Cheryl menyandarkan punggungnya ke pilar lobi, senyumnya masih tertinggal di bibir setelah percakapan panjang yang entah sejak kapan mulai menyimpang jauh dari topik pekerjaan. Malam ini terasa ringan, jauh dari tekanan kerja yang ia bayangkan."Terima kasih atas obrolan yang absurd tapi menyenangkan ini, Cheryl." Nath mengangkat alisnya dengan ekspresi geli. "Sudah kuduga, vibes asisten pribadi Bara yang baru bakal lebih fresh."Cheryl tertawa kecil. "Tak kuduga chemistry kita terbentuk secepat ini, Nath. Kamu orang paling menyenangkan yang pernah kutemui sejak pertemuan pertama."Nath menatapnya dengan mata berbinar jahil, seperti baru menemukan mainan baru yang menarik perhatiannya. "Oh, semoga tidak akan ada percikan asmara di antara kita," godanya.Cheryl mendecakkan lidah, tertawa kecil. "Tentu saja tidak, mengingat aku sudah tergila-gila pada orang lain."Nath menggeleng pelan, dan pura-pura berdecak kesal. "Yeah, nggak heran. Gadis seusiamu memang rawan gila oleh cinta, dear."
Cheryl menghela napas panjang sebelum mengangkat ponselnya. Tangannya sedikit gemetar, entah karena lelah atau perasaan yang masih bercampur aduk setelah pertemuannya dengan Axel. Ia menekan nomor pos satpam dan menempelkan ponsel ke telinganya."Ini Cheryl, tolong buka gerbangnya."Tak butuh waktu lama, suara dengungan halus terdengar, dan gerbang besi tinggi itu perlahan terbuka secara otomatis. Lampu-lampu di sepanjang jalan masuk menyala, menerangi jalur panjang menuju rumah utama.Seorang satpam mendekat dengan langkah cepat, mengenakan seragam rapi dengan emblem keamanan yang mencerminkan profesionalisme. Ia memberi salam dengan sopan. "Selamat malam, Nona Cheryl.” Cheryl mengangguk kecil. "Bang, tolong antar saya ke dalam," pintanya tanpa basa-basi. Jarak dari gerbang ke rumah utama cukup jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki, apalagi setelah hari yang melelahkan. Rasanya Cheryl tak punya cukup energi untuk itu.Satpam itu tidak bertanya lagi. Ia segera menuju pos kec
Cheryl terpejam sejenak, membiarkan tubuhnya yang masih lelah terbenam dalam dekapan hangat Bara. Napasnya masih sedikit tidak beraturan, efek dari badai gairah yang baru saja mereka lalui. Sementara itu Bara membiarkan jemarinya menggambar pola-pola tak beraturan di punggung telanjang istrinya, menikmati momen setelah gelombang panas yang baru saja reda.“Apa saja yang terjadi hari ini, Sayang? Harimu menyenangkan?” Bara berbisik, suaranya rendah, nyaris berbisik di atas rambut Cheryl.Cheryl bergumam pelan sebelum mengangkat wajahnya, menatap Bara yang masih bersandar santai di kepala ranjang. “Imel dipecat. Sofyan yang memecatnya.” Lalu, Cheryl bercerita sedikit soal tadi pagi.Bara terkekeh, suara beratnya terdengar begitu dalam di ruangan yang masih diselimuti kehangatan mereka.Cheryl mendengus, menyembunyikan senyum kecil di bahu telanjang pria itu. “Kenapa terdengar seperti itu hal yang lucu bagimu?”Bara mengangkat satu bahunya dengan santai. “Di sini memang harus steril dari
Bara menatap wajah Cheryl yang terlelap di pelukannya. Napas gadis itu teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan wajahnya terlihat damai dalam tidurnya. Jemarinya tergerak membelai rambut Cheryl, menyibakkannya ke belakang telinga. Memandang Cheryl, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya, sekaligus kegelisahan yang sulit ia kendalikan.Ia mencintai Cheryl. Tuhan, ia benar-benar mencintai gadis ini. Istrinya. Namun, dunia tidak boleh mengetahuinya. Setidaknya belum. Bara menghela napas panjang, pikirannya tiba-tiba kembali melayang pada percakapannya dengan sang kakek sore tadi."Milena sakit. Dia sedang dirawat di rumah sakit di Venesia. Cepat temui dia dan perbaiki hubungan kalian, Bara." Tuan Sigit berkata tegas.Bara menegang. Rahangnya mengeras. "Tapi, aku tidak mencintainya, Opa." Akhirnya… ia memberanikan diri menyuarakan isi hatinya.Tuan Sigit mengangkat alis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Cinta? Itu hanya soal perasaan.” Ia tersenyum kecil, tatapannya tetap dingin
Bara memeluk Cheryl erat-erat, seakan gadis itu bisa menghilang dari pelukannya kapan saja. Napasnya bergetar, dadanya terasa sesak oleh ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Selama ini, ia selalu menjadi pria yang tegar. Sejak kecil, ia diajarkan bahwa kelemahan adalah musuh. Air mata adalah kegagalan dalam mengendalikan diri, simbol kelemahan yang tidak boleh sembarang ia tunjukkan.Tapi malam ini…Saat ia menyadari betapa ia mencintai Cheryl. Saat ia sadar betapa rapuhnya kebahagiaan yang ia genggam. Saat ia sadar bahwa sewaktu-waktu Cheryl bisa lepas dari hidupnya—entah karena keadaan atau karena ia sendiri yang dipaksa memilih—sesuatu dalam dirinya terasa retak.Tanpa bisa dicegah, matanya memanas. Kelopak matanya bergetar, dan sebelum ia sempat menguatkan dirinya lagi, setetes air mata jatuh di rambut Cheryl.Sial.Bara mengepalkan rahangnya, menahan gemetar di dadanya. Tapi pertahanannya tetap saja runtuh. Air mata itu terus jatuh, membasahi rambut Cheryl, tetesan la
Cheryl melangkah memasuki gudang penyimpanan dengan penuh percaya diri. Gaun kerja berwarna navy dengan potongan anggun membalut tubuhnya, memberikan kesan profesional sekaligus berwibawa. Kainnya jatuh dengan sempurna, mengikuti lekuk tubuh tanpa berlebihan, sementara detail kancing emas kecil di pergelangan tangannya menambahkan sentuhan klasik. Sepatu hak tinggi berwarna senada menopang langkahnya yang mantap, dan rambut panjangnya yang tergerai lembut sesekali bergoyang saat ia bergerak, menambah kesan elegan tanpa usaha berlebihan.Gudang ini bukan sekadar tempat penyimpanan barang rumah tangga, tetapi juga pusat distribusi yang menentukan kelancaran operasional rumah besar ini. Cheryl memahami betul bahwa efisiensi dalam manajemen stok bisa berdampak pada kenyamanan semua penghuni. Ia memeriksa rak-rak dengan cermat, memperhatikan apakah ada pola dalam konsumsi barang yang bisa dioptimalkan.Di sudut ruangan, Mimi yang sedang mencatat sesuatu di clipboardnya, segera menoleh me
Cheryl dengan cekatan membantu Bara menata hidangan di atas meja. Tangannya beberapa kali bersinggungan dengan tangan pria itu. Menciptakan gelenyar-gelenyar khas yang merambati dadanya. Memicu kupu-kupu beterbangan di perutnya.Hidangan yang mereka siapkan tampak menggoda. Roti panggang dengan irisan alpukat yang lembut, telur rebus bertabur lada hitam, dan saus alpukat creamy yang dituangkan dengan elegan di atas piring porselen putih. Setiap detail mencerminkan ketelitian dan selera estetis Bara yang nyaris sempurna.Bara menarik kursi untuk Cheryl, gerakannya tenang namun mengandung dominasi halus yang membuat Cheryl tersentuh. Setelah Cheryl duduk, Bara mengambil tempat di seberangnya, matanya tetap mengunci wajah wanita itu seperti sedang menikmati pemandangan yang terlalu berharga untuk dilewatkan.Cheryl menatap piringnya dengan ragu, ujung jarinya menyentuh garpu tetapi tak langsung menggunakannya. “Duh, aku nggak tega merusak makanan yang estetik ini,” gumamnya, setengah be
“Cheryl, kurasa sudah cukup. Kembalilah bekerja. Terima kasih sudah menemaniku sarapan.”Nada suara Bara penuh wibawa. Bukan suara seorang suami yang berbicara pada istrinya, melainkan seorang pemimpin yang memberi instruksi kepada bawahannya. Formal. Tegas. Tak terbantahkan. Tatapannya dingin, lurus menembus Cheryl, seolah menegaskan batas yang tak boleh disentuh.Cheryl menarik napas pelan. Jantungnya berpacu lebih cepat saat matanya mencari sesuatu di wajah Bara. Namun yang ia temukan hanyalah dinding kokoh, tidak ada celah, tidak ada isyarat bahwa ia bisa menembusnya.Akhirnya, Cheryl berdiri. Namun saat melewati Bara, ia mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipi suaminya itu."Aku mencintaimu, Bara," bisiknya lirih, tapi cukup jelas untuk didengar.Sekilas, ia bisa merasakan betapa tegangnya Bara saat bibirnya menyentuh kulit pria itu. Lalu, tangan Bara terangkat untuk menyentuh dagunya. “Aku juga mencintaimu, Cheryl.” Mata mereka bertemu. Dan Cheryl menangkap senyum itu… senyu
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta