"Alhamdulillah," ucap seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kakinya di stasiun Gubeng, Surabaya.
Seorang laki-laki berperawakan jangkung dengan berat badan ideal. Berkulit putih bersih. Beralis tebal, hidung mancung, tatapan matanya yang hangat, serta bibir tipisnya yang seimbang atas dan bawah.
Paras tampan itu sukses mencuri perhatian seluruh kaum hawa di sekelilingnya.
Reyhan menyadari kalau dirinya mulai menjadi pusat perhatian, tapi dia mencoba untuk tetap santai dan bersikap biasa saja.
Intinya, tetaplah bersikap ramah dan rendah hati pada siapapun orang yang kita temui, karena kita tidak pernah tahu kapan Allah Swt akan mempertemukan kita dengan orang-orang baik yang mungkin jelmaan malaikat penolong dalam hidup kita.
Tetaplah berpikir positif selagi kita masih diberi kesempatan untuk berpikir. Sebab pikiran positif justru akan menghadirkan nilai-nilai positif, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari lingkungan sekitar kita. Karena hal seperti itu sangat diperlukan untuk menjalin sosialisasi dengan berbagai macam orang yang kita temui di luar sana.
Apalagi bagi seorang pengembara macam Reyhan yang hidup sebatang kara. Mengembara ke Kota lain yang asing. Sebuah kota yang bahkan tak pernah dia kunjungi sebelumnya. Semua itu dia lakukan atas dasar modal tekat yang kuat.
Demi tercapainya satu tujuan, yaitu mencari seseorang.
Cinta pertamanya.
Reyhan tahu apa yang kini dia lakukan terdengar mustahil dan pastinya sangat sulit, namun Reyhan percaya, selagi kita berusaha dan berdoa, Allah Swt pasti menunjukkan jalan-Nya.
Reyhan melangkah sambil celingukan mencari pintu keluar stasiun Gubeng yang hari itu tampak ramai. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri secara bergantian.
Lelaki itu terdiam di salah satu sudut stasiun. Sekedar memastikan kembali bahwa kini dia benar-benar sudah berada di Surabaya dan ini bukanlah mimpi.
Aku datang Katrina. Aku pasti akan menemukanmu, seperti janjiku dulu...
Ujarnya dalam hati.
Lalu dia tersenyum. Memperlihatkan satu lekukan kecil yang muncul di pipi kirinya. Sungguh sempurna membungkus wajah tampan nan rupawannya. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan penampilannya yang super duper sederhana.
Setelan kaos hitam yang dipadupadankan dengan flanel kotak-kotak serta celana jeans sobek berwarna senada yang terlihat pas melekat di tubuhnya.
Reyhan menaikkan sebelah tali tas ranselnya yang melorot sambil terus melangkah.
Waktu Dzuhur sudah hampir tiba, Reyhan harus bergegas.
Puji dan syukur terus Reyhan panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang sudah dengan sangat baik memberinya kemudahan dan kelancaran selama perjalanan hingga dia selamat sampai tujuan.
Selain ramah dan sopan, Reyhan termasuk seorang laki-laki yang taat beribadah. Meski, pengetahuan akan ilmu agamanya tidak cukup baik, tapi Reyhan tidak pernah lupa meninggalkan shalat lima waktu. Baginya, itu adalah bukti tanggung jawab dan rasa syukur atas segala nikmat yang telah di beri Allah Swt untuknya selama ini.
Berjuta tatapan sarat akan kekaguman terus saja tertuju pada Reyhan di sepanjang jalur Stasiun Gubeng yang dia lewati.
Gadis-gadis remaja berseragam sekolah bahkan tampak antusias memperhatikan sosok Reyhan yang mereka pikir adalah seorang aktor atau bintang film, saking tampannya sosok itu.
Bisik-bisik tetanggapun kian santer terdengar di telinga Reyhan.
"Artis yo Mas?"
"Ganteng banget, sumpah..."
Reyhan hanya tersenyum tipis. Dia memilih untuk cepat-cepat menghindar dan berlalu dari hadapan gadis-gadis remaja itu sebelum hal-hal yang tidak dia inginkan terjadi.
Terkadang, memiliki wajah yang kelewat tampan itu justru seringkali membuat ruang geraknya terbatasi.
Reyhan mengernyitkan dahi, ketika sorot cahaya matahari menembus kornea matanya. Membuatnya silau.
Terik cahaya matahari yang membakar Kota Surabaya siang itu seolah tak memadamkan niat Reyhan untuk berpetualang mencari cinta pertamanya.
Bukankah dia sudah berjanji? Maka dia pun harus menepati.
Bukan karena terpaksa, tapi karena dia sudah benar-benar cinta.
Bagi Reyhan, tak ada satu alasan pun di muka bumi yang membuatnya semangat untuk melanjutkan hidup jika bukan karena dia.
Seorang wanita bernama Katrina Kania Ifana yang pernah menjadi bagian dari kisah kasih masa remajanya semasa SMA.
Reyhan memayungi matanya dengan sebelah tangannya dan berlari kecil ke arah luar stasiun. Hendak mencari warung makan di pinggir jalan untuk sekedar beristirahat dan menghilangkan dahaga serta mengisi perutnya yang keroncongan.
"Mas, pesan mie rebusnya ya, satu." Ucap Reyhan pada pelayan warteg yang dia kunjungi.
"Pake telor sama sayuran nggak?" tanya si pelayan warteg.
"Kalo pake telor harganya jadi berapa?"
"Sepuluh ribu,"
"Oh, nggak usah deh, Mas. Mie rebus biasa aja," tolak Reyhan, sopan. Kehidupannya di Surabaya baru saja dimulai. Perjalanannya masih sangat panjang. Jadi, dia harus pintar-pintar berhemat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan.
"Minumnya apa, Mas?" tanya si pelayan warteg lagi.
"Air putih aja, Mas."
Si pelayan warteg terlihat mencibir dalam hati, gayanya aja keren, tapi kantongnya cemen, huh!
"Orang Jakarta ya, Mas? Siapa namanya?" tanya seorang laki-laki lain pengunjung warteg itu. Dia mengajak berkenalan. Wajah Reyhan yang tampan nyatanya tidak hanya menarik perhatian wanita, tapi juga pria.
"Iya, Mas. Baru sampai. Saya Reyhan, Mas sendiri siapa?" Reyhan menerima jabatan tangan laki-laki di sampingnya.
"Saya Budiman, supir taksi di sini. Pantes, ketahuan dari logatnya, bukan orang Jawa. Sendirian aja?" tanya Budiman lagi.
"Iya, Mas. Kebetulan memang cuma hidup sendiri." Jawab Reyhan apa adanya, karena memang dia tidak memiliki sanak saudara lagi, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Sedari kecil Reyhan hidup sendirian.
Reyhan adalah anak tunggal dan Ibunya sudah meninggal sejak Reyhan masih berusia tujuh tahun. Sementara Ayahnya, Reyhan tak pernah tahu apapun.
Siapa Ayahnya?
Dimana tempat tinggalnya?
Reyhan tak pernah tahu. Karena memang Ibunya sendiri tak pernah bercerita apapun mengenai sosok Ayah kandungnya tersebut.
Kehidupan masa kecil Reyhan bersama sang Ibu yang bisa dibilang jauh dari kata sempurna, membuat Reyhan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Segala penderitaan Ibunya di masa lalu, cukup menjadikan alasan kuat baginya untuk tidak lagi memusingkan di mana Ayah kandungnya kini berada. Baginya, laki-laki itu sudah mati.
Mati bersamaan dengan kepergian Ibunya yang tragis.
"Lah, terus jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya mau ngapain kalau nggak punya keluarga?" lanjut Budiman lagi.
Reyhan terdiam sesaat. Lalu dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas ranselnya. Sebuah foto seorang wanita berseragam SMA.
"Mau cari perempuan yang ada di foto ini, Mas. Kira-kira, Mas pernah lihat dia?" tanyanya ragu.
Budiman mengambil lembar foto itu dimana di belakang foto itu tertulis sebuah tulisan tangan yang cukup rapi.
Katrina Kania Ifana in memorian.
My love...
Budiman tersenyum tipis. Dalam hati merasa lucu tapi juga salut.
Jauh-jauh datang dari Jakarta ke Surabaya cuma demi cewek. Nekat juga nih laki-laki. Pikir Budiman tak menyangka. Terkadang kekuatan cinta itu memang mampu mematahkan logika.
"Nggak sih. Saya nggak pernah lihat perempuan ini. Emang nggak ada alamat yang bisa dikunjungi? Kalau ada alamatnya bisa saya antar ke sana. Nanti saya kasih setengah harga," jawab Budiman.
Reyhan tersenyum simpul seraya memasukkan kembali foto itu, tapi tidak benar-benar dia masukkan melainkan hanya terselip di antara pinggiran jaring tas ranselnya.
"Nggak punya alamatnya Mas. Cuma ada fotonya aja," beritahu Reyhan apa adanya.
Budiman tampak mendesah. "Yah Mas, itu sih namanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami, susah Mas. Kota Surabayakan luas,"
Lagi dan lagi Reyhan hanya membalasnya dengan senyuman. Mie rebus yang dia pesan sudah jadi. Reyhan melahapnya dengan cepat, sebab dia belum menunaikan Shalat Dzuhur.
"Mas-nya udah punya kerjaan di sini?" tanya Budiman lagi saat Reyhan sedang memakan mienya.
"Belum Mas. Saya baru lulus kuliah. Rencana mau cari kerja di sini juga," jawab Reyhan setelah menelan makanannya. Lalu dia melanjutkan makan kembali. Sementara Budiman hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari ber-oh.
"Masjid dekat sini di mana ya Mas?" tanya Reyhan kepada Mas Gondrong, si pelayan warteg setelah dia membayar makanannya.
"Dari sini Mas nyeberang, terus jalan aja lurus ke kiri, nanti ada minimarket, nah di samping minimarket ada tukang buah, terus samping tukang buah ada yang jualan es kelapa muda, terus..."
"Di ujung jalan Mas, masjidnya. Pas di pertigaan lampu merah. Ribet lu, Gondrong! Jelasin gitu aja pake muter-muter!" potong Budiman. Dia memelototi Gondrong si pelayan warteg yang memang terkadang suka tulalit.
"Oh, terima kasih Mas. Mari Mas, duluan semua," Reyhan keluar dari warteg itu dan mulai berjalan menuju Masjid. Dia mengikuti rute yang tadi di arahkan orang-orang di warteg itu. Lalu dia mulai menyeberang jalan.
Lalu lintas jalan raya di depan stasiun Surabaya Gubeng saat itu cukup lengang. Dan hal itu membuat beberapa pengguna jalan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Reyhan berjalan menyusuri trotoar pejalan kaki. Langkahnya kian ringan setelah perutnya terisi.
Jarak Reyhan dengan masjid yang dimaksud sebenarnya sudah dekat. Tinggal menyeberang jalan saja.
Sebuah Marsedes Benz hitam yang melaju cepat dari arah kanan tampak berusaha menyalip mobil di depannya. Posisi Reyhan yang kebetulan terhalang oleh angkot yang ingin di salip si Marcedez Benz hitam tadi, membuat tubuh Reyhan yang hendak melintasi jalan jadi tidak terlihat oleh si pengendara mobil mewah itu.
Kecelakaanpun tidak dapat terelakkan lagi.
Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal jalanan diikuti suara keras dua benda yang saling bertubrukan sonta mengejutkan banyak orang di sekitar lokasi kejadian.
Tubuh Reyhan yang tertabrak langsung terpental hingga beberapa meter ke depan dan jatuh di tengah-tengah jalan raya yang beraspal.
Pemuda itu mengalami sejumlah luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Bahkan kepalanya bocor dan mengeluarkan begitu banyak darah. Reyhan langsung tak sadarkan diri saat itu juga.
Beberapa warga yang geram pada si pengemudi Marsedes Benz itu, memaksa laki-laki itu turun dari dalam mobilnya untuk bertanggung jawab.
Laki-laki bersetelan kantor dengan tubuh tinggi dan tegap yang atletis terlihat keluar dari dalam mobilnya. Dia tidak terluka, tapi dia shock berat. Sementara mobilnya terlihat penyok di bagian depan setelah dia akhirnya membanting stir ke arah trotoar pejalan kaki dan menabrak tiang sebuah pohon pembatas jalan.
"Tolong bawa laki-laki ini ke mobil saya, Pak! Saya janji saya akan bertanggung jawab," ucapnya panik.
"Mas, siapa namanya? Saya butuh data-datanya Mas?" tegur seorang polisi yang kebetulan sedang berpatroli di sekitar TKP.
"Saya Hardin Pak. Hardin Putra Surawijaya," jawabnya masih dengan suara yang sedikit gemetar. Dia termasuk orang yang paling tidak bisa melihat darah. Perutnya mulai mual dan kepalanya sedikit pusing saat dia melihat kondisi laki-laki yang tadi ditabraknya.
"Nanti kita selesaikan kasus ini di kantor polisi setelah selesai dari rumah sakit, Pak Hardin," tegas polisi Patroli. Hardin mengangguk. Lalu langsung berlari ke dalam mobilnya dan membawa laki-laki bernama Reyhan itu ke rumah sakit terdekat.
Dia terus berdoa dalam hati semoga Allah Swt memberi keselamatan kepada laki-laki yang baru saja ditabraknya itu.
PLAK!Satu tamparan keras mendarat di pipi seorang wanita bernama Katrina. Setelah dia baru saja menyampaikan maksud dan niatnya untuk menjadi seorang muallaf kepada sang Ibunda tercinta."Bunda?" Katrina bergumam lirih. Dia memegangi pipinya yang memanas. Tamparan itu sangat kuat. Bahkan kini dia mengecap rasa asin darah di sudut bibirnya. Katrina mulai menangis."Jadi ini balasan kamu, Trina?" Arini mendesis tajam diiringi sorot mata penuh amarah sebelum dia kembali melanjutkan kata-katanya."Jadi ini balasan kamu setelah Bunda mati-matian selama ini mengurus kamu sejak kecil? Bunda kerja pontang panting, banting tulang, mencari uang ke sana kemari, semuanya demi kamu, Trina! Supaya kamu bisa makan, bisa sekolah, bisa mendapat fasilitas layak untuk menunjang kebutuhan hidup kamu! Dan
Cuaca di kota Bandung hari ini cerah.Seorang laki-laki berperawakan jangkung dengan setelan kantor yang casual terlihat menggenggam minuman kaleng di kedua tangannya. Dia berjalan dari arah kasir menuju salah satu bangku kedai mini di lantai teratas sebuah gedung perkantoran di Bandung. Dia berjalan menghampiri rekan satu kantornya yang bernama Hardin, selaku CEO Company Grup.Indo Multi Food Company, atau biasa dikenal dengan nama beken Company Grup. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan minuman.Dan di sanalah kini Reyhan bekerja."Cewek baru lagi?" Reyhan melirik ponsel android laki-laki yang duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan satu gelas minuman kaleng di tangan kanannya kepada laki-laki disebelahnya."Cantik nggak?" Hardin menge-Zoom foto seorang wanita berpakaian seksi di ponselnya dan memperlihatkannya pada Reyhan. Reyhan tersenyum tipis l
"Asyhadu an La Ilaha Illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah," Seumur hidup inilah pertama kalinya Katrina menitikkan air mata dengan bangga. Bangga pada dirinya sendiri, ketika dia berhasil mengucapkan kalimat syahadat. Kalimat yang telah lama tersimpan dalam hati dan menunggu untuk terealisasi. Tak ada lagi keraguan. Katrina sadar, bahwa ini adalah sebuah fitrah, janji seorang hamba terhadap Rabb-Nya, Allah Swt yang Esa. Proses itu berlangsung dengan sangat lancar yang di tuntun oleh Bapak Kiyai Haji Abdullah, selaku pemuka Agama di daerah tempat Aki dan Nini tinggal. Nini dengan deraian air mata dan ucapan Hamdalah yang tidak putus menghambur memeluk Katrina. "Allah Swt ak
"Pokoknya Gia mau langsung ke Surabaya nemuin Kak Reyhan begitu pulang dari Jerman. Supaya nanti Kak Reyhan yang antar Gia ke Bandung, ke tempat Omah," suara cempreng Anggia terdengar menyakitkan di telinga Hardin. Membuatnya sesekali menjauhkan ponselnya dari telinga. "Ngomong sama lo tuh percuma, kayak ngomong sama tembok! Keras kepala! Lo bilang sendiri sana sama Omah kalau berani! Gue nggak mau ikut campur! Lagian mulai minggu depan gue stay di Jakarta, mungkin agak lama, jadi gue nggak bakal bisa jemput lo di bandara," balas Hardin setengah berteriak. Suara di seberang sana terdengar begitu berisik. Hardin berjalan menuruni tangga menuju ruang keluarga di lantai satu. Dimana Umi Tantri dan Abi Syamsul biasa menghabiskan waktu malam mereka di depan Televisi. "Idih, lagian siapa juga yang mau dijemput sama Aa? Gia sih ogah! Mending naik taksi daripada harus
Reyhan masih berkutat dengan dzikir-dzikirnya di atas sajadah saat dia baru saja selesai menunaikan shalat isya. Dia hendak mengambil sebuah Al-Quran di rak lemari bajunya saat ponselnya tiba-tiba berdering. Hardin Calling... "Halo, assalamualaikum, ada apaan?" tanya Reyhan saat dia sudah mengangkat panggilan itu. Dia menutup pintu lemarinya kembali. "...." "Apa? Lo ngomong apaan sih? Gue nggak denger, berisik banget di situ," teriak Reyhan seraya memicingkan sebelah matanya. "..." "Hah? Jemput? Emang lo nggak bawa mobil?" Reyhan bangkit dari atas sajadah dan menggulung sajadahnya dengan sebelah tangan. "...." "Ah, dasar! Bisanya ngerepotin gue mulu! Ya udah gue ke sana sekarang," Reyhan melepas kain sarung yang melekat dipinggangnya dan menggantinya dengan celana panjang. Dia mengambil salah satu kemeja
Dengan membaca basmalah Katrina memulai hari pertamanya di Jakarta. Kota kelahirannya. Kota yang sangat dia rindukan. Ternyata waktu sepuluh tahun telah membuat banyak perubahan di setiap sudut kota yang konon katanya tak pernah mati ini. Katrina bisa mendapati lebih banyak gedung-gedung bertingkat dan apartemen-apartemen mewah di sini. Bahkan Mall pun lebih sering ditemui di sepanjang jalan yang telah dia lewati. Rencananya, hari ini setelah melamar pekerjaan, Katrina akan langsung mendatangi sebuah kost-kostan di Pondok Indah. Sebuah kost-kostan yang dulu menjadi tempat tinggal Reyhan. Semoga Allah SWT memudahkan segala urusanku. Amin. Doanya dalam hati. Setelah melalui perjalanan selama kurang lebih 40 menit di dalam Busway, Katrina pun sampai disebuah per
Katrina sudah cukup menyiapkan mental untuk melalui hari ini.Setidaknya, istri Om Rudi, Tante Zahara sudah memberitahukan pada Katrina tentang bagaimana pandangan orang-orang Jakarta terhadap wanita bercadar. Meski tidak sepenuhnya mencela, tapi setidaknya Katrina harus tetap belajar terbiasa dengan pandangan tidak bersahabat dan bisikan-bisikan yang membuat telinga panas.Tapi lain halnya dengan Katrina, baginya berhusnudzon itu lebih baik. Caranya dengan mengubah pola pikir sendiri. Karena sesungguhnya manusia itu selalu ingin dihargai tanpa tahu cara menghargai. Manusia hanya mampu menghakimi tanpa tahu rasanya dihakimi. Parahnya lagi, manusia seringkali berkata hingga memaki tanpa tahu apa yang terjadi. Oleh sebab itulah, Katrina tidak perlu memikirkan apa-apa yang orang lain katakan di belakangnya. Tetaplah menjadi dirimu sendiri selagi keberadaanmu tidak merugika
Ini adalah hari kedua Katrina bekerja efektif di kantor sekaligus hari ke dua Katrina mencari cinta pertamanya, Reyhan. Sepulang bekerja nanti, Katrina berniat mendatangi rumah lamanya di perumahan Medina, Jakarta Selatan. Sekaligus bersilaturahmi ke rumah Anggia. Sahabatnya sejak kecil yang notabene menjadi tetangganya selama enam belas tahun Katrina tinggal di Jakarta. Katrina sangat merindukan Anggia. Anggia adalah sosok sahabat terhebat sepanjang sejarah kehidupan Katrina. Anggia itu sosok gadis yang sangat periang. Dia bawel, jahil, centil, kadang kalau moodnya sedang tidak baik, dia suka sewot-sewot sendiri, tidak jelas. Tapi satu hal yang paling membuat Katrina merasa nyaman bersahabat dengan Anggia, dia itu tulus. Anggia itu sosoknya agak kekanak-kanakkan dan manja, karena dulu, Anggia hanya tinggal bersama ke dua orang tuanya di Jakarta. Jadi, semua kebutuhan Anggia selalu dituruti oleh ke dua orang tuanya tanpa terkecuali. Tant
Jakarta. Bandara Soekarno Hatta. "Take care, Brother." ucap seorang laki-laki seraya memeluk tubuh laki-laki jangkung dihadapannya. "Lo juga ya, jangan cemburuan lagi. Kalau ada masalah diomongin dulu baik-baik berdua jangan main cerai-cerai aja," ucap laki-laki jangkung itu. Mereka tertawa bersamaan. "Kalau lo butuh sesuatu, langsung kontak gue. Jangan sungkan, gue pasti bantu," "Gue udah biasa hidup merantau di negeri antah berantah, jadi lo nggak usah khawatir, buktinya gue bisa hidup sampe sekarangkan walau cuma sebatang kara?"
Bandung.Kediaman Ustadz Maulana.Satu Minggu kemudian.Hari-hari yang Hardin lalui benar-benar buruk tanpa Katrina.Hardin sudah mencoba mendatangi kediaman Ustadz Maulana di Bandung, dia ingin bertemu dengan Katrina, tapi Katrina selalu menolaknya. Katrina terus mengunci dirinya di dalam kamar bahkan ketika Hardin sudah berusaha mengetuk pintu itu dan mengajaknya bicara dari balik pintu. Namun lagi-lagi usahanya gagal. Katrina tetap menolak bertemu dengannya. Bahkan hanya sekedar menjawab salam yang dia teriakan dari luarpun tetap tak terdengar suara Katrina. Padahal Katrina tetap menjawab salam itu dari dalam, hanya saja dia menjawabnya tanpa suara. Tentunya dengan deraian air mata yan
Ini adalah malam minggu. Hardin mengajak Katrina untuk makan malam di luar. Yumna tidak ikut, karena Yumna sedang berada di Bandung. Omah sendiri yang meminta kepada Hardin dan Katrina untuk menjaga Yumna. Sepertinya wanita paruh baya itu sangat kesepian jika tak ada Yumna di sampingnya.Senyum terus mengembang di wajah Katrina. Dia berpikir Hardin mulai kembali. Setelah sebelumnya dia merasa bahwa suaminya itu banyak berubah. Tepatnya sejak kepergian Anggia. Sepertinya Hardin sangat terpukul. Dan hal itulah yang membuatnya jadi lebih banyak diam akhir-akhir ini. Bahkan sikapnya terkesan dingin pada Katrina. Dia sama sekali tidak menyentuh Katrina. Dia seringkali pulang telat dari kantor. Sementara Katrina mencoba untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Dia tidak ingin membuat hati suaminya menjadi lebih terbebani oleh sikapnya. Dia hanya tidak ingin menyulitkan suaminya. Itu saja.
Beberapa bulan kemudian...Di Sebuah desa terpencil di ujung pulau Jawa.Seorang laki-laki jangkung keluar dari grand Livina putih dengan memegang sebuah buket bunga yang berukuran sedang.Dia berjalan memasuki area pemakaman umum. Beberapa warga sekitar yang berjualan di sekitar pemakaman seolah berbisik-bisik tetangga. Sebab jarang ada orang asing dengan wajah yang menurut mereka sangat tampan, gayanya yang sangat keren ditambah dengan fasilitas mewah yang dia miliki datang ke areal pemakaman di desa tersebut. Dan hal itu langsung menjadi buah bibir di daerah itu.Reyhan berhenti di sebuah makam yang bertuliskan nama Jihan Fadila pada batu nisannya. Dan itulah m
Tim dokter dengan segala kepintarannya serta kemajuan tekhnologinya tetap tak bisa menentang takdir yang sudah ditentukan.Masih dua minggu dari prediksi, tapi Anggia sudah merasakan perutnya mulas sejak sore tadi.Awalnya dia berpikir bahwa dia hanya mulas karena ingin buang air besar. Tapi tidak kunjung keluar juga setelah dia berjalan bulak-balik keluar masuk toilet.Hingga akhirnya Anggia mendapati kemaluannya menghangat. Dia seperti seorang anak kecil yang pipis di celana, namun ketika melihat ke bagian selangkangannya, ternyata darah yang merembes dari sana dan turun mengalir ke bawah kakinya. Anggia panik dan berteriak. Membuat Omah terkaget-kaget.Saat itu juga Anggia langsung di baw
Satu Bulan Kemudian.Hari ini Reyhan diberi mandat oleh Opah untuk menangani masalah pekerjaan di Jakarta. Sebab Hardin sedang ada urusan pekerjaan di luar kota.Sore ini usai menyelesaikan urusan kantor, Reyhan berencana untuk membelikan sebuah hadiah untuk sang calon bayi di perut Anggia yang diprediksikan akan keluar dalam minggu-minggu ini. Dan sobatnya Nindra pun istrinya baru saja melahirkan, jadi Reyhan sekalian berbelanja di satu toko yang sama. Mumpung dia sedang berada di Jakarta. Karena besok Reyhan sudah harus kembali ke Bandung.Reyhan melihat-lihat jejeran stroller bayi dan pakaian bayi yang menurutnya sangat lucu. Kebetulan, dari hasil USG anak di perut Anggia itu berjenis kelamin perempuan. Jadi Reyhan memutuskan membelikan sebuah pakaian bayi peremp
Acara barbeque sudah selesai. Katrina sedang mencuci piring di dapur, ketika Anggia datang menghampirinya."Perlu bantuan?" tanya Anggia."Eh, nggak usah, Nggi. Udah mau selesai kok." Katrina menjawab seraya tersenyum dari balik cadarnya."Lo serius cinta sama Aa gue?" Anggia kembali bertanya. Matanya menatap wajah Katrina lekat-lekat. Ekspresinya terlihat datar. Sebenarnya Anggia benci jika harus berbicara dengan Katrina sementara dia tidak bisa menerka-nerka ekspresi wajah sahabatnya itu sebab tertutup cadar. Jadi, Anggia hanya bisa menebak melalui tatapan mata Katrina saja. Jelas itu bukan hal yang mudah baginya.Katrina langsung berhenti dengan kegiatannya begitu mendengar kalimat yang d
Katrina masih berjalan kaki menuju villa ketika dilihatnya mobil Hardin melesat bak anah panah melewatinya.Coba itu? Bahkan mereka tidak sama sekali menawarkan tumpangan pada dirinya. Katrina dibuat semakin jengkel."Ayo naik," kali ini sebuah suara terdengar. Suara Hardin. Ternyata dia sedang mengendarai motor matic si penjaga villa yang tadi dia pinjam. Motor itu melaju pelan di samping Katrina.Katrina melipat tangannya di dada. Dia langsung melengos.Enak saja. Tidak segampang itu Katrina akan memaafkannya. Katrina benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang ada dikepala suaminya, hingga dengan begitu tega membohongi istrinya sendiri, hanya demi sebuah pengakuan.
Lokasi Villa yang di sewa Hardin memang cukup jauh dari jalan raya puncak. Lokasi itu memasuki kawasan perkebunan teh terlebih dahulu. Jadi bisa di pastikan kondisi jalanan sangat sepi di malam hari. Belum lagi dalam kondisi cuaca seperti malam ini.Reyhan bergegas masuk ke dalam Villa sebelum sempat menjawab pertanyaan Katrina."Kunci mobil Hardin dimana?" tanya Reyhan panik.Katrina berlari ke dalam kamarnya. Mengambil kunci mobil di atas meja rias. Dan memberikannya pada Reyhan."Ada apa ini, Kak? Itu baju Kakak kenapa berdarah?" Katrina kembali bertanya. Dia mulai menangis.Reyhan berlari ke arah kamar Anggia.