Malam telah larut ketika Raditya dan Alya akhirnya sampai di kamar pengantin mereka. Setelah hari yang panjang dan penuh kebahagiaan, keduanya kini benar-benar sendiri untuk pertama kalinya sebagai suami istri.
Di luar, langit malam yang bertabur bintang tampak begitu indah. Halaman belakang mansion keluarga Wijaya diterangi lampu-lampu taman yang berpendar lembut, menciptakan bayangan romantis di sekitar kolam renang yang memantulkan cahaya bulan. Semilir angin berhembus, membawa aroma mawar dan melati dari taman yang masih terasa wangi setelah resepsi. Suasana begitu hening dan damai, seakan semesta pun ikut merestui kebahagiaan mereka.
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar yang megah, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun malam sutra putih yang membalut tubuhnya dengan anggun. Jantungnya berdebar kencang. Bukan hanya karena gugup, tetapi lebih karena perasaan yang begitu menghangatkan hatinya. Ini adalah pernikahan yang sebenarnya baginya.
Raditya
Renata menempelkan ponselnya ke telinga, alisnya berkerut dalam. Suara sahabatnya terdengar di seberang, terbata-bata."Ren, kamu tahu nggak... ayahku diundang ke pesta pernikahan Raditya kemarin. Aku juga ikut ke sana..."Jantung Renata berdetak kencang. "Apa?!" suaranya meninggi."Dia menikah, Ren. Dengan wanita bernama Alya."Tangan Renata mencengkeram ponsel lebih erat, napasnya tiba-tiba berat. Matanya membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar."Nggak mungkin..." bisiknya, tapi suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam."Aku lihat sendiri. Maaf, Ren, aku pikir kamu harus tahu."Klik! Renata mematikan panggilan tanpa berkata apa-apa lagi.Detik berikutnya, ponselnya melayang ke seberang ruangan, membentur dinding dengan keras. Napasnya memburu, matanya merah menyala oleh amarah yang meluap-luap. Tangannya terkepal, tubuhnya gemetar."Apa?! Raditya menikah?!" suaranya melengking, nyaris histeris.
Alya duduk di samping Raditya, ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral meskipun pikirannya berkecamuk. Tatapan pria tua yang mengaku sebagai kakeknya masih menembus dirinya, seolah ingin mengukir sesuatu di dalam benaknya.Pak Darian melanjutkan, "Beliau ini adalah Pak Bakhtiar Wiranagara, seorang pengusaha properti di Jepang. Beliau asli Nusantara, tetapi telah lama menetap di sana. Dan sekarang, beliau kembali ke Nusantara untuk mencari putrinya yang sudah lama hilang kontak setelah menikah. Namun, setelah sekian lama mencari, beliau baru mengetahui bahwa putrinya telah meninggal dunia."Alya menggigit bibir bawahnya. Jika yang dikatakan Pak Darian benar, berarti pria tua ini adalah ayah dari ibunya. Kakeknya."Alya, maafkan aku karena datang secara tiba-tiba seperti ini," ujar Pak Bakhtiar dengan suara tenang, namun sarat emosi. "Aku sudah bertahun-tahun mencari ibumu, dan ketika akhirnya aku menemukan petunjuk, ternyata semuanya sudah terlambat."
Pagi itu, sekitar jam 9, di ruang keluarga kediaman keluarga Wijaya, suasana terasa begitu tegang usai mereka sarapan bersama. Aroma kopi masih samar tercium di udara, namun tak ada yang benar-benar menikmatinya. Semua orang duduk dengan ekspresi serius, seolah ada beban berat yang menggantung di ruangan.Pak Bakhtiar duduk tegap, kedua tangannya bertaut di atas meja, matanya penuh harap menatap Alya yang duduk di seberangnya. Ia menelan ludah, lalu akhirnya berbicara dengan nada berat."Alya, aku ingin kita melakukan tes DNA. Aku ingin kepastian..."Alya terdiam sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat, tangan yang berada di pangkuannya mengepal tanpa sadar. Ia menoleh ke Raditya yang berada di sampingnya, berharap menemukan ketenangan di mata suaminya.Raditya, yang peka terhadap kegelisahan Alya, segera menggenggam tangannya dengan erat. "Aku di sini, sayang. Apapun hasilnya, kau tidak sendirian."Pak Darian, yang duduk di sebelah Pak Bakhtiar,
Tangis Alya tak kunjung reda. Ia terisak di pelukan Raditya, tubuhnya bergetar hebat. Kenyataan bahwa ia adalah cucu Pak Bakhtiar memang mengguncangnya, tetapi bukan hanya itu. Ada luka lama yang tiba-tiba terbuka, kenangan yang selama ini ia pendam begitu dalam.Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar suara isakan kecil Alya. Pak Bakhtiar duduk diam, matanya menatap cucunya dengan perasaan yang sulit dijelaskan - campuran antara rasa bersalah dan kebahagiaan yang tertahan. Bu Liliana menggenggam tangan Pak Darian erat, ikut merasakan suasana emosional yang menyelimuti mereka.Raditya mengusap punggung Alya dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya. "Alya, sayang... ceritakan padaku. Apa yang membuatmu begitu terluka?"Alya mengangkat wajahnya yang basah air mata, suaranya lirih dan bergetar. "Aku... aku mengingat ayah dan bunda, Radit. Mereka tak pernah mendapatkan restu dari kakek... Mereka terpaksa pergi dan hidup jauh dari keluarga. Dan kini... mereka &n
Alya masih terdiam, hatinya masih berdebar-debar mendengar perkataan kakeknya. Jepang? Siapa yang ingin menemuinya di sana? Udara di ruangan itu terasa lebih berat, keheningan yang menyelimuti mereka seakan menambah ketegangan yang sudah menggantung di udara.Pak Bakhtiar menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata dengan suara penuh harapan, "Yang ingin bertemu denganmu adalah nenekmu, Nak."Alya tersentak. Matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tenggorokannya terasa tercekat, sulit baginya untuk mengeluarkan suara. "Ne... nenek? Maksud kakek, aku masih punya nenek?"Pak Bakhtiar mengangguk dengan tatapan lembut, seakan memahami kebingungan yang sedang dirasakan Alya. "Iya, Nak. Ada nenekmu di Jepang. Namanya Aiko. Kami sudah lama menetap di sana. Sejak kepergian ibumu, dia selalu berharap bisa bertemu denganmu suatu hari nanti."Alya merasa dadanya sesak. Matanya mulai panas, dan ia merasakan kepedihan yang tiba-tiba menghantam dadanya. Seumur hi
Alya menatap Raditya dengan penuh penasaran. Syarat apa yang sebenarnya dia maksud? Jantungnya berdebar lebih kencang menunggu jawaban dari suaminya.Raditya menarik napas dalam, lalu berkata dengan lembut tetapi tegas, "Aku ingin kamu melanjutkan pengobatan dan terapi kakimu, Sayang. Aku ingin melihatmu bisa berjalan dengan normal lagi."Alya terkejut. Mata indahnya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Radit... aku..."Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Pak Bakhtiar, Pak Darian, dan Bunda Liliana sudah lebih dulu bereaksi."Raditya benar, Alya. Kalau kakimu bisa diobati, kenapa pengobatanmu tidak diteruskan?" suara Pak Darian penuh perhatian.Bunda Liliana mengangguk setuju. "Alya, Nak, selama ini kami memang tidak pernah menyinggung soal itu karena kami tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, jika ada harapan agar kamu bisa pulih, kami semua pasti mendukung."Pak Bakhtiar menatap Alya penuh k
Raditya menatap Pak Bakhtiar dengan tatapan serius sebelum akhirnya membuka suara, "Dia adalah Darel Alexander dari keluarga Alexander. Ayahnya bernama Darius Alexander."Pak Bakhtiar mengangkat alisnya, seolah sedang mengingat sesuatu. "Alexander? Keluarga Alexander yang itu?" suaranya terdengar geram."Kalau boleh tahu, apa yang akan Kakek lakukan?" tanya Raditya, penasaran dengan reaksi yang akan diberikan oleh pria tua itu.Pak Bakhtiar belum menjawab, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. Raditya pun melanjutkan, "Darel sendiri sudah kami jebloskan ke penjara. Setelah mengetahui perubahan Alya, dia mulai mendekatinya kembali. Dia bahkan menyerang perusahaan saya." Nada suara Raditya tegas, menandakan bahwa ia tidak main-main.Pak Bakhtiar mengangguk pelan, seakan mencerna informasi yang baru saja didengarnya. "Bagus jika Darel sudah dipenjara. Sekarang giliran Darius yang akan menerima akibatnya," ujarnya dengan nada dingin.Alya yang
Keesokan harinya, Raditya dan Pak Bakhtiar sudah bersiap untuk melancarkan aksi mereka. Raditya duduk di ruang kerjanya, menatap layar monitor dengan ekspresi tajam. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik di keyboard, mengakses berbagai data yang telah ia kumpulkan selama ini."Aku sudah menyiapkan semuanya, Kek. Data tentang kecurangan dan manipulasi perusahaan Darius Alexander akan segera tersebar di media sosial dan forum bisnis. Sekali ini, dia tidak akan bisa mengelak lagi," ujar Raditya dengan nada tegas.Pak Bakhtiar mengangguk penuh kepuasan. "Bagus, cucuku. Sementara itu, aku sudah melaporkan beberapa kasus tindak kecurangan perusahaan Darius ke pihak berwenang. Mereka akan segera menindaklanjutinya. Aku tidak bisa membiarkan keluarga yang telah menyakiti cucuku ini terus melenggang bebas."Raditya menatap sang kakek dengan penuh hormat. "Terima kasih, Kek. Aku tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Mereka harus merasakan akibat dari perbuatan me
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka
Pintu titanium menutup rapat di belakang mereka. Lorong di bawah Helix lama bergema oleh langkah kaki Alya dan Raditya. Di belakang mereka, sistem-sistem kuno mulai menyala sendiri- lampu berkedip, suara listrik menyentak-nyentak seperti ada yang sedang mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak bangkit lagi.“ISAAC sudah masuk ke sistem bawah,” kata Raditya sambil mempercepat langkah. Ia membuka kompad kecil di pergelangan tangan dan menampilkan peta digital. “Kita harus mencapai inti utama sebelum koneksinya stabil.”“Tempat yang kamu sebut Pusaran itu... sebenarnya apa?” tanya Alya dengan napas terengah. Di matanya, tergambar ketakutan dan rasa ingin tahu yang bercampur.“Tempat yang dibangun di luar logika dan etika,” jawab Raditya. “Prototipe akhir sistem jaringan Nusant. Tempat buangan untuk teknologi yang terlalu berbahaya untuk dimusnahkan. Termasuk satu hal yang belum pernah dipakai: protokol Null-Core- satu-satunya jalan untuk memutus koneksi ISAAC.”Lorong menurun se