"Dia adalah...." Hamid melirik ke arah Fadil dan Aidan. "Siapa ayah?""Kolega bisnis ayah,"Aidan menghembuskan napas kasar."Yang benar?" tanya Aidan menelisik."Iya, dia tak ingin kalah saing, dia menyuruh seseorang untuk menyabotase mobilmu, jika kau sampai kecelakaan aku pasti tidak akan fokus dalam persentase nanti,""Apa yang sudah tahu siapa orangnya?" tanya Namira."Ayah masih menyelidikinya, ingin tahu apakah ada orang lain yang terlibat selain dia,"Fadil bangun dari sofa dia undur diri."Maaf aku ada urusan lain, permisi.""Baiklah hati-hati Nak Fadil,""Iya paman,""Panggil aku ayah, aku sudah menjadi suami ibumu,""Baik Ayah," Fadil tersenyum kemudian pergi dari sana. Saat melewati Namira, Fadil sengaja menyentuh punggung tangan Namira.Melihat itu Namira menarik tangannya agar menjauh dari Fadil.Aidan meliriknya sekilas kemudian pandangannya beralih kepada Hamid yang sedang berbicara.***Aidan dan Namira pergi ke rumah sakit mereka mengecek kondisi perkembangan Aidan.
"Kau mengambil kesempatan di saat aku sedang lupa ingatan, Apa tujuanmu? Kau ingin Rumah tanggaku dan Namira hancur begitu? Aku sudah mengingat semuanya Hana! semuanya! baik itu sebelum dan sesudah aku kecelakaan!" Hana begitu terkejut mendengarnya, begitu juga dengan Namira. "Aidan, aku-""Dan kau Saras, istriku sudah berbaik hati padamu, tapi apa balasanmu, kau mengkhianati kepercayaan kami lagi, mulai saat ini kau aku pecat! Dan kau, aku larang menginjakkan kaki di rumahku lagi." kini wajah Aidan sudah menggelap. "Tuan! maafkan saya Tuan, saya, saya di suruh Bu Hana," terang Saras menangkupkan kedua tangannya. "Diam kau Saras, jangan memprovokasi Aidan," Hana membentak. "Aku tidak bohong Tuan, Bu Hana yang memaksaku untuk ikut," Saras memelas. "Saras!" Hardik Hana. "Hana!" Aidan membentak. Hana tersentak kaget."Kau juga terlibat atas kecelakaanku, aku sendiri yang melihatnya lewat cctv kantor, kau bertemu dengan salah satu Kolega bisnis ayahku, di hari dimana aku kecelakaan
Namira segera menoleh ke arah sumber suara.Matanya langsung membola."Mas Fadil," lirihnya, pandangan Namira kemudian beralih pada Aidan."Mas...""Tidak, kami baru sampai." balas Aidan. "Duduklah!" pintanya. Fadil menggeser kursi, kemudian duduk berseberangan dengan Aidan dan Namira.Namira memandang Aidan dengan penuh tanya. Apa maksud suaminya itu mengundang Fadil di acara makan siang bersama ini."Mas... ada apa ini?" tanya Namira yang mulai gelisah."Kau akan tau Namira," ucap Aidan datar. Hati Namira sudah berkecamuk dia sudah merasa akan ada masalah yang menimpa kembali."Apa kalian tahu mengapa aku mempertemukan kalian berdua?"Fadil menggeleng begitupun dengan Namira."Aku mempertemukan kalian berdua hanya untuk meluruskan saja. Aku tahu kau adalah mantan Namira dan kalian dulu berpacaran 5 Tahun Lamanya.. sedangkan aku baru mengenal Namira satu tahun lebih, dan kau benar Fadil, bahwa tidak menutup kemungkinan Namira masih memiliki perasaan yang sama padamu, " terang memu
"Puaskan aku sayang, kau milikku malam ini," bisiknya di telinga Hana.Mendengarnya tubuh Hana terasa menggigil.Hana berusaha untuk mendorong tubuh Fadil agar dia bisa pergi, Hana mendorongnya dengan sekuat tenaga, namun Fadil tetap kokoh tidak bergeser sedikitpun."Awas, aku mau pulang,""Tidak mau, kamu milikku, Namira,""Aku bukan Namira, aku Hana,"Fadil membelai wajah Hana dengan tatapan yang berkabut.Fadil mulai mencium bibir Hana, melu*matnya dengan sedikit kasar."Engh... Enghh..." Hana masih memberontak di bawah kuasa Fadil."Lepaskan aku, Fadil brengs3k!" Fadil mencengkram kuat kedua pergelangan tangan Hana, menguncinya ke atas."Enghh, tidak-" Fadil terus membungkam mulut Hana dengan ciumannya yang bertubi-tubi.Aroma alkohol tercium membuat Hana pusing.Ciuman Fadil turun ke bawah leher, membasahinya, dan memberikan tanda disana.Hana meronta-onta meminta di lepaskan, namun Fadil yang sedang di kuasai oleh gair4h, tentu tidak akan melepaskannya. Fadil mengkoyak baju bag
Hana hendak pergi darisana. Namun tangan kekar menariknya paksa."Engh, Lepaskan!" Tangan itu terus menarik Hana menjauh dari sana."Lepaskan aku Fadil!" Hana menatap tajam ke arah sosok pria yang ada di hadapannya kini.Fadil mengerahkan cengkeraman tangannya."Jangan pernah mengatakan apapun pada mereka!""Kenapa Hah? Kau takut?" Hana mengangkat sudut bibir."Aku tidak takut, kau yang menjebakku,""Untuk apa aku menjebakmu, bahkan aku tidak menyukaimu,"Fadil menyeringai,"Jika kau tidak menyukaiku, untuk apa kau sering datang ke apartemenku?""A-aku..." Hana ingin mengatakan bahwa dia ingin bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Namira, namun percuma Fadil sangat angkuh."Kenapa Hah?!" Fadil menekan kuat jarinya di pergelangan tangan Hana."Akh!" Hana memekik.Hana menatap tajam ke arah Fadil."Aku akan melaporkanmu atas kasus pemerkos4an dan penganiayaan,""Kau memang perempuan licik, tapi masih lugu," Fadil mendorong wajah Hana ke samping."Kau pikir polisi akan percaya d
"Ini tidak mungkin," Dia melakukannya kembali pada alat satu nya, dan lagi, lagi alat itu menunjukkan garis dua.Hana terlihat begitu frustrasi. Ia meremas rambut kuat sambil tangannya memegang tespack tersebut.Hana merapihkan kembali barang-barangnya, lalu membuang tespack tersebut pada tong sampah.Kini Hana berada di kantor kembali, dia memutuskan untuk tetap bekerja, Hana bergeming di tempatnya bagaimana dengan langkah selanjutnya. Kemudian dia memandang ke arah Aidan. Aidan masih fokus di layar laptop sambil tangannya mengetik sesuatu.Hana menghembuskan napas kasar. Bagaimana caranya agar yang menikah dengannya adalah Aidan, haruskah dia menjebak Aidan?Tapi itu tidak mungkin, selama ini Aidan selalu menjaga jarak darinya, bahkan sebelum kejadian malam itu, hubungan Hana dan Aidan sudah renggang. Yang ada Aidan malah akan semakin membencinya.Hana benar-benar pusing di buatnya, jalan satu-satunya adalah Meminta pertanggung jawaban pada Fadil."Ini semua gara-gara Fadil, dia yan
Seminggu kemudian, Hana bulak-balik antara kamar dan kamar mandi, dia memuntahkan cairan bening berkali-kali.Hana menyeka sudut bibir yang masih tersisa cairan muntahannya. Wajahnya sangat pucat. Hana melihat ponselnya, berkali-kali Aidan memanggil. "Pasti dia ingin menanyakan kenapa sampai jam 9 aku belum sampai di kantor,"Hana mengangkat telepon, dia berpegangan pada sisi wastafel."Ha-halo?""Kau niat bekerja atau tidak, sebentar lagi meeting akan di mulai, setidaknya jangan menyusahkanku!""Aidan, A-aku..."Tuttttttttttt! Panggilan berakhir, Aidan menutup telepon secara sepihak.Hana menghembuskan napas kasar, apalagi kepalanya terasa pusing.Hana meremas perutnya sendiri dengan kencang."Dasar anak menyebalkan, sama menyebalkannya dengan ayahnya!""Awas saja, aku akan segera mengeluarkan kamu,"Ya, Hana bertekad untuk mengeluarkan janin itu melalui ab*rsi."Untuk apa aku mempertahankanmu anak si*alan! Jika ayahmu sendiri tidak ingin bertanggung jawab."Hana merasa frustrasi, k
"Apa yang terjadi?" tanya Namira. "Aku... Di perkos4." ucap Hana di sela isak tangisnya. Namira membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."A-apa? Si-siapa yang melakukannya?" Namira tergagap."Aku tidak bisa memberitahumu, dia... Mengancamku,""Siapa? Katakan padaku Hana, pria itu harus bertanggung jawab, aku akan mengatakannya pada Mas Aidan bahwa...""Tidak! Jangan katakan apapun pada Aidan." cegah Hana.Mata Namira mengerjap."Kenapa? Bukankah suamiku adalah Sepupumu, dia bisa melindungimu jika kau dalam bahaya."Hana menggeleng kuat."Tidak perlu, bukan itu tujuanku kemari, aku sudah pernah mengatakan hal ini pada laki-laki itu, dia bilang tidak akan pernah mau bertanggung jawab." terang Hana.Hana menangkupkan kedua tangannya, pada tangan Namira."Namira tolong aku... Bantu aku, kau seorang wanita, bagaimana jika semua orang tau aku hamil tanpa suami, A-aku sangat malu, aku juga tidak ingin siapapun termasuk ibu dan ayahku tau.... Ku mohon Namira...""B
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi