Suara desingan peluru terdengar memekakan telinga saat Tias dan beberapa rekan satu tim keluar dari dalam gedung. Satu kali, masih menyasar kejendela. Suara desingan yang kedua, hampir saja mengenai kepala Tias.
“Awas!” Pria itu menarik tubuh Tias ke dalam pelukannya, dan membalik agar menjadi perisainya. Tias berkedip melihat rupa cowok itu. Garis wajah yang tegas dengan rahang yang kokoh tergambar jelas. Tias seperti melihat orang itu di suatu tempat. Tapi, di mana? Wanita itu terdiam dalam pelukan lelaki itu.
Suara desingan peluru tidak berhenti juga. Masih dalam pelukannya, lelaki itu membawa tubuh Tias untuk berlindung di dalam gedung. Dia menarik tubuh wanita berseragam batik itu untuk menuju ke dalam gedung. Tanpa suara apapun, lelaki bermata coklat itu tetap memeluk Tias, meskipun sudah aman di dalam gedung. Lelaki itu melongok keluar, seolah memastikan sang penyerang sudah pergi atau belum.
“Terima kasih.” Suara Tias terdengar, sehingga lelaki itu baru menyadari, telah memeluk wanita itu. Tanpa basa-basi, lelaki itu menghempaskan tubuh Tias. Tanpa berkata apa pun, lelaki berpotongan undercut itu melenggang pergi ke lantai dua.
“Tuan, maaf. Anda mau kemana?” tanya Tias.
Lelaki itu hanya menoleh, kemudian melanjutkan langkahnya. Tias geram, menyaksikan ulah pria itu. Lelaki itu memang sudah menolongnya. Tapi, dia pergi ke lantai atas? Ruangan yang terdapat hanya milik CEO dan staf-staf penting. Ini jam pulang kantor. Tentu saja, dia curiga.
“Tuan, tunggu sebentar. Anda tidak bisa ke sana!” cegah Tias.
Lelaki itu tampak acuh. Dia tetap saja melenggang meninggalkan Tias. Wanita yang mengenakan fantofel berhak sepuluh centi meter warna coklat itu berlari mengejar lelaki yang bertubuh seratus delapan puluh centi.
“Tuan, maaf ... anda tidak bisa masuk!” cegah Tias.
“Apa hak mu melarangku?”
Lelaki itu besuara, membuat Tias terkesima. Suaranya tegas berkharisma, didukung dengan perawakannya yang tinggi dan menawan.
“Maaf, Tuan. Itu ruangan CEO. Tidak sembarang orang bisa masuk,” cegah Tias.
“Kalau aku CEO-nya?” tanya lelaki itu.
“Ah, tidak mungkin. Jangan mentang-mentang sudah menyelamatkan, terus saya bisa lengah membiarkan anda masuk ruangan CEO itu. Mau berbuat jahat, ya? Karena menurut pak Saefudin, besok baru CEO datang.” Tias kekeh dengan pendapatnya, bahwa pria di depan wajahnya tersebut bukanlah CEO yang baru.
“Jangan sok tahu, kalau tidak tahu,” sarkas lelaki itu.
Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia tidak lagi memiliki keinginan untuk masuk ke dalam ruangan itu. Dia hanya berdiri di depan ruangan yang paling besar, di antara ruangan yang lainnya.
“Hai, maaf, ya. Tidak perlu nyolot. Saya bicara baik-baik dengan anda dari tadi. Tapi, balasannya apa?” Tias mulai naik pitam.
Lelaki itu hanya tertawa. Dia mengeluarkan tangannya dari dalam sakunya, seraya berbalik untuk memutar knop pintu. Melihat lelaki yang tidak tahu sopan santun itu akan masuk, Tias mengahlanginya.
“Jangan kurang ajar!” Tias memegang tangan lelaki itu. Lelaki dengan kulit putih cenderung kuning itu menarik tubuh Tias dan berbisik.
“Kamu akan menyesal, Nona. Dan pelukan tadi, akan terulang.”
Tias terpaku. Aliran darahnya terasa membeku. Wanita itu tidak ingat lagi tujuannya berada di depan ruangan itu. Bisikan lelaki itu membuatnya terpana. Tapi, kemudian tersadar dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Tuan, eh ... aduh kecolongan gue.” Lelaki itu sudah masuk dan mengunci pintunya, agar Tias tidak masuk. Lelaki itu tersenyum. Dia laksana anak-anak yang berhasil menjahili temannya. Ini sangat menyenangkan, demikian batin lelaki itu berbisik.
Tias mondar-mandir tak karuan. Dia bingung harus melakukan apa. Ada dia di sini, tapi ada penyusup tidak bisa mengatasi. Hanya gara-gara terpana dengan suara lelaki itu, yang mirip seseorang di masa lalunya, versi dewasa. Tias mendadak punya ide untuk menelpon Pak Saefudin.
Pak Saefudin adalah CEO yang lama, baru saja pensiun. Namun, karena belum ada yang dapat menggantikannya, maka jabatan itu dilelang ke beberapa instansi termasuk swasta. Kebetulan pria itu menginginkannya, masuklah pria itu menduduki jabatan. Pria itu dari golongan wiraswasta. Sebuah pucuk pimpinan harus selalu dipegang oleh orang yang kompeten di dalamnya.
“Tias, apakah pak Ilham sudah datang? Dia keponakanku. Bagaimana? Ganteng ‘kan orangnya?” tanya Saefudin.
Gleg ... terdengar saliva diteguk dengan kasar karena susah ditelan oleh Tias. Berarti, pria itu beneran CEO yang baru. Tias berkali-kali membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. Kemudian dia mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya.
“Mati gue!”
Hingga tiba-tiba pintu di buka. Ilham melihat aksinya dan mengerutkan keningnya.
“Dia? Ah ... wanita Biarin gue kerjain.” Ilham berkata dalam hatinya, sambil tersenyum.
“Kamu belum pergi juga? Masih mau jadi pahlawan kesiangan?” Lelaki yang mungkin bernama Ilham itu bersandar di daun pintu, kemudian menyilangkan tangannya bersedekap di depan dadanya, kaki satunya berjinjit dengan ujung sepatu sebagai tumpuannya sehingga membentuk lengkungan.
“Eh, anu itu. Anu, saya ... saya mau minta maaf. Maafkan saya, Pak.” Tias menundukan kepalanya.
Ilham tidak menggubrisnya, kemudian berlalu meninggalkan wanita itu. Tias masih terpaku di tempat itu. Kemudian, menggebug dahinya sendiri karena merasa kacau. Bisa-bisanya dia memberi kesan buruk pada pertemuan pertama dengan bosnya.
Tias menyandarkan tubuhnya di dinding. Dia merasa ini bencana. Mana kaku banget orangnya. Kekhawatiran merayapi relung jiwanya, hingga tak bersisa kebahagiaan secuil pun. Bunyi ledakan terdengar sampai di telinganya, hingga dia tersadar dan lari keluar. Gedung itu ada di lantai lima, sehingga dirinya harus turun dulu untuk melihat di mana ada sumber ledakan.
Lift terbuka. Tias masuk ke dalamnya. Akan tetapi, beberapa menit kemudian lampu mati akibat dari ledakan tersebut, ada saluran kabel yang putus sehingga seluruh kota harus di matikan sementara, sampai perbaikan selesai.
Lampu mati. Tias ketakutan. Wanita itu paling tidak suka sendiri apalagi dalam kegelapan. Tias mulai merasa mual dan menggigil. Ilham yang baru sampai di tempat parkiran menyadari akan adanya keadaan bahwa terjadi pemadaman lampu. Dia teringat, Tias masih di atas. Lelaki yang memakai jas formal itu berlari ke arah pintu keluar lift, namun tidak menemukan Tias. Kemudian, dia naik tangga untuk memastikan Tias baik-baik saja. Akan tetapi, nihil juga. Tidak mungkin, Tias dapat membalap langkahnya. Lagi pula, parkirnya tidak jauh dari mobilnya. Dan tadi, dilihat masih ada motornya di sana.
Lelaki bermata hazel itu terbelalak. Berarti, Tias berada di dalam lift yang macet. Lelaki itu turun kembali untuk memanggil satpam untuk menyalakan jen set. Kebetulan atau memang rencana Tuhan. Jen set juga mati. Hingga Ilham frustasi. Satpam itu memberikan ide untuk memanggil tukang yaitu pemadam kebakaran saja. Usul satpam di terima.
Ilham mondar-mandir karena merasa cemas. Lelaki itu bahkan tidak henti-hentinya meletakkan tangannya di keningnya, bertanda rasa was-was menguasai relung jiwanya. Dia merasa menyesal meninggalkan wanita itu. Hasrat hati, ingin mengerjai wanita itu tapi dia sendiri yang merasa sangat kahwair sekarang. Akhirnya, petugas datang. petugas pemadam kebakaran berseragam orange menuju ke depan lift untuk membantu membuka pintu lift. Menggunakan mobil sebagai generator, memunculkan listrik untuk mengoprasikan mesin las. Ilham menggigit bibir bawahnya karena merasa cemas.
Note : Ini novel baru dari Meyyis ya kawan semoga suka. Kamu bisa hubungi di 088216076937 jika ingin berkomunikasi dengan penulis.
Ilham membelalkkan matanya ketika melihat tubuh itu terkulai lemas. Lelaki itu adalah Ilham sang CEO baru Dia langsung mengangkat tubuh ringkih itu untuk di bawa keluar dari lift. Riuh suara petugas memberikan jalan pada Ilham untuk menyingkirkan orang-orang yang berkerumun. Jauh di gedung ke dua pemadam yang lain sedang berkutat memadamkan api akibat ledakkan. Seorang pria teridentifikasi melakukan bom bunuh diri. Baru dugaan sementara. Ilham tidak peduli. Dia lebih peduli dengan wanita di gendongannya itu. Ilham meletakkan tubuh ringkih itu di lobi depan. Orang-orang berkerumun. Ilham meraih minyak kayu putih yang disodorkan oleh seseorang. Masih dalam pelukannya lelaki itu mengusapkan minyak kayu putih ke berbagai anggota tubuh untuk membuat Tias terjaga. Tidak berapa lama,Tias membuka mata dan bingung. Mengapa berada di pelukan seorang lelaki.“Maaf ...” Tias melepaskan pelukannya. Dia menunduk dan terlihat salah tingkah. Ilham membiarkan suasana canggung itu
“Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan.” Ilham hanya mengangguk saja. Dia berbalik, kemudian masih memandang sekitar. Ilham melepas maskernya, untuk lebih menikmati suasana sekitar. Masa pandemi seperti ini, memakai masker menjadi keharusan. Segala yang ada pada Tias mengingatkan dirinya pada seorang remaja yang dia cari selama ini. Remaja putri bernama Divia yang dahulu selalu menarik perhatiannya. Remaja itu selalu mengendap-endap saat Ilham dan teman-temannya latihan bela diri. Anehnya perempuan itu bisa menyerap semua ilmu yang dia pelajari dari hasil mengintipnya itu.Setelah Ilham pergi, rumah ini selalu sepi tanpa penghuni. Setiap pulang kerja, hanya kehampaan terlihat tanpa adanya tawa yang menghiasi. Seorang wanita yang hanya bagai serpihan kaca yang retak seribu tanpa dapat disatukan lagi. Hatinya terkoyak dan menjerit. Mau protes, kepada siapa? Memang kesalahan ada pada diri wanita tersebut katanya. Wanita mandul itu yang selalu didengungkan o
Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.“Happy birthday ... happy ...” Suara seraknya tidak mampu dilanjutkan. Semua tercekat di tenggorokan dengan tangis yang makin mencair membebani benaknya. Ditiup lilin kemudian Dipotong kue bergambar bola tersebut. Warna coklat terlihat menarik, dia tidak suka coklat. Setelah dipotong, seolah memberikan kepada seseorang dan meletakkannya kembali. Sama seperti waktu kecil saat main.“Ini kue untukmu. Potongan pertama spesial untuk orang yang sepesial.” Tergugu
“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustrasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya gondok setengah mati. Bukan kali ini saja. Seminggu dia menggantikan CEO lama, sudah seperti neraka terasa suasana kantor. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah disamck down lelaki bertubuh jangkung itu.“Gampang saja. Sekarang naik!” Tias tetap bergeming. Dia tidak mau satu mobil hanya berdua dengan buaya darat menyebalkan itu. Bagaimana tidak, lelaki sarap itu selalu membuatnya fr emosi tingkat tinggi. Kalau dalam mobil berduaan selama setengah hari, bisa-bisa jantungnya Kolaps mendadak. Dia belum mau mati.“Kok bengong? Ayo!” Ajak Ilham sambil berbalik ke arah Tias, karena wanita itu hanya diam di tempat.“Bapak yakin, kita cuma berdua? Siapa yang nyetir?” tanya Tias sebaga
“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa? Tias hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.“Maksud, Bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menunduk karena takut. CEO yang baru itu sungguh terlalu killernya. Tidak tahu apa, kalau dia sedang patah hati karena suaminya tidak pulang semalaman. Duh, rasanya ingin menjambak rambutnya yang sangat tebal itu. Gedeg banget rasanya menghadapi spesies macam pak Ilham itu. Dia terdiam di kursi itu, dengan melirik blok name yang ada di meja itu. Ilham Sanjaya Sasmita. Tertulis dengan huruf kapital dan berbentuk balok seperti orangnya lempeng dan kotak seperti itu dalam pikirny
Tiba-tiba bannya kempis sehingga membuat mobil itu terasa oleng. Ilham menepikan mobilnya, kemudian turun memeriksa. Dia menghembuskan nafas kasar. Ternyata bannya kempes. Dia mengambil serep ban kemudian dengan tangan perkasanya mulai memutar pengait ban dan memulai menggantikan dengan yang baru. Baru akan mengganti, tiba-tiba ada tiga lelaki menghampiri mereka.“Tidak boleh parkir di sini. Semua ada aturannya. Kalian harus membayar.” Tias mengerutkan kening. Melihat dari gelagatnya,ada ketidakberesan pada mereka. Tias turun dari mobil, kemudian siaga jika ketiga lelaki itu akan berbuat semena-mana. Tangannya sudah gatal ingin memberi tanda perkenalan pada lelaki di depannya itu, yang sudah belagu.“Maaf, mas-mas. Kami ‘kan kempes bannya. Bukan karena ingin parkir. Kalau memang harus membayar, kami akan bayar.” Kawanan lelaki dengan baju warna hitam dan tato dimana-mana itu memandang mesum pada diri Tias. Seakan-akan Tias adalah mangsa em
Lelaki tua itu terlihat mengobati Ilham dengan berbagai alat yang Tias sendiri asing melihatnya. Yang pertama diliahat, lelaki itu menyedot dengan peralatan seperti pumping ASI untuk entah mengambil apanya, darah kehitaman keluar dari tubuh Ilham memenuhi pumping itu. Mungkin, menghisap racun yang masuk, demikian perkiraan Tias.p“Itu apa, Pak?” tanya Tias.“Ini adalah obat untuk pembekuan darah. Dia terkena racun bisa ular. Saya belum tahu, Neng ular apa. Tapi, akan kasih penawar dulu, untuk bisa bertahan hingga rumah sakit.” Lelaki tua itu menumbuk dedaunan untuk dibubuhkan ke lukanya Ilham. Hari sudah semakin sore. Akan tetapi, mau tidak mau dia harus melanjutkan perjalanan untuk mncari rumah sakit terdekat.“Pak, apakah ada bengkel terdekat?” tanya Tias.“Adanya bengkel motor, Neng. Kalau bengkel mobil tidak ada di daerah ini bahkan belum ada yang punya mobil kecuali pak lurah.” Wanita deng
Tias sesekali menoleh ke belakang, dilihat Ilham mulai menggerakkan kepalanya, mungkin mulai sadar. Ingin rasanya memegang tangannya dan memberikan semangat. Dia tidak tega melihat bosnya itu merasa kesakitan seperti ini.“Duh, apa yang ku pikirkan?” Tias menepuk jidadnya. Dia kembali fokus ke jalan untuk mencapai rumah sakit. Bekas hujan dan longsoran tanah membuat ban mobil sulit berputar karena licin. Dia sulit mengendlikan mobilnya. Nafas memburu karena adrenaline mulai berpacu. Dia berhenti sejenak.“Ya Allah, Tuhanku bantu saya.” Keyakinan itu tampak teguh. Dia mulai menginjak pedal gasnya sangat dalam. Setelah sekitar setengah jam berputar-putar di bagian lumpur, akhirnya dapat lolos juga. Dia berhenti mengatur napasnya. Sedangkan Ilham di belakang masih terlelap. Mungkin terlalu sakit, sehingga dia tidak dapat membuka matanya secara langsung.“Hufff ... sesuatu banget, Pak ... sudah malam, jalanan licin pula. Semoga sudah se
“Sepertinya, sudah waktunya.”“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.***Meyyis_GN***Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
“Kamu tidak perlu mengajariku, kamu tahu … Mas Galih tidak akan pernah menyukai gaya itu lagi. Aku akan selalu membuatnya puas, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain selain diriku. Apalagi, memikirkan masa lalu yang menjijikkan.” Mira sepertinya bukan lawan yang sangat tanggung bagi Milea. Dia tersenyum dan mulai berbalik turun. Kepala Milea sudah panas dan berasap. Ingin dia meledak sekarang, tapi tunggu nanti, hingga seluruh orang fokus pada makanannya, itu akan lebih mudah.Milea turun. Dia mengambil gelas dan sendok dan menabuhnya. Mereka semua melihat ke arah Milea. “Mohon perhatiannya, permisi!” Galih sudah tidak tahan lagi, tapi Mira mencegahnya.“Jangan, Mas. Biarkan dia berbuat semaunya. Nanti dia sendiri yang akan malu.” Galih mengangguk.“Kalian tahu, kedua mempelai? Mereka adalah pembatu dan suamiku, ups aku lupa … tepatnya mantan.
“Sudahlah, aku siap mendengarmu kapan saja. Tapi tidak sekarang, pengantin priamu sudah menunggu.” Mira bangkit dibantu oleh Tias. Mereka keluar menuju pelaminan. Karpet merah yang membentang menambah suasana dramatis, bagai ratu sejagad. Tias membantu memegang gaunnya, dengan anggun Mira melewati sejegkal demi sejengkal karpet merah itu. Kelopak mawar ditabur dari kanan dan kiri. Di ujung sebelum mencapai puncak Galih sudah siap menyambut pengantinnya dengan stelan jas tuxedo.***Meyyis_GN***Jangan lupa musik pengiring yang membuat suasana semakin sakral. Seluruh pasang mata berpusat ke arah kedatangan pengantin. Bisik-bisik terdengar, sehingga membuat suasana hati Milea semakin panas.“Kalian nora, pengantin ya cantik, tapi tidak alami.” Yang ada di sebelah Milea tersenyum sinis.“Kau iri? Makanya jangan berulah.” Milea yang sedang marah rasanya ingin meledak da
“Tidak ada, hanya sedikit merasa menekan perut.” Ilham menggangguk.“Mau makan apa? Biar aku ambilkan, sebelum pengantin wanita keluar dan kita akan sibuk memandangnya.” Tias mencubit pinggang suaminya.***Meyyis_GN***“Sepertinya aku mau sate saja. Tapi tolong lepaskan dari tusuknya, ya? Kata mama tidak boleh orang hamil makan langsung dari tusuknya.” Ilham tersenyum. Dia meninggalkan sang istri duduk sendiri dan mengambilkan makanannya yang sudah dipesan istrinya. Lelaki itu dengan elegan menuju ke tempat prasmanan.“Oh, mantan istrinya Mas Galih diundang semua ternyata?” Milea mendekati Tias. Tias tersenyum.“Sebagai mantan istri, tentu masih berkewajiban menjaga tali silaturahmi ‘kan? Bagaimana pun, pernah tidur satu ranjang, jadi tidak ada salahnya kalau berbaik hati mengucapkan selamat pada wanita yang menggantikan menemaninya t
“Satu minggu terasa sangat lama. Sabar ya, Sayang. Kamu akan puas setelah ijab-kabul.” Galih menunjuk miliknya dan tersenyum setelah tatanan rambut selesai. Siang ini, dia akan bermanja-manja dengan Mira. Dia memiliki energi baru untuk memulai sebuah kehidupan. Senyumnya merekah membuai siang yang terasa terik, namun baginya berbalut dengan kesejukan. Dia sduah merindukan sentuhan wanita, menyata kulitnya yang begitu sensitif dengan rangsangan.Galih mempersiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Dia menyewa jasa wedding organizer terbaik untuk mempersiapkan pernikahan ini. Di gedung hotel ternama, sudah disusun acara dengan sangat baik. Galih mengenakan stelan jan warna hitam, karena memang konsepnya internasional. Dia mengenakan tuxedo itu dan memandang penampilannya sendiri di depan cermin. “Ini untuk yang ke tiga kalinya aku mengucapkan ijab kabul. Semoga ini yang terakhir.” Galih berdoa salam hati. Dia membetulkan dasi kupu-k
“Aku ingin lihat! Pertontonkan saja!” Galih mengatakannya tanpa menoleh, dia melenggang pergi. Milea terasa meledak. Dia mengumpat sejadi-jadinya dan membuang benda apa saja ke arah kepergian Galih. Galih merasa lega setelah ancaman kepada Milea tersebut terlaksana. Dia menjadi geli sendiri, pernah tergila-gila pada wanita sejenis itu. Galih menyetir mobilnya dengan cepat menuju ke rumah, harus memastikan kekasihnya baik-baik saja.Galih langsung berlari menuju ke dalam rumah. Dia melihat kekasihnya sedang menggendong putranya, membuat dirinya lega. “Ada apa? Ada yang tertinggal?” Galih menggeleng. Dia memeluk sang istri dari belakang.“Aku mengkhawatirkanmu.” Mira mengerutkan keningya.“Mengkhawatirkanku? Kenapa?” Karena Gibran sudah tenang, maka dia menurunkan anak itu ke lantai yang dilapisi karpet tebal.“Milea tadi datang ‘kan?” M
Mira luruh ke kursi. Dia menyadari, bahwa serangan dari Milea itu normal. Namun dia berpikir lagi, apakah yang dikatakan oleh Milea itu benar? Bahwa dirinya merebut Galih dari tangan Milea? Mira mengingat kembali, kapan mulai saling jatuh cinta dan menyesap indahnya ciuman nikmat.Milea pergi dari rumah Galih dengan tersenyum smirk. Dia yakin pasti Mira merasa tertekan. Dia mengenal Mira selama beberapa tahun, wanita itu berhati baik. Dia pasti akan merasa bersalah dengan tekanan yang diberikan oleh Mira.Sementara itu, Galih menyaksikan aksi manatan istrinya lewat CCTV yang memang sengaja dia pasang. Galih pernah menjadi manusia paling brengsek di muka bumi ini, jadi dia sangat hafal dengan trik brengsek yang dimainkan oleh Milea. Dia menarik napas untuk menenangkan syarafnya. Galih menyuruh ajudannya untuk menyiapkan mobil pribadinya. Dia akan mencari MIlea untuk memberinya pelajaran yang akan wanita itu sesali seumur hidupnya.
“Aku mencintaimu, apa pun yang kau inginkan akan aku lakukan. Apalagi hanya menemani tidur,” bisik Ilham. Lelaki itu tidak berapa lama kemudian terlelap ke alam mimpi menyusul sang istri. Terkadang memang bumil akan sedikit manja.***Meyyis_GN***Milea tidak terima dengan penolakan dari Galih. Dia mencari tahu penyebabnya, bahkan menyelidiki. Dia menemukan Mira sebagai pengasuh dari putranya yang dicintai Galih. Dia menunggu Galih pergi kerja. Pagi itu, terlihat Galih sedang berpamitan dengan Mira. Lelaki itu mencium kening Mira. Semakin terbakar hati Milea.“Kamu lihat nanti! Kalian terlalu enak menikmati masa pacaran, hingga lupa dengan aku yang sakit hati.” Milea menggenggam tanggannya dengan erat, hingga kukunya menancap ke telapak tangannya.“Sayang, jangan lupa kunci rumah. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kecuali aku meneleponmu dan memperbolehkan dia masuk.
“Kan bisa mengingatkan baik-baik, kenapa harus teriak, sih?” protes Tias.“Aku nggak teriak, Sayang. Maaf, ih jangan nangis, dong!” Tias sudah hampir nangis karena ucapan Ilham yang agak bernada tinggi. Dasar bumil!Ilham meraih tubuh sang istri yang hampir bergoyang karena menangis. “Ah, seperti inikah orang hamil? Kenapa selalu saja sensitif,” batin Ilham.“Aku akan menggendongmu,” ucap Ilham. Lelaki itu memang sangat memanjakan sang istri. Walau Tias begitu sedikit ceroboh dan jorok, namun lelaki itu tidak masalah untuk membereskn kekacauan yang dibuat oleh istrinya. Terkadang, memang kekurangan pasangan kita yang menjadi dasar pemicu pertengkaran. Tapi tidak dengan Ilham. Dia menjadikan kekurang sang istri sebagai semangat. Terkadang, sepulang kerja dia harus rela membereskan beberapa kekacauan istrinya.Sebenarnya, kadang Tias sudah h