"Nona Sisilia, ayo pergi."Polisi juga sadar sepertinya Sisilia tidak ingin bertanggung jawab, jadi dia bersikap seperti itu.Mereka bertindak sesuai prosedur, tidak memihak pada orang tertentu.Sisilia masih tidak mau, jadi polisi hanya bisa menyuruh orang menangkap Sisilia.Dua orang polwan mendekat, mereka segera menangkap Sisilia.Sisilia merasa lebih takut lagi, dia berkata sambil menangis, "Aku nggak mau ikut ke kantor polisi. Ibu, cepat tolong aku, aku nggak mau ke sana!""Lepaskan putriku, jangan sentuh dia!" Yuri masih berusaha melindungi putrinya.Polisi satunya lagi segera menahan Yuri.Sisilia segera dibawa oleh polwan, dia masih menangis dan membuat keributan, melihat ibunya tidak bisa diharapkan, dia menatap ayahnya. "Ayah, tolong aku, aku nggak mau masuk penjara, cepat tolong aku!"Dia sudah dibawa pergi oleh polisi.Anton tidak tega melihatnya, tapi polisi tetap harus melaksanakan tugasnya, Thasia juga tidak mau mengalah, membuatnya merasa pusing. Saat ini ekspresinya m
"Dulu kasihan, kalau sekarang memangnya masih begitu?" Anton berkata, "Itu Jeremy yang dulu, sekarang Jeremy sudah menguasai PT Okson, kita selama ini berada di luar negeri, coba saja kamu lihat orang-orang di ibu kota selalu menghormati Jeremy, saat ini perkataan Vazon saja belum tentu mau didengar olehnya."Yuri merasa terkejut, dia menangis lagi. "Kalau begitu apakah kita harus diam saja melihat Sisilia dipenjara? Lebih baik aku yang menggantikannya dihukum!"Sisilia itu putri mereka, mereka rela menggunakan segala cara untuk menolongnya.Namun, Anton tetap memikirkan PT Sintrom, ada banyak orang yang hidup dengan mengandalkan gaji di perusahaannya, tidak mungkin dia tidak peduli pada mereka.Anton harus membuat rencana jangka panjang.Saat di kantor polisi, Thasia sudah membuat laporannya.Rekamannya juga sudah dipastikan bahwa bukan hasil buatan.Di dunia ini tidak ada kejahatan yang sempurna.Meski Sisilia telah merusak CCTV di sana, selama diselidiki, pasti akan ketemu buktinya.
Saat membahas ini, Thasia bisa mengerti akan perasaan Sisilia, karena mereka sama, Jeremy sempat menolong mereka, sehingga mereka jatuh cinta padanya.Namun, Thasia tidak senekat Sisilia.Kalau waktu itu Jeremy tidak menikah dengannya, Thasia mungkin sudah menyerah, siapa yang sudi mengharapkan cinta bertepuk sebelah tangan.Thasia sekarang berpikir lagi, jika waktu itu mereka tidak menikah, mungkin semua masalah ini tidak akan terjadi."Dulu sudah menjadi kewajibanku menolong orang karena aku ini tentara, hal ini nggak ada hubungannya dengan alasan pribadi, siapa yang rela berkorban demi orang lain, itu semua karena tuntutan tugas saja. Kalau bukan karena waktu itu, aku mungkin nggak akan jadi tentara, juga nggak akan terjadi banyak masalah." Jeremy memikirkan sebuah pengandaian, jika dia dari dulu selalu di Kediaman Keluarga Okson dan tidak pernah pergi, maka dia tidak perlu melakukan hal yang berbahaya seperti itu.Baginya hal itu tidak membanggakan, tapi masa tersuramnya."Aku meng
Saat Jeremy memeluknya, tubuh Thasia membeku, setelah beberapa detik, Thasia menurunkan tangannya yang sedang memasak, dia bertanya, "Kenapa? Sebentar lagi sudah matang."Jeremy malah memeluknya semakin erat, mengubur kepalanya di rambut Thasia, aroma yang familier itu membuat hatinya menjadi lebih tenang. "Nggak apa-apa, aku ingin menemanimu saja, aku baru merasa tenang."Sorot mata Thasia sangat datar, dia masih terus memasak. "Di dapur cukup berminyak, kamu sebaiknya keluar saja."Jeremy malah berkata, "Selama ada kamu, di mana pun nggak masalah."Kalau dulu Thasia mendengar ini, dia mungkin akan merasa tersentuh, hatinya akan berdebar-debar.Sekarang hatinya sudah mati rasa, seakan-akan perkataan manis Jeremy sudah tidak berguna lagi.Mungkin karena Thasia sudah terlalu lama berharap, sekarang hatinya sudah mati.Thasia tidak mendorong Jeremy menjauh, juga tidak menolaknya, hanya diam membiarkan pria itu memeluknya.Thasia juga tahu mereka jarang memiliki kesempatan seperti ini.Ke
Setelah mendengar ini alis Jeremy sedikit berkerut, dia merasa ada yang aneh. Dia menatap Thasia, merasa jarak mereka terlalu jauh. Padahal meja makannya tidak besar, tapi dia merasa jarak mereka sangat jauh, dia pun berkata dengan suara berat, "Thasia, duduk ke sinian."Thasia tidak menolak, dia memindahkan kursinya ke sebelah Jeremy, lalu mengambilkan sayur untuknya. "Kenapa masih belum makan? Makanan buatanku nggak enak?"Jeremy menatap sayur yang diambilkan Thasia untuknya, dia tertegun sejenak, lalu menoleh pada Thasia sambil mengangkat sendoknya. "Bukannya aku sudah pernah bilang, nggak peduli kamu memasak apa, selama masakanmu aku akan memakannya."Dia berkata di depan Thasia, memakan sayur yang tadi diambilkannya, lalu mengangguk. "Hmm, enak. Kamu memang pandai memasak!"Jeremy mengambil sayur yang sama dan memakannya lebih banyak lagi.Thasia melihat Jeremy sepertinya suka masakannya, seketika perasaannya bergejolak, dia tersenyum sambil berkata, "Nggak juga. Biar aku coba, me
Jika keinginan Thasia selamanya menjadi sekretaris pria itu, dia akan betah.Namun, Thasia mulai serakah, dia ingin mendapatkan cintanya.Kalau keadaan dibiarkan seperti ini terus, mereka akan ribut, sehingga semua kenangan indah itu pun akan sirna."Thasia ...." Perasaan Jeremy bergejolak, efek obatnya semakin cepat bekerja, sepasang matanya menatap Thasia dengan lekat. "Kamu meninggalkanku ... untuk bersama Leo, bukan?"Thasia tidak menjawab, dia memberanikan dirinya, di bawah tatapan tajam Jeremy, Thasia menyentuh wajah tampan pria itu.Thasia menatapnya, mencari jejak bayangan Leo dari tubuh Jeremy.Namun, pria di depannya ini Jeremy, sudah bukan lagi pemuda penuh semangat seperti dulu.Thasia masih mengingat semangat juang pria ini yang telah menyelamatkannya dari penculik, bahkan sampai terluka.Thasia sempat berutang nyawa padanya, pria ini pernah berdarah karenanya, tapi setelahnya mereka sudah impas, karena Thasia juga pernah menyelamatkannya.Thasia selalu mengingat setiap ha
Thasia meminum jusnya, sebelum meminumnya dia bersulang dulu dengan gelas bir milik Jeremy tadi.Anggap saja mereka melakukan perpisahan dengan baik-baik.Sebelum berpisah, mereka sempat makan bersama dengan senang.Sebelum Thasia pergi, dia meletakkan surat cerainya di atas meja.Lalu meletakkan dua tiket pesawat ke Negara Firlanda.Namun, tiket itu bukan atas nama dirinya dan Jeremy, tapi atas nama pria itu dan Lisa.Thasia ingin memberitahunya bahwa dirinya merestui mereka berdua.Negara Firlanda adalah negara yang romantis, paling cocok untuk membawa orang yang dicintainya ke sana.Setelah melakukan semua itu, Thasia membawa kopernya meninggalkan rumah itu.Malam itu tidak ada yang berjaga.Dia pergi dengan lancar.--Keesokan harinya."Pak Jeremy!""Pak Jeremy, bangunlah!"Jeremy perlahan-lahan terbangun, kepalanya terasa berat, seakan-akan ada batu yang menimpanya.Dia memegang keningnya, mengingat kembali semalam Thasia memasak untuknya.Jeremy segera berdiri, tatapannya yang di
Mendengar ini Jeremy tertegun sejenak, dia menyipitkan matanya dengan makna berbahaya. "Rahasia apa?"Saat orang itu melihat Jeremy mulai tertarik dia berkata dengan jujur, "Nona Thasia sempat ke rumah sakit beberapa kali, awalnya dokter dan suster di sana nggak mau bilang dia ke sana untuk apa, mungkin Nona Thasia yang menyuruh mereka untuk tutup mulut. Lalu kami berusaha untuk mencari rekaman CCTV yang menunjukkan Nona Thasia untuk apa ke rumah sakit, kami melihat Nona Thasia pergi ke bagian dokter persalinan."Mendengar ini Jeremy merasa sangat terkejut, dia masih tidak bisa mencerna informasi ini.Jeremy sempat bertemu Thasia di rumah sakit, sepertinya beberapa kali, kata wanita itu menstruasinya kurang lancar, jadi dia pergi ke dokter untuk memeriksanya.Jeremy awalnya ingin menemani Thasia ke dokter, tapi selalu ditolak olehnya.Seharusnya Thasia sengaja ingin merahasiakan hal ini.Sedangkan Jeremy menghargai privasinya Thasia, jadi dia tidak membahas hal ini lagi.Dia tidak pern
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak