“Bos, ini suaminya Tias ada idi restoran.” Aditia mengirim gambar mereka. Ilham tersenyum miring apalagi, saat ini Tias sedang di lap oleh suster dan gawainya berada di tangannya. Dia akan mengerjai Galih agar lelaki itu gelagapan setengah mati.
Ilham mulai dengan aksinya. Dia kirim foto Galih bersama wanita itu ke nomor Galih menggunakan nomor Tias. Di foto paling bawah dia beri caption “Terima kasih ini akan memepercepat proses perceraian kita.” Ilham tertawa miring.
“Mati kau!” pekik Ilham sehiingga suster yang kebetulan lewat di depannya mengerutkan kening. Menyadari diperhatikan, Ilham nyengir dan menyimpan gawainya kembali. Dia menunggu balasan dari Galih. Tak berapa lama, kemudian Galih menelpon. Ilham tertawa puas melihat hal itu. Galih pasti sangat kacau sekarang. Dia gelagapan. Ilham membiarkan telepon itu terus berdering tanpa jawaban. Setelah panggilan yang ke tiga kali, Ilham menonaktifk
“Baiklah. Mungkin beberapa hari sembuh. Kamu pulang ke vila aku saja, ya? Jangan ke apartemen. Galih pasti sudah tahu. Nanti kamu di culik lagi sama dia.” Tias mengerutkan keningnya. Ilham menelan air ludahnya, karena dia keceplosan bicara. Padahal, dia tidak akan mengatakannya. Biarkan saja.“Apa, Mas? Mas Galih menculikku? Kapan? Kok aku nggak merasa, ya?” tanya Tias. Ilham menggaruk kepalanya. Dia menyengirkan bibirnya. Hufff ... alamat ini diambekin sama Tias.“Iya, mereka membiusmu. Untung saja para polisi cekatan. Kau sudah tahu ‘kan, kenapa mati-matian aku pingin kau lepas darinya. Walau bukan aku, setidaknya kau lepas dari harimau macam dia,” ucap Ilham sambil meraih tangan Tias.“Kau tahu, bahkan dia bermesraan dengan wanita lain, padahal kondisimu seperti ini. Apakah itu lelaki yang kau pertahankan? Lepaskan dia! Dua hari lagi sidang perdana. Karena bukti su
“Sayang, mungkin sore nanti aku pamit sebentar. Ada yang harus aku urus. Tapi, jangan khawatir. Di luar nanti tetap ada polisi yang menjagamu.” Lelaki itu berdiri sambil meletakkan bekas makan Tias di meja. Setelah Tias selesai makan, datanglah suster membawa suntikan untuk di berikan kepada Tias. “Kita suntik dulu, ya ibu Tias? Bagaiman rasanya? Sudah lebih baik atau ada keluhan?” tanya salah satu suster yang membawa buku. Mungkin wanita itu akan mencatat sesuatu yang dirasakan oleh pasien. Sedangkan yang satunya lagi menyuntikkan cairan di infus Tias. Wanita itu mulai merasakan kantuk saat para suster itu sudah keluar dan obat mungkin sudah masuk ke aliran darahnya. Ilham membetulkan selimutnya, saat wanita itu mulai tertidur. Ilham membuka laptopnya saat Tias mulai tertidur. Dia bekerja menyelesaikan beberapa laporan perusahaan dan juga kedinasan yang belum selesai karena terbengkelai menjaga Tias. Wanita itu memang lebih dari segalan
“Tunggu saja! Kau akan mendapatkan ganjaran karena sudah membuatku menderita dan menolakku. Aku tidak mendapatkanmu, maka siapapuntidak.” Galih meremas gelasnya yang berada di tangan. Dia melemparkan gelas itu hingga hancur berkeping-keping. Kemarahannya sudah sampai puncak yang tertinggi sekarang. Tabiatnya yang lembut dan penuh kasih sudah hilang berganti dengan arogansinya yang membuncah dan menguat.Lelaki itu mulai berencana untuk membunuh kedua insan itu. Ilham dan juga Tias. Kedua orang itu sudah di cetak fotonya kemudian dia letakkan di samping cermin. Baju-baju Tias sudah di kumpulkan jadi satu. Barangnya juga demikian. Dia akan mengubur semua kenangan itu. Kenangan manis saat bersamanya. Semua akan dia jadikan hanya kenangan saja. Hatinya akan dia batukan sehingga hanya rasa benci yang mengarat di dalam benaknya.Foto tersebut yang dipajang dia teliti kembali, kemudian dia beri coretan di samping dindingnya. Dia m
“Ck, untung saja kaya. Kalau miskin, mana mau gue sama lo. Ck, jam segini teler. Dasar! Ck, ini gue cari uang di mana? Mana cicilan mobil belum ke bayar lagi,” rutuk Milea. Wanita itu melihat dompet Galih yang tergeletak di lantai. Dia tersenyum bahagia dan mengambilnya. Setelah mengambil uang yang di butuhkan, dia melenggang pergi. Wanita itu tertawa dan mengibaskan uang yang ada di tangannya, setelah itu melenggang pergi meninggalkan rumah Galih.Lelaki itu menjadi kacau-balau sekarang. Untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak . Semua hancur. Harapannya musnah. Wanita yang dulu ia impikan, dengan kebodohannya di sia-siakan dan sesalpun kini hanya menguap bagai asap yang membumbung ke langit.Dua hari telah berlalu. Galih bangun. Hari ini adalah sidang perdana dengan agenda mediasi. Lelaki itu mencukur brewoknya yang sudah tumbuh ke mana-mana. Tias paling tidak suka melihat brewok dan kumisnya tidak teratu
“Wow! Fuhhh ...” teriak Galih. Rambut Milea sudah acak-acakan tak berbentuk. Wanita itu bagai singa yang surainya baru terkena badai tursina. Galih tertawa melihatnya. Setidaknya, ada yang membuat dirinya tertawa hari ini. Ya, melihat Milea yang acak-adul seperti itu membuat Galih tertawa sangat puas.“Ih, malah ketawa lagi. Tahu nggak, ini dandannya sudah maksimal,” cicit Milea. Wanita itu membuka tas jinjingnya, kemudian mengambil sisir untuk menyisir rambutnya. Setelah dirasa rapih, maka dia meletakkan kembali ke dalam tas jinjingnya dan menutup kembali resletingnya.“Lapar, nggak?” tanya Milea, sepertinya wanita itu sudah kelaparan dari tadi. Pagi tadi, dia belum sarapan. Jadi, sekarang sangat lapar.“Kita makan!” Galih melajukan kembali mobilnya untuk mencari restoran Jepang. Mereka berdua memang menyukai restoran masakan Jepang. Milea berseri, karena har
Ilham membuka pintu kemudi, membuat Tias terperanjat karena kaget. Lelaki itu duduk dengan rapi di kusi kemudi dan memakai seat beltnya. Sementara itu, Tias lupa memakai sabuk pengamannya. Melihat hal itu, Ilham punya ide jahil untuk mengerjai wanita itu. Dia tersenyum, kemudian mncondongkan tubuhnya.Tias yang melihat Ilham mencondongkan tubuhnya memundurkan tubuhnya, sehingga justru dadanya yang menggunung yang menempel pada dada Ilham. Wanita itu memejamkan matanya, sehingga Ilham tak hentinya menjahilinya. Dia meniup telinga Tias sehingga wanita itu merasakan gelenyar indah dalam dada yang sudah bergetar sempurna menajdikan suara detakannya sampai ke telinga Ilham. Bunyi klik terdengar, namun Ilham masih saja belum beranjak dari posisi terdekat itu, hingga menikmati wajah khawatir Tias yang terpejam.“Aku tidak akan menciummu, jika kau belum menyerahkannya. Aku hanya membantumu memakaikan seat belt,” bisik Ilhan di telinga Ti
“Kenapa berhenti?” Jantung Tias sudah memburu lebih kencang dari pertama salah sangkanya, karena dia kira tadi lelaki itu akan menciumnya, tidak tahunya hanya membantunya memakikan sabuk pengaman.“Kamu ingin jalan terus? Tidak lelah?” tanya Ilham. Lagi-lagi, lelaki itu menggodanya.“Aku ... aku,” gagap Tias. Lelaki itu tertawa ngakak. Rasanya puas menggoda wanita itu.“Mau turun tidak? Kita sudah sampai.” Wanita itu tergagap kemudian mengangkat wajahnya. Terlihat rumah mewah berlantai dua terpampang jelas di depan matanya. Rumah moderen gaya Yunani dengan pilar-pilar besar dan berwarna putih dan gold itu mendominasi, sehingga rumah dua lantai itu nampak manis dan mewah.“Ini rumah siapa?” tanya Tias. Sambil terus mengitari rumah tersebut dengan binar matanya. Ilham membukakan pintu untuknya. Terlihat wanita itu belum selesai mengagumi tempa
“Siapa bilang? Cowok lo tuh yang nggak ngebolehin. Untung saja, bukan Galih. Kalau Galih yang menyuruhku, sudah ku omelin tujuh oktaf tuh bocah. Sayangnya yang nggak ngebolehin adalah atasan kita jadi, ya sudah. Kamu sudah sembuh? Kapan pulang dari rumah sakit? Aku sudah kangen tau?” cibik Lita. Wanita itu memang selalu heboh sendiri.“Aku sudah pulang. Tapi, mas Ilham tidak mengijinkan pulang ke rumah. Aku ada di rumahnya di daerah Cihanpelas. Kamu main kemari, deh.” Tias memberi tahu alamatnya. Selain Lita, tidak ada lagi yang dia beri tahu. Ini rahasia, agar Lita juga menjaganya. Atau Galih akan mengetahuinya dan menyeretnya untuk pulang. Lelaki itu sudah menjelma menjadi monster sekarang ini. “Ih, keren emang. Lo sudah mengajukan gugatan? Kenapa sih, Yas masih bertahan? Hempaskan saj