Merasa Thasia cukup lama di dalam Bianca pun menyusul.Bianca berdiri di pintu, dia melihat Thasia sedang mencari barang di dalam, dia langsung bertanya, "Thasia, kamu cari apa?"Thasia menoleh. "Ibu, seingatku Ayah paling suka menyimpan koran, kenapa sekarang malah nggak ada?"Santo memang suka menyimpan koran.Dia biasa menggunakan kardus untuk menyimpan koran yang dia beli dari dulu sampai sekarang.Koran itu disusun dengan baik.Thasia biasanya bisa dengan mudah menemukan koran-koran itu.Namun, sekarang malah hilang semua.Saat mendengar ini, ekspresi Bianca seketika berubah, agar Thasia tidak curiga, dia pun tersenyum sambil mendekat. "Kamu mau cari koran apa? Biar aku bantu."Thasia berkata, "Koran saat aku masih SMP, seharusnya masih ada, 'kan?"Setelah mendengar pertanyaannya ini, Bianca merasa gugup. "Edisi keberapa? Kamu di bangku SMP selama tiga tahun, katakan dengan lebih jelas.""Bukannya saat SMP aku sempat diculik?" Thasia bertanya dengan tenang, "Masalah itu sangat heb
Setelahnya Bianca berjalan ke dapur.Thasia merasa dirinya sangat bahagia.Orang tuanya sehat, juga sangat sayang padanya.Saat mendengar ada suara ribut-ribut, Santo pun terbangun.Santo memberi mereka makan buah.Orang tua paling takut kalau anaknya kelaparan, rasanya mereka ingin memberi anaknya makan apa pun."Ayah, kamu tidur saja, maaf mengganggumu malam-malam begini," kata Thasia."Kamu ini bicara apa? Kamu bisa pulang kapan saja." Santo menatapnya dengan penuh kasih sayang, lalu berkata pada Sabrina, "Kamu juga sudah lama nggak ke sini."Sabrina berkata, "Akhir-akhir ini aku cukup sibuk, tapi terkadang aku masih menghubungi Thasia. Karena datangnya mendadak, jadi aku nggak sempat membeli barang untuk Paman.""Nggak perlu membeli barang, yang penting datang saja." Santo berkata, "Kamu adalah sahabatnya Thasia, jadi bisa dibilang kamu juga putriku, untuk apa bersikap sungkan."Setelahnya Santo segera berdiri. "Aku akan pergi melihat Bianca dulu."Santo pun berjalan masuk ke dapur
"Oke," jawab Thasia, lalu berkata padanya, "Ayo tidur lagi."Sabrina masih mengantuk, dia segera tertidur.Sedangkan Thasia sibuk dengan pikirannya, dia tidak bisa tidur.Saat Sabrina bilang kuil, dia jadi teringat pada gelang mutiara Kent.Gelang itu terlihat familier.Pagi harinya, Thasia dibangunkan oleh Sabrina.Begitu membuka matanya dia melihat wajah khawatir Sabrina. "Thasia, cepat bangun, Jeremy mengalami kritis lagi!"Thasia segera membuka matanya lebar-lebar. "Apa?"Hati Thasia rasanya ingin melompat keluar, dia langsung turun dari ranjang. "Sejak kapan?""Barusan, tadi ada yang menelepon ke sini!" jawab Sabrina.Thasia melihat catatan panggilan, ada panggilan dari dokter.Mungkinkah Jeremy benar-benar tidak bisa siuman?Mata Thasia seketika memerah, dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Jeremy.Kalau orang hidup maka ada harapan.Kalau meninggal, maka tidak akan bisa bertemu selamanya, itu namanya kesedihan.Thasia merasa hatinya hancur.Thasia ingin menangis, tapi dia
Thasia menepis tangannya. "Aku nggak terima permintaan maafmu, kalau mau mati, sana mati!"Setelahnya Thasia hendak berjalan keluar."Thasia!" Jeremy ingin turun dari ranjang dan mengejar, tapi lukanya malah kesenggol, dia berbaring lagi. "Uhuk, uhuk, uhuk ...."Jeremy terus terbatuk.Langkah Thasia berhenti lagi, dia menoleh ke arah Jeremy, pria itu terlihat mengerutkan kening karena kesakitan.Thasia tidak bisa mengabaikannya, dia berjalan kembali lagi dan bertanya, "Apakah sakit? Lukanya kena? Perlu panggil dokter?"Meski Jeremy merasa sakit, dia tidak lupa menggenggam tangan Thasia. "Selama kamu nggak ke mana-mana, aku pasti akan sembuh."Thasia melihat wajah Jeremy yang memucat, sorot matanya terlihat memohon agar dia tidak pergi.Thasia merasa tidak tega. "Berbaring yang benar, biarkan dokter memeriksamu dulu."Jeremy menuruti perintahnya, dia segera berbaring, tidak lupa bertanya, "Kamu jadi pergi?"Thasia berkata, "Kamu terluka karena aku, kalau aku pergi, maka bisa dibilang ak
Setelah mendengar ini Thasia kira ada yang salah pada tubuh Jeremy, dia bertanya dengan khawatir, "Nggak nyaman? Di bagian mana?"Kedua mata Thasia membesar menatap Jeremy.Melihat wajah Thasia, tatapan Jeremy menjadi semakin gelap, dia berkata dengan suara serak, "Badanku rasanya nggak nyaman."Thasia segera memeriksa tubuhnya.Hingga Thasia menyentuh bagian badan Jeremy yang panas, disertai napas yang memberat, Thasia baru sadar.Wajah Thasia memerah, dia segera melepas tubuh Jeremy, berkata dengan kesal, "Padahal kondisimu sudah seperti ini, tapi masih bisa memikirkannya, memangnya kamu nggak bisa menahan diri?""Ini reaksi alami, bagaimana bisa ditahan?" Jeremy terlihat tidak berdaya, dia sudah sedang berusaha menenangkan tubuhnya.Thasia malah berkata, "Aku rasa kamu yang terlalu banyak pikir, setiap hari memikirkan hal itu."Jeremy menatap Thasia, dia membantah, "Kalau aku nggak kepikiran ke situ berarti aku yang nggak normal, 'kan? Kalau sudah sedekat ini dengan wanita tapi masi
Jeremy terus memikirkan kemungkinan siapa orangnya.Pihak lawan bahkan ingin menembak dirinya, hal ini membuat Jeremy merasa orang itu memiliki dendam dengannya.Satu-satunya kasus yang belum ditutup adalah kasus penculikan dan perdagangan manusia saat itu.Sekarang mereka mengincar Thasia, sedangkan Thasia adalah wanita dewasa, bukan anak kecil.Untuk kelompok penjahat seperti itu, mereka akan lebih mudah bertindak jika sasaran mereka adalah anak-anak, tapi mungkin juga mereka ingin menjual organ.Kalau karena alasan ini, setelah ketahuan, mereka seharusnya tidak akan memilih sasaran yang sama lagi agar lebih aman.Apalagi dengan status Thasia, dia bukanlah orang yang seharusnya menjadi sasaran mereka.Jadi kemungkinan besar ada orang lain yang ingin mencelakai Thasia."Ketua, wanita kemarin datang lagi mencarimu." Yang lainnya segera melaporkan bahwa mereka tidak bisa menghalanginya.Saat ini Lisa sedang berdiri tidak jauh dari sana, begitu melihat Jeremy sudah siuman, hatinya bergej
Ada apa ini?Mungkinkah hubungan mereka membaik?Lisa ingin menghancurkan hubungan mereka, kalau begini bukannya malah sebaliknya?Tangan Lisa terkepal erat, tatapannya dipenuhi dengan makna tidak terima.Dirinya tidak bisa mendapatkan Jeremy, kenapa Thasia bisa?Lisa yang mengenal Jeremy duluan, bahkan hampir mengorbankan nyawa untuknya, seharusnya bukan Thasia yang mendapatkan hati pria itu!Tidak adil."Lisa." Tatapan Jeremy yang tajam menatap Lisa. "Kamu dengar nggak aku bilang apa?"Lisa baru menoleh, tatapan penuh kebenciannya menghilang, gadis itu menenangkan ekspresinya dan berkata, "Aku mengerti, nggak akan ada berita jelek tentangku. Lagi pula, aku sudah menerima beberapa tawaran drama, sudah saatnya aku fokus pada karierku, aku pasti akan menjaga citraku."Dia sudah susah-susah membuat keadaannya berubah.Kalau ingin keadaannya semakin membaik, maka harus menerima tawaran drama terus. Selama dia fokus pada karier, maka suatu hari nanti pasti dirinya akan dilihat oleh orang-o
Thasia mengangguk.Jeremy kebetulan sudah selesai infus, dia ingin makan.Pria itu sudah menyiapkan makanan untuk ibu hamil di dalam bangsal.Jeremy membukakan kotak makanan untuk Thasia, lalu memberikan sup padanya.Thasia memakannya, dia merasa sup itu sangat wangi, rasanya lebih enak daripada buatannya sendiri.Akhir-akhir ini selera makan Thasia juga meningkat.Jeremy duduk di seberangnya, Thasia mengambil ati ayam dan memakannya, dia merasa sangat amis. "Hmm, ini nggak enak, untukmu saja."Thasia segera meletakkan makanan itu ke mangkuk Jeremy, lalu lanjut memakan supnya.Jeremy melihat makanan yang ada di mangkuknya, lalu menoleh pada Thasia. Dia menyadari bahwa sekarang wanita itu sudah bersikap lebih santai dengannya, kalau ada masalah pasti akan mencarinya.Bisa dibilang sekarang Thasia membutuhkannya.Jeremy pun tersenyum. "Oke, yang kamu nggak suka akan aku makan."Jeremy memakan sisaan Thasia.Thasia tidak terlalu peduli, dia bertindak sesuai dengan reaksi tubuh.Setelah ke
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak