Uap panas membungkus mereka dalam balutan keintiman, menciptakan lapisan tipis embun di kulit Cheryl yang berkilauan di bawah cahaya temaram. Air di dalam bathtub bergelombang lembut, mengikuti ritme napas mereka yang mulai menyatu, yang bukan lagi dengan nafsu yang menggebu, tetapi dengan kebutuhan yang lebih dalam, lebih hakiki.Bara bersandar ke belakang, matanya menelusuri tubuh Cheryl dengan intensitas yang nyaris membakar. Seakan ingin menghafal setiap lekuk, setiap garis kulitnya dalam ingatan."Kemarilah, Sayang," suara Bara serak, berat dengan sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan.Cheryl bergerak mendekat, membiarkan air hangat membasahi tubuhnya lebih dalam saat jemarinya menyusuri dada pria itu. Napasnya menggantung di antara bibir yang hampir bersentuhan, sementara jantungnya berdebar dengan ritme yang hanya dimengerti oleh pria di hadapannya.Bara menangkap tangannya, menggenggamnya erat sebelum menariknya hingga ia jatuh ke dalam pelukannya. Air bergolak pelan, men
Cheryl berdiri tegak di hadapan Mimi dan para pelayan yang telah berkumpul di ruang tengah. Meskipun ia tahu dirinya sedikit terlambat, ia tidak ingin menampakkan kepanikan atau memberikan kesan buruk di pertemuan pertamanya sebagai atasan mereka. Maka, ia menghela napas perlahan, mengingat kembali bagaimana Bara selalu berbicara—tenang, penuh kendali, dan tak terbantahkan.Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia mengangkat dagu sedikit, lalu melirik sekilas ke arah Sofyan yang berdiri di sampingnya. Pria itu, dengan sikap khasnya yang netral dan tenang, memberi anggukan kecil seolah mengisyaratkan bahwa Cheryl bisa mengendalikan situasi ini.“Selamat pagi,” suara Cheryl terdengar tenang namun tegas, cukup untuk membuat semua orang dalam ruangan itu fokus padanya. Ia menyapu pandangan ke seluruh staf sebelum kembali berbicara, “Perkenalkan, saya Cheryl. Saya asisten pribadi Pak Bara yang baru, yang mulai hari ini akan menggantikan Pak Sofyan dalam membawahi urusan rumah tangga, termasu
Di dalam ruangan kerja khusus staf yang ada di rumah Bara, Cheryl mengetik cepat, menyesuaikan jadwal shift staf rumah tangga dengan cermat sebelum beralih ke daftar belanja, memastikan efisiensi berdasarkan kebutuhan sebenarnya. Ia meneliti laporan keuangan rumah tangga beberapa bulan terakhir. Matanya menangkap beberapa pos pengeluaran yang terasa berlebihan, membuatnya mencoret item yang tak mendesak. Ia mendesah, menyadari perlunya mengategorikan belanjaan agar lebih terstruktur. Ketukan di pintu memecah konsentrasinya.“Masuk.”Sofyan melangkah masuk dengan langkah percaya diri. Tatapannya singkat, tapi tajam, langsung mengarah ke layar laptop Cheryl.“Gimana progresnya, Cher?”“Jadwal shift selesai. Daftar belanja sudah lebih efisien. Sekarang aku sedang mengecek laporan keuangan.”Sofyan mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada meja. “Bagus. Kalau ada yang perlu diklarifikasi, tanya.”Cheryl meletakkan pena dan menatapnya lurus. “Aku ada pertanyaan.”Sofyan mengangkat alis
Di ruang rapat sebuah hotel berbintang lima di Surabaya, suasana terasa formal dan profesional. Cahaya lampu yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan lembut di atas meja rapat panjang yang dipenuhi dokumen, laptop, dan cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Para eksekutif yang hadir tampak serius, membahas angka-angka dan strategi bisnis dengan penuh perhatian.Di tengah atmosfer yang begitu intens, Bara duduk tegap di kursinya, jas Armani abu-abu yang ia kenakan tetap rapi tanpa cela. Tak ada satu pun tanda kelelahan di wajahnya, meskipun kantung matanya sedikit menebal akibat penerbangan pagi yang harus dijalaninya, yang hanya berselang beberapa jam setelah sesi percintaan yang luar biasa dengan Cheryl.Ah, Cheryl…Pikiran tentang istrinya itu melintas begitu saja, membuat bibir Bara tertarik membentuk senyum samar. Ia tak pernah merasa begitu lelah sekaligus bersemangat dalam satu waktu. Tubuhnya mungkin masih menyisakan sisa letih, tetapi hatinya penuh dengan keba
Cheryl bergegas turun dari taksi yang baru saja berhenti di halaman lobi gedung Apec. Sial. Macet tadi benar-benar membuatnya kehilangan banyak waktu. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul 16.57. Tiga menit lagi sebelum janji dengan stylist pribadi Bara, dan dia masih harus naik ke kantor Bara yang berada di lantai atas.Di tengah ketergesaannya, ujung heels-nya tersandung undakan pintu masuk lobi. Lututnya goyah. Cheryl hampir saja kehilangan keseimbangan jika bukan karena sebuah tangan kuat yang menangkap lengannya dengan sigap.“Whoa, hati-hati.”Tubuhnya menegang seketika. Suara itu. Seketika ia mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang mata tajam yang begitu familiar.“Axel?”Senyum tipis terulas di wajah pria itu, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Cheryl ingin segera mundur. Tanpa membuang waktu, dia cepat-cepat menarik lengannya dari genggaman Axel.“Makasih ya,” ujarnya buru-buru, langkahnya sudah hendak bergerak lagi.Tapi Axel tidak langsung melepaskann
Cheryl membuka pintu ruang wardrobe pribadi Bara. Aroma perpaduan kayu mahoni dan cologne maskulin langsung menyergap indra penciumannya, membawa kembali kenangannya bersama Bara.Di sudut ruangan ini, di dekat rak jas hitam yang tersusun rapi, bibir mereka pernah saling bertaut dalam ciuman yang panas dan memabukkan. Cheryl mengerjapkan mata, menepis bayangan yang nyaris menyeretnya ke dalam perasaan yang bisa membuatnya limbung. Tidak. Dia harus fokus. Di kantor ini… ia hanyalah asisten pribadi Bara. Tidak lebih.Nath masuk dengan langkah santai, tangannya otomatis menyusuri kain salah satu jas yang tergantung di rak. "Ah, sudah lama aku tidak masuk ke sini," ujarnya, nada suaranya mencerminkan keakraban akan suasana di dalam ruangan ini. "Tapi koleksi Bara tetap tidak banyak berubah. Dia selalu setia dengan warna-warna klasik."Cheryl menoleh, berusaha fokus pada tugasnya. "Sepertinya dia bukan tipe yang suka bereksperimen dengan gaya.""Benar," Nath mengangguk, tangannya dengan c
Setelah meninggalkan ruang wardrobe, Cheryl dan Nath berjalan menuju ruang kerja asisten pribadi yang terletak di sebelah kantor Bara. Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi tertata rapi dengan meja kerja minimalis, rak dokumen, serta sofa kecil di sudutnya. Nath menjatuhkan tubuhnya ke salah satu kursi di depan meja Cheryl, lalu menyalakan tabletnya dengan sekali ketukan di layar. "Oke, aku sudah menyusun beberapa rekomendasi gaya untuk Bara berdasarkan agenda yang kamu kasih kemarin."Ia menggeser layarnya, memperlihatkan foto-foto dengan berbagai kombinasi pakaian. Cheryl mencondongkan tubuhnya, memperhatikan dengan saksama."Mulai dari yang paling formal," Nath membuka presentasinya dengan tampilan gambar pertama. "Untuk gala dinner dengan investor dan pertemuan dewan direksi, aku rekomendasikan setelan three-piece dengan dasi sutra. Hitam atau navy akan terlihat paling profesional, tapi kalau dia mau sedikit lebih approachable, charcoal grey bisa jadi pilihan menarik."Cheryl m
Pintu lift baru saja hampir tertutup ketika Cheryl dan Nath masuk. Namun, sebelum lift sempat bergerak turun, lampu di dalamnya berkedip sekali, lalu—Bruk!Lift berhenti mendadak dengan sedikit hentakan. Lampu di langit-langit lift berkelip beberapa kali sebelum meredup, meninggalkan hanya semburat cahaya samar, lalu kembali terang.Cheryl terdiam sejenak, lalu menekan tombol lantai mereka. Tidak ada respons. Nath melipat tangan di dada. “Tolong bilang kalau ini bukan adegan klise di drama.” Cheryl menelan ludah. “Nath. Sepertinya… kita terjebak.”“No way!” Nath nyaris menjerit, tampak panik.Cheryl kembali memencet tombol darurat, berharap ini hanya gangguan kecil. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara aneh terdengar dari sebelahnya.“Hhhh—Hhhkk—SIAL!”Cheryl menoleh, mendapati Nath berdiri kaku di sudut lift, wajahnya pucat pasi. Tangannya mencengkeram dinding seolah sedang berada di kapal yang dihantam badai.“Nath?”“Aku nggak bisa… Aku nggak bisa di sini!” Nath mul
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta