Seminggu kemudian, Hana bulak-balik antara kamar dan kamar mandi, dia memuntahkan cairan bening berkali-kali.Hana menyeka sudut bibir yang masih tersisa cairan muntahannya. Wajahnya sangat pucat. Hana melihat ponselnya, berkali-kali Aidan memanggil. "Pasti dia ingin menanyakan kenapa sampai jam 9 aku belum sampai di kantor,"Hana mengangkat telepon, dia berpegangan pada sisi wastafel."Ha-halo?""Kau niat bekerja atau tidak, sebentar lagi meeting akan di mulai, setidaknya jangan menyusahkanku!""Aidan, A-aku..."Tuttttttttttt! Panggilan berakhir, Aidan menutup telepon secara sepihak.Hana menghembuskan napas kasar, apalagi kepalanya terasa pusing.Hana meremas perutnya sendiri dengan kencang."Dasar anak menyebalkan, sama menyebalkannya dengan ayahnya!""Awas saja, aku akan segera mengeluarkan kamu,"Ya, Hana bertekad untuk mengeluarkan janin itu melalui ab*rsi."Untuk apa aku mempertahankanmu anak si*alan! Jika ayahmu sendiri tidak ingin bertanggung jawab."Hana merasa frustrasi, k
"Apa yang terjadi?" tanya Namira. "Aku... Di perkos4." ucap Hana di sela isak tangisnya. Namira membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."A-apa? Si-siapa yang melakukannya?" Namira tergagap."Aku tidak bisa memberitahumu, dia... Mengancamku,""Siapa? Katakan padaku Hana, pria itu harus bertanggung jawab, aku akan mengatakannya pada Mas Aidan bahwa...""Tidak! Jangan katakan apapun pada Aidan." cegah Hana.Mata Namira mengerjap."Kenapa? Bukankah suamiku adalah Sepupumu, dia bisa melindungimu jika kau dalam bahaya."Hana menggeleng kuat."Tidak perlu, bukan itu tujuanku kemari, aku sudah pernah mengatakan hal ini pada laki-laki itu, dia bilang tidak akan pernah mau bertanggung jawab." terang Hana.Hana menangkupkan kedua tangannya, pada tangan Namira."Namira tolong aku... Bantu aku, kau seorang wanita, bagaimana jika semua orang tau aku hamil tanpa suami, A-aku sangat malu, aku juga tidak ingin siapapun termasuk ibu dan ayahku tau.... Ku mohon Namira...""B
Hana bangun setengah jam kemudian, matanya mengerjap melihat langit-langit. Kemudian melihat setiap sudut, ternyata dia berada di kamarnya sendiri. Siapa yang membawanya kesana? Apakah itu Fadil?Hana turun dari ranjang, mencari keberadaan Fadil. Ternyata Fadil sudah pergi dari sana."Syukurlah..." batinnya.***Aidan sedang bersantai di ruang keluarga, tak berselang lama Namira datang dengan wajah yang sulit di artikan.Namira masih penasaran siapa pria yang sudah memperkos4 Hana, dia berjalan sambil menerka-nerka.Melihat istrinya yang seperti itu membuat Aidan mengernyitkan kening. Apa telah terjadi sesuatu dengan istrinya itu."Sayang... Maaf aku tak bisa mengantarmu."Namira tersentak, sejak tadi dia tak melihat kehadiran Aidan."Em, i-iya Mas," Namira tergagap. "Kemari lah." pinta Aidan menepuk kursi kosong di sebelahnya. Namira berjalan mendekat, kemudian duduk di samping Aidan. Aidan merangkul bahu Namira dengan lembut. "Apa ada masalah, kenapa wajahmu tidak bersemangat?"M
Arini tersenyum, kemudian tak berselang lama senyum itu pudar, saat mengerti apa maksud oleh Hana."Fadil?" lirih Arini. "Fadil orangnya?"Hana bergeming tak menjawab ataupun menyanggah pertanyaan Arini, membuat sang penanya merasa yakin bahwa Fadil lah pelakunya."Benar Hana, Fadil pelakunya?""Oh Astaga..." tubuh Arini mendadak lemas, Arini memijat pelipisnya."Aku tidak menyangka Fadil akan berbuat sebejad ini," Arini terisak kemudian memeluk Hana."Maafkan, Maafkan putraku Hana." Arini menyentuh kedua tangan Hana menangkupkan di dadanya. Hana hanya menangis."Namira tolong hubungi Fadil, suruh dia datang kemari," pinta Arini. Mendengar itu membuat wajah Aidan langsung berubah masam."I-iya bu," balas Namira. Kemudian langsung menghubungi Fadil menggunakan ponselnya.Namira menatap Aidan meminta persetujuan, Aidan menanggapinya dengan mengangguk.Panggilan tersambung."Ha-halo Fadil...""Halo sayang, akhirnya kau menghubungiku juga, ada apa? Apa kau merindukanku?" terdengar suara
Pagi hari... BRUGH!"Bangun!" Hana terkejut saat seseorang melemparkan bantal ke wajahnya.Hana yang sedang tertidur pulas menjadi terperanjat. Degup jantungnya berdetak sangat cepat.Dilihatnya Fadil yang sudah rapih berdiri di sisi ranjang. Dia tengah menatapnya dengan tajam."Ayo cepat kemas barang-barangmu!"Hana mengerjap mencerna ucapan yang baru saja Fadil katakan. Kondisi yang baru bangun tidur membuatnya sedikit lambat dalam berpikir."Ayo kemas barang-barangmu, tunggu apa lagi?""Memangnya kita mau kemana? Rumahku disini."Hana menggelar pesta di rumahnya, rumah yang besar namun penghuninya hanya dia seorang. Hana merasa nyaman saat Hamid, Arini, Aidan dan Namira menginap di rumah itu. Suasana yang ramai yang selama ini dia rindukan. Namun kini suami yang baru kemarin menikahinya itu mau mengajaknya kemana? Pikir Hana."Kau akan tinggal di apartemenku,".Mata Hana membola."Bagaimana jika aku tetap tinggal disini, jika kau ingin tinggal disana aku tidak masalah." ujar wan
Hana tiba di kantor stelah dua puluh menit kemudian, dia harus mencari taksi dulu untuk sampai ke kantor. Penampilan Hana sedikit berantakan. Hana telah tiba di loby kantor.Dia menepuk dahinya sendiri, kala mengingat hari ini ada meeting dengan perusahaan Fadil. Semua orang pasti telah berkumpul.Hana masuk ke ruangan meeting. Di sana semua orang sudah berkumpul dan tengah menatapnya."Ma-maaf saya terlambat, jalanan sedikit macet." kilahnya berbohong.Fernand sang bos menatap tak suka melihat keterlambatan Hana."Lain kali jangan sampai telat, kau tau hari ini ada meeting.""I-iya Pak. Maaf." ucap Hana menunduk.Aidan melirik ke arah Hana sekilas kemudian fokus pada berkas yang berada di tangannya. Sedangkan Fadil tak menoleh ataupun melihat ke arah Hana. Dia hanya fokus pada pembahasan tentang pemasaran.Hana duduk di kursinya berusaha menyimak pembahasan yang sedang di presentasikan. Namun matanya terasa berat. Dia menguap berkali-kali. Pandangan itu tak luput dari pandangan Ferna
Hari ini Hana sangat bersemangat membeli bahan masakan, dia berencana untuk memasak meskipun seumur hidup Hana tak pernah melakukannya, dia sedikit kesusahan, antara membedakan beberapa bumbu. Hana memutuskan untuk menelpon Namira meminta bantuannya."Yang itu namanya merica, ketumbar, dan kayu manis..." Namira mencoba menjelaskannya saat Hana melakukan panggilan video."Oke baiklah, aku mengerti."Hana mengulum bi bir terlebih dahulu, saat ingin menanyakan sesuatu pada Namira."Em, Mira...." lirihnya. "Ya, apa lagi yang kau belum paham?""Bukan itu...""Hem, lalu apa?""Apa kau tau makanan kesukaan Fadil?"Namira tersenyum di seberang telepon."Oh kau ingin memasak untuk Mas Fadil?"Dengan malu-malu Hana mengangguk."Baiklah... Setauku Mas Fadil dulu sangat suka dengan Udang asam manis.""Apa kau tau cara membuatnya?""Tentu saja aku akan mengajarimu dari sini."Hanya tersenyum."Baiklah terima kasih banyak Namira."Hana mulai melakukan sesuai dengan perintah Namira. Namira memberit
Fadil melepaskan pakaiannya yang tersisa pada tubuhnya, kemudian siap memulai penyatuan mereka."Fadil, kumohon lakukan secara pelan-pelan." Hana sedikit trauma dengan permainan Fadil malam itu yang begitu kasar. Dengan mata berkilat dan penuh nafsu Fadil tak menggubris permohonan Hana.Dia terus menghujami Hana, menikm4ti setiap lekukan tu buh Hana yang mulus.Hetakan setiap hentakkan dia lakukan saat penyatuan itu kembali terjadi.Hana mengerang dan men desah saat Fadil memberinya rangsangan yang bertubi. Meskipun masih sedikit kasar, tapi tidak seperti malam itu. Hana bisa menikmatinya."Ahhh...." De sah an itu lolos begitu saja dari mulut Hana, dia mulai menikmati permainan yang Fadil berikan."Fadil... Ahh...""Diamlah Namira..."Lagi, lagi-lagi Fadil menyebut nama Namira, padahal yang sedang di g4gahinya adalah Hana, hati Hana berdenyut mendengarnya. Bulir bening mengalir dari pipinya.Fadil terus memompa kecepatan ritmenya saat akan mencapai puncak."Ahhhhhh! Namira." Lenguhan
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi