Lia berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya kaku seperti patung. Wajah ibunya terlihat serius, penuh dengan rasa khawatir yang membuat suasana semakin berat.“Duduklah, Lia,” kata ibunya pelan.Lia mengangguk dan melangkah masuk, duduk di sofa yang terasa lebih dingin dari biasanya. “Ada apa, Bu?”Ibunya mengambil napas panjang sebelum berbicara. “Ibu nggak tahu harus mulai dari mana, tapi ini tentang ayahmu.”Jantung Lia berdetak lebih cepat. Sudah lama sekali mereka tidak membicarakan ayah. “Kenapa tiba-tiba bahas Ayah?”Ibu Lia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Sebenarnya, ada sesuatu yang selama ini ibu sembunyikan darimu. Dan mungkin sudah waktunya kamu tahu.”Kata-kata itu membuat perasaan Lia campur aduk. Dia memandang ibunya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Apa maksud Ibu?”“Ibu tahu ini mungkin nggak ada hubungannya langsung dengan apa yang sedang kamu alami sekarang, tapi Ibu pikir ini bisa membantu kamu memahami sesuatu tentang dirimu sendiri,” ujar ibunya deng
Lia berdiri di depan jendela kamar, menatap hujan yang turun deras. Rintik-rintik air membentuk pola-pola acak di kaca, seolah mewakili kekacauan pikirannya. Dia meremas tepi sweater yang dikenakannya, mencoba meredakan dingin yang entah berasal dari cuaca atau hatinya sendiri. "Kenapa semua harus jadi serumit ini?" gumamnya, suara lirihnya tenggelam dalam suara hujan. Pikirannya berputar pada apa yang baru saja Dean ungkapkan. Hubungan orang tua mereka, rahasia masa lalu, dan bagaimana semua itu seperti simpul yang tak bisa terurai. Tapi lebih dari itu, ada Raka. Kata-katanya terus terngiang di kepala Lia: "Apa aku punya alasan buat tetap tinggal?" Lia memejamkan mata, berharap bisa menemukan jawabannya. Namun, yang datang hanyalah bayangan wajah Raka dan Dean yang terus berkelebat bergantian. Keesokan harinya, Lia mencoba mencari pelarian dari pikirannya dengan membersihkan kamar. Namun, saat dia membuka laci meja belajarnya, dia menemukan amplop tua yang sudah menguning di su
Lia bangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi menusuk kulitnya saat dia membuka tirai jendela kamar. Matahari yang baru terbit menyinari halaman kecil di luar, tapi suasana hatinya tetap mendung. Hari ini, dia akan menghadapi dua orang yang paling berarti baginya—Dean dan Raka. Dia tahu, pertemuan ini akan mengubah segalanya. Dia duduk di meja belajarnya, memandangi ponselnya. Pesan dari Dean dan Raka sudah masuk sejak semalam, masing-masing membalas persetujuannya untuk bertemu. “Oke, aku akan datang,” tulis Dean. “Aku di sana kapan pun kamu siap,” balas Raka. Lia menggenggam ponsel itu erat-erat. Jantungnya berdebar kencang, seperti sedang bersiap menghadapi ujian hidup yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lia memilih tempat netral untuk pertemuan mereka—taman kecil di dekat pusat kota. Pohon-pohon rindang melindungi meja piknik kayu tempat Lia duduk. Dia sampai lebih awal, ingin memastikan dirinya siap. Tapi nyatanya, rasa cemas terus menghantuinya. Langkah kaki ter
Pagi itu, Lia berdiri di depan pintu rumah Raka. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Dia memandangi kertas di tangannya—salinan surat yang dia temukan di kotak kayu. Surat itu memuat janji yang samar namun mendalam, sesuatu yang membuatnya terus bertanya-tanya. Dia mengetuk pintu pelan. Beberapa detik berlalu sebelum Raka muncul, wajahnya terlihat lebih lesu dari biasanya. “Kamu nggak bilang mau ke sini,” ujarnya. Namun, nada suaranya tidak terdengar keberatan. “Aku perlu ngomong sama kamu,” jawab Lia, mencoba terdengar tegas meskipun keraguan masih melingkupinya. Raka membukakan pintu lebih lebar, mengisyaratkan Lia untuk masuk. Di ruang tamu, Lia menyerahkan surat itu kepada Raka. Dia membaca dengan seksama, alisnya berkerut semakin dalam. “Jadi, kamu pikir ini bukti kalau ada sesuatu yang lebih besar di balik semuanya?” tanyanya. Lia mengangguk. “Aku nggak tahu pasti, tapi rasanya ada sesuatu yang... salah. Terutam
Malam itu, Lia duduk di tepi ranjangnya, buku catatan kecil dari pamannya tergeletak di pangkuannya. Ruangan itu hening, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan. Cahaya lampu yang redup mempertegas lingkaran hitam di bawah matanya. Sudah berjam-jam ia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang ia dapatkan. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Dean. "Kita harus bicara. Aku menemukan sesuatu." Jantung Lia berdegup kencang. Pesan itu mengusik pikirannya. Apa yang Dean maksud? Dan kenapa nada pesannya terdengar mendesak? Namun, belum sempat dia membalas, telepon lain masuk. Kali ini dari Raka. “Lia, aku punya ide soal buku itu. Kalau kamu mau, kita bisa cari lebih jauh. Aku tahu seseorang yang mungkin bisa bantu,” ujarnya. Lia merasa kepalanya penuh. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dean dan Raka, lagi-lagi mereka hadir dengan jalan yang berbeda. Tetapi, satu hal yang membuatnya ragu—apakah mereka benar-benar membantu atau justru menyimp
Pagi itu, Lia terbangun dengan perasaan tidak tenang. Pesan anonim semalam masih memenuhi pikirannya, dan ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang perlahan menjalar. Siapa yang tahu dia sedang mencari tahu? Dan apa maksud pesan itu—peringatan atau ancaman? Ponselnya berbunyi lagi. Sebuah pesan baru masuk. Kali ini dari nomor yang tidak dikenalnya. "Kamu sudah terlalu dekat, Lia. Berhentilah sebelum semuanya terlambat." Lia menggenggam ponselnya erat, mencoba mengendalikan rasa cemas yang mulai menyeruak. Dia mengambil napas panjang dan memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Sebaliknya, dia menyimpan nomor tersebut, berniat untuk mencaritahu pemiliknya nanti. Hari itu, Lia bertemu dengan Dean dan Raka di perpustakaan umum. Mereka duduk di sebuah meja kecil di sudut ruangan, tumpukan buku dan dokumen memenuhi meja. Dean membuka sebuah map besar yang ia bawa. “Ini semua catatan proyek ayahku,” ujar Dean sambil menunjuk dokumen-dokumen itu. “Aku menemukan beberapa catatan ten
Sore itu, Lia duduk di meja belajarnya, memandangi amplop cokelat yang baru saja tiba. Tidak ada nama pengirim, hanya alamat rumahnya yang tertulis dengan tinta hitam tebal. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka amplop itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah catatan tangan dengan tulisan yang samar-samar miring. "Berhenti mencari. Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi." Lia menggigit bibirnya, mencoba mencerna makna kata-kata itu. Pesan ini jauh lebih langsung daripada yang dia terima sebelumnya. Pikirannya langsung melayang ke gedung penelitian yang mereka kunjungi beberapa hari lalu. Apakah seseorang tahu mereka sudah ke sana? Dia meraih ponselnya dan menghubungi Dean. “Dean, kamu di mana?” tanyanya, suaranya terdengar tegang. “Aku lagi di kafe dekat rumah. Kenapa?” “Aku perlu ketemu. Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”kita Lia bertemu dengan Dean di kafe kecil yang sepi. Dia menyerahkan surat itu kepadanya tanpa berkata-kata. Dean membaca pesan itu dengan eksp
Lia berlari keluar dari kelas begitu bel berbunyi, tasnya tergantung di bahu, penuh dengan buku dan catatan yang sudah tak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Surat-surat misterius itu, simbol yang ditemukan di buku tua, dan orang asing di perpustakaan—semuanya berputar di kepalanya seperti pusaran air. Dia tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu, untuk memecahkan teka-teki ini. Saat dia hampir sampai di gerbang sekolah, Dean menghentikannya. “Lia, tunggu!” Dia menoleh dengan cepat, tapi tatapannya bukan tatapan biasa. Ada ketakutan dan frustrasi di dalamnya. “Kamu kenapa?” tanya Dean dengan napas tersengal. “Aku nggak bisa kayak gini terus,” jawab Lia, suaranya gemetar. “Aku merasa seperti dikepung, Dean. Aku nggak tahu siapa yang bisa aku percaya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu.” Kata-kata Lia membuat Dean terdiam. Matanya melembut, tapi ada se
Hujan turun deras malam itu, menambah keheningan yang menyelimuti kamar Lia. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil memandangi tetesan air yang membasahi kaca. Bayangan Raka masih terngiang di kepalanya, begitu pula kata-kata terakhir yang ia ucapkan.“Aku ingin kamu bahagia, Lia.”Namun, bahagia seperti apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar tidak bisa bahagia tanpa Raka?Pikirannya berkecamuk. Ia merasa seperti tersesat di persimpangan jalan. Tapi di tengah kebingungannya, ada satu nama lain yang terus menyelinap masuk ke dalam hatinya: Dean.Dean, dengan senyumannya yang selalu memberi rasa hangat. Dean, yang meski tidak pernah ia duga, selalu berada di saat ia membutuhkan seseorang.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia membutuhkan ketenangan, atau setidaknya tempat di mana ia bisa mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan ini.Langkahnya terhenti ketik
Langit kampus dipenuhi awan kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang tak menentu. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki taman di depan gedung utama, tempat Raka biasa menunggu. Namun hari ini berbeda. Tidak ada Raka yang tersenyum hangat menyapanya. Yang ada hanya bangku kosong dan udara dingin menusuk.Lia merapatkan jaketnya, matanya menyapu sekitar, berharap ia hanya terlambat beberapa menit. Namun, semakin lama ia berdiri di sana, semakin nyata kenyataan bahwa Raka tidak datang.“Lia.”Suara itu membuatnya menoleh. Dean berdiri tak jauh darinya, mengenakan hoodie abu-abu dan jeans. Rambutnya berantakan seperti baru berlari, dan ada senyuman kecil yang menggantung di bibirnya.“Aku kira kamu nggak ke sini,” katanya sambil melangkah mendekat.Lia menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Aku nunggu Raka.”Dean mengangguk pelan, meski ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Raka nggak bilang apa-apa ke kamu?
Bab 68Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Pikirannya melayang, mencoba mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.Pertemuan dengan Raka di kafe sore tadi masih terngiang jelas di benaknya. Tatapan mata Raka yang penuh harap, kata-kata yang terucap dengan hati-hati, dan keheningan yang sesekali menyelimuti percakapan mereka."Lia, aku tahu ini sulit untukmu," kata Raka sambil menatap langsung ke matanya. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tulus. Aku siap menunggumu sampai kamu benar-benar yakin."Lia hanya bisa tersenyum tipis saat itu, tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Hatinya masih bimbang antara perasaannya pada Raka dan Dean.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Langit cerah dengan awan putih berarak, angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutnya.
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Lia duduk di teras rumahnya, menatap langit yang mulai cerah, dengan bintang-bintang yang bermunculan satu per satu. Pikirannya melayang, merenungkan pertemuannya dengan Raka dan Dean beberapa hari lalu.Ia telah menyampaikan keputusannya untuk tidak memilih salah satu dari mereka saat ini, dan meminta waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Keduanya menerima keputusan itu dengan lapang dada, meskipun Lia bisa melihat kekecewaan di mata mereka.Sejak saat itu, Lia merasa ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Raka dan Dean. Mereka masih berkomunikasi, namun tidak seintens dulu. Lia memahami bahwa mereka memberi ruang baginya untuk berpikir, namun ia tak bisa menghindari rasa kesepian yang mulai menyelimuti hatinya.Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman kota, Lia melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan anjing peliharaannya. Tawa riang gadis itu mengingatkannya pada masa kecilnya
Langit mendung menggantung di atas kampus, memberikan suasana muram yang terasa selaras dengan perasaan Lia. Ia berjalan di koridor panjang menuju perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban keputusan yang ia hadapi menekan pundaknya.Pintu perpustakaan berderit saat ia membukanya. Di dalam, aroma buku tua langsung menyergap indra penciumannya. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya, namun hari ini, ketenangan perpustakaan terasa terlalu sunyi.Lia melangkah menuju rak bagian belakang, tempat paling sepi yang biasa ia pilih untuk menyendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.Dean.Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Lia ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. Ketukan kecil pada meja membuat Dean menoleh.“Oh, Lia,” ucapnya
Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini
Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan
Langit pagi masih dihiasi sisa-sisa warna fajar ketika Lia tiba di perpustakaan sekolah. Sepi. Hanya suara halus AC yang memenuhi ruangan. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikiran. Hari ini ia memutuskan untuk menghindari Dean dan Raka. Hanya untuk satu hari.Tapi rencananya buyar begitu ia membuka pintu ruang baca.“Lia?”Suara itu familiar. Raka.Ia berdiri di pojok, dikelilingi tumpukan buku yang berantakan. Kemeja putihnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, meski ada kantong mata kecil yang tak bisa ia sembunyikan.“Oh, hai,” jawab Lia gugup, merasa kehadirannya seperti gangguan.Raka tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Aku nggak tahu kamu suka datang pagi-pagi ke sini.”Lia mengangkat bahu. “Aku cuma… butuh tempat tenang.”“Kebetulan,” kata Raka sambil menunjuk tumpukan buku. “Aku lagi cari bahan untuk tugas sejarah. Tapi kayaknya lebih banyak bingungnya daripada dapet jawabannya.”Lia terkekeh kecil, meski rasa canggung masih terasa. “Sejarah? K
Langit mendung menyelimuti suasana kampus. Lia berjalan melewati lorong panjang dengan buku-buku di pelukannya, sementara pikirannya berputar tanpa arah. Setiap langkah terasa berat, seperti menggiring beban yang tak kasatmata.Di depan perpustakaan, Dean berdiri bersandar pada dinding, menatap ke arah pintu masuk dengan raut wajah serius. Begitu melihat Lia mendekat, dia segera meluruskan tubuhnya. Ada sesuatu dalam tatapan Dean yang membuat Lia merasa perutnya melilit.“Lia,” panggilnya, suaranya rendah namun tegas.Lia berhenti, menarik napas dalam sebelum menjawab. “Ada apa, Dean?”Dia mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah, tapi suasana di antara mereka terasa seperti samudra luas. Dean menatap Lia dengan mata yang penuh emosi, campuran antara harapan dan kecemasan.“Kita harus bicara,” katanya akhirnya.Lia mengangguk perlahan, tanpa kata, lalu mengikuti langkah Dean menuju bangku di bawah pohon besar di taman kampus. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang menyelinap di