Malam sebelum pernikahan, suasana di Mansion keluarga Wijaya begitu hidup. Lampu-lampu kristal berpendar indah, meja-meja panjang dipenuhi bunga segar dan hidangan mewah. Setiap sudut rumah dipenuhi suara tawa dan obrolan hangat. Semua orang terlihat berbahagia, terutama Bunda Liliana yang tak henti-hentinya mengarahkan para staf agar segalanya sempurna.
"Pastikan bunga mawar putih ini ditempatkan di dekat altar, aku ingin suasana sakral tetap terjaga," ucap Bunda Liliana sambil tersenyum puas melihat persiapan berjalan lancar.
"Tentu, Bunda. Aku sudah mengaturnya," jawab seorang staf dengan sigap.
Di sudut ruangan, Raditya sedang berbicara dengan Pak Darian. Meskipun pria itu adalah suami ibunya, hubungan mereka tidak pernah benar-benar akrab. Ada jarak yang sulit dijembatani di antara mereka. Pak Darian menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.
"Besok adalah hari besar dalam hidupmu," ucapnya akhirnya, de
Raditya dan Alya bergegas masuk ke dalam rumah. Suara pecahan kaca dan teriakan masih menggema. Begitu mereka tiba di ruang tengah, pemandangan yang mereka lihat membuat Raditya mengepalkan tangan.Bunda Liliana berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam, sementara Pak Darian menatapnya tajam. Di lantai, sebuah vas porselen mahal hancur berantakan. Tante Marissa berdiri di sudut dengan ekspresi penuh kemenangan."Apa yang terjadi di sini?" Raditya bertanya, suaranya dingin.Bunda Liliana menoleh ke arahnya, matanya berkaca-kaca. "Tante Marissa melampaui batas, Radit. Dia mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan tentang Alya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi!"Raditya mengalihkan tatapannya ke Tante Marissa. "Apa lagi yang kau katakan, Tante? Sepertinya penghinaanmu belum cukup."Tante Marissa tersenyum sinis. "Aku hanya mengingatkan ibumu bahwa pernikahan ini adalah kesalahan besar. Keluarga Wijaya butuh menantu yang bisa dibanggakan
Alya menatap pria tua di hadapannya dengan ekspresi ragu. Hatinya ingin mempercayai ucapannya, tapi akalnya menuntut bukti lebih dari sekadar kata-kata."Bagaimana aku bisa yakin kalau Anda benar-benar kakek kandungku?" tanyanya dengan suara tenang, meski ada sedikit getaran dalam nada suaranya.Pria tua itu menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah foto lusuh dari dalam sakunya. Alya mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar. Di dalam foto itu, ada seorang wanita muda yang sangat mirip dengannya."Itu ibumu," pria itu berkata. "Aku kehilangan jejaknya bertahun-tahun lalu. Aku tidak pernah tahu dia memiliki seorang putri… sampai aku mendengar kabar tentangmu."Alya menatap foto itu lama. Ia merasa seperti melihat bayangan dirinya sendiri. Meski begitu, ia belum bisa sepenuhnya menerima pria ini sebagai keluarganya. Namun, ia tidak ingin bersikap kasar."Terima kasih sudah datang," katanya akhirnya. "Tapi aku butuh waktu untuk memahami semua
Setelah akad nikah selesai, suasana kebahagiaan semakin terasa di Mansion Keluarga Wijaya. Kini, tiba saatnya bagi Alya dan Raditya untuk bersiap menghadiri resepsi mereka. Jika sebelumnya mereka dirias di kamar yang berbeda, kali ini mereka bersama dalam satu kamar untuk bersiap.Alya duduk di sofa yang berada didalam kamar dengan wajah yang sedikit tegang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ini bukan pernikahan pertamanya, tapi bagi hatinya, ini terasa seperti yang pertama. Suasananya jauh berbeda dari pernikahannya dulu dengan Darel yang hanya berlangsung di rumah sakit.Raditya berjalan mendekat lalu menutup pintu kamar dengan tenang. Alya menatapnya heran."Radit, kenapa pintunya ditutup? Sebentar lagi MUA ke sini kan?" tanyanya polos.Raditya tersenyum nakal. "Iya, santai sayang... sebelum itu, sini dulu," ajaknya sambil menggiring Alya ke ranjang.Ia mendudukkan Alya di atas pangkuannya dengan lembut.Deg! Alya terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu. Ia memegangi d
Malam telah larut ketika Raditya dan Alya akhirnya sampai di kamar pengantin mereka. Setelah hari yang panjang dan penuh kebahagiaan, keduanya kini benar-benar sendiri untuk pertama kalinya sebagai suami istri.Di luar, langit malam yang bertabur bintang tampak begitu indah. Halaman belakang mansion keluarga Wijaya diterangi lampu-lampu taman yang berpendar lembut, menciptakan bayangan romantis di sekitar kolam renang yang memantulkan cahaya bulan. Semilir angin berhembus, membawa aroma mawar dan melati dari taman yang masih terasa wangi setelah resepsi. Suasana begitu hening dan damai, seakan semesta pun ikut merestui kebahagiaan mereka.Alya berdiri di depan cermin besar di kamar yang megah, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun malam sutra putih yang membalut tubuhnya dengan anggun. Jantungnya berdebar kencang. Bukan hanya karena gugup, tetapi lebih karena perasaan yang begitu menghangatkan hatinya. Ini adalah pernikahan yang sebenarnya baginya.Raditya
Renata menempelkan ponselnya ke telinga, alisnya berkerut dalam. Suara sahabatnya terdengar di seberang, terbata-bata."Ren, kamu tahu nggak... ayahku diundang ke pesta pernikahan Raditya kemarin. Aku juga ikut ke sana..."Jantung Renata berdetak kencang. "Apa?!" suaranya meninggi."Dia menikah, Ren. Dengan wanita bernama Alya."Tangan Renata mencengkeram ponsel lebih erat, napasnya tiba-tiba berat. Matanya membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar."Nggak mungkin..." bisiknya, tapi suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam."Aku lihat sendiri. Maaf, Ren, aku pikir kamu harus tahu."Klik! Renata mematikan panggilan tanpa berkata apa-apa lagi.Detik berikutnya, ponselnya melayang ke seberang ruangan, membentur dinding dengan keras. Napasnya memburu, matanya merah menyala oleh amarah yang meluap-luap. Tangannya terkepal, tubuhnya gemetar."Apa?! Raditya menikah?!" suaranya melengking, nyaris histeris.
Alya duduk di samping Raditya, ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral meskipun pikirannya berkecamuk. Tatapan pria tua yang mengaku sebagai kakeknya masih menembus dirinya, seolah ingin mengukir sesuatu di dalam benaknya.Pak Darian melanjutkan, "Beliau ini adalah Pak Bakhtiar Wiranagara, seorang pengusaha properti di Jepang. Beliau asli Nusantara, tetapi telah lama menetap di sana. Dan sekarang, beliau kembali ke Nusantara untuk mencari putrinya yang sudah lama hilang kontak setelah menikah. Namun, setelah sekian lama mencari, beliau baru mengetahui bahwa putrinya telah meninggal dunia."Alya menggigit bibir bawahnya. Jika yang dikatakan Pak Darian benar, berarti pria tua ini adalah ayah dari ibunya. Kakeknya."Alya, maafkan aku karena datang secara tiba-tiba seperti ini," ujar Pak Bakhtiar dengan suara tenang, namun sarat emosi. "Aku sudah bertahun-tahun mencari ibumu, dan ketika akhirnya aku menemukan petunjuk, ternyata semuanya sudah terlambat."
Pagi itu, sekitar jam 9, di ruang keluarga kediaman keluarga Wijaya, suasana terasa begitu tegang usai mereka sarapan bersama. Aroma kopi masih samar tercium di udara, namun tak ada yang benar-benar menikmatinya. Semua orang duduk dengan ekspresi serius, seolah ada beban berat yang menggantung di ruangan.Pak Bakhtiar duduk tegap, kedua tangannya bertaut di atas meja, matanya penuh harap menatap Alya yang duduk di seberangnya. Ia menelan ludah, lalu akhirnya berbicara dengan nada berat."Alya, aku ingin kita melakukan tes DNA. Aku ingin kepastian..."Alya terdiam sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat, tangan yang berada di pangkuannya mengepal tanpa sadar. Ia menoleh ke Raditya yang berada di sampingnya, berharap menemukan ketenangan di mata suaminya.Raditya, yang peka terhadap kegelisahan Alya, segera menggenggam tangannya dengan erat. "Aku di sini, sayang. Apapun hasilnya, kau tidak sendirian."Pak Darian, yang duduk di sebelah Pak Bakhtiar,
Tangis Alya tak kunjung reda. Ia terisak di pelukan Raditya, tubuhnya bergetar hebat. Kenyataan bahwa ia adalah cucu Pak Bakhtiar memang mengguncangnya, tetapi bukan hanya itu. Ada luka lama yang tiba-tiba terbuka, kenangan yang selama ini ia pendam begitu dalam.Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar suara isakan kecil Alya. Pak Bakhtiar duduk diam, matanya menatap cucunya dengan perasaan yang sulit dijelaskan - campuran antara rasa bersalah dan kebahagiaan yang tertahan. Bu Liliana menggenggam tangan Pak Darian erat, ikut merasakan suasana emosional yang menyelimuti mereka.Raditya mengusap punggung Alya dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya. "Alya, sayang... ceritakan padaku. Apa yang membuatmu begitu terluka?"Alya mengangkat wajahnya yang basah air mata, suaranya lirih dan bergetar. "Aku... aku mengingat ayah dan bunda, Radit. Mereka tak pernah mendapatkan restu dari kakek... Mereka terpaksa pergi dan hidup jauh dari keluarga. Dan kini... mereka &n
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka
Pintu titanium menutup rapat di belakang mereka. Lorong di bawah Helix lama bergema oleh langkah kaki Alya dan Raditya. Di belakang mereka, sistem-sistem kuno mulai menyala sendiri- lampu berkedip, suara listrik menyentak-nyentak seperti ada yang sedang mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak bangkit lagi.“ISAAC sudah masuk ke sistem bawah,” kata Raditya sambil mempercepat langkah. Ia membuka kompad kecil di pergelangan tangan dan menampilkan peta digital. “Kita harus mencapai inti utama sebelum koneksinya stabil.”“Tempat yang kamu sebut Pusaran itu... sebenarnya apa?” tanya Alya dengan napas terengah. Di matanya, tergambar ketakutan dan rasa ingin tahu yang bercampur.“Tempat yang dibangun di luar logika dan etika,” jawab Raditya. “Prototipe akhir sistem jaringan Nusant. Tempat buangan untuk teknologi yang terlalu berbahaya untuk dimusnahkan. Termasuk satu hal yang belum pernah dipakai: protokol Null-Core- satu-satunya jalan untuk memutus koneksi ISAAC.”Lorong menurun se
Lorong menuju Ruang Simulasi berada di bawah Menara Helix yang lama, tersembunyi di balik dinding lift yang telah dimatikan sejak insiden ledakan tujuh tahun lalu. Tak ada akses publik. Hanya satu jalur manual yang masih bisa digunakan- melalui terowongan yang bahkan Raditya sendiri jarang datangi.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding baja yang dingin. Alya menggenggam senter kecil, cahayanya menari di sepanjang lorong sempit yang seolah tidak pernah disentuh cahaya matahari. Bau karat dan debu tua memenuhi udara.“Aku pikir tempat ini sudah dimusnahkan,” gumam Alya pelan.“Begitu rencananya,” jawab Raditya. “Tapi Kakekku selalu punya rencana cadangan. Ruang Simulasi dibangun tersembunyi, di bawah semua sistem utama. Bahkan saat markas utama hancur, tempat ini tetap utuh.”Mereka tiba di sebuah pintu besar dari paduan titanium, tertutup rapat tanpa panel akses.“Bagaimana kita masuk?” tanya Alya.Raditya menarik napas, lalu mengangkat tangan kirinya. Dari balik pergelangan