"Maksud kamu apa, Lian?" Bu Shafira tidak mengerti dengan apa yang di katakan sang anak. Tubuhnya terlalu lelah dengan banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan belum lagi persiapan pernikahan Alva juga menguras pikiran. Berlian tidak bermaksud untuk menyakiti hati ibunya. Tapi baginya Bu Safira terlalu berlebihan untuk mencemaskan Alva seperti yang sudah ia katakan sejak beberapa waktu lalu. Sepertinya sang ibu sama sekali tidak mendengarkan apa yang ia katakan. Dirinya paham jika ibunya selama ini mengurus Alva sejak ia kecil namun Alfa sudah dewasa dan bisa menentukan pilihannya. Lagi pula Cantika tengah hamil dan Alva pun harus bertanggung jawab karena itu anaknya dan tidak bisa dipungkiri jika itu pun adalah cucu kandung Pak Hardian. "Mama harus terima Cantika, aku tahu Mama seperti ini karena terlalu banyak pikiran terutama memikirkan Alva dan Cantika. biarkan saja mereka mengalir begitu saja, Cantika akan belajar menjadi istri yang baik juga Ibu buat anak-anaknya Alva.""Ma
Menjelang pernikahan Alva kesehatan bu Shafira masih sangat mengkhawatirkan. Tubuhnya semakin lemas saja, wajahnya pun sangat pucat."Ma, kita ke rumah sakit saja." Bu Shafira mengangguk, tubuhnya sudah tidak sangat bertenaga, iya merasakan lemas bahkan untuk duduk pun harus dibantu oleh Alva.Alva membantu ibunya untuk berjalan menuju mobil, anak lelaki itu dengan sigap selalu berada di sisi ibu sambungnya. Walaupun memang bukan bu Shafira yang melahirkannya, tetapi wanita itu sudah merawatnya. Hubungan mereka melebihi hubungan ibu kandung dan anaknya sendiri. Lelaki itu menyetir mobil dengan hati-hati, ia menuju rumah sakit terdekat.Sampai di sana, pihak satpam dan juga beberapa perawat dengan sigap membantunya dengan mengambilkan kursi roda dan membawa ibunya menuju ruang pemeriksaan.Ibunya tengah di tangani oleh dokter. Alva memilih untuk segera menghubungi ayahnya memberitahu keadaan ibunya. Alva terlihat begitu khawatir dengan keadaan bu Shafira."Bagaimana keadaan ibu saya, D
Selesai fiting baju, Alva mengantar Cantika pulang. "Al, berhenti di depan ya." Ada hal yang harus dirinya bicarakan dengan calon suaminya itu, ya sudah memikirkan matang-matang tentang apa yang akan dibicarakan sebelum terjadi kesalahpahaman lagi di antara mereka berdua. Bukankah pernikahan itu harus diawali dengan kejujuran, meskipun diantara keduanya tidak saling mencintai. Namun, ia ingin mengawali pernikahannya dengan sebuah kejujuran. Dirinya juga sudah tidak nyaman untuk menyimpan semuanya sendiri."Ada apa?" tanya Alva.Lelaki itu menoleh ke kiri dan ke kanan tidak ada penjual apapun, biasanya Cantika mengidam ingin menginginkan sesuatu lalu menyuruhnya untuk berhenti. Tetapi kali ini tidak ada apapun. Dirinya segala membelokkan motor ke arah sebuah bangku taman yang terlihat sedikit rindang."Ada yang ingin aku bicarakan," ujar Cantika.Keduanya segera turun dari motor. Cantika melangkah lebih dulu menuju kursi di bawah pohon rindang itu, lalu diikuti oleh Alva.Alva bingung
"Kamu pikir aku boneka yang sesuka hati kamu mainkan? Aku punya perasaan, kamu yang membawa aku dalam duniamu adalah kamu bukan aku yang mau. Kini saat aku sudah masuk seolah-olah dengan mudahnya kamu menendangku!" Alva mulai emosi hanya karena cantika baru tahu siapa dirinya gadis itu seolah-olah bukan orang yang pantas bersanding dengannya. Padahal kalau dipikir ayahnya juga memiliki harta banyak walau tidak sebanyak Pak Hardian ayahnya. Alva geram kenapa Cantika begitu plin-plan. Harusnya dari awal tak membawanya masuk ke permasalahan yang sama sekali tak di ketahuinya. Alva menarik napas dalam, ia lalu mengatakan apa yang memang harus ia katakan pada gadis itu."Semuanya sudah berjalan dengan keinginanmu, aku berada di sisimu sebagai pria yang bertanggung jawab atas kehamilan. Karena keinginanmu seperti itu orang memandangku rendah sebagai pria tidak baik yang menghamili anak orang, bahkan asal kamu tahu, betapa marahnya kedua orang tuaku."Cantika menunduk ia merasa benar-benar
"Selamat pagi," sapa Cinta yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. "Pagi cantik," ujar Jonathan dan Bu Santi. Cinta merenggut, lalu melirik sang kakek yang masih sibuk dengan sarapannya. "Apa Opa Ferdi enggak mau menjawab salam aku?" Cinta terus menatap Ferdinand.Pria berambut mulai memutih itu menghentikan aktivitas makannya lalu menatap Cinta yang merenggut menunggu jawabannya. Apa salahnya hanya menjawab, pikir Ferdinand. ia pun tak enak di pandang Jo dan istrinya. "Oh, selamat pagi Cinta." Ferdinand tersenyum lalu kembali menikmati makannya. Sesekali ia melihat ke arah Cinta yang tersenyum memandangnya. Anak itu pun ikut bergabung makan pagi, Berlian tak banyak komentar tentang apa yang di lakukan Cinta. ia pun tidak melarang karena mungkin dengan apa yang di lakukan sang anak bisa membuat putri kecilnya dekat dengan sang kakek. Terlihat masih sangat canggung, Ferdinand pun menunduk saat Cinta menatap balik dirinya. "Aku boleh di antar Opa Ferdi enggak, biasanya aku suka
"Kamu yakin Papa bilang begitu?" Arnold menaikkan satu alis saat mendapat telepon dari istrinya. Ya, Rara menceritakan tentang Ferdinand pada Arnold. Suaminya jelas kaget karena tidak menyangka jika sang ayah berubah sikapnya pada Cinta bahkan sampai mengantarnya ke sekolah. Arnold mendengar dengan tenang apa yang di katakan oleh istrinya. Kemudian tentang Jonathan yang pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama karena mendengarkan cerita dari Rara Ia pun menutup ponselnya.Jonathan menghampiri ia ingin tahu ada apa Rara menghubunginya. Arnol duduk dan menceritakan apa yang tengah dan ia dengar dari sang istri."Jadi, dia yang mau mengantar cinta?" Arnold kembali bertanya pada Jonathan."Jadi gini ceritanya." Jonathan bercerita panjang lebar tentang kejadian tadi pagi, perubahan sang ayah membuatnya sedikit cemas karena takut ayahnya sedang melakukan rencana lain. Namun, Berlian mencoba menangkan dirinya. Jangan mengambil kesimpulan karena mungkin dengan adanya Cinta, Pak Ferdinand
"Kalian suka sama es cream yang mana?" tanya Pak Ferdinand. Mereka sudah sampai di sebuah mall dan langsung menghampiri stand es cream. Pak Ferdinan menggandeng dua cucunya yang cantik-cantik. Bahkan beberapa orang memuji kecantikan duo cucu itu. "Kakeknya juga tampan, pasti mudanya ganteng. Pantas saja dia cucunya cantik, hmm bibit bobot yang oke," ujar salah satu pengunjung. Pak Ferdinand sedikit menguping pembicaraan mereka lalu tersenyum saat dirinya ikut dipuji ketika kecantikan dua cucunya mereka sanjung. Ia semakin senang mengajak kedua cucunya bermain.cinta bersama Mischa terlihat sangat akrab melihat kedua cucunya ia teringat Jonathan dan Arnold yang sama sekali tidak pernah bertengkar sejak kecil. Bahkan sampai dewasa anak-anak mereka pun terlihat sangat akur. "Misca mau rasa cokelat," ujar Misca menunjuk. "Cinta mau strawberry." Cinta pun ikut menunjuk tempat es cream. "Iya, kalian duduk saja. Opa yang pesan, oke," ujar Pak Ferdinand. Sang kakek pun gegas membeli es
Alva sangat cemas menunggu dokter keluar dari ruang IGD. Di dalam Cantika sedang berjuang karena sejak terjatuh dia pingsan dan belum sadarkan diri. Vera menyusul sang ibu ke rumah sakit karena tadi tak muat dalam mobil. Vera memperhatikan Alva yang mencemaskan saudara sepupunya. Jika diperhatikan pria itu tidak buruk juga malah ia baru menyadari jika calon suami Cantika itu tampan, kulitnya pun bersih dan putih. Vera memalingkan wajah saat Alva menatap kembali dirinya. Ia tak sudi jika Alva kegeeran saat dirinya menatapnya. Darah yang mengalir begitu deras membasahi kaki Cantika membuat Alva ketakutan terjadi sesuatu pada kandungan calon istrinya itu. "Bagaimana bisa kejadian seperti ini, apa yang sedang terjadi saat Cantika turun dari tangga seperti yang Tante ceritakan?" tanya Alva. Ya, memang Tante Reni mengatakan jika Cantika jatuh dari tangga, tapi bukan dirinya yang pertama kali menghampiri karena ia sedang di kamar dan tidur. Memang benar, apa yang di katakan oleh Reni. Na