Raditya segera bangkit dari tempat tidur, mengambil jas yang tergantung di kursi, dan mengenakan jam tangannya. Alya menggeliat pelan, matanya masih setengah tertutup saat melihat Raditya yang tampak tergesa-gesa."Radit? Ada apa?" tanyanya dengan suara serak.Raditya menoleh, mendekatinya, dan mengecup keningnya lembut. "Bunda menelepon. Ada masalah di mansion. Aku harus segera ke sana."Alya langsung terjaga. "Masalah apa? Bukankah kita memang berencana ke sana pagi ini?"Raditya menghela napas. "Aku juga tidak tahu detailnya, tapi Bunda terdengar panik. Aku akan berangkat dulu. Kamu menyusul setelah siap, ya?"Alya menggeleng. "Tidak. Aku ikut sekarang. Biarkan aku bersiap dalam lima menit."Raditya tersenyum kecil. "Baiklah, tapi jangan buru-buru sampai terluka. Aku akan menunggu di mobil."Lima belas menit kemudian, mobil mereka meluncur dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Alya bisa merasakan ketegangan di wajah Raditya, jemarinya yang menggenggam setir tampak lebih erat
Raditya terus menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Jari-jarinya kembali menari di atas keyboard, berusaha menelusuri lebih dalam jejak digital yang ditinggalkan oleh peretas misterius itu. Napasnya mulai berat, dadanya dipenuhi ketegangan."Aku hampir menemukannya..." gumam Raditya, nada suaranya terdengar tajam dan penuh fokus.Alya, yang berdiri di sampingnya, memperhatikan layar dengan cemas. Ia bisa merasakan energi yang berbeda dari suaminya- tegang, penuh amarah, dan dihantui kekhawatiran yang dalam. "Kamu bisa melacak lokasinya?" tanyanya dengan hati-hati.Raditya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Iya. Dia menggunakan beberapa VPN untuk menyembunyikan lokasi aslinya, tapi ada celah kecil di sini..." Jemarinya mengetik lebih cepat, seolah-olah hidupnya bergantung pada ini. "Dapat!" serunya tiba-tiba, nada suaranya campuran antara kemenangan dan kekhawatiran.Semua mata tertuju pada layar. Di sana terpampang koordinat yang menunjukkan sebuah lokasi di
Malam semakin larut, namun mata Raditya masih terpaku pada layar. Setelah diskusinya dengan ayah dan bundanya, Raditya nampak belum merasa lega dan ingin terus menyelidikinya. Alya duduk di sampingnya, sesekali menatap suaminya dengan gelisah."Radit, kamu butuh istirahat," ucap Alya lembut. "Sejak tadi kamu belum berhenti mengetik."Raditya menggeleng, matanya masih menatap kode-kode di layar. "Aku nggak bisa tenang sebelum tahu siapa yang benar-benar ada di balik ini semua."Alya menyentuh bahunya. "Kita tidak perlu berangkat ke Jepang lagi, kemarin kita telah kembali dari Jepang, kita juga masih lelah. Disana ada Kakek Bakhtiar dan Bunda Clarissa juga orang kepercayaan keluarga Wiranagara yang bisa kita percaya untuk melakukan pencarian dan penyelidikan. Sekarang giliran kita percaya sama mereka," ujar Alya.Raditya menghela napas panjang. "Aku percaya. Tapi... entah kenapa aku merasa ini lebih dalam dari yang terlihat. Seolah ada sesuatu yang ingin disembunyikan, bahkan dari kita.
Keesokan harinya, pagi datang dengan udara yang lebih dingin dari biasanya. Raditya terbangun lebih awal, meskipun semalam ia tidur hanya beberapa jam. Pikiran-pikiran tentang Raka, adiknya yang hilang, terus menghantui. Wajah di foto yang dikirim Bunda Clarissa masih terbayang jelas di benaknya. Ada ketegangan di setiap detik yang berlalu, seolah-olah dunia menunggu sesuatu yang besar akan terjadi. Alya terbangun tak lama setelahnya. Ia menyentuh bahu Raditya, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Mereka saling pandang, dan meskipun tidak mengatakan apa-apa, Raditya tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Alya akan selalu ada di sampingnya, apapun yang terjadi. "Radit, aku tahu ini berat," kata Alya lembut, "Tapi kita harus tetap hati-hati. Jangan terburu-buru." Raditya mengangguk. "Aku tahu, Sayang. Aku hanya ingin menemukan dia, memahami kenapa semuanya bisa terjadi seperti ini." Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Bunda Clarissa masuk. “Rei dan Ha
Raka menunduk sesaat, tangannya mengepal di atas meja. Wajahnya yang semula dingin mulai menunjukkan retakan emosi. Air matanya tertahan di pelupuk mata, tapi ia terlalu lama membiasakan diri untuk tidak menangis."Selama ini... aku hidup dalam bayang-bayang. Dalam kebencian. Dalam kebingungan yang tak pernah terjawab," ucapnya lirih. Suaranya bergetar, tapi ada keteguhan yang tetap bertahan di sana.Ruangan tempat mereka duduk seolah menahan napas. Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Udara di dalam ruangan terasa berat, seperti dihimpit oleh sejarah yang tak selesai.Kakek Bakhtiar melirik Bunda Clarissa, lalu mengangguk pelan. Ia tahu, saat ini adalah momen yang paling rapuh- saat di mana kebenaran bisa keluar, atau semuanya kembali tertutup."Apa yang terjadi padamu, Raka?" tanya Kakek Bakhtiar pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh hati.Raka mengangkat wajahnya, menatap kamera yang m
Langit Jepang saat itu mendung, dan salju turun perlahan di halaman belakang kediaman keluarga Bakhtiar. Di dalam ruang studi bergaya tradisional, Kakek Bakhtiar berdiri di depan jendela sambil memandangi pegunungan berselimut putih.“Waktunya kalian menuju ke Nusant, kalian harus membantu cucuku Alya dan Raditya,” ucapnya tenang tapi tegas, tanpa menoleh.Rei dan Haruto yang duduk di hadapannya saling berpandangan. “Apakah ini terkait Raka?” tanya Haruto.“Bukan hanya itu,” jawab Kakek Bakhtiar, suaranya berat. “Raditya dan Alya akan membuka kembali ruang bawah tanah PT. NW Tech. Aku percaya hanya kalian berdua yang cukup cakap dan bisa dipercaya untuk membantu mereka menelusuri kebenaran.”Rei mengangguk mantap. “Baik, Tuan. Kami akan segera bersiap.”“Dan ingat,” lanjut Kakek Bakhtiar sambil menyerahkan amplop berisi akses kode tua PT. NW Tech yang telah ia dapatkan atas petunjuk dari Raka, “jangan hanya cari jawaban. Lindungi mereka. Dunia yang kalian masuki bukan lagi dunia yang
Angin dingin menerpa wajah mereka saat melintasi padang beku menuju Zona Hitam di utara Jepang- wilayah yang pernah menjadi pusat eksperimen cyber-biologis rahasia di era terakhir Project Helix. Sinyal dari tablet Rei semakin melemah, tapi garis tipis di peta masih mengarah pada satu titik: markas tersembunyi yang konon telah dikunci oleh pemerintah Jepang selama lebih dari satu dekade."Menurut catatan lama, tempat ini dulu laboratorium off-grid milik sektor militer. Tapi kemudian diambil alih oleh pihak swasta… tanpa ada data siapa yang benar-benar mengelolanya," jelas Rei sambil memperbesar peta. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.Raditya memandang gelap ke depan. Rahangnya mengeras. “Kalau Raka sembunyi di sana, dia pasti tahu kita akan mencarinya. Ini bukan jebakan biasa- ini pesan.”Alya melangkah di sampingnya, matanya tajam menembus kabut malam. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan. “Atau... peringatan. Raka tak pernah melakukan sesuat
Tubuh Raditya menggigil hebat. Cahaya biru dari matanya berkedip tak menentu, seperti dua dunia sedang bertarung dalam dirinya- kesadarannya sendiri dan entitas digital milik Arya Wiguna yang tengah berusaha mengambil alih kendali.Alya masih memeluk tubuh Raditya, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia menatap wajah pria yang dicintainya itu, berharap masih ada jejak Raditya di balik ekspresi kosongnya. Suaranya lirih namun tegas, seperti tali tipis yang mengikatnya ke dunia nyata. “Kamu masih kamu, Radit. Jangan biarkan mereka menghapus siapa kamu sebenarnya,” pinta Alya.Di sampingnya, Rei mengetik cepat di terminal cadangan, matanya fokus namun berkeringat. Setiap perintah yang ia masukkan ditolak oleh sistem. “Sial... sistem ini hidup! Dia bukan cuma AI biasa. Ini sesuatu yang adaptif dan berevolusi. Seperti... seperti dia membaca pikiranku,” ujar Rei panik.Haruto yang sibuk menelusuri jalur kabel tua, tiba-tiba berteriak. “Aku temuk
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lain—kebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.“Kamu tidak sendirian,” ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. “Apa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?” katanya pahit. “Kalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.”Raditya maju satu langkah. “Kami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.“Kamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.”Dewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, dan… rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.“Namaku Elros,” ujar anak laki-laki itu. “Aku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.”Dewi menarik napas tajam. “Tidak… bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka