereka pergi ke restoran dan meminta ruang tersendiri.“Tuan Muda Alex, ada ruang baca kecil di pojok restoran. Kita ke sana, yuk,” tawar Marvin.“Aku bukan Tuan Muda kamu,” balas Alex dengan ketus.“Alex sayang, bicara yang sopan!” Sandra mengingatkan putranya dengan suara lembut.Anak lelaki itu spontan menundukkan kepala kepada Sandra. “Maaf, Mom.”Melihat perilaku Alex kepada Sandra, Aldric terkesima. Putranya terlihat santun pada sa
Pesawat Gulfstream jet mengudara meninggalkan Jerman. Aldric memandang ke luar jendela. Kenangannya di Bali ternyata bukan hanya tentang bisnis. Pantas saja dulu saat ia meninggalkan Bali, ia seperti merasa meninggalkan sesuatu yang berharga.Marvin yang duduk persis di depan Aldric, melirik bosnya. Pengusaha terkenal di beberapa negara itu sedang mengusap-usap bibir dengan ibu jarinya. Matanya memandang Jerman yang semakin menjauh. Asisten setia itu tidak berani menerka ke mana pikiran bosnya saat ini.“Aku ingin ada yang menjaga Sandra dan Alex di Jerman, Marv,” ucap Aldric pelan namun jelas terdengar oleh Marvin.“Baik, Tuan. Akan saya siapkan pengawal untuk mereka.”“Jangan sampai Sandra curiga. Minta para pengawal itu menyamar.”“Siap, Tuan.”Sekembalinya Aldric dari Jerman, ia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Hati dan pikirannya terus menerus dibayangi Sandra dan Alex. Berkali-kali ia melihat foto maupun video kebersamaannya di Jerman yang diam-diam diabadikan sang asisten.A
Pagi harinya, Sandra, Alex dan Luke sarapan bersama. Luke berencana akan mengantar Alex ke sekolah sekaligus menghadiri acara di sekolah Alex yang bertema ‘Ayah dan Profesinya.’ Kakak Sandra itu memang selalu siap siaga untuk mengisi kekosongan posisi ayah pada keponakannya. “San,” sapa Luke. “Ya, Kak,” balas Sandra. “Sebentar lagi Alex libur. Kita ajak ke London, yuk.” Kakak Sandra itu memperhatikan ekspresi sang adik saat ia menyebut kata London. Ia melihat Sandra menaikkan alisnya dan mendengus pelan sebelum menjawab. “Ke Belanda saja, Kak. Sepertinya lebih seru. Sekalian Alex belajar bahasa Belanda.” “Kalau ke London, kita bisa menginap di apartemen Leah, sahabatmu. Jadi bisa menghemat biaya liburan. Sekalian Kakak juga ada bisnis dengan teman di sana.” “Aku pikir-pikir dulu ya, Kak.” Sandra mengambil tasnya. Ia mengecup puncak kepala sang putra dan berpamitan pada Luke. Mereka sama-sama melambaikan tangan dari mobil masing-masing. Dalam perjalanan menuju universitas tempa
Sandra tetap bersikukuh bahwa ia tidak dapat pergi ke Inggris. Namun Luke juga tidak kalah kerasnya. Ia tetap ingin mengajak keponakannya bepergian walau tanpa Ibunya.“Kak, tunggu sampai minggu depan lagi deh. Sandra masih harus memeriksa makalah mahasiswa,” rayu Sandra.“Tapi Kakak ada meeting dengan teman Kakak minggu ini. Jadi besok pagi, aku akan membeli tiket pesawat ke Inggris. Kakak tetap membawa Alex ya. Jadi kamu bisa fokus bekerja.”Sejak Alex lahir, ia memang telah terbiasa bepergian bersama Luke. Kakak Sandra itu berpendapat, Alex harus memiliki sosok seorang ayah sehingga ia benar-benar telaten mengurus keponakannya.saat Sandra dan Luke masih berunding, Alex tiba-tiba keluar dari kamarnya.“Daddy Luke, kita jadi pergi ke Inggris dengan kereta api?” tanya Alex.“Kita pakai pesawat saja ya. Biar lebih cepat sampai,” jawab Luke.“Berapa lama?”“Kurang dari dua jam. Cepet ‘kan? Kalau pakai kereta lebih lama.”“Oke, Daddy.” Alex dengan wajah sumringah mengacungkan jempolnya
Restoran yang Aldric pilih adalah restoran mewah dengan fasilitas pengamanan yang cukup baik. Manager restoran sendiri bahkan yang menyambut lelaki tampan itu dan memberikan ruang VIP. Satu pengawal duduk tak jauh dari meja Tuannya. Sementara pengawal lain berjaga di dekat pintu masuk restoran.“Kapan Alex lahir?” tanya Aldric memulai kembali perbincangan mereka yang tertunda.Sandra menyebutkan tanggal yang membuat dahi Aldric berkerut. Otaknya langsung berhitung. Pria itu lalu menyimpulkan Alex lahir lebih cepat dari perkiraannya.“Alex lahir prematur?”Sandra mengangguk pelan. “Alex lahir satu bulan lebih cepat dari perkiraan dokter.”“Apa masalahnya?”“Saat itu aku sedang sibuk di kampus. Aku masih menjadi asisten dosen. Sering naik turun tangga. Saat sedang bertugas, air ketubanku pecah. Hari itu juga aku langsung dioperasi.”“Ya Tuhan,” gumam Aldric.Setelah itu, meluncurlah cerita wanita cantik di depan Aldric tentang hari di saat Alex lahir. Keluarga mengira putri bungsu merek
“Lalu, mengapa kamu belum menikah?”Sandra menatap Aldric. Laki-laki bermata hijau itu menatapnya datar. Ia segera menundukkan pandangan.“Aku masih ingin fokus mengurus Alex.”Mendengar jawaban Sandra, Aldric semakin merasa bersalah. Selama ini ia sama sekali tidak berkontribusi apapun pada perkembangan putranya. Tetapi itu semua bukan salahnya 'kan? Ia sama sekali tidak tau sebelumnya bahwa ia dan Sandra memiliki seorang putra.Aldric mengantar Sandra di depan pintu apartemennya. Mereka berpisah dengan saling menundukkan kepala. Tanpa menoleh lagi, Aldric segera berjalan cepat menjauhi gedung yang ditinggali Ibu dari putranya.***Sementara itu, Luke dan Alex telah berada di Inggris. Mereka menyewa salah satu apartemen dekat dengan apartemen Leah, sahabat Sandra yang bekerja di London. Saat ini mereka berjanji temu di sebuah mall terdekat.“Auntie Leah,” seru Alex bersemangat.“Alex,” balas Leah yang segera mengangkat tubuh Alex dan mendekapnya erat. “Duh, kamu tambah berat. Auntie
"Dukungan untukmu terus bertambah, Aldric." Daddy Alonso berkata kepada putranya dengan bangga.Pujian juga terlontar dari sahabat-sahabat Alonso yang mendukung pencalonan Aldric sebagai gubernur. Tentu saja mereka akan mendapat banyak keuntungan jika calon mereka berhasil. Selain lebih terkenal, pengusaha-pengusaha senior itu akan semakin mudah mendapatkan proyek-proyek besar.Marvin memperhatikan interaksi Tuannya dengan Ayah serta sahabat-sahabatnya yang juga merupakan rekan bisnis. Sejak Alonso pensiun tujuh tahun yang lalu, lelaki itu langsung menyerahkan tampuk pimpinan perusahaan keluarga Osborn kepada putra satu-satunya. Namun begitu, beliau masih berperan penting dalam semua perusahaan terutama pada keuangan dan aset keluarga.Asisten pribadi Aldric beranjak ke pojok ruangan saat merasakan getaran dari ponselnya di saku celana. Ia meraih ponsel dan menatap layarnya. Panggilan telepon dari nomer tak dikenal."Hello?" Marvin menjawab telepon dengan nada resmi."Tuan Aldric?"De