“Aduh, CEO siapa sih ini yang lagi ngambek?” Senja yang sedang berjalan menyusuri pantai sambil melamun itu terlonjak. Otomatis, dia menghentikan langkah dan menoleh dengan cepat. Keningnya mengerut saat dia melihat Mentari Chrysalis sudah ada di sampingnya. Cewek cantik itu menyilangkan kedua tangannya di belakang tubuh dan tersenyum lebar ke arah Senja. “Tari? Kamu... sejak kapan kamu di sini?” Senja mengedarkan pandangannya dan kembali fokus pada Mentari. “Ini udah malam. Bahaya kalau kamu jalan-jalan sendirian kayak gini.” “Ya habis, pacar kesayangan aku ini, yang bucinnya luar biasa kalau kata pak Awan, lagi ngambek karena aku. Jadi, aku mutusin buat nyamperin kamu dan membujuk kamu supaya nggak ngambek lagi.” Mentari terkekeh dan langsung memeluk lengan Senja dengan erat dan manja. “Nah, ayo kita lanjutin lagi jalan-jalan malamnya.” Senja tidak bisa berkata apa-apa ketika Mentari langsung menarik tangannya untuk mengajaknya berjala
“Bikin anak?!” Seruan Mentari itu membuat Senja mengerjap dan detik berikutnya tertawa keras. Tawa geli yang lepas. Cowok itu sampai membungkuk dan menyeka air mata yang muncul di sudut mata. Tidak menyangka kalau reaksi kekasihnya akan semenggelikan ini. Jika Senja harus menebak, mungkin orang lain akan kegirangan jika dirinya mengajak mereka untuk tidur. Tapi Mentari, walau statusnya adalah kekasih Senja dan mereka akan menikah jika semua masalah ini sudah selesai, terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bahkan kemungkinan besar, Mentari pasti akan menolak permintaannya barusan. “Kamu bosan hidup?” tanya Mentari. Tuh, kan? Apa yang dia tebak akhirnya menjadi kenyataan. Senja tertawa lagi, namun kali ini lebih kecil daripada sebelumnya. Walau kegelian itu masih terdengar jelas. “Enak aja main ngomong kayak gitu. Kamu pikir aku ini cewek apaan?” Senja menarik napas panjang. “Iya, iya. Aku minta maaf, oke? Aku cuma bercanda. Man
“Ini kabar yang cukup buruk.” Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan oleh Senja Abimana, ketika Mentari dan semua orang sudah berkumpul. Angelica Abimana sedang berada di kamar, bermain dengan dua orang pelayan di villa yang diperintahkan oleh Senja barusan. Senja duduk sambil memangku Mentari—tentu saja atas perintah Senja, dan cowok itu sampai merajuk segala ketika tadi Mentari menolaknya dengan halus—di mana Jingga duduk di samping Samudra dan menyandarkan kepalanya di bahu sang sahabat. Tindakannya itu jelas memancing kekesalan dan kecemburuan Awan, yang langsung ditenangkan oleh Gerhana sambil meringis. “Ada apa?” tanya Samudra dengan nada serius. Karena aura keseriusan yang diberikan Senja sepertinya juga mempengaruhi suasana hati dari semua orang yang ada di sekitarnya. “Seburuk apa?” “Kael dan Novan memberikan kabar,” jawab Senja. Dia membiarkan Mentari sibuk memainkan rambutnya. Meski begitu, Senja tahu jika ini adalah salah satu cara
Pagi-pagi sekali, Mentari bangun dan bergegas menuju kamar Jingga. Untuk mengubah suasana hatinya dan melupakan kenyataan pahit yang mengincar nyawanya sebentar saja, Mentari memutuskan untuk membuat kue ulang tahun untuk Senja, sesuai dengan usul yang diberikan oleh Jingga. Tadinya, Mentari sudah tidak bernafsu untuk membuat kue tersebut. Namun, ketika dia membuka mata, dia merasa membuat kue akan jauh lebih menyenangkan, daripada harus memikirkan kejadian-kejadian buruk yang akan terjadi di masa depan. “Pagi banget,” komentar Jingga. Dia menguap dan mengucek matanya. Kemudian, cewek itu menatap layar ponsel yang sedang dipegangnya. “Baru jam lima pagi, loh.” “Bagus malahan,” sahut Mentari enteng. Dia menarik pelan tangan Jingga dan menutup pintu kamar sahabatnya itu. “Senja dan yang lainnya pasti masih tidur. Di dapur, koki dan pelayan lainnya pasti lagi siap-siap untuk bikin sarapan buat kita semua. Nah, sekalian aja, tuh, kita ikutan ngerecokin
Setelah memakan beberapa potong kue yang dibuat oleh Mentari, ditambah juga dengan sesi ciuman yang cukup membuat gerah keduanya walau cuaca di villa begitu dingin, Senja buru-buru mandi dengan menggunakan air dingin, sebelum dia melakukan hal-hal yang akan disesalinya di kemudian hari kepada Mentari, juga berpotensi membuat dirinya mati terbunuh di tangan Gerhana Quill, calon kakak iparnya. Ketika dia keluar dari kamar mandi, jarum jam sudah berhenti di angka tujuh. Dia yakin, Mentari, Angelica dan yang lainnya sudah duduk manis di meja makan, menunggu kehadirannya untuk memulai sarapan. Hanya memikirkan raut wajah cemberut Mentari dan yang lainnya saja—minus Jingga tentunya, karena menurut Senja, Jingga terlalu dewasa untuk bersikap kekanakkan seperti yang lainnya—mampu membuat senyum Senja mengembang. Sejak kematian Serena, Senja tidak pernah menyangka hidupnya akan kembali dipenuhi warna dan juga dikelilingi oleh banyak orang yang peduli kepadanya. Ini benar-benar sebu
Mentari melirik Senja selama sarapan berlangsung. Memang cowok itu terlihat normal. Seolah menganggap percakapannya dengan si wanita ular di telepon tadi bukanlah apa-apa. Tapi, Mentari tahu bahwa Senja sangat terusik dan terus kepikiran mengenai kalimat-kalimat Embun untuknya. Senyum yang saat ini dia perlihatkan untuk Angelica Abimana bukanlah senyuman yang tulus. Itu hanyalah senyuman keterpaksaan. Entah yang lain menyadarinya atau tidak, tapi Mentari sangat tidak suka melihat Senja memaksakan dirinya untuk terlihat kuat dan baik-baik saja. “Hei. Apa ada yang terjadi sebelum kalian datang ke sini?” Mentari mengerjap dan menoleh. Wajah Awan yang duduk tepat di sebelahnya nampak cemas. Pun tatapan matanya. Menyadari hal itu, entah kenapa Mentari jadi terharu. Ya, tentu saja Awan Bagaskara akan menyadari keanehan dari sikap Senja Abimana. Mereka berdua bersahabat sudah lama. Tidak mungkin Awan tidak tahu jika ada yang aneh pada diri Senja. Saking te
Walau langit sudah mendung sejak pagi, tapi karena hujan belum turun, Mentari dan yang lainnya memutuskan untuk bermain lagi di laut. Tentu saja Mentari harus mencari cara untuk menjernihkan pikirannya. Karena, setelah melakukan kegiatan sarapan yang ketegangannya sudah melebihi orang uji nyali di kuburan pada malam Jum’at, Mentari jadi tidak bisa mengenyahkan seluruh pikiran negatifnya. Cewek itu bermain air laut bersama dengan Jingga dan Angelica. Keduanya nampak tertawa riang, seolah tidak memikirkan kejadian di meja makan barusan. Tentu saja Angelica masih kecil untuk mengerti hal-hal yang dialami oleh para orang dewasa di sekitarnya. Sedangkan untuk Jingga, Mentari yakin sahabatnya itu juga sedang berusaha untuk mengalihkan semua pikiran negatifnya. “Tar, jangan cemberut terus,” kata Jingga tiba-tiba, membuyarkan jalan pikiran Mentari. Walau dia berbicara dengan Mentari, fokusnya tak pernah lepas dari Angelica yang ada bersama mereka. “Nanti Angel jadi pen
“Halo, Mentari.” Mentari mengerjap dan mengedarkan pandangannya. Dia berada di sebuah taman bunga yang cantik, yang entah berada di mana. Tapi, bukankah dia ada di villanya Senja Abimana? Villa itu berada di dekat pantai dan tidak ada taman bunga sama sekali. Sudah begitu, setelah dia berhasil diselamatkan oleh Senja karena nyaris tenggelam di laut, diomeli habis-habisan oleh kakak tersayangnya karena kecerobohannya, dan mengajak Angelica bermain bersama di kamar anak menggemaskan itu hingga yang bersangkutan tertidur, Mentari juga yakin dia ikut tertidur bersama dengan Angelica. Kalau begitu, apakah ada orang yang berhasil menculiknya dan membawanya ke taman bunga mencurigakan ini? Dan, siapa cewek cantik dengan senyuman menawan yang barusan menyapanya dan sedang melambaikan tangan ke arahnya ini? “Kamu siapa?” tanya Mentari dengan tingkat kewaspadaan yang cukup tinggi. Karena, walaupun cewek di depannya itu sangat cantik, tapi tidak ada yang bisa menebak, kan
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken