Raditya merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi berat. Nama itu - Darian Pradipta - terdengar begitu asing, namun sekaligus sangat akrab dalam hidupnya. Ia menatap Alya yang masih menunggu jawaban darinya, ekspresi wanita itu penuh tanda tanya.
“Ayahmu? Bukankah beliau sudah tiada?” ulang Alya dengan suara pelan.
“Bukan ayah kandung,” jawab Raditya singkat.
“Ayah tirimu?” tanya Alya kembali.
Raditya mengangguk, lalu berbalik ke arah pelayan. “Bawa dia masuk.”
Pelayan itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membungkuk dan keluar dari ruangan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka kembali, dan masuklah seorang pria dengan jas abu-abu yang rapi. Wajahnya tegas, dengan sorot mata tajam yang penuh wibawa. Pria itu tidak langsung berbicara. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap putranya dengan pandangan sulit ditebak.
Raditya bangkit dari kursinya, berdiri tegap. “Apa yang Ayah la
Malam itu, Pak Darian pulang ke kediamannya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh pertemuannya dengan Raditya dan Alya. Ia tak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang menggelayuti hatinya - perasaan yang ia tahu berasal dari kekhawatiran dan ketidakmampuannya menerima kenyataan.Sesampainya di rumah, ia mendapati Bunda Liliana sedang duduk di ruang keluarga, menyeruput teh hangat sambil membaca buku. Wanita anggun itu menoleh begitu melihat suaminya masuk.“Kamu pulang lebih awal,” katanya dengan nada lembut.Pak Darian mengangguk dan melepaskan jasnya, lalu duduk di sofa berhadapan dengan istrinya. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, “Aku bertemu Raditya tadi malam,” ungkap Pak Darian.Bunda Liliana mengangkat alisnya. “Oh? Bagaimana kabarnya?”“Dia baik.” Pak Darian terdiam sesaat sebelum melanjutkan, “Dan dia bersama wanita itu, Aly
Pagi ini, embusan angin lembut menyapa wajah Alya saat ia melangkah keluar dari rumahnya. Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, menyinari jalanan kota yang mulai sibuk. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mengilap sudah menunggu dengan mesin menyala. Raditya, atasannya sekaligus pria yang semalam telah ia terima cintanya kini semakin dekat dengannya, turun dari mobil dan membuka pintu untuknya."Pagi, Sayang," sapanya dengan senyum hangat.Alya tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa canggung. "Pagi, Pak. Kamu nggak harus jemput aku setiap hari, tahu? Aku bisa naik taksi atau kendaraan umum."Raditya menghela napas dan menutup pintu setelah Alya masuk. Ia berjalan ke sisi lain mobil dan duduk di kursi pengemudi sebelum menatapnya dengan intens. "Di luar kantor, jangan panggil aku Pak. Aku nggak mau kamu capek di jalan, Alya. Aku ingin memastikan kamu aman dan nyaman. Apa itu salah?" tanya Raditya.Alya terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suar
Matahari mulai condong ke barat saat Raditya dan Alya berdiri di depan sebuah mansion megah dengan pilar-pilar tinggi dan ukiran klasik yang memperlihatkan kemewahan keluarga Wijaya. Alya menelan ludah, tangannya yang berada dalam genggaman Raditya terasa dingin."Kamu siap?" tanya Raditya, suaranya lembut namun penuh keyakinan.Alya menatap mata pria di sampingnya, mencari kekuatan. "Aku... tidak tahu. Aku takut mereka tidak menyukaiku."Raditya tersenyum, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. "Bunda akan menyukaimu. Aku yakin itu. Pak Darian... itu cerita lain. Tapi aku tidak peduli tentang dia. Yang penting kita di sini untuk Bunda."Alya mengangguk pelan, menarik napas dalam sebelum Raditya mendorong pintu besar di hadapan mereka. Aroma ruangan yang dipenuhi wangi mawar segar langsung menyambut mereka, sementara marmer putih mengkilap berpendar di bawah cahaya lampu kristal.Di tengah ruangan, seorang wanita elegan berdiri dengan seny
Renata melangkah masuk dengan penuh percaya diri, senyuman tipis menghiasi wajahnya. Gaun merah yang membalut tubuhnya semakin menegaskan aura elegannya. Namun, bagi keluarga Wijaya, kehadirannya lebih terasa seperti gangguan yang tidak diinginkan.Raditya menatapnya dingin, rahangnya mengeras. "Apa yang kamu inginkan, Renata? Bukankah kau sudah cukup mengganggu Alya sebelumnya?"Renata tertawa kecil, berjalan mendekat. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Radit. Aku penasaran, apa kamu benar-benar serius dengan wanita ini?"Bunda Liliana yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan nada tajam. "Kau tidak diundang, Renata. Dan kami tidak menginginkan kehadiranmu di rumah ini."Tatapan Renata berubah, tetapi ia tetap tersenyum. "Bunda, Anda masih sekeras dulu rupanya. Aku hanya ingin berbicara dengan Raditya. Berdua."Alya yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya membuka suara. "Kamu sudah pernah memperingatkanku untuk menjauhi Raditya, Rena
Setelah kepergian Renata, suasana di ruang utama masih terasa canggung. Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik, seolah masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Alya merasa lega, namun juga sedikit cemas. Apakah kejadian ini akan mempengaruhi bagaimana keluarga Wijaya memandangnya?Bunda Liliana yang pertama kali memecah kesunyian. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, "Baiklah, kita lupakan saja insiden tadi. Mari kita makan bersama. Bunda sudah meminta pelayan menyiapkan hidangan spesial untuk kita semua."Raditya mengangguk setuju, lalu menggenggam tangan Alya, memberinya isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Itu ide bagus, Bun. Alya, ayo. Makan malam di sini enak, kamu pasti suka."Alya tersenyum tipis dan mengikuti mereka ke ruang makan. Meja panjang yang dihiasi lilin dan bunga segar menambah kehangatan di tengah ketegangan yang masih tersisa. Hidangan beragam tersaji dengan indah, tetapi Alya masih merasa sedikit gugup.
Alya dan Bunda Liliana saling berpandangan, jantung mereka berdegup kencang."Apa maksudmu, Renata belum benar-benar pergi?" tanya Bunda Liliana dengan suara yang lebih tajam dari biasanya.Raditya mengusap tengkuknya, tampak kesal. "Dia ada di depan mansion. Pelayan bilang dia menunggu seseorang. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku tidak suka ini."Alya merasakan kegelisahan merayap di tubuhnya. "Mungkin dia hanya mencari perhatian lagi. Dia sudah tahu tidak ada tempat untuknya di sini."Bunda Liliana mendengus pelan. "Bunda sudah cukup melihat drama dari perempuan itu. Kita harus pastikan dia tidak membuat kekacauan lagi."Raditya mengangguk. "Aku akan bicara dengannya. Kalian tunggu di sini."Namun sebelum Raditya bisa berbalik, seorang pelayan bergegas datang dengan wajah panik. "Tuan Raditya! Maaf, tapi Nona Renata... dia sudah masuk ke dalam. Dia ingin bicara dengan Nona Alya."Alya mengerutkan kening. "Dengan aku?"
Raditya masih memandangi layar ponselnya setelah menutup telepon dari pengacara keluarga. Wajahnya tegang, seolah sedang mempertimbangkan bagaimana harus menyampaikan berita ini pada Alya.Alya menelan ludah, merasakan kegelisahan yang mulai merayap di dadanya. "Radit... Apa maksudmu? Kenapa pengacara keluargamu ingin membicarakan sesuatu tentangku?"Raditya menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. "Dia meminta kita datang ke kantornya besok. Ada sesuatu yang perlu kita bahas, dan itu penting."Bunda Liliana menyipitkan matanya, jelas merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Raditya, kamu tahu kan kalau Bunda tidak suka setengah-setengah. Katakan saja apa yang mereka bicarakan."Raditya menatap Alya, lalu kembali ke Bundanya. "Mereka tidak menjelaskan secara detail di telepon. Tapi katanya ini berkaitan dengan keluarga Darel."Alya terkejut. "Keluarga Darel? Apa yang mereka inginkan dariku? Aku bahkan sudah tidak ada hubungan dengan mereka."
Ruangan terasa semakin sesak dengan ketegangan yang menggantung di udara. Alya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan debaran jantung yang tak beraturan. Raditya di sisinya tampak berusaha keras mengendalikan amarahnya, sementara Bunda Liliana menatap pengacara itu dengan sorot tajam."Pak, bukankah ini jelas-jelas tindakan yang mengada-ada?" Raditya akhirnya bersuara, nadanya dingin dan penuh ketegasan. "Keluarga Darel hanya ingin mencari cara untuk menekan Alya. Mereka ingin membalas dendam atas kejatuhan anak mereka."Pengacara itu mengangguk pelan. "Benar. Ini bukan sekadar gugatan biasa. Dari informasi yang kami dapatkan, mereka sudah menyiapkan bukti-bukti yang akan digunakan untuk menyerang reputasi Alya. Mereka ingin membuat seolah-olah Alya memiliki motif tertentu saat memberikan kesaksian terhadap Darel."Alya menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Tapi semua yang aku katakan adalah kebenaran! Aku tidak punya niat lain selain mencari keadilan
Matahari pagi menyinari Mansion keluarga Wiranagara dengan lembut, seakan ingin menghangatkan suasana yang penuh haru. Di ruang keluarga, Alya dan Raditya duduk bersama Bunda Clarissa, Kakek Bakhtiar, dan Nenek Aiko. Hari ini, mereka akan berpamitan.Nenek Aiko menggenggam tangan Alya erat, matanya berkaca-kaca. "Sayang, seminggu terasa begitu cepat. Nenek masih ingin bersama kalian lebih lama."Alya tersenyum lembut. "Aku juga, Nek. Rasanya belum cukup waktu untuk menghabiskan momen bersama kalian. Tapi... ini bukan perpisahan selamanya."Raditya menatap neneknya dengan penuh kasih. "Nenek harus menjaga kesehatan. Jangan lupa minum obat dan makan makanan sehat, ya."Nenek Aiko mengangguk pelan. "Tentu sayang, tentu. Jika nenek sudah sehat, nenek akan ke Nusant mengunjungi kalian."Alya menggenggam tangan neneknya. "Semoga kondisi nenek semakin sehat, hingga kita bisa bertemu kembali di Nusant ya, Nek."Bunda Clarissa menatap menantunya dengan penuh kehangatan, lalu tersenyum jahil. "
Alya menyandarkan kepalanya di bahu Raditya, menikmati semilir angin pagi yang menyentuh kulitnya dengan lembut. Sementara itu, Raditya menggenggam tangannya erat, seakan meyakinkan bahwa kebahagiaan ini akan bertahan selamanya."Radit, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Alya, mencoba mencari tahu rahasia yang disimpan suaminya.Raditya tersenyum penuh misteri. "Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong. Yang jelas, kamu pasti suka."Alya mengerucutkan bibirnya. "Kamu selalu suka bikin aku penasaran."Raditya tertawa kecil dan mencubit ujung hidung Alya. "Karena kamu selalu terlihat lucu kalau penasaran."Alya mendengus pelan, tapi tak bisa menahan senyum. "Baiklah, aku ikut saja. Tapi kalau ternyata aku nggak suka tempatnya, siap-siap ditagih kompensasi.""Siap, Nyonya Raditya," jawab Raditya santai.Setengah jam kemudian, mereka sudah bersiap dan masuk ke dalam mobil. Raditya yang menyetir, sementara Alya duduk di sebelahnya, sesekali melirik ke arah suaminya yang terlihat ten
Setelah cukup lama berendam dalam kehangatan, Alya menyandarkan kepalanya ke dada Raditya, merasa begitu nyaman dalam pelukannya."Radit..." panggilnya pelan."Hmm?" Raditya merespons sambil mengusap lembut lengan istrinya di bawah air."Kita bisa seperti ini terus nggak?" tanya Alya, suaranya terdengar sedikit mengantuk.Raditya terkekeh kecil. "Maksudmu berendam terus di bathtub? Bisa sih, tapi nanti kita jadi ikan," canda Raditya.Alya tertawa kecil dan mencubit lengan suaminya. "Bukan itu maksudku. Maksudnya, bisa nggak kita terus bahagia kayak gini?"Raditya menghela napas, lalu mencium puncak kepala Alya. "Tentu bisa. Aku akan pastikan itu terjadi."Alya tersenyum puas. "Kalau begitu, ayo keluar. Aku sudah cukup segar."Raditya mengangguk, lalu membantu Alya bangkit. Setelah membungkus tubuh istrinya dengan handuk, ia sendiri mengeringkan tubuhnya dengan santai.Saat mereka keluar dari kamar mandi, Raditya lebih dulu mengenakan pakaian santainya. Sementara itu, Alya sibuk memili
Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai membuat Alya menggeliat pelan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam panjang yang mereka lalui semalam. Ia merenggangkan kedua tangannya di atas kepala, mendesah pelan. Raditya yang duduk di tepi ranjang hanya tersenyum, merasa istrinya begitu menggemaskan."Sayang, kamu sudah bangun?" suara serak Alya terdengar manja.Raditya mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi istrinya. "Sudah dari tadi. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita."Alya membuka matanya perlahan, menatap Raditya yang sudah tampak segar. "Apa itu?"Raditya tersenyum kecil. "Bathup sudah aku isi air hangat. Aku tahu kamu butuh merilekskan tubuh setelah..." ia berhenti sejenak, menatap Alya dengan penuh arti, "setelah gemuranku semalam, bahkan kita semalam sama- sama mencapai pelepasan tiga kali, apa kamu ingat sayang?" goda Raditya.Alya yang masih dalam keadaan setengah sadar langsung memerah wajahnya. Ia menarik selimut m
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga terasa hangat. Alya dan Raditya bersiap untuk berangkat honeymoon ke salah satu daerah di Jepang, tepatnya ke Shirakawa-go, desa tradisional dengan pemandangan salju yang romantis. Mereka berpamitan kepada Kakek Bakhtiar, Nenek Aiko, dan Bunda Clarissa."Kalian hati-hati di sana. Nikmati bulan madu kalian, jangan lupa kabari kalau sudah sampai," ujar Kakek Bakhtiar."Raditya, jaga Alya baik-baik. Jepang itu indah, tapi tetap waspada, ya," kata Nenek Aiko.Raditya menggenggam tangan Alya erat, "Tentu saja, Nek. Aku nggak akan membiarkan Alya sedikit pun terluka," jawab Raditya.Bunda Clarissa tersenyum lembut, "Alya, sayang. Jangan terlalu manja sama Raditya, nanti dia makin posesif," ujar Bunda Clarissa.Alya yang mendengarnya otomatis tertawa kecil, "Sudah terlanjur, Bun. Radit memang posesif dari dulu," kata Alya.Raditya hanya menatap Alya dengan mata tajam penuh arti, membuat Alya tersipu.**
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Bakhtiar terasa berbeda. Setelah perbincangan serius siang tadi, Kakek Bakhtiar akhirnya mengambil keputusan."Kita akan bertemu dengan Haruto nanti malam di ruang khusus," ucap Kakek Bakhtiar dengan suara mantap. "Rei, pastikan dia dalam kondisi yang pantas untuk berbicara dengan kita. Suruh dia mandi dan bersihkan diri. Aku yakin keadaannya sekarang tidak baik-baik saja."Rei mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya."Beberapa jam kemudian, Rei memasuki ruang bawah tanah tempat Haruto ditahan. Haruto tampak duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lelah, dengan wajah yang penuh dengan bekas luka dan kotoran. Rei melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan ekspresi netral."Bangun. Tuan Bakhtiar ingin bertemu denganmu malam ini. Tapi sebelum itu, kau harus mandi dan membersihkan diri. Pakaiannya sudah disiapkan."Haruto mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mat
Alya menarik napas dalam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia harus mengatakannya. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin lembut dari luar jendela yang berbisik pelan. Dengan suara pelan namun tegas, ia mulai berbicara, “Nenek, Kakek, Bunda, sebenarnya kami ingin kembali ke Nusant.”Ruangan mendadak membeku. Semua mata tertuju padanya. Clarissa yang tadinya masih menggenggam tangan Nenek Aiko terdiam, sementara Kakek Bakhtiar mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud Alya lebih dalam. Nenek Aiko, yang baru saja merasakan kebahagiaan bertemu kembali dengan putrinya, kini menatap Alya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan.“Sayang, kenapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sini?” tanya Nenek Aiko dengan suara penuh harap, sedikit gemetar.Alya menggeleng, senyum lembut tetapi sendu terukir di wajahnya. “Bukan begitu, Nek. Aku sangat bahagia bisa
Siang itu, Kakek Bakhtiar, Alya, dan Raditya berjalan menuju ruang perawatan Nenek Aiko di rumah sakit. Wajah Nenek Aiko terlihat lebih segar dari sebelumnya, meski masih terlihat lelah."Bagaimana perasaanmu hari ini, Nek?" tanya Alya lembut sambil menggenggam tangan Nenek Aiko.Nenek Aiko tersenyum tipis. "Jauh lebih baik, sayang. Apa kita benar-benar akan pulang hari ini?"Kakek Bakhtiar mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah siapkan semuanya. Kita akan pulang ke mansion."Raditya membantu merapikan barang-barang Nenek Aiko. "Kami sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa di rumah, Nek.""Sesuatu yang istimewa?" Nenek Aiko menatap mereka dengan bingung."Nanti juga Nenek akan tahu," kata Alya dengan senyum penuh arti.Setelah semua siap, mereka meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Nenek Aiko terlihat lebih bersemangat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Mobil yang membawa mereka melaju dengan tenang di jalanan kota
Malam semakin larut di mansion Raditya. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan napas Alya yang terdengar di ruangan itu. Raditya menatap layar dengan penuh konsentrasi, jari-jarinya bergerak cepat menulis barisan kode yang akan menjadi pukulan terakhir bagi Reinhardt."Radit, mereka sedang mencoba reboot sistem mereka," lapor Alya.Raditya mengangguk. "Bagus. Itu berarti mereka masih mencoba bertahan. Aku sudah menyiapkan kejutan terakhir. Kali ini, aku akan benar-benar mengakhiri semuanya."Alya mengamati layar dengan seksama. "Apa yang kamu rencanakan?"Raditya tersenyum tipis. "Aku akan menyusup ke server utama mereka dan menanamkan worm yang tidak hanya akan melumpuhkan AI mereka, tetapi juga menghapus seluruh jejak digital mereka. Semua data, semua koneksi- akan musnah dalam hitungan detik."Alya mengangkat alisnya. "Kamu yakin tidak akan ada yang tersisa?"Raditya mengangguk. "Aku tidak akan memberinya kesempatan lagi. Kali ini, Rei