“Pelecehan seksual?” Senja mendengus dan menarik napas panjang. Dia menatap jengkel ke arah Mentari yang benar-benar tak gentar di tempatnya. Senja jadi heran sendiri. Pertama, ke mana perginya anak perempuan yang cengeng, penakut dan bersifat malu-malu lima belas tahun silam? Kedua, bagaimana bisa dirinya jatuh cinta pada Mentari Chrysalis yang sebegini pemberontaknya dan susah diatur? Pasti ada yang salah dengan dirinya. Tapi, mau dia mencari kesalahan itu, Senja tetap tidak menemukannya. Dia memang sudah jatuh cinta pada sekretarisnya. “Terus, kamu mau melakukan apa? Kamu mau melaporkan saya ke polisi?” “Itu ide yang bagus, mengingat Bapak mencium saya dengan paksa, tanpa persetujuan saya!” seru Mentari tak mau kalah. Cewek itu mendorong dada Senja dengan sekuat tenaga, hingga Senja terdorong. Dia bebas. Mentari pun langsung berlari menjauh dari bosnya itu untuk menciptakan jarak. Sialnya, napasnya kini terengah karena dia baru saja m
Senja Abimana menyandarkan punggungnya dan memijat pangkal hidungnya. Pekerjaannya baru selesai setengahnya. Saat ini, sudah jam makan siang. Dia melihat ke luar ruangan melalui jendela yang ada di dalam ruangannya sendiri. Beberapa di antara para karyawannya sudah tidak ada di meja mereka, termasuk Mentari. Cowok itu lantas berdiri dan mengambil ponselnya yang ada di atas meja, kemudian membuka pintu ruangannya. Dia menoleh ke segala arah dan menemukan Mellani, teman dekat Mentari di kantor ini, baru saja kembali sambil membawa beberapa kantung plastik. Sepertinya Mellani berniat untuk makan siang di mejanya. “Mel,” panggil Senja. Dia menutup pintu di belakangnya dan mendekati Mellani yang mengangguk sopan ke arahnya. “Kamu liat Mentari?” Mellani menaruh makanan-makanan yang dibelinya di atas meja kerjanya sendiri. Dia mengangguk lagi, kali ini untuk menjawab pertanyaan sang bos. “Mentari mau makan bakso katanya, Pak. Tadi pergi dengan muka senang
Sikap menyebalkan Senja Abimana rupanya bertahan sepanjang hari. Semua karyawan Senja merasa was-was dan selalu bersikap waspada. Akibatnya, pekerjaan mereka menjadi sedikit terganggu. Sudah begitu, Senja juga selalu marah-marah tidak jelas. Dia selalu uring-uringan. Beberapa karyawannya bahkan ada yang mengatakan bahwa Senja adalah bos terakhir dalam sebuah permainan. Ketika mereka melihat Senja keluar ruangan dan berjalan ke arah toilet, semuanya langsung berkasak-kusuk untuk menggosipi bos mereka itu. “Si bos kenapa, sih? Perasaan tadi pagi masih baik-baik aja. Dia jadi begitu waktu pulang makan siang.” Roby, karyawan paling playboy di kantor ini, langsung membuka suara. Dia menatap Niko yang mengedikan bahu dan memutar-mutar kursinya. “Jangan tanya gue. Lo juga tau sendiri kalau bos kita itu mood-nya susah ditebak. Sebentar-sebentar senang, sebentar-sebentar marah, dan masih banyak lagi.” Niko menatap Mellani. “Mbak Mel, lo tau dia kenapa?”
Ruangan Senja berubah hening. Mentari tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya barusan. Bosnya itu baru saja berkata bahwa dia ingin menjadi sugar daddy-nya. Apa Senja baru saja membenturkan kepalanya entah di mana? Yang benar saja! Sepertinya akal sehat Senja sudah terganggu karena merasa kesal dengan dirinya yang makan siang bersama Samudra tadi. Heran. Sebenarnya, siapa yang sudah dewasa di sini? Bosnya mungkin memang lebih tua darinya, tapi terkadang kelakuannya seperti Angelica Abimana, anaknya sendiri. “Kenapa kamu diam? Saya bertanya sama kamu.” Senja turun dari atas meja dan mendekati Mentari. Dia berdiri tepat di depan Mentari, menunduk agar bisa menatap sekretarisnya itu. Kekagetan pada raut wajah dan tatapan Mentari sangat menyenangkan untuk Senja, membuatnya ingin mengukir sebuah senyum, tapi menahan diri karena sedang merasa jengkel pada Mentari yang bisa-bisanya melakukan kencan makan siang dengan Samudra. “Saya bisa jadi sugar daddy ka
“Dia terlalu lama.” Senja Abimana mengetuk meja di depannya dengan jari telunjuk. Keningnya mengerut dan kesabarannya mulai terkikis. Tangan kirinya memegang ponsel yang didekatkan ke telinga. Di atas meja di hadapannya, beberapa potong kue dan segelas kopi susu tersaji. “Siapa yang terlalu lama?” tanya Awan di seberang sana. Saat ini, Senja memang sedang menelepon Awan sambil menunggu kedatangan Mentari. “Lo lagi nunggu seseorang?” “Si anak kecil yang sekarang jadi sekretaris gue,” gerutu Senja. Cowok itu menarik napas panjang dan memijat pangkal hidungnya. “Gue nyuruh dia untuk datang ke rumah dan nemenin Angel, sementara gue dan lo pergi menemui klien kita di hotel Asparagus. Gue nunggu dia di kedai kue waktu itu. Jam kantor udah selesai sepuluh menit yang lalu, tapi sampai detik ini, batang hidung bocah itu belum juga muncul di depan muka ganteng gue!” Senja bisa mendengar dengusan Awan di ujung sana. “Benar-benar narsis. Look, kalau
Memuakkan. Hanya satu kata itu yang melintas di benak Embun Kurniawan, tatkala dia melihat kesombongan dan keberanian Mentari. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Matanya tak henti menatap tajam dan dingin ke arah Mentari. Lalu, tatapannya beralih pada Senja. Cowok yang sudah lama dicintainya itu, kini lagi-lagi tidak berhasil dia dapatkan. Pertama karena Serena, kedua karena cewek sialan di hadapannya. Belum lagi Serena meninggalkan sesuatu yang kini sangat dekat dengan Mentari, seolah-olah Serena merestui Senja dengan Mentari, tapi tidak dengannya. Angelica Abimana. Sialan! Tentu saja Embun tidak akan membiarkan Senja lepas begitu saja dari genggamannya. Dia sudah menunggu cukup lama untuk memiliki Senja. Dan begitu Serena, penghalang hubungannya dengan Senja sudah tiada, mana mungkin Embun membiarkan tikus kecil menyebalkan seperti Mentari menghalangi keinginannya? Dia akan menghancurkan tikus kecil itu dengan satu kali injakkan.
Mentari Chrysaslis sedang mengalami krisis besar. Jantungnya berdegup kencang dan cepat, hingga dia takut semua orang di dunia bisa mendengarnya. Napasnya mandek di tenggorokan, tidak mau keluar dari hidungnya dan tidak bisa kembali ke paru-parunya. Matanya membulat maksimal, mungkin mengancam akan keluar dari rongganya dalam beberapa detik ke depan. Wajahnya memanas seolah dibakar, hingga cewek itu takut akan ada warna merah yang muncul di kedua pipinya. Intinya, Mentari Chrysalis sedang tidak berada dalam kondisi yang sehat, akibat mendengar pengakuan Senja Abimana barusan. Kini, Mentari memberanikan diri menoleh ke samping untuk menatap bosnya itu. Senja hanya diam saja, tapi raut wajah dan tatapan matanya terlihat sangat serius. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang bercanda di sana. Dan hal itu memperparah kondisi jantungnya. Tangan kanan Mentari terangkat ke dada untuk meredam debaran jantungnya yang meliar itu. “Kenapa? Kamu meng
Ketika sampai di rumah Senja, Angelica Abimana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Awan. Senja tidak menyangka kalau sahabatnya itu justru datang ke rumahnya alih-alih langsung ke tempat pertemuan mereka dengan klien. Lalu, dia ingat bahwa tadi, dia sempat menelepon Awan dan membicarakan mengenai kekhawatirannya atas keterlambatan Mentari. Kemudian, Senja langsung memutuskan panggilan secara sepihak dan tidak menghubunginya lagi sampai detik ini. Mungkin, sahabatnya itu juga merasa khawatir pada Mentari. “Angel!” “Tante Mentari!” seru Angelica penuh semangat. Dia turun dari sofa dengan dibantu oleh Awan dan berlari ke arah Mentari sambil tertawa riang. Lalu, Angelica memeluk kedua kaki Mentari, membuat Mentari langsung mengangkatnya ke dalam gendongan. Diciumnya pipi gembil milik Angelica yang sangat menggemaskan dan terlihat seperti mochi menurut Mentari. “Tante, main di sininya lama, kan?” “Hm....” Mentari nampak be
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken