“Ndan, tidak berusaha mencari di mana ruang rahasia rumah itu? Pasti dia bersembunyi. Soalnya, tidak mungkin dia akan bisa menerobos pertahanan kita.” Salah satu anak buah Wianu, memberikan pendapatnya.
“Tidak! Kita tidak punya surat SOP untuk menggeledah. Surat kita hanya berupa penyelamatan target. Kalau kita melakukannya dan melakukan kesalahan, aku takut itu bahaya untuk karir kalian. Kita kembali saja. Yang penting, target kita sudah tercapai. Berapa orang yang mengantarkan target?” tanya Wisnu kepada anak buahnya.
“Semua anak buah pak Ilham. Sepertinya lima orang, Ndan,” tukas salah satu anak buah Wisnu.
“Baiklah. Berarti aman. Kita kembali sekarang.” Wisnu mengajak seluruh anak buahnya agar gencatan senjata dan kembali ke markas. Mereka menyarungkan bedil mereka kemudian menaiki mobil mereka. Mobil alphrad milik Wisnu yang di gunakan untuk operasi kali ini.
&n
Dia mengemudikan lagi mobilnya sedikit melambat. Setelah sekitar sepuluh menit, sampailah di rumahnya. Seperti biasa, istrinya mulai membukakan pintu.“Kok cepat banget, Mas. Kenapa? Apakah kamu tidak enak badan?” berondong Tias. Tangan Tias akan memegang kening galih, namun ditepis oleh Galih.“Tidak usah banyak tanya! Aku capek!” bentak Galih. Tias kaget. Mengapa suaminya bisa demikian marah? Padahal dia hanya bertanya padanya. Ini adalah awal bencana untuk mereka. Rupanya, Galih tidak cukup matang dalam berfikir. Dia masih dangkal cara berfikirnya. Meskipun saat ini usianya sudah dewasa, tapi pemikirannya bagai anak TK. Saat kejadian ini, usia pernikahan mereka sudah menginjak tujuh tahun hampir delapan tahun. Jika dihitung, usia Galih sekitar tiga puluh tahun. Usia yang matang untuk seseorang meredam emosi dan abaikan perkataan buruk orang lain.
Galih terhenyak karena suara dering poselnya. Dilihat id card seseorang muncul di layarnya. “Halo, ada apa? Sudah kau bereskan?” tanya Galih. Dia berharap lelaki bodoh yang mengejar istrinya itu akan lenyap ditangan anak buahnya. Tak apa jika bukan tangannya yang membunuhnya, yang penting sudah mati.“Sudah, dan tuntas semua,” kata seseorang di seberang sana. Bukan, ini bukan suara anak buahnya yang bicara. Siapa ini? Kalau ini bukan ... ah, sial!.“Kemana Jabrik dan Seno, hah! Dasar bajingan kamu Ilham. Belum puas kamu merebut istriku, hah?” teriak Galih.“Hus, hus, hus. Tidak perlu berteriak. Siapa yang merebut dan siapa yang direbut. Aku hanya memungut berlian yang kau campakkan. Kalau kau lelaki yang bertanggung jawab, tidak seperti itu. Kau akan membiarkan istrimu dalam perawatan. Dengarkan aku bangsat! Aku sudah bilang, pelihara istrimu. Maka aku akan merelakannya. Ta
“Haus,” lirihnya. Ilham terkesiap. Dia mendengar suara lirih Tias. Lelaki itu langsung mengambil botol air mineral yang masih bersegel yang ada di nakas. Setelah bunyi krek, botol itu terbuka. Maka disodorkan pada wanita itu, dengan membantu wanita itu untuk setengah terduduk. Karena menggunakan pipa air munum, maka Tias tidak perlu kesusahan. “Sudah, Sayang? Terima kasih untuk usahamu bertahan. Terima kasih beberapa kali menderita karena aku. Maafkan aku,” kelu Ilham. Dia mencium punggng tangan Tias. Tias tersenyum menanggapi Ilham yang ketakutan berlebihan. Dalam hatinya terselip perasaan bahagia yang tiada tara. Perasaan ini yang dahulu kala juga menyelubunginya. Akan tetapi, waktu itu dia masih sangat muda. Sedangkan saat ini, mereka sudah saling dewasa. Tentu saja orientasinya sudah berbeda. “Kamu menangis, Mas? Tidak perlu menangis. Aku tidak apa-apa. Tapi, mengapa aku dipindahkan ke ruangan ini?” tanya Tias. Jujur saja, dia tidak
Suara telepon berdering dalam layarnya terlihat Mario sahabatnya. Sudah dapat di duga, lelaki itu akan mengabarkan sesuatu yang membuatnya bahagia. Terbukti, kekasihnya saat ini berada di pelukannya. Tentu saja, operasi penyelamatan sudah berhasil.“Ada apa Rio?” tanya Ilham.“Ah, sialan! Aku kehilangan jejak dia. Dia begitu licik sehingga aku kehilangannya dalam waktu singkat. Kata Wisnu, dia melarikan diri lewat jalan rahsia.” Tukas Mario. Ilham menajamkan matanya. Dia tidak rela rasanya jika bajingan itu akan lolos dari hukum. Lelaki itu harus mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. Dia akan kejar sampai kemanapun.“Tenang Rio. Kali ini, dia boleh lolos. Tapi, tidak dengan esok hari. Kita akan cari cara untuk melumpuhkannya. Tidak akan ada kejahatan yang lolos dari kebaikan.” Ilham juga merasa geram karena lelaki itu selalu lolos dari hukum. Namun demikian, dia tidak b
Sementara Galih meratap di rumah, Tias di rumah sakit sedang bahagia. Dia merasa berbunga-bunga dengan Ilham yang begitu perhatian menjaganya. Ilham bahkan tanpa meninggalkannya sedetikpun.“Siapa, Mas?” tanya Tias.“Kenapa? Cemburu, ya?” goda Ilham.“Aku tanya, ih kenapa dibilang cemburu? Aneh.” Tias memutar bola matanya, tapi dengan pipi bersemu merah.“Kalau itu dari perempuan, apakah kamu tetap tidak cemburu?” tanya Ilham sambil duduk di tepian ranjang, kemudian tangannya untuk tumpuan di atas bed.“Nggak!” Jujur saja, Tias sangat cemburu bahkan saat ini. Dia sangat tidak ingin Ilham berhubungan dengan wanita manapun.“Iya,”“Nggak!” Tias membalik badannya, kemudian menghadap tembok. Karena Tias menghadap tembok, maka dari itu Ilham memajukan tubuhnya,
Tangan Tias mengangkat itu berarti sudah cukup minum yang dia inginkan. Ilham kembali membantunya untuk berbaring miring. Setelah posisinya tepat, maka Ilham kembali duduk.“Kapan aku boleh pulang?” tanya Tias.“Kalau sudah sehat. Sayang, boleh tidak kalau aku mengundang ayah dan ibumu ke sini. Mereka berhak tahu keadaanmu,” tukas Ilham.“Jangan, Mas. Ibu akan terpukul jika tahu kalau mas Galih begitu. Ayah akan kecewa jika tahu aku bercerai.” Tias meneduh hatinya hancur melihat kenyataan pahit itu. Tias menjadi melankolis lagi. Hatinya teriris pedih kala harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengakhiri rumah tangganya dengan Galih.“Baiklah, aku tidak akan bilang sama om dan tante.Tapi, berjanjilah. Kamu akan di sampingku selalu. Aku tidak akan membiarkan dia melukaimu lagi, secuil pun tidak,” janji Ilham. Lelaki itu memegang dagu Tias dan
“Ke taman rumah sakit saja. Di sana sudah komplit masakannya. Kita sarapan di sana. Kuyakin kamu sudah kengen sarapan ‘kan? Tuh dengarkan, perutmu sudah demo.” Wajah Tias bersemu merah karena merasa malu. Kenapa perut tidak bisa diajak kompromi? Selalu saja, mempermalukan dirinya. Suara denting lift terdengar. Sebuah pintu terbuka, kemudian kedua insan itu masuk ke dalam lift dengan Ilham mendorong wanitanya secara hati-hati. Senyum seorang suster merekah karena berada satu lift dengan mereka.Ilham memencet lantai satu, untuk menuju taman yang melewati lobi depan. Taman berada di depan lobi dengan bagian garis sebelum pintu keluar berjejer stand-stand makanan. Mereka akan menuju ke sana. Berada beberapa hari di rumah sakit, membuat Tias mulai jenuh memang. Beberapa kali dia menanyakan kapan dirinya akan pulang. Seolah-olah, aroma khas rumah sakit selalu membuatnya mual setiap hari.“Mau sarapan apa, Sayang?” ta
“Mas, hati-hati. Minum dulu.” Tias membukakan air mineral yang berada di meja, memang disediakan untuk yang membutuhkan.“Terima kasih, Sayang. Kita lanjutkan makannya, habis ini kamu mandi. Jangan sampai, dokter memeriksamu masih bau, oke?” Ilham memegang jemari Tias, seolah mereka memang pasangan suami istri. Melihat itu, Jelita sedikit iri. Sebab, dirinya, tidak mendapatkan kemesraan seperti itu. Yang ada suaminya marah-marah tiap pagi. Tapi lelaki itu memeperlakukan Tias dengan lembut. Tias yang dari SMA menjadi musuhnya dan memang selalu membuatnya iri.Setelah beberapa saat, makanan Tias dan Ilham sudah habis. Ilham membayar makanannya, kemudian mengajak Tias untuk kembali ke ruang rawatnya. “Ah, iya. Jelita, maaf ya. Saya harus kembali karena masih dalam perawatan, jadi tidak boleh terlalu lama meninggalkan ruang rawat. Saya permisi,” pamit Tias.“Oh, iya,&rd