"Apakah tes kesuburan harus dilakukan di St Martin? Mary Aram tidak ingin kembali ke St Martin," Mary Aram menangis meringkuk di sudut kamar. "Ada monster mengerikan di sana.""Mary Aram, kau tidak akan bertemu dengan monster! Ada Ayah menemanimu di St Martin," tuan besar Felix Aram berusaha meraih tubuh anak perempuannya dari sela-sela sofa."Tidak Ayah, Mary Aram mohon..." Mary Aram benar-benar ketakutan, ia semakin mendesak ke belakang sofa.Tuan besar Felix Aram duduk di sofa memijat kening, hatinya sangat hancur menghadapi anak perempuannya."Kakak..." Paman Mary Aram menepuk bahu ayah Mary Aram, "Biar aku saja.""Mary Aram, kau lihat apa ini?" Paman Mary Aram meletakkan cemeti kuda di lantai dekat kaki Mary Aram. "Kita berangkat ke St Martin sekarang untuk menghajar monster itu."Mary Aram menatap lekat pamannya. Melihat tubuh kekar pamannya, Mary Aram percaya jika pamannya itu mampu menghajar monster."Monster itu untuk dilawan, bukan untuk ditakuti," Paman Mary Aram menyingkir
"Paman Kecil, jangan tinggalkan aku!" Mary Aram terus memeluk lengan pamannya, hatinya sangat cemas dan takut. Saat ini dirinya berada di St Martin, bagaimana jika monster itu tiba-tiba muncul?"Bukankah kau sudah membawa cemeti kuda? Hajar saja jika monster itu muncul," paman kecil menepuk punggung tangan Mary Aram. Saat ini mereka berada di ruang tunggu tempat dokter Esmeralda bertugas, mereka menanti tahap awal bayi tabung yang akan dilaksanakan.Di dalam sana di ruang kantor dokter Esmeralda, dokter senior Felix Aram sedang berdiskusi dengan dokter Esmeralda."Paman, mengapa ayahku sangat lama? Apakah tes kesuburan sangat sakit?" Tangan Mary Aram sangat dingin karena kecemasan yang menumpuk."Ayahmu sedang berdiskusi dengan dokter Esmeralda," sang paman merasa tidak nyaman, karena Mary Aram tidak mengetahui jika yang dihadapi bukan sekedar tes kesuburan, melainkan proses pengambilan sel telur untuk program bayi tabung."Mengenai sakit dan tidaknya proses tes kesuburan, Paman tidak
'Sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku?' di tengah rasa sakitnya, Mary Aram berusaha fokus mendengarkan ucapan dokter Mizeaz.'Mengapa dokter Mizeaz berterima kasih kepadaku soal anak?' Mary Aram bertanya-tanya dalam hati.Hembusan napas hangat dan wangi, begitu dekat menyentuh wajah Mary Aram. Meredam rasa sakit yang mewarnai dirinya."Mary Aram, Aku sangat mencintaimu. Datanglah padaku, jika kau tidak memiliki tempat bernaung. Aku dan anak kita selalu menantimu," Dokter Mizeaz berbisik mencurahkan kelembutan cinta kasih.Kecupan dan pagutan dokter Mizeaz sangatlah lembut, menenangkan jiwa. Curahan cinta kasih itu menghidupkan kembali jiwa Mary Aram yang rapuh, seolah menarik dirinya keluar dari lumpur kelam kesedihan.Hati Mary Aram tergugah, ia berusaha untuk sadar sepenuhnya, 'Dokter Mizeaz? Apa sebenarnya yang terjadi?' "Mary Aram, aku menitipkan bayi kita dalam rahim dokter Esmeralda. Dialah yang akan berjuang untuk melahirkan bayi kita, kau harus menghormatinya seperti kau
Sekonyong-konyong kursi roda Mary Aram perlahan bergerak, menjauh dari ruangan tempat ia dirawat sebelumnya."Kau masih hidup? Aku berharap kau segera mati!"'Suara itu? Sepertinya tidak asing?' Mary Aram tersentak, perasaannya mengatakan bahwa ia sedang berada dalam ancaman. 'Apakah ia monster itu? Ah! Bukan! Bukan! Monster itu adalah pria, bukan wanita!'"Untuk apa kau di sini? Memeriksakan kehamilan? Hah! Anakmu sudah mati," suara itu tertawa sinis.Kursi roda terus bergerak berbelok menuju lift. "Siapa kau? Apa maumu?""Ha ha… Kau tidak kenal padaku? Sangat keterlaluan!" Wanita itu mencubit pipi Mary Aram."Aku senang anakmu mati! Semoga kau mandul, dan kakakku menikah dengan orang yang sepantasnya!""Jahat sekali kau bersuka cita atas kematian anak kakakmu?" Mary Aram berusaha untuk tenang. "Andai kakakmu tahu, pasti ia akan sakit hati dan marah.""Lebih baik ia sakit hati daripada ia menikah denganmu!" Wanita itu menampar pipi Mary Aram tiga kali.Sesampai di lift, dengan kasar
Amar Mea Malawi menghentikan langkahnya, "Meina Aram, kau sayang padaku ataukah uangku?""Maksudmu Amar Mea?" Meina Aram balik bertanya.Amar Mea Malawi membalikkan badan, ia tersenyum sekilas, "Meina Aram, aku paham benar akan kebiasaanmu. Ketika kau menginginkan sesuatu, kau memanggilku Kakak. Namun ketika kau kesal padaku, kau memanggilku Amar Mea.""Sama seperti kau membuang ayahmu, tentu saja kau pasti membuangku jika aku tidak memiliki uang," Amar Mea Malawi tertawa."Amar Mea, hal itu tidak mungkin," kilah Meina Aram.Amar Mea Malawi hanya tertawa mendengarnya, benar-benar sedih mendapati kenyataan culas adiknya."Kakak, maafkan aku!" Meina Aram berusaha membujuk Amar Mea Malawi. "Aku benar-benar sayang kepadamu, aku mengharapkan kau mendapat istri yang sepadan denganmu.""Mary Aram lah istri sepadan!" Sergah Amar Mea Malawi cepat. "Mata Patrice lebih tajam dari mu. Adik yang ku abaikan itu justru yang mendukungku mendapatkan Mary Aram bahkan sangat menyayangi Mary Aram.""Patr
Lampu penerangan taman menjadikan Mary Aram gugup, seolah-olah sesuatu merampas paksa jiwanya. Kobaran api menyala-nyala membakar habis seluruh perasaan serta semangat hidupnya. 'Pilu dan menyakitkan!'Mary Aram segera meraih cemeti yang ada di atas dashboard mobil, sikapnya sangat waspada mengamati sekelilingnya.Melihat sikap anaknya, tuan besar Felix Aram menggengam telapak erat tangan Mary Aram, "Nak, jangan takut! Tidak ada monster di sini.""Mary Aram simpan saja cemeti itu. Di kediaman ini kau tidak perlu cemeti, ada banyak pria yang akan mengalahkan monster," Boa Moza membesarkan hati keponakannya."Tapi Paman...," berat hati Mary Aram mengembalikan cemeti ke atas dashboard mobil."Ayo turun, ayah angkatmu tidak sabar ingin berjumpa," Boa Moza mematikan mesin mobil. Pria itu menamati sekelilingnya mencari Amar Mea Malawi."Tuan Besar Aram selamat datang," paman Sanif membuka lebar pintu mobil. "Nona Muda selamat datang, senang menyambut anda pulang."Sesaat Mary Aram ragu-ragu
Kegundahan Amar Mea Malawi merajai hati, wanita yang sangat dicintai tidak mengenali dirinya.Amar Mea malawi meletakkan bunga mawar di pangkuan Mary Aram lalu mengecup pipinya dekat pada bibir. Hangat napas wanita yang sangat di cintainya itu, memancing hasrat rindu yang terbelenggu."Senang kau telah pulang, Mary Aram," bisik Amar Mea Malawi."Terima kasih Kakak Besar," Mary Aram tersenyum. Senyuman yang sangat manis menyejukkan hati bagi Amar Mea Malawi. "Kakak Besar?" Amar Mea tersenyum pahit mendapati bahwa Mary Aram masih tidak mengenali dirinya sebagai suami.'Telak benar kau membalas kesalahanku?' Amar Mea malawi menertawakan dirinya sendiri."Bunga yang sangat cantik! Akan menemani perjalanan Mary Aram ke St John," Mary Aram mengagumi bunga pemberian Amar Mea Malawi."Ke St John? Kau akan ke St John?" Amar Mea Malawi terkejut mendengarnya."Ya, Mary Aram akan pindah kuliah di St John. Sebab di St Martin, kerja Mary Aram hanya tidur. Kuliah Mary Aram kacau," Mary Aram menjawa
"Mary Aram, apakah kau benar melupakanku? Hatiku sangat sakit," bisikan penuh kekecewaan singgah di telinga Mary Aram."Kakak Besar...kau membuatku takut," gumam Mary Aram hatinya berdebar-debar diliputi kecemasan. Ia mencoba tenang, diam tidak bergerak."Kau takut padaku? Apakah aku begitu mengerikan, hingga membuatmu takut?" pria itu menyembuyikan tangis pada tengkuk Mary Aram."Entahlah? Hanya saja mendapati Kakak Besar tiba-tiba ada di dalam kamar Mary Aram, membuat Mary Aram terkejut.""Ini adalah kamarku juga," menghirup kembali aroma tubuh Mary Aram, hati Amar Mea Malawi meluap melepas kerinduan."Mary Aram tidak mengerti? Bagaimana bisa kita berbagi kamar?" bulu kuduk Mary Aram meremang merasakan tangan melingkar pada pinggang dan bahunya.Mary Aram menebarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar yang luas. Di bagian lain dari kamar itu bernuasa kuning gading, ada sebuah tempat tidur lagi dengan dua boneka beruang besar di atasnya."Tidurku tidak nyenyak jika seorang diri. Dan be