Brukkk!!!
Nara merasa ada yang janggal, dia merasa tubuhnya bukan terjatuh ke tanah. Tetapi sesuatu yang lain.
"Sampai kapan kamu dalam posisi begini?"
Suara pelan familiar menggelitik Nara, sontak membuka matanya. Dia menoleh ke belakang dan terkejut ternyata dia jatuh menimpa Agas.
Nara buru-buru bangun dan kemudian membantu Agas berdiri. "Maaf, Pak. Eh, maksud saya Agas. Kamu gak papa kan? Gak ada yang luka?"
Agas tidak langsung menjawab tetapi dia menatap Nara dengan intens, sampai membuat Nara grogi sendiri.
"Saya heran deh sama kamu. Kenapa ya setiap ketemu, ada aja kesialan yang kamu alami," kata Agas dengan nada serius.
Nara yang mendengarnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mau tersinggung tapi apa yang dikatakan Agas memang benar. Namun dia juga merasa tidak nyaman dengan perkataan itu.
Kalau dipikir-pikir, Nara juga heran pada dirinya sendiri. Kenapa dari dulu, dia sering sekali terkena sial seperti ini. Seperti ada saja hal-hal yang membuat Nara kesulitan. Apa memang nasibnya itu terlahir sial?
Nara segera menggeleng keras. Orang lain boleh mengatainya itu tetapi jangan dirinya sendiri yang beranggapan begitu. Apapun yang terjadi, selalu ada hikmahnya. Jadi anggap saja itu sebagai ujian hidup.
Akhirnya Nara bisa menenangkan perasaannya sendiri lalu berkata pada Agas, "Saya juga gak tahu, Pak. Namanya juga hidup pasti ada aja yang tidak terduga kayak gini."
"Kamu ketinggalan bus? Mau saya anter lagi?" tanya Agas menawarkan.
Nara langsung menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Biar saya tunggu bus berikutnya aja."
Tapi penolakan Nara tidak digubris oleh Agas. "Sudah ikut aja. Saya curiga kalau kamu kenal sial lagi nanti."
Nara terperangah. "Kok bapak ngomongnya begitu?"
Agas segera sadar kalau ucapannya berlebihan segera minta maaf.
Nara ingin marah tapi Agas bukan lagi sekadar teman se-almamaternya saja melainkan atasan Nara juga. Jadi Nara memilih tidak memperpanjangnya. Apalagi dia sudah cukup terbiasa dengan celetukan pedas Agas sejak dulu.
~~~
Hari ini seperti biasa Nara diminta mengirim makan siang untuk Agas.
"Pak Agas, saya bawa makan siang bapak," kata Nara saat menjalankan tugasnya.
Namun tidak ada jawaban dari Agas, hanya duduk sambil menunduk di kursinya. Nara beranggapan Agas sedang fokus dengan pekerjaannya jadi dia tidak banyak berkomentar.
Nara meletakkan makan siangnya di tempat biasa dengan hati-hati.
Brukkk!!!
Suara keras di belakang Nara membuat Nara menoleh. Mata Nara membelalak saat melihat Agas yang sudah tidak sadarkan diri.
Nara panik meninggalkan trolinya di tempat Agas biasa makan lalu berjalan mendekati Agas.
Posisi Agas duduk di kursinya tetapi kepalanya menempel di meja dan laptopnya agak terbalik, mungkin terkena Agas saat pingsan, untung saja laptop itu tidak jatuh.
"Pak Agas, Pak Agas." Nara mencoba memanggil-manggil Agas sambil mengamankan laptop Agas ke sisi meja yang kosong.
Setelah dipanggil-panggil beberapa kali tetapi tidak juga membuka mata, Nara pun keluar dari ruangan untuk memanggil sekertaris dari Agas.
"Pak Aldi, Pak Aldi." Nara berteriak agak panik. "Pak Agas pingsan di dalam."
Pak Aldi, sekertaris dari Agas, terkejut saat mendengar perkataan Nara. Segera bangun dan mengikuti Nara memasuki ruangan Agas.
"Mbak Nara, tolong bantu saya memapah Pak Agas."
Pak Aldi segera menghampiri Agas lalu mengangkat tangan kiri Agas lalu disampirkan ke bahunya. Nara buru-buru membantu Pak Aldi memapah Agas sampai ruangan istirahat Agas yang berada di bagian dalam meja kerjanya. Kemudian Agas dibaringkan di ranjang dengan hati-hati.
Selang beberapa menit, seorang dokter dari ruang kesehatan yang telah ditelepon Pak Aldi datang dan langsung memeriksa Agas.
"Gimana keadaan Pak Agas, Dokter?" tanya Pak Aldi.
"Tidak apa-apa, hanya kelelahan saja. Kemungkinan Pak Agas kurang tidur jadi pingsan. Pak Aldi tolong sering-sering diingatkan kalau Pak Agas terlalu memforsir pekerjaannya," jelas dokter tersebut.
Pak Aldi mengangguk paham lalu mengantar dokter itu pergi. Sementara Nara masih di dalam ruangan dengan bingung apa harus keluar sekarang atau tidak.
Saat itu Pak Aldi sudah masuk kembali ke dalam ruangan. "Mbak Nara, terima kasih ya. Silahkan Mbak Nara bekerja saja. Biar Pak Agas, saya yang jagain."
"Baik Pak. Saya pamit dulu."
Akhirnya, karena tidak ada hal lain yang bisa Nara lakukan juga jadi dia pun pergi keluar sambil membawa troli untuk kembali bekerja.
Meski begitu dia masih agak khawatir karena baru pertama kalinya Nara melihat Agas sakit sebelumnya dia selalu memiliki kesan kalau Agas bisa mengatur waktu dan kesehatannya dengan baik.
Saat sedang berjalan menuju lift sambil mendorong troli, Nara berpapasan dengan seseorang yang sepertinya pernah dia lihat.
"Lho bukannya dia itu ...???"
°•• Bersambung ••°
Nara mengernyit sambil berkata, "Dia itu kan orang yang kencan buta sama Agas kan?"Setelah diingat-ingat memang benar tadi itu orang yang sama yang pernah Nara lihat sedang bersama Agas di kafe Star waktu itu. Dia cukup heran dengan kehadiran perempuan itu di sini. Nara pikir setelah diperlakukan dingin oleh Agas perempuan itu akan menyerah ternyata tidak."Ternyata si mbak itu masih gak kapok meski dicuekin Agas di kafe waktu itu," gumam Nara sambil menunggu lift sampai di lantai tujuan. "Tapi gak heran juga sih, Agas itu dari tampang oke, apalagi dari duitnya. Siapa perempuan yang bisa nolak?"Ting!Pintu lift terbuka, Nara keluar dari sana sambil mendorong troli kembali ke kantin untuk melanjutkan pekerjaannya.~~~"Aldi bilang kamu yang menolong saya sewaktu saya pingsan kemarin?" tanya Agas keesokan harinya saat Nara mengantar makan siang Agas ke ruangannya."Saya cuma bantu sedikit, Pak. Selebihnya itu Pak Aldi yang mengurus." Nara menjawab dengan sopan."Biar begitu pun kamu t
Tiba-tiba Agas menyodorkan sebotol minuman mineral pada Nara."Eh?" Nara jadi terbengong-bengong. "Maksudnya apa ini, Pak?""Minum dulu nih. Siapa tahu kamu kurang fokus karena kurang minum air putih," jelas Agas.Sekarang Nara baru mengerti maksud Agas. Untuk kesekian kalinya, Agas kembali menyaksikan tingkah konyol Nara yang terus-terusan membuat dirinya sendiri malu."Saya balik kerja dulu, Pak. Permisi!"Kali ini Nara benar-benar keluar dengan cepat karena tidak tahan terus berada di sana. Dia takut wajahnya benar-benar terbakar karena merasa malu.Baru setelah menutup pintu dan berada di luar ruangan Agas, dia akhirnya bisa bernapas lega."Aduh, Naraaaa ... Sampai kapan lu terus-terusan bikin malu diri sendiri?" Nara mendesah lelah.Tanpa disadari ucapan Nara didengar oleh Pak Aldi yang sudah berada di depannya sambil membawa berkas untuk dibawa masuk ke ruangan Agas."Kenapa Mbak Nara?" tanya Pak Aldi.Nara terkejut dengan kehadiran Pak Aldi. Buru-buru menjawab, "Gak ada apa-apa
"Harusnya aku sadar diri," batin Nara dengan sedih. Pasalnya, dia baru saja menyaksikan Agas berduaan lagi dengan perempuan yang pernah Nara lihat di kafe sebelumnya."Dari penampilannya aja, bisa dilihat kalau dia itu dari keluarga kaya," gumam Nara pelan sekali yang didengar samar oleh Lia, sahabatnya."Ada apa sih? Kok kamu aneh banget dari tadi?" tanya Lia yang masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan Nara."Gak ada apa-apa," jawab Nara singkat.Lia tentu tidak percaya pada perkataan Nara namun ekspresi suram di wajah sahabatnya itu, akhirnya Lia memilih untuk memberi Nara waktu."Apa jangan-jangan tadi kamu lihat gebetanmu sama cewek lain?" celetuk Lia asa.Namun justru membuat Nara bereaksi. Tampak matanya melebar karena terkejut dengan celetukan Lia yang tepat pada sasaran."Ah, bener begitu ya?" ujar Lia yang tidak menyangka kalau tebakannya ternyata benar. "Cantik gak ceweknya?" Nara sontak cemberut dengan pertanyaan Lia yang membuatnya makin down. "Cantik banget. Cantik
"Siapa?" ujar Nara pelan sekali saat melihat perempuan hamil itu.Pikirannya mulai menebak-nebak dengan perasaan was-was. Siapa perempuan itu? Apakah istri Agas? Tapi bukannya waktu itu Agas berkencan buta dengan perempuan lain?"Sudah ditungguin dari tadi terus kok gak bawa apa-apa?" kata bumil itu tampak kesal dengan Agas."Loh bukannya tadi kamu yang nyuruh saya masak. Jadi saya gak bawa makanan dong," jawab Agas yang semakin membuat perempuan itu kesal."Maksudnya bahan masakannya Agas," tandas perempuan itu.Agas tampak terpaku. Rupanya dia baru sadar kalau di dapur apartemennya ini tidak pernah diisi bahan masakan karena memang Agas jarang datang ke sini."Nah loh? Baru sadar kan?" sindir perempuan itu, "Ini dedek bayiku udah kelaperan eh malah suruh nunggu lagi.""Salah sendiri kenapa gak makan yang gampang-gampang aja. Apa susahnya sih pesen makanan?" balas Agas yang ikutan jengkel dengan omelan perempuan itu."Ini aku kan lagi ngidam, Gas. Nanti kalau bayiku lahir ileran gima
"Enak banget Gas. Gak nyangka ternyata kamu pinter banget masak ya," ungkap Tasya yang tampak sangat menikmati masakan Agas.Nara mengangguk-angguk setuju. "Iya Pak. Ini benaran enak banget.""Syukurlah kalau suka. Jadi masakan saya tidak dibuang," ucap Agas sambil tersenyum lega.Nara yang melihat senyum itu tampak terpesona. Dia masih benar-benar takjud karena sosok Agas yang biasanya hanya berekspresi datar, ternyata bisa tersenyum juga. Meski ini bukan pertama kalinya Nara melihat senyuman Agas tetapi tdak menghentikannya untuk merasa kagum."Sering-sering aja masak deh Gas. Sayang kalau bakatmu ini tidak digunakan.""Emang kamu pikir saya bukan orang sibuk?" ujar Agas menanggapi perkataan Tasya."Eh, iya juga. Kamu itu kan Pak Ceo terkenal," timpal Tasya dengan nada mengejek."Minta dimasakin suami sendiri aja sana. Heran banget. Biasanya orang ngidam, yang repot itu suaminya kenapa giliranmu saya yang direpotin?" gerutu Agas meski begitu dia tidak memasang ekspresi kesal."Salah
Nara sampai mengucek kedua matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya namun tetap tidak berubah."Beneran Mas Adam ternyata," ucap Nara tidak percaya. "Kok bisa-bisanya dia selingkuh dari Mbak Lia?"Mata Nara terus mengikuti pergerakan seorang pria yang Nara sebut sebagai 'Mas Adam' sedang bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang berpakaian kurang bahan.Dia terus mengikuti dua orang yang sedang berselingkuh itu dari jauh sambil sesekali merekam dan mengambil foto mereka untuk dijadikan bukti saat dia melaporkan hal ini pada Lia.Nara mengikuti mereka sampai tiba ke apartemen yang sangat Nara kenali. Siapa lagi kalau bukan apartemen sahabat Nara, Lia."Bener-bener keterlaluan Mas Adam," ujar Nara dengan kesal.Pasalnya Adam ini membawa perempuan lain ke tempat tinggal milik Lia. Meski tidak sering ditinggali karena Lia lebih sering tinggal di rumah orangtuanya untuk menemani sang ibu. Tetap saja apartemen ini milik Lia.Kemudian yang terjadi selanjutnya, Nara dibuat terngan
"Maksudnya gimana, Pak?" tanya Nara tidak mengerti dengan perkataan Agas."Saya denger dari obrolan karyawan katanya dia ngasih kamu hadiah.""Hadiah? Kapan?" Nara bertanya balik karena dia tidak merasa pernah mendapatkan hadiah dari Pak Aldi.Tunggu dulu."Maksud bapak, hadiah yang diberikan Pak Aldi itu? Bukannya itu titipan dari Pak Agas sendiri?" jawab Nara apa adanya."Dari saya?" Agas tampak tercengang namun segera sadar. "Maksudnya itu hadiah yang saya titipkan ke Aldi untuk kamu?"Nara mengangguk mengiyakan."Ternyata begitu," ucap Agas dengan canggung. "Saya salah sangka.""Memangnya dari siapa Pak Agas denger gosip seperti itu?" tanya Nara penasaran karena selama ini dia sama sekali tidak mendengar gosip itu."Ada di suatu tempat. Saya minta maaf karena salah sangka," ujar Agas dengan malu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Nara dengan santai. "Tapi Pak.""Ya?" Agas memandang Nara seakan menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan."Saya enggak nyangka ternyata bapak juga suka go
"Nara, kayaknya sudah waktunya aku lahiran deh," jelas Tasya dari dalam bilik."Lahiran?" Kepala Nara seakan berdengung ketika mendengarnya. Dia sontak jadi panik sendiri. "Mbak, buka pintunya dulu."Saat pintu telah terbuka, tampak Tasya sedang terduduk di closet dengan wajah pucat."Ayo mbak, kita ke rumah sakit."Nara dengan hati-hati memapah Tasya keluar dari toilet. Sepanjang jalan Nara berusaha menenangkan Tasya yang tampak merasa takut.Saat tiba di tempat parkir, mereka bertemu dengan sopir Tasya yang menghampiri mereka setelah melihat majikannya dipapah."Pak, saya mau melahirkan. Tolong anterin ke rumah sakit." Tasya berkata sambil menahan rasa sakit."Baik, Bu. Mari saya bantu," ucap pak sopir sambil ikut membantu Nara memapah Tasya."Kamu ikut ya, Nara. Temenin saya," pinta Tasya sambil menggenggam lengan Nara dengan erat."Iya, Mbak. Nara ikut kok," ujar Nara langsung menyetujuinya karena Nara pun merasa tidak tenang kalau tidak menemani Tasya.Mobil melaju dengan cepat m
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar