Ketika sampai di rumah Senja, Angelica Abimana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Awan. Senja tidak menyangka kalau sahabatnya itu justru datang ke rumahnya alih-alih langsung ke tempat pertemuan mereka dengan klien. Lalu, dia ingat bahwa tadi, dia sempat menelepon Awan dan membicarakan mengenai kekhawatirannya atas keterlambatan Mentari. Kemudian, Senja langsung memutuskan panggilan secara sepihak dan tidak menghubunginya lagi sampai detik ini. Mungkin, sahabatnya itu juga merasa khawatir pada Mentari. “Angel!” “Tante Mentari!” seru Angelica penuh semangat. Dia turun dari sofa dengan dibantu oleh Awan dan berlari ke arah Mentari sambil tertawa riang. Lalu, Angelica memeluk kedua kaki Mentari, membuat Mentari langsung mengangkatnya ke dalam gendongan. Diciumnya pipi gembil milik Angelica yang sangat menggemaskan dan terlihat seperti mochi menurut Mentari. “Tante, main di sininya lama, kan?” “Hm....” Mentari nampak be
Mobil Senja berhenti tepat di depan pagar rumah Mentari. Rapat yang diadakan oleh Senja, Awan dan beberapa klien yang ingin menawarkan kerjasama antar perusahaan itu berlangsung cukup lama. Mentari bahkan sampai ketiduran di ranjang Angelica, bersama dengan anak menggemaskan itu dan saling berpelukkan. Untung saja Mentari sudah menghubungi kakaknya sebelumnya dan berkata bahwa dirinya harus lembur. Sebenarnya Mentari tidak enak juga kalau harus berbohong. Tapi, kalau Mentari berkata dia ada di rumah Senja, Gerhana pasti akan kebakaran jenggot dan akan datang untuk menjemput Mentari. Dan, perdebatan di antara kakak serta pacarnya adalah hal terakhir yang diinginkan oleh Mentari. “Udah sampai,” kata Senja dengan nada lembut. Mentari tersenyum dan mengangguk. Dia masih sedikit canggung dengan sifat Senja yang lembut ini. Mentari lebih terbiasa dengan sifat Senja yang galak dan hobi marah-marah. Cewek itu kemudian membuka sabuk pengamannya dan menatap Senja. “Maaf,
“Tadinya, kalau sampai lo nggak nganterin adik gue pulang, setelah lo menyuruh dia untuk lembur sampai semalam ini, gue akan mendatangi lo besok sambil membawa golok.” Senja meringis dan mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa. Cowok itu melirik ke arah Mentari yang ada di sampingnya, yang kini sibuk memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyumannya. Pasti kekasihnya itu sangat ingin tertawa melihatnya dimarahi oleh calon kakak iparnya sendiri. “Mana mungkin gue membiarkan sekretaris gue pulang sendiri malam-malam begini? Gue bertanggung jawab sama keselamatan semua karyawan gue. Dan lagi, apa gue bisa membiarkan cewek seceroboh Mentari, yang suka hilang mendadak karena gampang kehasut sama orang asing, berkeliaran malam-malam sendirian walau tujuannya pulang ke rumah?” Mendengar itu, Mentari mengerjap dan menoleh ke arah Senja. Dia melotot ganas. “Hei! Apa maksud Bapak ngomong tentang saya seperti tadi?” “Kenyataan, kan? Apa saya ha
Rapat dengan klien selesai lebih cepat daripada yang diperkirakan. Mentari tersenyum manis ke arah para klien yang mulai meninggalkan ruang rapat satu per satu dan sedang bersalaman dengan Senja. Begitu semua orang sudah keluar dari ruang rapat dan pintu tertutup, Mentari langsung menghilangkan senyumannya. Dia mendesah lelah dan menaruh berkas-berkas yang dipeluknya di atas meja. Kemudian, Mentari menarik kursi dan duduk di sana. Dia menaruh kepalanya di atas meja dan memejamkan kedua mata. Sangat lelah. Suara kekehan Senja membuat kedua mata Mentari terbuka. Dia menatap Senja yang masih duduk di kursinya sambil bersedekap dan menyilangkan kaki kanannya ke kaki kiri. Pose yang lagi-lagi terlihat menggoda bagi Mentari. Kalau Mentari tidak kuat iman, mungkin cewek itu sudah akan berlari ke arah Senja dan menerkamnya. “Sini, Mentari,” panggil Senja seraya menepuk pangkuannya. Mengisyaratkan Mentari untuk duduk di sana. Hilang sudah kekuata
Setengah jam sebelumnya....Mentari baru saja keluar dari toilet, ketika dia tidak sengaja melihat kedatangan Awan. Sahabat dari kekasihnya itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya, karena memang posisi Mentari yang berada di belakang Awan dan Awan sedang memeriksa ponselnya. Sambil menyeringai jahil, Mentari mengendap-endap di belakang Awan, lalu mengagetkan cowok itu dengan cara menepuk punggungnya sambil berseru. Otomatis, Awan berteriak dan buru-buru menutup mulutnya lagi dan menoleh cepat. “Mentari!” gerutunya. Dia menarik napas panjang dan mengusap dadanya untuk mengurangi debaran jantungnya yang meliar. “Lo benar-benar iseng, ya. Kalau gue jantungan, gimana?” “Ya nggak gimana-gimana, Pak. Nanti saya teleponin ambulans, supaya Bapak dibawa ke rumah sakit. Lagi pula, kata pak Senja, saya boleh menjahili Bapak sesuka hati saya.” Sambil mengerjap, Awan mendengus. “Emang kurang ajar itu orang. Di mana dia? Belum pulang, kan? Soalnya
“Gila! Dia kayaknya marah sama gue. Tapi, kenapa?” “Senja marah sama lo?” tanya Samudra sambil menaikkan satu alis, ketika tadi dia tidak sengaja mendengar Mentari bergumam. Cowok itu menyandarkan punggungnya dan bersedekap. “Kenapa dia marah sama lo? Bukannya barusan lo bilang kalau dia hanya memberikan pekerjaan sama lo?” Mentari menarik napas panjang dan memijat pangkal hidungnya. Dia menaruh ponselya kembali ke tas dan memutuskan untuk menghadapi Senja nanti saja. Saat ini, mau Mentari menjelaskan apa pun kepada kekasihnya itu, pasti tidak akan masuk ke dalam otak Senja. Pasti Senja akan melempar tantrum seperti biasa, seperti yang biasa dilakukan oleh Angelica Abimana, anaknya yang lucu dan menggemaskan itu, jika sedang merajuk. “Jadi, tadi ada sedikit kesalahan dalam kerjaan gue,” dusta Mentari, membicarakan kesalahan beberapa rekan-rekannya untuk dijadikan alasan. “Dan kayaknya, setelah gue perbaiki, masih ada kesalahan juga. Ini pekerjaan ya
Hanya orang bodoh yang tidak menyadari bahwa Senja Abimana menguntit Mentari Chrysalis atau memasang alat pelacak pada cewek itu. Itulah yang ada di dalam pikiran Samudra. Karena, tidak mungkin cowok berusia tiga puluh lima tahun itu tiba-tiba muncul di sini dan berkata sedang di sekitar area. Jelas-jelas hal yang mustahil, mengingat area ini dekat dengan SMA-nya dan Mentari dulu. Memangnya, Senja Abimana berasal dari SMA yang sama dengan keduanya atau sekolah di sekitar sini? Dan, apa katanya tadi? Takdir? Jodoh? Ha! Kalau hanya berbicara seperti itu, Samudra juga bisa melakukannya. Dia bisa mengumumkan kepada semua orang bahwa dirinya adalah jodoh, belahan jiwa serta takdir cintanya Mentari. Toh, jika dia berkata demikian, tidak mungkin ada satu orang pun yang akan melarangnya. Benar, kan? “Omongan lo benar-benar sangat cheesy untuk ukuran seorang cowok semi tua yang menjabat sebagai seorang CEO,” sindir Samudra. Dia melirik Mentari. Sahabatnya it
Selesai sudah. Setelah ini, Samudra hanya akan menjalankan tugasnya sebagai seorang sahabat. Dia tidak akan mengganggu hubungan Mentari dan Senja, walau melihat mereka tentu saja akan terus menyakitinya. Tapi, seiring berjalannya waktu, Samudra yakin dia akan bisa melepaskan dan menghilangkan rasa cintanya untuk Mentari. Setelah meyakinkan Mentari bahwa hubungan persahabatan mereka akan baik-baik saja, Samudra membiarkan Mentari pergi dari hadapannya. Cewek itu berjalan menuju mobil yang dikendarai oleh Senja dan Awan, dengan dikawal oleh Awan. Sebelumnya, Awan sempat menyapa Samudra dan memberikan semangat untuk cowok tersebut. “Hei.” Panggilan itu membuat Senja yang mengikuti langkah Mentari dan Awan, berhenti. Dia menoleh, menatap Samudra melalui pundaknya sampai Samudra memosisikan dirinya tepat di samping Senja. Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menatap Senja. “Lo... beneran cinta sama Mentari, kan?”
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken