Di ruang konsultasi Rumah Sakit 'Hospital Healty', Alya duduk dengan tenang di samping Raditya, meskipun jantungnya berdebar menunggu hasil pemeriksaan terakhirnya. Ruangan itu bercat putih bersih dengan aroma antiseptik yang khas. Di dinding, tergantung berbagai sertifikat medis dan gambar anatomi tubuh manusia. Suasana di dalamnya sunyi, hanya terdengar suara detak jam dan sesekali langkah kaki perawat yang berlalu lalang di koridor.
Dokter spesialis ortopedi yang menangani cederanya tersenyum hangat setelah memeriksa hasil pemeriksaan terakhir. Dengan kacamata setengah bingkai yang bertengger di hidungnya, ia tampak penuh percaya diri.
"Selamat, Ny. Alya. Anda sudah pulih sepenuhnya. Tidak ada lagi tanda-tanda cedera pada kaki kiri Anda. Tapi tentu saja, tetap berhati-hati dan jangan sampai mengalami cedera serupa lagi. Kaki yang pernah cedera cenderung lebih rentan," ujar dokter dengan nada penuh kepastian.
Alya tersenyum lega, matanya sedikit berkaca-kaca.
Pagi-pagi sekali, matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di cakrawala ketika Raditya dan Alya sudah berada di bandara, bersiap untuk penerbangan menuju Jepang. Raditya menggenggam tangan Alya dengan erat, seolah ingin memastikan bahwa keberadaan istrinya di sisinya adalah nyata."Kamu sudah siap?" tanya Raditya, matanya menatap lembut ke arah Alya.Alya mengangguk kecil, meski di dalam hatinya ada sedikit kegelisahan. "Aku siap. Aku hanya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi sampai Kakek meminta kita datang mendadak."Raditya menarik napas dalam. "Aku juga tidak tahu. Tapi apapun itu, kita akan menghadapinya bersama."Mereka kemudian naik ke pesawat dengan penerbangan langsung menuju Jepang. Selama beberapa jam di udara, Alya mencoba tidur sejenak, namun pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang menanti mereka di sana. Raditya sesekali melirik ke arah istrinya yang bersandar di bahunya, merasa lega melihat Alya bisa beristirahat meskipun hanya sebentar.Se
Kakek bakhtiar muncul dari balik pintu yang terbuka, sebelum Raditya dan Alya masuk keruangan perawatan, kakek Bakhtiar mengajak mereka ke luar terlebih dahulu. Maka disinilah mereka, duduk di kursi tunggu diluar ruang rawat.Di dalam ruang tunggu rumah sakit, Raditya dan Alya duduk bersebelahan dengan Kakek Bakhtiar. Suasana rumah sakit ternama di Jepang, Tokyo Serenity Hospital, terasa begitu hening. Hanya terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu lalang serta pengumuman yang sesekali menggema di pengeras suara. Aroma khas antiseptik memenuhi udara, memberikan kesan steril dan bersih. Lampu-lampu terang di koridor menerangi wajah-wajah yang dipenuhi kecemasan dan harapan.Alya meremas jemarinya sendiri, hatinya tidak tenang. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk. "Kakek, siapa yang terbaring di dalam?" tanyanya dengan penuh penasaran, sorot matanya menatap wajah sang kakek dengan gelisah.Kakek Bakhtiar menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara berat,
Alya menatap nenek Aiko dengan tatapan yang sulit diartikan. Jantungnya berdegup kencang, seakan kata-kata neneknya tadi menyentak bagian terdalam dari jiwanya.Suasana di dalam ruang rawat terasa sunyi. Hanya suara detak mesin medis yang menemani keheningan di antara mereka. Cahaya matahari dari jendela yang terbuka sedikit menerangi wajah lelah sang nenek yang kini tampak linglung."Nenek... aku bukan bunda Clarissa," ujar Alya dengan suara pelan, mencoba menenangkan sang nenek yang masih tampak kebingungan. "Aku Alya, Nek. Anak bunda."Namun, Nenek Aiko masih menatap Alya dengan ekspresi penuh kerinduan. Matanya yang sayu sedikit berkaca-kaca, seolah menelusuri wajah cucunya yang baginya begitu familiar."Tapi... kau terlihat begitu mirip dengannya... persis seperti Clarissa muda... kamu cantik," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar.Kakek Bakhtiar yang berdiri di sisi ranjang menarik napas panjang. Ia mengusap pundak Alya, memberikan i
Alya menatap kakek Bakhtiar dengan wajah penuh kebingungan. Kata-kata itu menggema di kepalanya."Dia pergi... untuk melindungi kamu, Alya."Jantungnya berdetak lebih cepat. Ruang tunggu rumah sakit yang awalnya terasa sejuk kini seakan mencekiknya."Melindungi aku? Dari apa, Kek?" Suaranya bergetar.Kakek Bakhtiar menarik napas panjang. "Alya, ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Kepergian ibumu bukan sekadar karena cinta pada ayahmu, tapi karena ada ancaman nyata yang bisa membahayakanmu."Raditya yang duduk di samping Alya langsung menggenggam tangannya erat. "Ancaman apa? Siapa yang mengancamnya?"Kakek Bakhtiar menunduk sesaat, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. "Saat ibumu jatuh cinta pada Satria, banyak yang menentang. Bukan hanya dari keluarga kami, tetapi juga dari pihak lain. Ada seseorang yang tidak menginginkan pernikahan mereka terjadi."Alya mengernyit. "Siapa?""Seseorang yang sangat berpenga
Alya merasa tubuhnya melemas, sementara pikirannya berputar liar. Nama Haruto Takahashi kini terasa begitu menakutkan di telinganya. Raditya, yang duduk di sampingnya, merasakan kegelisahan Alya dan segera menggenggam tangannya lebih erat."Kakek, apa maksudnya Haruto datang ke Jepang? Apakah dia tahu kami di sini?" tanya Raditya dengan nada tajam.Kakek Bakhtiar menghela napas panjang. "Aku belum bisa memastikan, tapi melihat pergerakan mereka selama ini, aku rasa kedatangannya bukan kebetulan."Alya menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. "Lalu... apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita harus pergi dari sini?"Kakek Bakhtiar menggeleng. "Tidak. Jika kalian pergi, itu justru akan membuat mereka semakin curiga. Kita harus tetap di sini, namun dengan pengamanan yang lebih ketat."Raditya menatap Alya, lalu kembali ke kakek Bakhtiar. "Aku akan menjaga Alya. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya."Ka
Raditya menggenggam tangan Alya lebih erat, matanya menyiratkan kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang. Jika Haruto Takahashi benar-benar ada di sini, itu berarti dia sedang mencari sesuatu. Atau seseorang." Alya menelan ludah, rasa takut mulai menjalari tubuhnya. "Tapi, kenapa sekarang? Setelah sekian lama, kenapa dia baru muncul?" Kakek Bakhtiar menghela napas dalam. "Itu yang harus kita cari tahu. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak datang tanpa alasan. Kita harus memastikan kalian tetap aman." Raditya menatap kakeknya dengan serius. "Ke mana kita akan pergi?" "Aku punya tempat yang lebih aman. Sebuah vila di daerah pegunungan. Tidak banyak orang yang tahu keberadaannya, dan kita bisa mengawasi situasi dari sana," jelas Kakek Bakhtiar. Alya menggigit bibirnya, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. "Tapi, bagaimana dengan nenek? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja." Kakek Bakhtiar tersenyum tipis. "Jangan khawatir, Nak. Aku sudah memastikan nenekmu mendapat pe
Raditya berdiri tegap di depan Alya, tubuhnya menegang. Matanya menatap tajam pria yang berdiri di ujung gang sempit itu."Haruto Takahashi," Raditya mengulangi nama itu dengan nada dingin. "Apa maumu?"Haruto melangkah pelan, tangannya diselipkan ke dalam saku jas hitamnya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tajam dan penuh perhitungan."Aku tidak mengincarmu, Raditya Wijaya," ucapnya santai. "Aku datang untuk berbicara dengan Alya Elvaretta."Alya, yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh Raditya, menegang mendengar namanya disebut. Ia menggenggam lengan Raditya erat, jantungnya berdetak kencang."Kenapa aku?" tanyanya dengan suara bergetar.Haruto menyeringai kecil. "Karena kau adalah kunci dari sesuatu yang sangat berharga bagi kami."Kakek Bakhtiar, yang sejak tadi mengamati, maju selangkah. Matanya menyipit penuh kewaspadaan. "Kau tidak akan menyentuh cucuku."Haruto menatap kakek Bakhtiar sebentar sebelu
Suasana di dalam vila tiba-tiba menjadi sunyi, hanya ada suara napas mereka yang tertahan. Alya menggenggam tangan Raditya lebih erat, merasakan detak jantungnya yang mulai berpacu lebih cepat.“Kakek, apa mungkin ini ulah Haruto?” tanya Alya dengan suara bergetar.Kakek Bakhtiar tidak langsung menjawab, matanya menatap tajam ke arah jendela yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari luar. “Mungkin saja. Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan sebelum tahu pasti.”Raditya segera berdiri, tubuhnya menegang. “Aku akan periksa keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Tidak! Itu terlalu berbahaya, Radit.”Raditya berusaha menenangkan Alya dengan mengelus lembut tangannya. “Aku harus memastikan keadaan. Tenang saja, aku tidak akan bertindak gegabah.”Sebelum Raditya bisa melangkah, terdengar suara ketukan di pintu, pelan namun berirama. Semua orang langsung terdiam, tubuh mereka me
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka