Mentari Chrysalis bingung harus bersikap seperti apa. Ya, dia memang menyukai Senja Abimana, sang bos. Dia juga sudah melakukan kerja bagus dengan cara bersikap normal seperti sebelum dirinya mengakui perasaan cintanya untuk Senja pada dirinya sendiri. Hanya saja, ketika seharian ini sikap Senja mendadak berubah dingin seperti dulu—Mentari merasa akhir-akhir ini hubungannya dengan si bos cukup dekat dan bosnya itu seolah bersikap terbuka kepadanya—Mentari jadi tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia datang ke kamar Angelica semata-mata karena Awan tidak ingin dirinya bertemu dengan Embun Kurniawan yang katanya sangat berbahaya itu. Tapi, Mentari tidak menyangka dia akan bertemu juga dengan Senja yang memutuskan untuk mengungsi di kamar sang anak demi tidak bertemu dengan Embun. “Mentari.” “Hah? Oh? Iya, Pak?” Mentari tergagap. Sial. Siapa suruh bosnya itu tiba-tiba memanggilnya, di saat dirinya sedang sibuk berpikir? Sudah begitu, nada dingin itu m
Beberapa menit sebelumnya....Karena merasa sangat lega setelah mengetahui bahwa Embun Kurniawan sudah pulang, Mentari langsung membaringkan tubuhnya dan menutup kepalanya dengan menggunakan guling yang ada di kasur Angelica Abimana. Lalu, sesuatu bergetar di dalam saku pakaiannya. Dia mengambil ponselnya yang memang baru Mentari ingat ada di sana, kemudian membaca pesan singkat yang masuk tanpa ketahuan oleh Senja dan Awan. Matanya terbelalak dan jantungnya berdetak sangat kencang, hingga Mentari takut jika organ tubuhnya itu akan meledak. “Tari! Jingga masuk rumah sakit! Dia jatuh dari tangga!” Pesan singkat dari Gerhana itu membuat otak Mentari mendadak buntu. Yang ada di benaknya adalah, dia harus segera pergi ke rumah sakit guna mencari tahu keadaan dan kondisi Jingga, karena kakaknya itu tidak memberitahunya bagaimana kondisi terkini sang sahabat. Karena itulah, Mentari langsung melempar guling ke tempat semula, bangkit dengan satu gerakan cep
“Oh, apa ini yang namanya Gerhana? Kakaknya Mentari?” Pertanyaan yang dilontarkan Awan dengan nada ramah dan senyuman cerah itu membuat suasana sedikit mencair. Namun, karena tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab, Awan jadi salah tingkah sendiri dan akhirnya berdeham. Tak lama, Mentari tersenyum tipis ke arah Awan dan menunjuk Samudra. “Mm... itu bukan kakak saya, Pak Awan. Itu sahabat saya dan Jingga. Namanya Samudra.” Awan mengerjap dan membulatkan mulut sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. Pantas saja cowok itu langsung memberikan tatapan tajamnya untuk Senja. Awan pikir, hal itu karena Samudra adalah kakak dari Mentari. Setidaknya, menurut Awan sebelum dia mengetahui kebenarannya dari cewek ajaib itu. Berarti, Samudra ini tidak suka pada Senja karena masih menganggap Mentari adalah istri dari Senja dan cemburu. Which means, Samudra menyukai Mentari, tapi Mentari sepertinya tidak peka akan hal itu. Ya
Beberapa saat yang lalu....Devan berdecak dan menggerutu sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Jam istirahat makan siang harus dia gunakan untuk pergi ke rumah sakit karena saudara sepupunya yang sangat bergantung padanya sejak dulu sedang dirawat di sana. Dia merengek, meminta Devan untuk datang. Kalau Devan tidak datang, maka dia tidak akan makan. Tadinya, Devan tidak mau menggubris tantrum dari seorang anak berusia dua belas tahun itu. Namun, karena tantenya, ibu dari anak tersebut, meminta tolong kepada orang tuanya, maka Devan terpaksa datang. Sudah begitu, dia juga harus menghabiskan waktu sekitar lima belas menit menunggu kemacetan reda. Mana perutnya lapar. Untung saja dia sudah meminta izin untuk terlambat kembali ke kantor kepada bosnya, Surya Sanjaya. Sesampainya di rumah sakit, Devan tidak langsung pergi ke kamar inap saudara sepupunya itu. Dia melangkahkah kedua kakinya menuju kafetaria untuk membeli minuman segar dan mungkin memakan m
Tanpa memikirkan keanehan Senja tadi, Mentari mengikuti Samudra keluar dari kamar inap Jingga. Keduanya tidak pergi ke mana-mana. Hanya berdiri di depan pintu kamar Jingga sambil bersandar di dinding. Mereka masih diam, mengumpulkan keberanian dan menyiapkan kata-kata yang akan diucapkan agar tidak menimbulkan rasa sakit untuk hati masing-masing. Walau Samudra sudah memantapkan diri untuk mengejar Mentari dan membuat sahabatnya itu menatap ke arahnya sebagai lawan jenis dan bukannya hanya sekadar sahabat dan kakak, tapi Samudra juga sadar bahwa persahabatan mereka sudah terlalu lama untuk dihancurkan begitu saja. Mentari melirik Samudra, mencoba membaca raut wajah cowok itu. Samudra yang dulu lebih pendek darinya ketika mereka masih anak-anak, kini berubah menjadi cowok dewasa dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. Entah karena dia terlalu rajin berolahraga, menyantap makanan bergizi atau karena memang Mentari saja yang sudah berhenti bertumbuh tin
Sama seperti Angelica Abimana. Mentari sudah pernah melihat Angelica Abimana merajuk karena dilarang untuk makan es krim oleh ayahnya waktu itu, akibat anak kecil menggemaskan tersebut sudah memakan es krim sebelumnya. Wajah cemberutnya, ekspresi kekesalannya, matanya yang memicing tajam, semuanya yang sedang diperlihatkan oleh Senja Abimana saat ini sanggup membuat Mentari mengerjap dan melongo. Cowok dewasa itu benar-benar mengingatkan Mentari pada Angelica. Ternyata Angelica menuruni sifat merajuk bapaknya sendiri. Buah emang jatuh nggak jauh dari pohonnya, batin Mentari. Dia nyaris saja tertawa, kemudian buru-buru membuang muka ke samping sambil menutup mulutnya agar hormon tawanya itu tidak benar-benar menjalankan tugasnya. Bisa-bisa nanti bos galaknya itu akan semakin cemberut. “Hei,” bisik Samudra yang berdiri di samping Mentari seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Mungkin dia masih tidak menyukai Senja, meskipun dia sudah tahu k
Devan berdecak jengkel dan meringis ketika luka di wajahnya terasa sakit. Dia baru saja kembali dari ruang UGD, setelah sebelumnya dibawa oleh salah satu pengunjung kafetaria rumah sakit agar dirinya bisa diobati setelah berkelahi dengan Gerhana. Cowok itu berjalan menuju kamar inap saudaranya sambil menyentuh luka-luka di wajahnya dengan pelan. Sialan sekali Gerhana itu. Dia selalu saja ikut campur dengan urusan Mentari. Padahal, adiknya itu sudah besar. Sudah dewasa. Mentari bisa mengurus masalahnya sendiri. Untuk apa, sih, cowok berengsek itu selalu berusaha untuk memisahkannya dari Mentari? Mentari Chrysalis itu adalah takdirnya, Devan yakin itu. Sejak pertama kali bertemu dengannya di SMA dulu, Devan sudah bisa merasakan debar-debar cinta dan bisikan takdir di kedua telinganya. Bahwa, she’s the one. Apa yang salah dengan dirinya yang ingin mendapatkan cewek yang sudah menjadi takdirnya? Tidak ada, kan? Sejak dulu, selalu ada saja orang yang men
“Kenapa diam?” Pertanyaan Senja itu membuat Samudra kembali ke alam sadarnya. Dia mulai fokus terhadap wajah Senja yang terlihat biasa saja. Mungkinkah selama ini raut wajah cowok yang lebih tua darinya itu selalu terlihat menyebalkan? Ya, tidak salah lagi. Sudah tak terhitung berapa banyak Samudra merasa kesal hanya karena bertemu dengannya. Tapi, saat ini, bisa dibilang raut wajahnya... ya itu tadi, biasa saja. Pucat karena sakit, alis terangkat satu dan sudut bibir yang terangkat ke atas, membentuk kuluman senyum. Lebih tepatnya seperti seringaian. “Lo... beneran suka sama Mentari?” tanya Samudra dengan nada tidak percaya. Dia tahu dan sadar ada yang tidak beres dengan hubungan di antara bos dan sekretaris itu. Tapi, Samudra tidak menyangka kalau Senja akan benar-benar mengakui kalau dia memiliki rasa untuk Mentari. “Jelas....” Senja menghentikan kalimatnya sejenak, lalu mendesah berat dan mendongak dengan kepala belakang disandarkan ke dinding.
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken