Ruangan terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Alya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan debaran jantung yang tak beraturan. Raditya di sisinya tampak berusaha keras mengendalikan amarahnya, sementara Bunda Liliana menatap pengacara itu dengan sorot tajam.
"Pak, bukankah ini jelas-jelas tindakan yang mengada-ada?" Raditya akhirnya bersuara, nadanya dingin dan penuh ketegasan. "Keluarga Darel hanya ingin mencari cara untuk menekan Alya. Mereka ingin membalas dendam atas kejatuhan anak mereka."
Pengacara itu mengangguk pelan. "Benar. Ini bukan sekadar gugatan biasa. Dari informasi yang kami dapatkan, mereka sudah menyiapkan bukti-bukti yang akan digunakan untuk menyerang reputasi Alya. Mereka ingin membuat seolah-olah Alya memiliki motif tertentu saat memberikan kesaksian terhadap Darel."
Alya menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Tapi semua yang aku katakan adalah kebenaran! Aku tidak punya niat lain selain mencari keadilan
Setelah pertemuan itu, Raditya kembali ke kantor NW Tech dan langsung masuk ke ruang server.Di dalam ruang server PT. NW Tech, suasana sunyi mencekam hanya diisi suara kipas pendingin yang berdengung rendah. Cahaya redup dari layar monitor memantulkan bayangan tajam di wajah Raditya. Ia menatap layar laptopnya dengan intens, matanya tak berkedip sedikit pun. Barisan kode bergerak cepat, berpacu dengan pikirannya yang tak kalah gesit.Dengan keahliannya sebagai hacker nomor satu di dunia, ia mulai menelusuri jejak digital yang mengarah pada siapa pun yang telah mencoba menghapus rekaman CCTV PT. NW Tech. Dadanya sedikit berdebar, bukan karena takut, tapi karena gairah menghadapi tantangan. Ini lebih dari sekadar pelanggaran keamanan, ini adalah tantangan personal.Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, membuka berbagai sistem keamanan yang hanya bisa ditembus oleh orang dengan kemampuannya. Ia menyusup ke server cadangan yang tersembunyi di dalam jaringa
Malam itu Alya yang dalam kebimbangan, ia akhirnya menyusul Raditya ke perusahaannya.Setelah beberapa menit, Raditya akhirnya berhasil menghentikan serangan cyber crime, ia juga berhasil memutuskan semua akses jaringan luar yang masuk ke NW Tech.Di ruang rapat PT NW Tech, suasana terasa lega namun masih menyisakan ketegangan yang menggantung. Ruangan besar itu dipenuhi dengan cahaya redup dari lampu LED, menyoroti wajah-wajah lelah tapi puas setelah perjuangan panjang. Raditya bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar meskipun ada kemenangan besar di tangannya. Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, ritme pelan yang mencerminkan pikirannya yang masih berputar.Di seberangnya, Alya menatapnya sambil tersenyum tipis. Ia mencoba menikmati momen ini, tapi jauh di dalam hatinya masih ada sisa ketakutan. Bayangan Darel yang selalu menghantui hidupnya selama ini kini akhirnya terhempas, namun luka yang ditinggalkan masih terasa nyata.Aldo berdiri di samp
Alya membuka pintu rumahnya dengan ekspresi datar saat melihat dua orang yang sudah lama tak ingin ia temui berdiri di hadapannya. Darius Alexander dan Salsabillah Carina Darwin. Orang tua Darel.Udara di luar terasa panas, tetapi hawa yang Alya rasakan lebih panas lagi karena kedatangan mereka. Mata Salsabillah menatapnya dengan penuh kebencian, sementara ekspresi Darius seperti seorang raja yang merasa bisa mengendalikan segalanya.“Alya! Akhirnya kau mau juga membuka pintu!” seru Salsabillah dengan suara tinggi. Wajahnya penuh emosi, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.“Ada apa kalian datang kemari?” tanya Alya, tetap tenang meskipun jantungnya sedikit berdegup cepat. Ia tahu pertemuan ini tidak akan menyenangkan.“Kami ingin berbicara denganmu!” Darius menjawab, suaranya dalam dan berwibawa, namun ada ketegangan yang jelas terasa di balik nada dinginnya.“Silakan bicara, tapi jangan terlalu lama.
Alya menoleh, dan di sana berdiri Raditya. Matanya tajam, rahangnya mengeras, dan sorot matanya penuh kemarahan yang tertahan. Tatapan dinginnya seperti pisau tajam yang siap menusuk siapa saja yang berani menyentuh Alya.Raditya tidak melepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Darius. Dengan suara rendah namun penuh ancaman, ia berkata, "Aku peringatkan kau, Darius Alexander. Jika kau atau keluargamu masih berani mengganggu Alya, maka keluarga Alexander akan berhadapan dengan keluarga Wijaya."Mata Darius seketika melebar. Tangan yang tadi mengepal kini sedikit gemetar. Ia tahu siapa keluarga Wijaya. Bukan sekadar keluarga kaya biasa, tapi salah satu yang paling berpengaruh di Asia. Kekuasaan mereka mencakup berbagai sektor bisnis, politik, dan hukum. Menghadapi mereka sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri.Salsabillah yang masih dipenuhi amarah tidak menyadari perubahan ekspresi suaminya. "Kau pikir kami takut pada ancaman seperti itu?!" seruny
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga ketika Raditya berdiri di depan rumah Alya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena gugup, tapi karena antusiasme yang tak terbendung. Di sampingnya, Bunda Liliana tersenyum penuh arti, sementara Pak Darian berdiri tegap, seperti tameng yang selalu siap melindunginya.Raditya menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Alya yang sedikit terkejut melihat kedatangan mereka."Radit? Bunda Liliana? Pak Darian?" Mata Alya membulat. "Ada apa? Kok mendadak?"Bunda Liliana meraih tangan Alya dengan lembut. "Boleh kami masuk dulu, Nak? Ada yang ingin kami bicarakan."Alya mengangguk, meski jantungnya mulai berdegup tak menentu. Setelah mereka duduk di ruang tamu, suasana sejenak hening. Hanya suara detik jam yang terdengar, seolah mengiringi ketegangan di antara mereka.“Sebentar akan saya buatkan minum,” ujar Alya.Alya pun melangkahk
Malam itu, setelah panggilan misterius yang diterimanya, Raditya segera menghubungi Arman, detektif pribadinya. Meski dirinya sendiri seorang hacker ulung, ia tetap membutuhkan bantuan Arman untuk menghemat waktu dalam melacak nomor tersebut."Arman, aku butuh informasi tentang nomor ini," kata Raditya tegas, mengirimkan detail panggilan yang ia terima sebelumnya.Di seberang telepon, suara berat Arman terdengar santai. "Berikan aku beberapa jam, aku akan cari tahu siapa dalangnya."Raditya menutup telepon dan menghela napas. Tangannya segera bergerak cepat di atas keyboard, meretas ke dalam sistem komunikasi untuk menelusuri jejak digital yang ditinggalkan nomor misterius itu. Matanya menyipit tajam saat melihat pola enkripsi yang digunakan. Tidak cukup canggih untuk menipu seorang Raditya, namun cukup untuk membuatnya mendecak.Beberapa jam kemudian, ponselnya kembali bergetar."Aku punya jawabannya," suara Arman terdengar serius. "Pelakunya buka
Malam sebelum pernikahan, suasana di Mansion keluarga Wijaya begitu hidup. Lampu-lampu kristal berpendar indah, meja-meja panjang dipenuhi bunga segar dan hidangan mewah. Setiap sudut rumah dipenuhi suara tawa dan obrolan hangat. Semua orang terlihat berbahagia, terutama Bunda Liliana yang tak henti-hentinya mengarahkan para staf agar segalanya sempurna."Pastikan bunga mawar putih ini ditempatkan di dekat altar, aku ingin suasana sakral tetap terjaga," ucap Bunda Liliana sambil tersenyum puas melihat persiapan berjalan lancar."Tentu, Bunda. Aku sudah mengaturnya," jawab seorang staf dengan sigap.Di sudut ruangan, Raditya sedang berbicara dengan Pak Darian. Meskipun pria itu adalah suami ibunya, hubungan mereka tidak pernah benar-benar akrab. Ada jarak yang sulit dijembatani di antara mereka. Pak Darian menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu."Besok adalah hari besar dalam hidupmu," ucapnya akhirnya, de
Raditya dan Alya bergegas masuk ke dalam rumah. Suara pecahan kaca dan teriakan masih menggema. Begitu mereka tiba di ruang tengah, pemandangan yang mereka lihat membuat Raditya mengepalkan tangan.Bunda Liliana berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam, sementara Pak Darian menatapnya tajam. Di lantai, sebuah vas porselen mahal hancur berantakan. Tante Marissa berdiri di sudut dengan ekspresi penuh kemenangan."Apa yang terjadi di sini?" Raditya bertanya, suaranya dingin.Bunda Liliana menoleh ke arahnya, matanya berkaca-kaca. "Tante Marissa melampaui batas, Radit. Dia mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan tentang Alya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi!"Raditya mengalihkan tatapannya ke Tante Marissa. "Apa lagi yang kau katakan, Tante? Sepertinya penghinaanmu belum cukup."Tante Marissa tersenyum sinis. "Aku hanya mengingatkan ibumu bahwa pernikahan ini adalah kesalahan besar. Keluarga Wijaya butuh menantu yang bisa dibanggakan
Matahari pagi menyinari Mansion keluarga Wiranagara dengan lembut, seakan ingin menghangatkan suasana yang penuh haru. Di ruang keluarga, Alya dan Raditya duduk bersama Bunda Clarissa, Kakek Bakhtiar, dan Nenek Aiko. Hari ini, mereka akan berpamitan.Nenek Aiko menggenggam tangan Alya erat, matanya berkaca-kaca. "Sayang, seminggu terasa begitu cepat. Nenek masih ingin bersama kalian lebih lama."Alya tersenyum lembut. "Aku juga, Nek. Rasanya belum cukup waktu untuk menghabiskan momen bersama kalian. Tapi... ini bukan perpisahan selamanya."Raditya menatap neneknya dengan penuh kasih. "Nenek harus menjaga kesehatan. Jangan lupa minum obat dan makan makanan sehat, ya."Nenek Aiko mengangguk pelan. "Tentu sayang, tentu. Jika nenek sudah sehat, nenek akan ke Nusant mengunjungi kalian."Alya menggenggam tangan neneknya. "Semoga kondisi nenek semakin sehat, hingga kita bisa bertemu kembali di Nusant ya, Nek."Bunda Clarissa menatap menantunya dengan penuh kehangatan, lalu tersenyum jahil. "
Alya menyandarkan kepalanya di bahu Raditya, menikmati semilir angin pagi yang menyentuh kulitnya dengan lembut. Sementara itu, Raditya menggenggam tangannya erat, seakan meyakinkan bahwa kebahagiaan ini akan bertahan selamanya."Radit, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Alya, mencoba mencari tahu rahasia yang disimpan suaminya.Raditya tersenyum penuh misteri. "Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong. Yang jelas, kamu pasti suka."Alya mengerucutkan bibirnya. "Kamu selalu suka bikin aku penasaran."Raditya tertawa kecil dan mencubit ujung hidung Alya. "Karena kamu selalu terlihat lucu kalau penasaran."Alya mendengus pelan, tapi tak bisa menahan senyum. "Baiklah, aku ikut saja. Tapi kalau ternyata aku nggak suka tempatnya, siap-siap ditagih kompensasi.""Siap, Nyonya Raditya," jawab Raditya santai.Setengah jam kemudian, mereka sudah bersiap dan masuk ke dalam mobil. Raditya yang menyetir, sementara Alya duduk di sebelahnya, sesekali melirik ke arah suaminya yang terlihat ten
Setelah cukup lama berendam dalam kehangatan, Alya menyandarkan kepalanya ke dada Raditya, merasa begitu nyaman dalam pelukannya."Radit..." panggilnya pelan."Hmm?" Raditya merespons sambil mengusap lembut lengan istrinya di bawah air."Kita bisa seperti ini terus nggak?" tanya Alya, suaranya terdengar sedikit mengantuk.Raditya terkekeh kecil. "Maksudmu berendam terus di bathtub? Bisa sih, tapi nanti kita jadi ikan," canda Raditya.Alya tertawa kecil dan mencubit lengan suaminya. "Bukan itu maksudku. Maksudnya, bisa nggak kita terus bahagia kayak gini?"Raditya menghela napas, lalu mencium puncak kepala Alya. "Tentu bisa. Aku akan pastikan itu terjadi."Alya tersenyum puas. "Kalau begitu, ayo keluar. Aku sudah cukup segar."Raditya mengangguk, lalu membantu Alya bangkit. Setelah membungkus tubuh istrinya dengan handuk, ia sendiri mengeringkan tubuhnya dengan santai.Saat mereka keluar dari kamar mandi, Raditya lebih dulu mengenakan pakaian santainya. Sementara itu, Alya sibuk memili
Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai membuat Alya menggeliat pelan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam panjang yang mereka lalui semalam. Ia merenggangkan kedua tangannya di atas kepala, mendesah pelan. Raditya yang duduk di tepi ranjang hanya tersenyum, merasa istrinya begitu menggemaskan."Sayang, kamu sudah bangun?" suara serak Alya terdengar manja.Raditya mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi istrinya. "Sudah dari tadi. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita."Alya membuka matanya perlahan, menatap Raditya yang sudah tampak segar. "Apa itu?"Raditya tersenyum kecil. "Bathup sudah aku isi air hangat. Aku tahu kamu butuh merilekskan tubuh setelah..." ia berhenti sejenak, menatap Alya dengan penuh arti, "setelah gemuranku semalam, bahkan kita semalam sama- sama mencapai pelepasan tiga kali, apa kamu ingat sayang?" goda Raditya.Alya yang masih dalam keadaan setengah sadar langsung memerah wajahnya. Ia menarik selimut m
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga terasa hangat. Alya dan Raditya bersiap untuk berangkat honeymoon ke salah satu daerah di Jepang, tepatnya ke Shirakawa-go, desa tradisional dengan pemandangan salju yang romantis. Mereka berpamitan kepada Kakek Bakhtiar, Nenek Aiko, dan Bunda Clarissa."Kalian hati-hati di sana. Nikmati bulan madu kalian, jangan lupa kabari kalau sudah sampai," ujar Kakek Bakhtiar."Raditya, jaga Alya baik-baik. Jepang itu indah, tapi tetap waspada, ya," kata Nenek Aiko.Raditya menggenggam tangan Alya erat, "Tentu saja, Nek. Aku nggak akan membiarkan Alya sedikit pun terluka," jawab Raditya.Bunda Clarissa tersenyum lembut, "Alya, sayang. Jangan terlalu manja sama Raditya, nanti dia makin posesif," ujar Bunda Clarissa.Alya yang mendengarnya otomatis tertawa kecil, "Sudah terlanjur, Bun. Radit memang posesif dari dulu," kata Alya.Raditya hanya menatap Alya dengan mata tajam penuh arti, membuat Alya tersipu.**
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Bakhtiar terasa berbeda. Setelah perbincangan serius siang tadi, Kakek Bakhtiar akhirnya mengambil keputusan."Kita akan bertemu dengan Haruto nanti malam di ruang khusus," ucap Kakek Bakhtiar dengan suara mantap. "Rei, pastikan dia dalam kondisi yang pantas untuk berbicara dengan kita. Suruh dia mandi dan bersihkan diri. Aku yakin keadaannya sekarang tidak baik-baik saja."Rei mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya."Beberapa jam kemudian, Rei memasuki ruang bawah tanah tempat Haruto ditahan. Haruto tampak duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lelah, dengan wajah yang penuh dengan bekas luka dan kotoran. Rei melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan ekspresi netral."Bangun. Tuan Bakhtiar ingin bertemu denganmu malam ini. Tapi sebelum itu, kau harus mandi dan membersihkan diri. Pakaiannya sudah disiapkan."Haruto mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mat
Alya menarik napas dalam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia harus mengatakannya. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin lembut dari luar jendela yang berbisik pelan. Dengan suara pelan namun tegas, ia mulai berbicara, “Nenek, Kakek, Bunda, sebenarnya kami ingin kembali ke Nusant.”Ruangan mendadak membeku. Semua mata tertuju padanya. Clarissa yang tadinya masih menggenggam tangan Nenek Aiko terdiam, sementara Kakek Bakhtiar mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud Alya lebih dalam. Nenek Aiko, yang baru saja merasakan kebahagiaan bertemu kembali dengan putrinya, kini menatap Alya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan.“Sayang, kenapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sini?” tanya Nenek Aiko dengan suara penuh harap, sedikit gemetar.Alya menggeleng, senyum lembut tetapi sendu terukir di wajahnya. “Bukan begitu, Nek. Aku sangat bahagia bisa
Siang itu, Kakek Bakhtiar, Alya, dan Raditya berjalan menuju ruang perawatan Nenek Aiko di rumah sakit. Wajah Nenek Aiko terlihat lebih segar dari sebelumnya, meski masih terlihat lelah."Bagaimana perasaanmu hari ini, Nek?" tanya Alya lembut sambil menggenggam tangan Nenek Aiko.Nenek Aiko tersenyum tipis. "Jauh lebih baik, sayang. Apa kita benar-benar akan pulang hari ini?"Kakek Bakhtiar mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah siapkan semuanya. Kita akan pulang ke mansion."Raditya membantu merapikan barang-barang Nenek Aiko. "Kami sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa di rumah, Nek.""Sesuatu yang istimewa?" Nenek Aiko menatap mereka dengan bingung."Nanti juga Nenek akan tahu," kata Alya dengan senyum penuh arti.Setelah semua siap, mereka meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Nenek Aiko terlihat lebih bersemangat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Mobil yang membawa mereka melaju dengan tenang di jalanan kota
Malam semakin larut di mansion Raditya. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan napas Alya yang terdengar di ruangan itu. Raditya menatap layar dengan penuh konsentrasi, jari-jarinya bergerak cepat menulis barisan kode yang akan menjadi pukulan terakhir bagi Reinhardt."Radit, mereka sedang mencoba reboot sistem mereka," lapor Alya.Raditya mengangguk. "Bagus. Itu berarti mereka masih mencoba bertahan. Aku sudah menyiapkan kejutan terakhir. Kali ini, aku akan benar-benar mengakhiri semuanya."Alya mengamati layar dengan seksama. "Apa yang kamu rencanakan?"Raditya tersenyum tipis. "Aku akan menyusup ke server utama mereka dan menanamkan worm yang tidak hanya akan melumpuhkan AI mereka, tetapi juga menghapus seluruh jejak digital mereka. Semua data, semua koneksi- akan musnah dalam hitungan detik."Alya mengangkat alisnya. "Kamu yakin tidak akan ada yang tersisa?"Raditya mengangguk. "Aku tidak akan memberinya kesempatan lagi. Kali ini, Rei