Bab 24
"Zeyn ... Zeyn ...."
Aku terbangun dan beristighfar. Ternyata tubuh terbalut kain panjang itu adalah mimpi. Kuucapkan istighfar dan membuang ludah ke kiri tiga kali. Begitu kata sebagian orang bila telah bermimpi buruk.
"Zeyn ... kamu kenapa?" tanya Dina, ternyata dia mendengar aku menangis.
"Aku-- kenapa, Din?" Aku benar-benar heran.
"Kamu punya masalah? Kok, nangis?"
Baru sadar kalau air mataku sudah membasahi pipi dan bantal. Kuhapus dengan kain sarung yang sedang kupakai. Sesakit itukah mimpiku hingga mengigau?
Mungkin terlalu terbawa akan perbuatan Arul padaku. Kenapa harus ada kisah menyakitkan ini padaku? Kenapa, ya ... Allah. Tidak pernah menginginkan hal seperti ini. Aku sangat mencintainya melebihi dari apa pun. Segala rencana yang telah aku miliki sepertinya akan sirna. Tidak akan bisa lagi diselesaikan.
&nb
Bab 25Keterlaluan sekali Naya. Semuanya ingin dia kuasai. Bukan hanya Arul, akan tetapi juga harta miliknya. Aku baru menyadari kalau Naya berhati rakus dan kasar. Subhanallah. Ternyata kekayaan membutakan mata hatinya.Badan yang terasa sakit, semakin parah kurasakan. Ditambah lagi dengan kalimat-kalimat yang membuat semuanya berantakan. Masa, iya, dia juga ikut campur urusan upahku. Serendah itu dia menunjukkan jati dirinya.Kepala nyut-nyut, hati bagaikan tertusuk tombak. Sakit yang kurasakan. Cukup sabar menghadapi ujian. Tidakkah Naya berpikir jika kejadian ini menimpa dirinya? Mungkin bukan hanya menyerang, bahkan membunuuh orang tersebut.Berbeda dengan aku. Berharap orang yang menyakiti mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Hidup ini adalah perjuangan menuju surga.Air mataku mengalir. Berulang-ulang mengingat ucapan yang baru saja didengar. Aku hampir seperti orang gila b
Bab 26"Kok?"Hanya kata itu yang bisa kusebutkan dengan menyambut kedatangannya. Lupa dengan jawaban salam yang sedari tadi diucapkan. Wajahnya begitu ramah dengan senyuman manis untukku."Hai ... Zeyn, bukannya jawab salam, malah heran," tegur pria itu, dengan mengangkat sebelah alisnya.Wow ... itu yang sangat kurindukan darinya. Sikap dan sifatnya masih saja seperti dulu. Pertanda dia adalah orang yang baik hati."Udaaah ... jangan bengong begitu, dong. Senyum, ah," ucap Dina, padaku."Ta-- ta-pi--" ucapanku terhenti.Pria itu datang menghampirinya dan duduk tepat di sebelahku. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang tidak beraturan. Seolah akan terjadi sesuatu."Zeyn ... biasa aja, dong. Masa liat aku, kek, liat hantu aja, deh," ketus Nunu."Udah, ah. Kalian berdua ngobrol dulu. Ak
Bab 27Dina dan Nunu melampiaskan kemarahan kepada Arul. Mereka berdua menyampaikan semua yang ada dalam hatiku. Dalam diam mereka tahu unek-unekku. Terlebih Dina karena sudah terlanjur benci pada sikap Arul."Dengar, ya, Rul. Zeyn itu bukan lagi milikmu sepenuhnya. Ingat! Ma-sih a-da pe-rem-pu-an la-in ber-sa-ma-mu!" ucap Nunu, dengan menegaskan kalimatnya secara mengeja karena geram."Ha ha ha, kamu berbakat juga jadi pelawak. Hadeuuhhh ... ok, aku kasi tau, ya, Panglima yang terhormat! Dengar baik-baik, pasang telinga lebar-lebar. Bahwa Zeyn masih istri sahku. Ja ... di ... jangan pernah melarang aku untuk me-ne-mu-i-nya! Lagian kamu siapa anak muda?" Arul malah membela diri."Rul! Bisa ngomong baik-baik gak, sih? Lihat istrimu. Dia hampir mati karenamu. Kenapa tidak kau bunuh saja dia!" Kemarahan Dina semakin memuncak karena melihat adu mulut itu."Aduhhh ... kalian ini lucu
Bab 28Tiba-tiba kepalan tangan Nunu mengarah ke wajah Arul. Aku dan Dina berdiri seketika. Tidak percaya akan hal ini. Tangannya terlihat bergetar.Arul membalas pukulan itu. Bukan hanya tangan yang main, tetapi juga kakinya mendarat ke bagian perut Nunu. Mereka saling berbalas.Benar dugaanku, hal ini akan terulang kembali. Tidakkah mereka memikirkan perasaanku? Tega sekali mereka. Arul dan Nunu telah menjadi musuh bebuyutan.Wajar bila Arul membalas perbuatan Nunu. Karena bagaimanapun aku adalah istrinya. Sayangnya, tidak bisa membahagiakan aku dengan sesempurna mungkin.Dina melerai keduanya. Sepupuku yang bertubuh ramping sedikit kesusahan dalam bertindak agar perkelahian berhenti. Sekuat tenaga dia kerahkan energi demi mendamaikan. Namun, sia-sia belaka.Kesabaranku mulai habis. Ingin rasanya m membunu* kedua lelaki itu dengan ucapanku. Jika mereka bena
Bab 29Papa dan mama mertuaku datang dengan membawa bingkisan. Mereka langsung duduk di sofa. Mama menghampiri dan duduk tepat di sebelahku.Banyak yang beliau bicarakan. Ada beberapa kata-kata nasihat, dukungan dan beberapa pujian untukku tanpa menjelekkan Naya. Bukan aku bangga dengan pujian itu, tetapi akan terus berusaha menjadi istri yang salehah. Termasuk tetap setia pada sumpah dan janji pernikahan.Seorang asisten datang dan membawakan sepiring kue yang dibawa oleh mertuaku. Juga empat gelas teh manis. Sore ini adalah pertemuan untuk pertama kali setelah Arul bersama Naya."Zeyn, kalau mau istirahat. Masuklah ke kamarmu. Semua sudah rapi," suruh mama mertuaku."Ke kamarku? Kamar mana, Ma? Kan ini bukan rumahku.""Ini rumah kamu, Zeyn. Ini milik kamu karena Papa sudah mengatasnamakan ini namamu," sahut papa."Maksudnya, Pa? Aku mak
Bab 30Ajakan Arul ingin kutolak. Berlahan melonggarkan rangkulannya dari pundakku dengan tangan kanan. Gigi dirapatkan, tangan kiri dikepal sembari menarik sedikit pinggiran baju. Berharap agar dia benar-benar mengerti.Kini sudah sampai di tempat tidur mahal yang begitu empuk. Arul kembali menyambut tubuhku dengan lembut lalu membantu untuk naik. Dia membelai rambut dengan napas yang tidak beraturan.Direbahkan tubuh ini dengan penuh kasih sayang. Keningku mulai diciu*, terus ke telinga, pipi, dan terakhir sampai ke bibir tipis milikku yang masih menempel lipstik berwarna merah muda.Sesekali menarik kepala dengan pelan. Dia tarik kembali dengan kedua tangannya. Tubuh masih lemas sudah diajak bercinta. Oh, tidak! Di sini hanya untuk memulihkan kondisi tubuhku, bukan malah menikmati malam dengan birah*."Sayang ... aku sangat merindukan belaian kasihmu," ucapnya berbisik ke teli
Bab 31Mobil dibelokkan ke halaman dengan kencang. Arul menginjak rem mendadak. Kenapa dia melampiaskan kemarahannya pada kami? Masih penasaran dengan si penelepon tadi.Pintu mobil ditutup dengan keras setelah Arul turun. Aku hanya bisa berpasrah atas perlakuannya. Wajah kedua wanita yang ada di belakangku terlihat ketakutan. Kasihan juga mereka karena belum pernah menyaksikan hal ini, sepertinya.Mereka berdua menghampiriku kembali untuk membantu berjalan menuju kamar. Barulah Arul kembali menyambut tanganku setelah sampai ke pintu rumah."Cepetan masuk. Cepat, cepat. Cepaaaat," paksa Arul.Husna dan Titin masuk dengan berlari kecil seperti orang ketakutan. Pintu segera ditutup, tanpa melihat lagi ke luar. Keanehan pun mencurigakan.Ponsel Arul kembali berdering untuk kesekian kalinya. Tidak juga diterimanya. Tidak lama, ponselku berdering. Arul dengan cepat merampas dari tanganku. Belum sempat melihat nama yang tertera di layar.Me
Bab 32 Setelah dia meninggalkan kami, seseorang datang. Lelaki itu sama sekali tidak kukenal. Tubuhnya kekar, kulit putih, rambut ditaruh ke samping, dan pastinya tampan. Cara berpakaiannya juga sangat mengesankan. Wow ... bukan hanya aku yang terpesona, tetapi juga Husna dan Titin. Mata mereka sulit untuk ke arah lain. Dia kupersilakan duduk di kursi teras rumah. Menanyakan apa keperluannya. Sebelumnya rambut yang tadinya acak-acakan sudah kurapikan. "Mbak, ada hadiah dari seseorang. Sebentar lagi datang, kok. Sabar, ya, Mbak," ucapnya dengan lembut sembari memasang senyum manis. "Hadiah? Boleh saya tau, dari siapa, ya?" "Ini surprise. Saya dilarang untuk memberitahunya. Nanti Mbak bisa, cek sendiri." Tidak lama, ada juga yang berhenti di depan pagar. Apakah itu yang dia maksud? Tapi benarkah? Atau barangkali bukan yang itu untukku. Mungkin mereka sedang mencari-cari alamat pembeli. Salah satu dari mereka menghampiri kami dan
Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.
Bab 60Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku."Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?""Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku."Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku."Ze
Bab 59"Apa? Jangan suka buat orang penasaran," ucapku.Papa dan mama mertuaku tertawa pelan melihat mimik wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Jafra juga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi malu karena merasa bertingkah seperti anak kecil."Santai, dong, Sayang," ucap Jafra dengan menyapa sayang. Astaga. Apa dia tidak segan pada orangtuanya dengan kata sayang? Apalagi belum resmi menjadi suamiku."Sayang? Huss! Sembarangan Anda," marahku, kupalingkan wajahku ke arah Gladis yang masih makan disuapi Husna dan Titin secara bergantian."Ha-ha-ha-ha, okelah, Bu Zeyn yang saya hormati. Begini, saya nggak mau mendengar kalau Ibu berteman dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Dan saya nggak mau Anda terus terlarut dalam kejadian yang telah menimpa rumah tangga Ibu. Hati-hatilah pada siapa pun. Terutama saudara sendiri, Bu.""Biasa aja, nggak usah panggil Ibu," sahutku, lalu memandang ke langit-langit restoran dengan menaik
Bab 58"A-apa lagi? Jangan nakut-nakuti, ya?""Saat ini Naya ingin menghancurkan bisnis Arul yang sekarang dikelola oleh papa mertuamu. Kamu tahu atas nama siapa semua wisma dan hotel milik Arul?""Ya, atas nama papanya lah.""Ha-ha-ha-ha, Zeyn ... Zeyn ... polos bener kamu." Dia tertawa sambil menutupi mulutnya."Nggak usah sok akrab!""Ya, udah. Aku pergi aja. Dan aku nggak akan temui dan kasi tau apa pun rahasia jahat mereka ke kamu.""Aduuuh, apaan, sih? Aneh!""Ok. Ya, atas nama kamulah. Ih!""Parah Anda. Saya nggak percaya kalau masalah nama. Oya, kenapa ... Naya dan Dina menyarankan Meta untuk meminta pertanggungjawaban pada Arul. Kan dia tau siapa yang menghamilinya.""Gini, awalnya Meta menolak saran Naya. Tapi tidak ada satu pun laki-laki yang dia kencani menanggungjawabinya. Terpaksa dia datang pada Arul. Nah, saat Meta meninggal, anak ada pada kamu kan? Dina dan Naya tepuk tangan, Zeyn. M
Bab 57Di hari yang sama, aku ke kamar Husna dan Titin untuk menanyakan perihal tentang isi chat dari Dina."Husna, Titin, saya mau bicara sesuatu. Ayo, ke depan TV," ucapku dengan pelan agar mereka tidak tersinggung.Setelah mereka duduk di atas karpet, aku bertanya, "Kalian jawab dengan jujur, ya. Siapa yang menyampaikan pada Dina kalau saya dan Naya berkelahi di pasar?"Husna dan Titin saling pandang dan sama-sama menceritakan kening. Aku tidak tahu apakah mereka pura-pura heran atau memang tidak tahu."Maksudnya, Bu?" Husna masih mengernyitkan keningnya."Baca," ucapku, sembari memberikan ponselku pada mereka untuk menunjukkan isi chat dari Dina."Lho, kok, Bu Dina tau?" Titin kembali heran. "Apa kau yang ngasi tau, Na?""Mana ada, Tin. Sumpah mati aku, iya. Paling haram samaku nyampein cerita apa pun tentang Bu Zeyn. Nggak ada untungnya samaku, Tin."Aku percaya dengan omongan Husna. Lalu siapa? Nah, aku yakin ini p
Bab 56Sebuah benda berbahan dasar tanah liat yang ada di dekatku kulemparkan. Emosiku semakin memuncak karena ucapannya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu pada sahabatnya. Sudah menyakiti, ditambah lagi akan berbuat kasar."Wadawwww ...."Benda itu mengenai kepalanya. Lalu kuseret dia ke luar rumah. Najis kalau wanita yang tidak berakhlak dan jauh dari sopan santun masuk ke rumahku.Kujambak rambutnya dengan kencang dan berkata, "Sekali lagi kau datang padaku dengan niat buruk, kubunuh kau! Paham!""Lepaskan! SAKIT, ZEYN! LEPAAAS!" teriaknya sembari memegang tanganku agar terlepas dari rambutnya."Nggak akan kulepas sebelum kau iyakan permintaanku!""I-iya, iya!""Jawab yang tulus biadab!""Iyaaa!"Barulah kulepaskan jambakanku. Kudorong dia ke luar pagar, lalu kututup kembali pagarnya. Saat berbalik arah, dia malah berteriak seperti orang gila. Anak orang tajir dan punya pendidikan tinggi, bisa-bisanya s
Bab 55 [Ya, ini aku. D I N A.][Kaget?] 'Sepupu tidak berakhlak!' makiku dalam hati. Aku mengabaikan chat Dina dengan tidak membalasnya. Masih ada duka dalam hatiku, tapi Dina setega itu padaku. Bukannya ikutan bersedih, malah mengucapkan selamat dan memberikan react ketawa. Dokter gila! [Zeyn, balas, dong.][Owh, aku tau kalau kamu lagi nangis, ya.][Cup-cup-cup-cup.][Mirip dengan bayi yang bukan anakmu.][Ahhaaayy.] [Nggak pantes!] Celaan demi celaan terus dilontarkan Dina melalui pesan singkat. Aku memblokir nomor itu dengan terpaksa. Biar saja Dina bingung dengan keegoisannya. Aku tidak menyangka kalau Dina setega itu. Bukankah selama ini dia baik-baik saja padaku? Ponsel Arul yang ditinggalkannya, kini untukku. Sayangnya, aku tidak tahu kode membuka kunci kedua ponsel ini. Aku tidak pernah menyentuh barang-barang miliknya. Termasuk ponsel. Di keheningan, aku teringat dengan suaranya y
Bab 54Wanita ini selalu saja mengganggu konsentrasiku dalam segala hal. Cocoknya, orang seperti ini dimusnahkan dari permukaan bumi. Agar tidak ada lagi yang terluka selain aku. Dia bagaikan racun bagiku dan rumah tanggaku. Dia adalah sahabat dekat yang tega merampas kebahagiaanku bersama suami. Siapa lagi kalau bukan Naya. Anak orang tajir, miskin hati."Ya, ini aku, Zeyn. A-aku banyak salah sama kamu," akunya."Ngapain kau ke mari! Haa?!" bentakku di depan jenazah Arul."Ma-maafkan aku. Siksa saja aku, Zeyn. Siksa.""Aku bukan manusia laknat seperti kau! Aku masih punya hati nurani. Tau kau!""Zeyn, sudah berapa kali kubilang, maafkan aku. Ini memang salahku. Tapi, semua ini karena harta. Ya, aku nggak mau kau merasakan nikmatnya dunia. Aku nggak ingin kekayaan yang kau miliki melebihi yang dimiliki ayahku. Ka-karena, akulah yang selama ini di atasmu, Zeyn." Dia tertunduk dan meneteskan air mata."Nggak usah menyesal
Bab 53"Aduh kenapa? Halaaaahhhh, basa-basi!"Arul pergi ke arah mobilnya, lalu membawa dua kotak kecil. Dia memberikannya pada Gladis dan aku. Kubuka kotak untuk Gladis, isinya ada seperangkat perhiasan. Gelang tangan, anting, cincin, dan kalung. Setelah itu, kotak untukku juga kubuka, isinya sama juga bentuknya. Aku memakainya. Kalau urusan perhiasan mahal, istri mana yang menolak? Pertengkaran hebat pun bisa aman."Zeyn, maaf, ya. Cuma itu yang bisa aku berikan saat ini ke kalian berdua. Tadinya aku bingung mau ngasi apa. Kalau ngajak kamu, pasti kamu bawaannya marah terus. Males berantem sama perempuan yang mudah emosian, kek, kamu.""Apaan, sih? Kek, aku tukang marah aja. Gini-gini aku punya sisi lembut, lho." Aku memiringkan bibirku. Sambil bersungut-sungut."Ya udah, aku ngalah. Kan kata orang di pasar, yang waras ngalah. Ha-ha-ha," ledek Arul memancing tawa.Entah sudah berapa lama candaan seperti ini hilang. Aku juga tidak tahu kapa