Menjelang petang, terdengar suara tiupan terompet dari Muara menandakan bahwa perayaan bulan purnama segera dimulai.Tambur ditabuh bersahut-sahutan, diiringi suara alat musik tradisional yang lain."Istriku, perayaan bulan purnama telah dimulai. Kita segera ke sungai, perahu kita telah menanti," Amar Mea Malawi menyisir dan mengikat rambut panjang Mary Aram dengan pita merah."Istri? Benarkah aku telah menjadi istrimu?" Mata Mary Aram menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Perlahan ia tersenyum, ekspresinya tampak sangat bahagia."Ya kita telah menikah," Amar Mea Malawi juga tersenyum bahagia melihat senyum menawan tersungging di bibir istrinya."Abee Bong... kau menerimaku kembali?" Mary Aram menyentuh punggung tangan Amar Mea Malawi, "Aku telah ternoda, aku sangat malu!"Senyum bahagia Amar Mea Malawi sirna seketika, perlahan telapak tangan pria itu mengepal."Bisakah kau tidak menyebut nama pria itu?" Ujar Amar Mea Malawi geram."Pria itu? Apa maksudnya?" Mary Aram tertegun
Senandung pengantar tidur begitu lembut mengalun. Rasa nyaman perlahan mengalir merasuki hati, menyegarkan jiwa yang lelah.Aroma obat-obatan herbal menyapa hidung Mary Aram, hatinya sesaat melonjak. 'Ayah?' Mary Aram membuka mata dan segera memeluk tuan besar Felix Aram yang berbaring di sampingnya."Ayah, Mary Aram sangat merindukanmu," ia tidak kuasa membendung tangis. "Mary Aram sangat takut!""Ayah ada bersama denganmu," tuan besar Felix Aram menepuk punggung anaknya memberi ketenangan. Ia sangat marah dan tidak tega mendapati anak tunggalnya yang cantik penuh dengan luka."Ayah, bolehkah Mary Aram bersekolah di St John," Mary Aram menarik napas panjang menghirup aroma kasih sayang ayahnya, sangat tentram berada dalam pelukan ayah."St John?" Tuan Besar Felix Aram terdiam sejenak, hatinya sangat hancur mengamati wajah sendu anaknya."Entahlah Ayah, sepertinya St Martin sangat menakutkan," Mary Aram menyembunyikan wajahnya dalam dekapan hangat tuan besar Felix Aram. "Baik, jik
Tuan besar Felix Aram, ayah Mary Aram benar-benar tidak dapat membendung emosi, manakala mendapati Amar Mea Malawi muncul di hadapannya. Dokter senior itu memanggil perawat untuk memindahkan Mary Aram ke ruangan lain, agar tidak mendengar amarahnya."Kau?! Berani sekali muncul di hadapanku?" tanpa membuang kesempatan, Tuan besar Felix Aram bangkit menghajar menantunya."Apa jadinya anak perempuanku, jika pengelola pondok pohon tidak menemukannya?" Hajaran tuan besar Felix Aram telak mengenai pelipis Amar Mea Malawi."Ayah, Amar Mea ingin berjumpa Mary Aram," Amar Mea Malawi menunduk tidak melawan."Ingin berjumpa dengan Mary Aram?" Tuan besar Felix Aram tertawa sinis. "Bukankah kau telah meninggalkannya dalam keadaan demam dan sekarat di hutan?""Ayah, Maafkan! Ama Mea kesal, karena di benak Mary Aram hanya ada Abee Bong Moja," Amar Mea Malawi terus menunduk."Kau seharusnya tahu diri! Kau menodainya, kau menikahinya secara paksa, dan kau brutal kepadanya! Jangan sakit hati jika anak
"Mary Mea Malawi…?" Pria itu tercengang, kemudian menghalangi wajahnya dengan telapak tangan menyembunyikan tawa.Mary Aram menaikkan kedua kakinya di bangku taman. Dengan santai ia duduk bersila, sambil terus mengupas kulit kuaci dengan gigi depannya yang rapi."Bagaimana bisa kau bingung dengan namamu sendiri?" Wajah pria itu merah padam menahan tawa."Sejatinya aku adalah keturunan Aram, namun Bong Moja adalah moyang dari ibuku, mereka mencatat nama Mary Bong Moja dalam silsilah keluarga," Mary Aram menggeliat kuat-kuat mengusir pegal, kemudian menoleh pada pria itu."Bahkan Mea Malawi juga mengklaim bahwa diriku ini adalah anak perempuan mereka. Hmm… mungkin karena aku cantik dan pintar?" Mary Aram mengangkat bahu. "Jadi, terserah Tuan memanggil.""Bagaimana jika aku memanggilmu... istriku?" Pria itu duduk menyilangkan kaki dengan elegan sambil tersenyum.Mary Aram mengerutkan kening menatap pria itu. Masih duduk bersila, tiba-tiba tangan kirinya mencengkram kancing kemeja pria i
Setelah mencari di seluruh sudut kediaman Aram, akhirnya Mary Aram menemukan paman kecilnya di tepi sungai. Pria gagah itu tampak santai bercelana pendek tanpa baju sedang memberi makan ikan dalam keramba."Paman!" Mary Aram langsung memeluk paman kecilnya dari belakang. "Mary Aram sangat rindu.""Paman dengar, Mary Aram sangat badung? Bahkan nyaris menghajar orang di rumah sakit," tegur sang paman, nadanya santai tapi cukup membuat Mary Aram merasa bersalah."Secepat itukah kabar itu sampai ke telinga paman?" Suara sendu Mary Aram terdengar menyentuh hati."Tentu saja! Pihak rumah sakit harus meminta maaf kepada pria itu," paman kecil menaikkan keramba melihat ikan peliharaannya, kemudian menjaring lima ekor ikan gurami yang besar."Paman, pria itu membuat Mary Aram sangat kesal," dengan memeluk lebih erat tubuh pamannya, merupakan senjata ampuh menghindari disiplin."Mengapa Mary Aram sekarang berubah badung? Mudah kesal, mudah menghajar orang?" Sang paman pun mengetahui trik Mary A
"Apakah tes kesuburan harus dilakukan di St Martin? Mary Aram tidak ingin kembali ke St Martin," Mary Aram menangis meringkuk di sudut kamar. "Ada monster mengerikan di sana.""Mary Aram, kau tidak akan bertemu dengan monster! Ada Ayah menemanimu di St Martin," tuan besar Felix Aram berusaha meraih tubuh anak perempuannya dari sela-sela sofa."Tidak Ayah, Mary Aram mohon..." Mary Aram benar-benar ketakutan, ia semakin mendesak ke belakang sofa.Tuan besar Felix Aram duduk di sofa memijat kening, hatinya sangat hancur menghadapi anak perempuannya."Kakak..." Paman Mary Aram menepuk bahu ayah Mary Aram, "Biar aku saja.""Mary Aram, kau lihat apa ini?" Paman Mary Aram meletakkan cemeti kuda di lantai dekat kaki Mary Aram. "Kita berangkat ke St Martin sekarang untuk menghajar monster itu."Mary Aram menatap lekat pamannya. Melihat tubuh kekar pamannya, Mary Aram percaya jika pamannya itu mampu menghajar monster."Monster itu untuk dilawan, bukan untuk ditakuti," Paman Mary Aram menyingkir
"Paman Kecil, jangan tinggalkan aku!" Mary Aram terus memeluk lengan pamannya, hatinya sangat cemas dan takut. Saat ini dirinya berada di St Martin, bagaimana jika monster itu tiba-tiba muncul?"Bukankah kau sudah membawa cemeti kuda? Hajar saja jika monster itu muncul," paman kecil menepuk punggung tangan Mary Aram. Saat ini mereka berada di ruang tunggu tempat dokter Esmeralda bertugas, mereka menanti tahap awal bayi tabung yang akan dilaksanakan.Di dalam sana di ruang kantor dokter Esmeralda, dokter senior Felix Aram sedang berdiskusi dengan dokter Esmeralda."Paman, mengapa ayahku sangat lama? Apakah tes kesuburan sangat sakit?" Tangan Mary Aram sangat dingin karena kecemasan yang menumpuk."Ayahmu sedang berdiskusi dengan dokter Esmeralda," sang paman merasa tidak nyaman, karena Mary Aram tidak mengetahui jika yang dihadapi bukan sekedar tes kesuburan, melainkan proses pengambilan sel telur untuk program bayi tabung."Mengenai sakit dan tidaknya proses tes kesuburan, Paman tidak
'Sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku?' di tengah rasa sakitnya, Mary Aram berusaha fokus mendengarkan ucapan dokter Mizeaz.'Mengapa dokter Mizeaz berterima kasih kepadaku soal anak?' Mary Aram bertanya-tanya dalam hati.Hembusan napas hangat dan wangi, begitu dekat menyentuh wajah Mary Aram. Meredam rasa sakit yang mewarnai dirinya."Mary Aram, Aku sangat mencintaimu. Datanglah padaku, jika kau tidak memiliki tempat bernaung. Aku dan anak kita selalu menantimu," Dokter Mizeaz berbisik mencurahkan kelembutan cinta kasih.Kecupan dan pagutan dokter Mizeaz sangatlah lembut, menenangkan jiwa. Curahan cinta kasih itu menghidupkan kembali jiwa Mary Aram yang rapuh, seolah menarik dirinya keluar dari lumpur kelam kesedihan.Hati Mary Aram tergugah, ia berusaha untuk sadar sepenuhnya, 'Dokter Mizeaz? Apa sebenarnya yang terjadi?' "Mary Aram, aku menitipkan bayi kita dalam rahim dokter Esmeralda. Dialah yang akan berjuang untuk melahirkan bayi kita, kau harus menghormatinya seperti kau