Pagi itu, Lia berdiri di depan pintu rumah Raka. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Dia memandangi kertas di tangannya—salinan surat yang dia temukan di kotak kayu. Surat itu memuat janji yang samar namun mendalam, sesuatu yang membuatnya terus bertanya-tanya. Dia mengetuk pintu pelan. Beberapa detik berlalu sebelum Raka muncul, wajahnya terlihat lebih lesu dari biasanya. “Kamu nggak bilang mau ke sini,” ujarnya. Namun, nada suaranya tidak terdengar keberatan. “Aku perlu ngomong sama kamu,” jawab Lia, mencoba terdengar tegas meskipun keraguan masih melingkupinya. Raka membukakan pintu lebih lebar, mengisyaratkan Lia untuk masuk. Di ruang tamu, Lia menyerahkan surat itu kepada Raka. Dia membaca dengan seksama, alisnya berkerut semakin dalam. “Jadi, kamu pikir ini bukti kalau ada sesuatu yang lebih besar di balik semuanya?” tanyanya. Lia mengangguk. “Aku nggak tahu pasti, tapi rasanya ada sesuatu yang... salah. Terutam
Malam itu, Lia duduk di tepi ranjangnya, buku catatan kecil dari pamannya tergeletak di pangkuannya. Ruangan itu hening, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan. Cahaya lampu yang redup mempertegas lingkaran hitam di bawah matanya. Sudah berjam-jam ia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang ia dapatkan. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Dean. "Kita harus bicara. Aku menemukan sesuatu." Jantung Lia berdegup kencang. Pesan itu mengusik pikirannya. Apa yang Dean maksud? Dan kenapa nada pesannya terdengar mendesak? Namun, belum sempat dia membalas, telepon lain masuk. Kali ini dari Raka. “Lia, aku punya ide soal buku itu. Kalau kamu mau, kita bisa cari lebih jauh. Aku tahu seseorang yang mungkin bisa bantu,” ujarnya. Lia merasa kepalanya penuh. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dean dan Raka, lagi-lagi mereka hadir dengan jalan yang berbeda. Tetapi, satu hal yang membuatnya ragu—apakah mereka benar-benar membantu atau justru menyimp
Pagi itu, Lia terbangun dengan perasaan tidak tenang. Pesan anonim semalam masih memenuhi pikirannya, dan ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang perlahan menjalar. Siapa yang tahu dia sedang mencari tahu? Dan apa maksud pesan itu—peringatan atau ancaman? Ponselnya berbunyi lagi. Sebuah pesan baru masuk. Kali ini dari nomor yang tidak dikenalnya. "Kamu sudah terlalu dekat, Lia. Berhentilah sebelum semuanya terlambat." Lia menggenggam ponselnya erat, mencoba mengendalikan rasa cemas yang mulai menyeruak. Dia mengambil napas panjang dan memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Sebaliknya, dia menyimpan nomor tersebut, berniat untuk mencaritahu pemiliknya nanti. Hari itu, Lia bertemu dengan Dean dan Raka di perpustakaan umum. Mereka duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan, tumpukan buku dan dokumen memenuhi meja. Dean membuka sebuah map besar yang ia bawa. “Ini semua catatan proyek ayahku,” ujar Dean sambil menunjuk dokumen-dokumen itu. “Aku menemukan beberapa catatan ten
Sore itu, Lia duduk di meja belajarnya, memandangi amplop cokelat yang baru saja tiba. Tidak ada nama pengirim, hanya alamat rumahnya yang tertulis dengan tinta hitam tebal. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka amplop itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah catatan tangan dengan tulisan yang samar-samar miring. "Berhenti mencari. Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi." Lia menggigit bibirnya, mencoba mencerna makna kata-kata itu. Pesan ini jauh lebih langsung daripada yang dia terima sebelumnya. Pikirannya langsung melayang ke gedung penelitian yang mereka kunjungi beberapa hari lalu. Apakah seseorang tahu mereka sudah ke sana? Dia meraih ponselnya dan menghubungi Dean. “Dean, kamu di mana?” tanyanya, suaranya terdengar tegang. “Aku lagi di kafe dekat rumah. Kenapa?” “Aku perlu ketemu. Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”kita Lia bertemu dengan Dean di kafe kecil yang sepi. Dia menyerahkan surat itu kepadanya tanpa berkata-kata. Dean membaca pesan itu dengan eksp
Lia berlari keluar dari kelas begitu bel berbunyi, tasnya tergantung di bahu, penuh dengan buku dan catatan yang sudah tak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Surat-surat misterius itu, simbol yang ditemukan di buku tua, dan orang asing di perpustakaan—semuanya berputar di kepalanya seperti pusaran air. Dia tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu, untuk memecahkan teka-teki ini. Saat dia hampir sampai di gerbang sekolah, Dean menghentikannya. “Lia, tunggu!” Dia menoleh dengan cepat, tapi tatapannya bukan tatapan biasa. Ada ketakutan dan frustrasi di dalamnya. “Kamu kenapa?” tanya Dean dengan napas tersengal. “Aku nggak bisa kayak gini terus,” jawab Lia, suaranya gemetar. “Aku merasa seperti dikepung, Dean. Aku nggak tahu siapa yang bisa aku percaya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu.” Kata-kata Lia membuat Dean terdiam. Matanya melembut, tapi ada se
Langit pagi memancarkan warna kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang kacau. Setelah pesan ancaman terakhir yang dia terima, pikiran Lia dipenuhi ketakutan. Tetapi ketakutan itu tidak mampu mengalahkan tekadnya untuk terus mencari jawaban. Namun, ada hal lain yang membuat dadanya sesak. Dean. Percakapan terakhir mereka meninggalkan luka yang belum bisa dia sembuhkan. Lia berjalan menuju sekolah, berharap bisa menemui Dean sebelum kelas dimulai. Saat dia melihat Dean berdiri di dekat taman sekolah, sendirian, Lia tahu ini adalah kesempatannya. “Dean,” panggil Lia dengan suara rendah. Dean menoleh, dan matanya yang biasanya lembut tampak keras. “Apa yang kamu mau, Lia?” “Aku mau kita bicara. Aku nggak mau hubungan kita rusak karena semua ini,” kata Lia, mencoba menahan emosinya. Dean tertawa kecil, tapi nadanya dingin. “Hubungan? Lia, aku nggak tahu lagi apa arti hubungan kita. Kamu lebih memilih bekerja sama dengan Raka daripada percaya padaku.” “Itu bukan soal memilih! Aku
Lia mengatur napasnya, menenangkan detak jantungnya yang tak henti-hentinya berlomba. Ruangan bawah tanah yang dingin dan lembap itu terasa semakin menghimpit. Di sebelahnya, Raka berdiri dengan ekspresi tak terbaca. Ia memegang senter kecil, sinarnya menari di dinding bata yang penuh dengan lumut. “Kita harus segera keluar dari sini,” kata Raka, nadanya mendesak tetapi tetap lembut. Lia mengangguk, meski pikirannya masih berkecamuk. Percakapan terakhir mereka berputar-putar di kepalanya. Apakah benar Raka ada di pihaknya? Atau semua ini hanya permainan? Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara berat memecah keheningan. “Kalian kira bisa kabur begitu saja?” Lia dan Raka menoleh bersamaan. Di pintu tangga, pria yang tadi mereka hadapi berdiri dengan dua orang lainnya. Mereka membawa lampu sorot yang menyilaukan dan ekspresi dingin yang tak memberikan ruang untuk negosiasi. “Kita sudah selesai di sini,” kata pria itu, matanya menyipit ke arah Lia. “Serahkan a
Cahaya senja yang memudar melukis langit dengan warna jingga dan ungu. Lia berdiri di balkon kecil apartemennya, memandangi kota yang perlahan tenggelam dalam kegelapan. Angin malam menyapu wajahnya, membawa serta rasa dingin yang menelusup hingga ke hatinya. Dia memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya. Namun, pikirannya terus-menerus dihantui oleh percakapan terakhir di dalam mobil bersama Dean dan Raka. Ketegangan di antara mereka seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Lia, kau baik-baik saja?” Suara Dean mengejutkan Lia. Dia menoleh dan mendapati Dean berdiri di ambang pintu balkon, ekspresinya penuh kekhawatiran. Lia tidak menjawab, hanya memberikan isyarat kecil dengan bahu yang terangkat. “Aku tahu ini semua berat,” lanjut Dean, suaranya lebih pelan. “Tapi kau harus percaya bahwa aku ada di pihakmu.” Lia menatap Dean dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Masalahnya bukan aku percaya atau tidak. Masalahnya adalah aku tidak tahu siapa yang benar-benar bisa kua
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men