Pagi hari cuaca sangat cerah. Setelah semalaman hujan turun dengan deras. Embun pagi masih membasahi jendela sehingga kaca masih tertutup embun. Meskipun cerah dingin nya pagi masih menusuk kalbu. Seorang perempuan masih bermalas-malasan di kasur empuknya dengan berbekal selimut tebal warna putih.“Hem …” Perempuan itu mendesah kecil seolah tidak mau bangun dari tidurnya. Suara burung camar terdengar jelas namun dia enggan untuk beranjak.Perempuan itu terbangun ketika mendengar suara ketukan di pintu depan. Perlahan dia bangun sambil merentangkan kedua tangan di atas. Sesekali dia mengusap. Kedua matanya menyipit karena silau cahaya matahari masuk melalui jendela kamar. Pertanda malam yang dingin sudah usai. Ketukan pintu masih terdengar terus menerus.“Siapa pagi-pagi datang? Tidak tahu hari ini aku ingin istirahat sejenak.” Dua kaki jenjangnya turun dan kasur dan memakai sandal bulu. Tubuhnya sedikit malas untuk bergerak.“Masih tidur?” Tanya seseorang lelaki saat dirinya membuka p
Lelaki bertubuh atletis, tinggi, sispack sedang berdiri di depan cermin sambil mengancingi satu persatu kemeja hitamnya. Setiap kali penampilan Devano paling suka dengan kemeja jarang pakai t-shirt. Devano menyisir rambutnya agar terlihat rapi. Baginya bertemu di pemakaman Rebecca sang Casanova harus terlihat rapi, tampan dan wangi. Ini gila baginya karena Rebecca sudah meninggal. Setelah rapi dia melihat dari atas sampai bawah di cermin penampilannya sudah memukau.Tidak sengaja kedua matanya menatap foto pernikahan dirinya dan Raina. Devano langsung mengambil foto tersebut dan melempar pigora tersebut dengan kuat sehingga kaca pigura tersebut pecah dan sisa-sisa pecahan berantakan di lantai. Devano sangat marah dan kecewa dengan Raina. Sampai sekarang dia belum mendapatkan kabar darinya. Rahang Devano mengeras, dia akan memberi pelajaran kepada Raina. “Morgan, bereskan kamarku. Jangan sampai aku datang masih berantakan.” Perintah Devano meninggalkan kamarnya. Satu persatu dia menu
Raina tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan? Devano sudah tahu keberadaanya. Apakah ini pertanda dia jodoh dengan Sang Casanova. Senyum puas tersirat di wajah Devano setelah tiga bulan dia sudah menemukan cinderellanya. Devano mendorong tubuh Raina sampai terjatuh ke kursi ruang tamu. Setelah itu Devano mencodongkan tubuhnya di depan Raina. Jarak antara mereka hanya beberapa senti saja.Aroma tubuh ini masih sama. Bidang dadanya yang six pack masih terlihat sama saat mendapat pelukan pertama kali dari seorang casanova yang sekarang menjadi suaminya.. Aku merasakan pelukan ini bagaikan penjahat wanita kelas kakap. Aku langsung melepaskan pelukannya. Tubuhnya sedikit menjauh dariku. Devano hampir saja terjungkal.“Jangan pernah menyentuhku lagi!” Aku menunjuk jariku kearahnya.” Sudah berapa wanita yang kau buat mabuk kepayang dengan perlakuan mu itu? Dan berapa jauh aku bisa lolos darimu!” Aku sedikit menjauh dengan Casanova yang berada di depanku. Devano ini bisa saja langsung mel
Sebuah amplop berlogo love membutakan hatinya yaitu rasa cemburu yang paling dalam. Ini rasa cemburu karena cinta atau karena cinderella milik Casanova diambil secara hati-hati oleh adiknya sendiri. Dentuman irama jantung terasa cepat. Fikiran dari sang Casanova mulai tidak karuan, dia ingin apa yang ada di fikirannya salah tentang perasaan Roland kepada Raina. Mencoba menghela nafas sebelum Raina pulang.Suara kertas yang di sobek terdengar sangat kuat pertanda jika Devano sedang marah besar. Mengamati satu persatu tulisan yang ada.Dear Raina,Aku benar-benar sangat menyukaimu, mungkin ini terlalu naif untukku karena aku tahu kamu adalah istri dari kakakku Devano.Kau barangkali tak menyadari betapa aku memperhatikanmu. Kau memang tak perlu tahu. Cukuplah kupastikan hidupmu mulus berjalan dan tak kekurangan. Hanya memandangmu dari jauh pun, aku tak pernah keberatan. RolandBagai dibakar api cemburu, Devano tidak terima Roland menberikan surat cinta yang begitu romantis. Kertas terse
Tepat di depan rumah, Devano ingin menghirup udara yang segar setelah punggungnya sakit akibat tertidur di sofa yang busanya sudah kempes. Devano mereanggakan ototnya namun, saat berkali melakukan aktivitas semua gadis, ibu-ibu memandangnya dengan terpesona. Sontak membuat Devano percaya diri. Memang dia tdiak memungkiri jika dirinya tampan. Devano tidak menggubris mereka yang memandangnya lagi. Lelaki itu berjalan ke jalan setapak yang tertutup kulit kerang. Devano mencium aroma masakan seolah sedang menyambutnya. Devano masuk ke dalam.Pintu itu menghadap ke selatan, mengarah langsung ke halaman yang membaut ruangan di dalamnya terlihat gelap. Terkadang Devano bingung dengan kondisi Raina yang betah selama tiga bulan tinggal di rumah tua. “Hai, tampan!” Devano menoleh ke samping nyonya Betris sedang menatapnya dengan genit. Berbekal payung berwarna putih yang ada di tangannya membuat dia semakin casual.“Iya, nyonya Betris ada yang bisa saya bantu?”“Kamu adalah pelayannya Suster
Hawa dingin menusuk kalbu. Rintik hujan masih membasahi. Senja melukiskan keindahan di langit sore. Menyalakan api di tungku perapian yang nantinya aspanya di keluarkan melalui cerobong asap di atas. Penduduk di sekitar sini kebanyakan membaut perapian untuk menghangatkan ini adalah cara terbaik untuk menghangatkan badan. Berpuluh tahun baru kali ini Devano merasakan api di dalam tungku rumah. Sesekali dia mengusap tangannya karena dingin. Sweaternya bahkan tidak mampu menampung dinginnya tubuh. Devano melirik ke belakang. Dari tadi Raina membuatkan teh lemon hangat belum juga selesai padahal sudah lima belas menit dia di dapur. Tidak ada suara dari arah dapur. “Raina.” Panggil Devano dan menuju dapur. Betapa kagetnya tubuhnya tergeletak di dapur dengan kedua mata terpejam. Devano langsung lari menghampirinya. “Raina, bangun!” Devano menepuk pipinya berkali-kali tetapi tidak ada sahutan. “Raina, kamu kenapa?” tanyanya sekali lagi. Dengan sigap Devano menggendong tubuh Raina dan mem
Sebuah suara yang mampu membuyarkan lamunan mereka. Wajah Devano, yang baru semenit lalu di penuhi dengan kebahagiaaan tiba-tiba kehilangm senyumannya, begitupun dengan Raina merasa darah tersedot dari wajahnya dan mulutnya ingin membuka dan mengatakan sesuatu yang sebenarnya terjadi. Seorang pria bertubuh tinggi dan putih melangkah masuk ke dalam ambang pintu depan, pakaian lelaki itu cukup formal dengan mantel bagian ekor berbentuk persegi, dasi kupu-kupu berwarna putih dan celana panjang hitam rapi dan licin. Pria itu melihat Raina sedang berdiri seperti patung melihat kedatangannya.“Hai, Raina. Aku sudah pulang.” Hanya itu ucapan yang tersirat di bibir manisnya. Raina menelan saliva dengan susah payah. Terlihat wajah pria yang berdiri di ambang pintu tiba-tiba memucat. Tatapan Devano sekarang beralih kepada pria yang berdiri di ambang pintu. Devano sekarang dikuasai oleh perasaan yang mengerikan. Kengerian yang lebih kuat di banding dengan kejadian sebelumnya. Raina menggelengk
Lelaki itu mondar-mandir di heningan malam. Mengacak-acak rambutnya penuh frustasi memikirkan bagaimana gadis itu bersama satu pria di dalam rumah. Rasa cemburu sekarang membakar hatinya. Meja makan yang masih terlihat bekas makan soupnya pun belum di bereskan. Membiarkan pemiliknya datang. Keadaan sampat mencair namun Roland datang menghancurkannya.Beberapa hari ini dia sampai belum sempat melihat keadaan kantornya, pekerjaannya. Terakhir Morgan memberitahukan jika Raymond ingin mengembalikan peternakan Farm Heroise tetapi ini belum berakhir. Raina tidak boleh apa yang telah terjadi. Kembali ke pokok masalah. Devano memikirkan cara agar Raina pulang ke rumah.“Sial, istriku itu membuatku gelisah sepanjang malam. Jam sepuluh malam. Tidak mungkin dia menginap di rumah Roland. Aku harus cari cara.” Devano menghempaskan tubuhnya di kursi. Sialan, kursi Raina membuat pantatnya sakit. Busa di kursi itu bagai setipis salju. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya. “Devano pintar.” Devano ba