'Pelacur bukanlah sebuah penyakit menurun dan aku tidak yakin jika yang kulihat saat ini adalah benar. Pasti ini hanyalah perasaanku saja.
"Mariyah, ada apa!" Uma menepuk bahuku, membuatku sedikit terkejut.
"Ngak Uma, nggak apa-apa kok!" sahutku masih tertuju pada bekas lisptik yang menempel pada baju Bang Arsya. Pria yang menikahiku beberapa bulan yang lalu.
Noda itu tidak terlalu jelas. Namun aku bisa melihatnya dengan nyata karena kemeja itu berwarna putih. Warna merah seperti bibir seorang wanita.
"Mungkin Mariyah sangat merindukan aku, Uma!" ledek pria itu membuatku tersenyum getir.
Khadijah yang berjalan di belakang punggung Bang Arsya segera mendahului, menyalami aku dan Uma bergantian. Kemudian berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Uma mengekori khadijah, meninggalkan aku dan Bang Arsya. Mungkin ia sengaja' memberika
"Mariyah, kenapa murung?"Aku tersentak saat mendapati Uma tiba-tiba muncul di belakang punggungku. Segera kumasukkan kemeja berwarna putih dengan noda lipstik itu di ke dalam ember yang berisi air ditergen."Tidak Uma!" sahutku melemparkan senyuman kepada wanita yang sudah menemaniku setelah kepergian Abi dan bunda. Uma sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri."Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet loh!" ledek Uma meneruskan kegiatannya di dapur. Sesaat ia melemparkan senyuman kecil padaku."Sebenarnya siapa kekasih gelap Bang Arsya. Apakah Khadijah!" batinku mencoba untuk menerka. "Sepertinya hubungan mereka sudah kelewat jauh atau jangan-jangan justru orang lain," batinku kian mengembara.Aku teringat dengan alat kontrasepsi yang aku temukan di dalam koper milik Bang Arsya. Semua terkaan buruk memenuhi otakku. Bayangan menjijikkan itu terus mercuni hatiku.
Jemariku masih setia memijat keningku yang berdenyut. Hampir satu minggu sudah berlalu. Namun rasa sakit ini belum juga sembuh sempurna. Apalagi hari ini adalah hari dimana Bang Arsya dan Dejah akan pulang. Aku tidak bisa membayangkan melihat para penghianat itu muncul di depan wajahku. Aku takut, aku takut tidak bisa menahan diriku. Kerena aku memang belum menemukan bukti yang sesungguhnya."Mariyah, sudah pulang!" seru Uma yang melihat kehadiranku di ruang tamu."Kamu sakit?" Uma menyipitkan kedua matanya menatapku. Menjatuhkan tubuhnya pada bangku yang berada di sampingku."Tidak Uma, aku baik-baik saja kok!" sahutku menghentikan pijatan pada keningku. Lalu membenarkan posisi dudukku.Uma menempelkan telapak tangannya pada keningku, wajahnya sesaat terlihat berfikir. "Tidak panas!" selorohnya."Aku baik-baik saja, Uma!" sahutku."Hanya saja hatiku yang sedang tidak baik
"Bang kenapa Diam!" lirihku pada Bang Arsya yang melihat pada kepergian Yuma.Bang Arsya tersentak. "Aku hanya kasihan saja sama, Yuma. Mungkin memang dia belum siap untuk mendapatkan momongan. Karena usianya masih terlalu belia," tutur Bang Arsya."Tapi sudah menjadi kewajiban seorang wanita memiliki keturunan, Bang!" cetusku berlalu. "Lagipula ada Bilal suaminya. Lebih berdosa lagi jika Yuma menggugurkan bayi itu," balasku."Aku tau Mariyah, tapi untuk Yuma yang memiliki masalalu buruk hal itu sangat sulit sekali pastinya." Wajah Bang Arsya melihat pada kepergian gadis bermata sipit itu.Aku mengeryitkan dahi melihat pada Bang Arsya yang masih melihat ke arah pintu. "Sejak kapan Abang perhatian sama Yuna!" pikirku.****Aku tidak tahu sejak kapan aku terlelap. Setelah pulang mengisi pengajian. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang dan beberapa saat kemudian jiwaku seola
Aku masih curiga, dan kecurigaanku mengarah pada Dejah. Lelaki yang sudah meminangku beberapa bulan yang lalu tetap menolak pindah dari rumah ini. Pasti semua itu karena dia tidak mau jauh-jaih dari Dejah.Dengan wajah merah padam aku mencari bukti-bukti lain yang bisa aku gunakan untuk mengungkap perselingkuhan yang terjadi antara Dejah dan Bang Arsya. Harusnya malam itu aku merekam kejadian Bang Arsya dengan Dejah. Tapi sayangnya ada Uma yang tiba-tiba muncul dan mengangetkanku."Kenapa tidak ada apapun!" gerutuku kesal.Tidak seperti hari lalu. Sepertinya Bang Arsya kini lebih berhati-hati. Aku tidak menemukan barang apapun dari dalam koper Bang Arsya. Koper ini hanya berisi pakaian kotor miliknya selama ia tinggal di Bandung.Aku terduduk lesu dengan wajah kesel. Ingin rasanya aku menangis saat itu juga."Mariyah!" Segera aku menoleh pada seseorang yang membuka pintu kamarku.
Tuhan' sedang mengujiku. Aku tidak bisa menahan amarahnya yang membuncah di ubun-ubun. Rasa sakit dan kecewa atas skandal yang Dejah lakukan membantuku murka."Jangan pergi, Dejah!" Tangis Uma terdengar masuk dalam indera pendengaranku. Sedikitpun aku tidak menoleh ke arah gadis itu. Aku benar-benar sakit hati dan tidak sudi untuk melihatnya."Iparmu adalah mautmu. Mungkin kini aku telah membuktikan sendiri hadits itu. Harusnya aku tidak tinggal serumah dengan Dejah.""Mariyah, sudahlah!" Sebuah tangan menyentuh pergelangan tanganku. Membuatku tersadar dari lamunan."Jangan bersikap seperti ini. Demi Allah, Mariyah aku benar-benar tidak ada hubungan apapun dengan Dejah, Mariyah!" Bang Arsya terus membujukku agar aku mencegah kepergian Dejah.Suara koper samakin mendekat ke arahku. Aku masih membisu dengan wajah dingin. Sedingin hatiku saat ini."Kak!" lirih Dejah yang berd
POV Dejah"Dejah, apa yang kamu lakukan, Nak?" Uma menarik sebuah foto yang berada di tanganku. Beberapa saat lalu aku menciumi foto itu dengan membayangkan jika kini aku memang sedang bersama lelaki gagah itu."Uma!" sergahku terkejut. "Kembalikan padaku, Uma!" pintaku berusaha merebut selembar foto milik Bang Arsya dari tangan Uma.Sorot mata Uma melihat pada selembar foto yang berada di tangannya. Perlahan wajah' teduh itu terlihat berubah menegang dengan tatapan serius."Ini apa Dejah?" Rahang Uma mengeras melihat padaku dengan tatapan menyelidik.Aku membisu, tidak dapat menjawab pertanyaan Uma. Menatap wajah Uma pun aku tidak berani. aku tahu yang aku lakukan saat ini adalah salah. Tapi aku tidak bisa mencegah rasa itu datang.Perlahan Uma menjatuhkan tubuhnya duduk di sampingku. "Jangan katakan kamu menyukai Arsya, Dejah!" cetus Uma dengan mata berkaca-kaca.
"Dejah!"Aku terhenyak saat Bang Arsya memanggilku. Pria itu kini sudah bangkit berdiri di depan Yuma."Aku sudah memberikan Yuma obat dan katanya kondisinya sudah cukup baik sih!" tutur Bang Arsya berjalan ke arah pintu menyambut kedatanganku.Sejenak aku mematung, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Aku tidak suka jika Bang Arsya begitu perhatian pada gadis yang irit bicara itu."Oh, syukurlah!" seruku menyungingkan ulasan senyuman."Baiklah, pasti kamu juga capek kan! Beristirahatlah!" tutur Bang Arsya menepuk lembut bahuku sebelum ia melangkahkan kaki keluar dari pintu kamar.****Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Sepandainya seseorang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga. Itulah yang aku dapatkan saat ini. Kak Mariyah sudah tau semuanya. Aku tidak menyangka jika ia akan semarah ini. Hanya gara-gara ia menemuk
Bang Arsya sudah pergi meninggalkan kantor. Aku kira kedangannya ke sini untuk melihat keadaanku. Ternyata aku salah Bang Arsya datang ke sini justru ingin mempertegas bahwa ia tidak memiliki perasaan sedikitpun kepadaku. Bodohnya aku yang berharap jika Bang Arsya membalas perasaanku. Lelaki itu sungguh membuatku semakin kesal saja.Tok! Tok!"Bang Arsya! Ada apa lagi!" gumanku dengan wajah berpikir.Kuseret langkah kakiku menuju pintu utama kantor. Sebuah ruko berlantai 2 yang aku sulap menjadi butik serta kantor pribadiku. Sebenernya aku bisa saja menyewa gedung besar. Hanya saja, aku tidak terlalu nyaman dengan suatu yang berlebihan dan aku rasa ruko ini saja sudah cukup."Assalamualaikum!"Lelaki dengan kulit khas orang Indonesia itu muncul di depan pintu kantor yang kubuka. Aku menghela nafas panjang, aku pikir Bang Arsya yang datang kembali untuk menarik kembali ucapannya karena ia p
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka