Darell menegak air putih di meja kerjanya sepeninggal Juwita. Apa yang dikatakan sekretarisnya, lebih tepatnya sexcretary mengganggu pikirannya.
"Sial! Gara-gara masalah perjodohan itu aku jadi lupa pakai pengaman," runtuk Darell.
Terlihat ada sedikit ketakutan di wajahnya. Takut kebodohannya akan menghalangi kebebasannya. Apa kata keluarganya kalau Juwita sampai hamil anaknya.
"Eh, tapi aku kan baru sekali melakukannya tanpa pengaman, masa' iya bisa langsung jadi. Lagipula Juwita itu kan perempuan nggak bener, gak mungkin dia melakukan itu cuma sama aku," gumam Darell sambil melirik arloji rolex di tangan kirinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya dua setengah jam lagi perempuan yang akan dijodohkan dengannya akan datang.
"Hmm selamat datang Kirana, selamat menikmati kehidupanmu yang baru," gumamnya sambil tersenyum sinis.
Darell pun segera menghubungi cafe favoritnya dan melakukan reservasi. Selanjutnya ia menghubungi teman-teman dekatnya, Bastian dan juga Rio.
***
Getar ponsel di saku celana jeans membangunkan Kirana. Gadis itu menutup mulutnya yang menguap lalu mengambil ponselnya dan mendapati nama Budhe Iswari terutulis di sana.
"Assalamualaikum Budhe," jawabnya.
Melalui sambungan seluler, mereka pun berbasa-basi sejenak. Suara Budhe Iswari terdengar gembira mengetahui Kirana tak lama lagi akan datang.
Budhe Iswari pun berkata kalau Darelllah yang akan menjemputnya di stasiun nanti.
"Mmm maaf Budhe, saya sedikit lupa dengan wajah Mas Darell," tutur Kirana jujur.
Ibu Darell pun menjanjikan untuk mengirimkan foto putra pertamanya kepada Kirana setelah mengakhiri panggilan dengan calon menantunya.
Ting! Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam ponsel Kirana. Gadis bermata bulat itu pun memperhatikan foto yang dikirim oleh Ibunya Darell.
"Cukup tampan," batin Kirana memperhatikan sosok Darell yang gagah dalam balutan jas hitam dan dasi biru terang. Rambutnya disisir rapi dan diberi pomade. Hidungnya mancung, dan senyuman yang manis dari bibir tipisnya. Bola mata hazel dan alis tebal semakin memperindah penampilannya
Sejenak Kirana tersenyum melihat wajah pria yang dijodohkan dengannnya. Namun sejenak kemudian ia menunduk dan memperhatikan dirinya.
"Mas Darell ganteng banget, apa iya mau sama aku yang kayak gini," batinnya.
Kirana menghembuskan napas panjang dan melirik jam di tangannya, tiga puluh menit lagi ia akan tiba di tempat tujuan. Segera gadis itu menyimpan novel yang tergeletak di pangkuannya dan menyimpan ke dalam tas. Kemudian memperhatikan jendela sambil menunggu kereta tiba.
Pemandangan di luar jendela terlihat hampir sama, situasi perkotaan dengan mobil-mobil yang membentuk barisan. Rumah-runah semi permanen di sekitaran rel kereta api. Sungguh pemandangan yang kontras di Ibukota. Dimana berdiri gedung bertingkat yang megah, sementara di belakangnya rumah-rumah berdinding kayu yang sewaktu-waktu akan digusur karena tak berizin.
Kirana segera menurunkan barang bawaannya begitu kerete berhenti. Ia telah berada di stasiun pemberhentian terakhir yang memang menjadi tujuannya. Kirana menenteng sebuah tas besar berwarna cokelat serta dua buah kardus bekas mie instant yang diikat tali rafia. Satu kardus memang dibawanya dari rumah sebagai buah tangan dari Ayahnya, satu lagi pemberian dari warga kampung sebagai bekal Kirana.
Untung saja Kirana terbiasa untuk bekerja keras, jadi bawaan seperti ini tak membuatnya kewalahan. Tangan kirinya memegang kardus yang lebih berat sedang tangan kanannya membawa kardus dan tas tempatnya menyimpan pakaian. Sementara bekal kue bolu yang tersisa disimpan ke dalam tas ranselnya.
"Huft," Kirana meletakkan barang bawaannya di depan kursi ruang tunggu kedatangan penumpang. Dia segera menoleh ke kanan dan kiri sambil sesekali melirik ponselnya melihat foto Darell. Namun sosok yang dicarinya belum juga terlihat.
Kirana pun memutuskan untuk duduk dan menunggu kedatangan Darell sambil membaca novel dan menikmati sisa kue bolu pemberian Bu Hadi. Saking asyiknya, gadis berambut lurus itu pun tak menyadari kalau adzan maghrib sudah berkumandang.
"Yah, udah maghrib. Kira-kira kalau Mas Darell akubl tinggal sholat dulu gimana ya?" batin Kirana.
Ia tak keberatan untuk menunggu Darell namun khawatir kalau ditinggal, Darell akan kewalahan mencarinya. Sejenak gadis itu menimbang-nimbang akhirnya ia memutuskan untuk melakukan ibadah sholat maghrib dulu dan menitipkan bawang bawaannya di tempat penitipan stasiun. Gadis itu kemudian mengirim pesan singkat pada whatsapp Darell kalau ia akan melaksanakan sholat di mushola dulu agar pria itu tak khawatir.
Kirana kembali merapikan rambutnya kemudian mengusap wajahnya dengan bedak baby supaya terlihat lebih segar. Gadis itu pun segera mengambil bawaannya dan kembali ke ruang tunggu, namun Darell tak juga muncul. Pesan yang dikirimkan ke ponsel Darell pun belum juga dibaca oleh pria yang kelak akan menjadi suaminya itu.
"Koq Mas Darell belum juga datang ya," keluh Kirana dalam hati.
"Mungkin masih di jalan kali ya, atau masih ada kesibukan lain," pikirnya lagi.
Kirana pun memutuskan untuk menunggu tiga puluh menit lagi sambil memainkan game dalam ponselnya. Namun lagi-lagi Darell tak kunjung datang.
***
Di sebuah cafe tak jauh dari stasiun tiga orang pemuda tengah berkumpul sambil tertawa. Lebih tepatnya hanya dua orang yang tertawa sedangkan satu lagi orang lagi terlihat mengerucutkan bibirnya.
"Puas loe berdua?" tanya pria bermata hazel pada kedua temannya.
"Puas banget," jawab kedua temannya bebarengan.
"Kalian nih ya temen lagi susah bukannya bantuin malah ngetawain," keluh pria berwajah blasteran itu sambil mengacak-acak rambutnya yang berpomade.
"Susah macam mana Rell, loe kan mau dikawinin eh dinikahin koq bilang susah," lanjut kawannya yang berkepala nyaris plontos, Bastian.
"Gimana bisa seneng, gue beneran gak siap buat nikah. Mending kalo calonnya cakep lha ini," protes Darell.
"Emang kenapa?" tanya temannya yabg berkacamata, Rio.
Darell pun mengambil ponselnya lalu menyodorkannya pada kedua temannya. Dia menunjukkan foto yang baru saja dikirim oleh Ibunya. Seorang perempuan berambut lurus dengan mata bulat dan bibir merah alami. Wajahnya terlihat kusam dan berminyak, memakai kaos longgar bergambar kartun disney.
"Loe ngapain nyimpen foto pembokat (asisten rumah tangga) loe Rell?" ledek Rio setelah melihat foto yang disodorkan oleh Darell.
"Itu cewek yang mau dijodohin ama gue," keluh Darell.
Bastian dan Rio tertawa lagi, kemudian saling pandang.
"Gini ya Rell, bukannya gue bermaksud menghina, tapi menurut gue ni cewek bukan type loe banget. Kliatan kampungan banget, bener deh," jelas Bastian.
"Iya loe lihat aja wajahnya yang kliatan dekil, Bokap loe kenapa sih milih itu anak? Dia tajir banget? Anak pengusaha mana atau mungkin anak pejabat?" tanya Rio yang tak mengerti dengan selera Ayah Darell.
"Bokapnya (Bapak) petani, punya penggilingan padi. Meskipun sawah dan kebunnya berhektar-hektar tapi ya begitulah,-" Darell tak sanggup menjelaskan kalimatnya, namun ia tahu kalau teman-temannya mengerti apa maksudnya.
"Ya kalau cuma jual hasil sawah dan kebun gak bisa nyaingi kekayaan keluarga loe Rell " sahut Bastian.
"Ya biarpun gak terlalu kaya seenggaknya enak dilihat lah, bersih, modis gitu. Jangan nunjukin kalo dari kampung gitu maksud gue " timpal Rio.
"Ya maksud gue juga itu. Loe boleh dari kampung asal jangan kampunganlah," jelas Darell. Ia pun menceritakan pengalamannya saat bertemu Kirana beberapa tahun lalu pada kedua temannya. Mereka pun sama herannya dengan Darell.
"Ya ampun sampe segitunya ya Rell," keluh Bastian.
"Iya, parah banget kan dia. Emang menurut loe sikap gue berlebihan ya?" tanya Darell meminta dukungan pada kedua temannya.
"Nggak lah, maksud loe kan kasih support dia. Siapa sih yang gak sedih ditinggal orang tua selamanya. Koq bisa dia mikir loe mau memperkosa dia, kaya' loe nafsu aja ama dia," timpal Rio.
"Itu dia, nggak banget kan?
"Terus rencana loe gimana?" tanya Rio lagi.
"Gue bikin dia gak betah aja biar dia yang nolak dijodohin sama gue. Percuma juga gue mohon-mohon ke Daddy, pasti bakal gak diturutin," papar Darell.
"Hmm kayaknya ide loe pas banget tuh Rell. Gue tahu banget gimana bokap loe, kalau udah ngomong A ya pasti A, gal bakal bisa loe bantah. Tapi kalau tuh cewek yang nolak gak mungkin kan bokap loe maksa dia," komentar Bastian.
"Iya itu maksud gue. Kalo Kirana gak mau, Bokap gue gak bakal bis Maksain tuh anak."
"Terus, loe bakal apain dia?" tanya Bastian penasaran, sementara Rio sibuk cuci mata, mencari perempuan yang bisa didekatinya.
"Gue bikin dia nyesel kenal sama gue. Ini aja gue harusnya jemput dia di stasiun, tapi gue biarin aja dia nunggu."
"Sadis loe Rell. Anak orang tuh, kalau dia ilang gimana?" seru Bastian.
"Yaela, mau ilang kemana. Penculik juga eneg liat mukanya. Lagian udah gede juga, masa' iya gak bisa mikir kudu gimana kalau gue gak jemput-jemput."
"Emang jam berapa jadwalnya dia datang?" Bastian kembali bertanya.
"Jam setengah lima sore, " jawab Darell enteng.
"Gila loe ya Rell, anak temen bokap loe itu," balas Bastian.
"Loe mau sama dia, koq keliatannya kuatir banget Bas," ledek Darell.
"Bukannya gitu, tapi kalau bokap loe tahu loe nelantarin tu cewek, apa yang bakal bokap loe lakuin?" tanya Bastian.
"Bener juga loe ya, koq gue gak mikir ke sana ya. Ya udah deh gue cabut dulu, moga tuh anak masih nungguin gue," pamit Darell meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja kopi.
"Hey, Iswari kenapa mengintip jendela terus menerus?" tanya James Maxwell suaminya.Sedari tadi Ibu Darell tak henti-henti memandang keluar jendela ruang tamu. Walaupun sejauh pandangan matanya hanya terlihat halaman rumahnya saja."I am waiting for her, Honey," jawab Ibu Darell."Who? Kirana?""Ya, seharusnya dia sudah di sini sekarang," jawab Ibu Darell yang terlihat khawatir."Mungkin Darell mengajaknya mampir ke restoran atau ke kantornya dulu, tak perlu berlebihan seperti itu!"Ibu Darell mengerutkan dahinya. Ia tak setuju dengan pendapat suaminya. Sejak semalam Darell berusaha menolak mentah-mentah perjodohannya, dan putranya terlihat enggan untuk bertemu dengan Kirana."Sepertinya tidak mungkin Darell mengajaknya pegi. Sejak tadi wajahnya mengisyaratkan keterpaksaan saat diminta menjemput Kirana di stasiun.""Mungkin dia berubah pikiran karen
[Sekarang juga ke rumah Dad!]Begitu pesan yang baru muncul pada ponsel Darell bersamaan dengan pesan yang baru diterimanya dari Kirana. Tanpa menunggu lama Darell segera mengarahkan kemudinya ke arah rumah orang tuanya."Huh memyebalkan, pasti perempuan kampung itu yang ngadu macam-macam," gerutu Darell sambil memegang kemudi.Jika dia mendapatkan perintah dari Sang Ayah sudah pasti harus dilaksanakan. Ayahnya memang terkenal tegas, apapun perintahnya harus dilakukan segera, namun beliau orang yang penyayang."Ngeselin banget itu anak," omelnya lagi.Darell menambah kecepatan mobilnya dan memilih melewati jalan tol untuk mempersingkat waktu. Sambil terus-terusan mengomel sendiri sepanjang perjalanan. ***Kirana mengenakan kaos bergambar kartun yang sebagian gamb
"Dad tidak bisa melakukan ini padaku!" protes Darell tak bisa menerima keputusan Ayahnya."Kenapa tidak? Bukankah semua aset masih atas namaku?""Ini tak adil, selama ini aku yang bekerja keras untuk perusahaan sementara Audrey yang sibuk dengan dunianya akan mendapatkan semuanya.""Dad tak mengatakan akan memberikan semua pada Audrey."Wajar jika Darell merasa cemburu oleh adik perempuannya. Audrey sama sekali enggan melibatkan diri dengan perusahaan Maxwell. Gadis itu justru lebih suka berkutat dengan dunia animasinya.Perusahaan Maxwell pernah mengalami penurunan angka yang signifikan, namun berkat inovasi yang dilakukan Darell, perlahan-lahan angkanya mulai naik. Darell tak yakin jika Maxwell group akan stabil jika ditangani oleh Audrey yang masih labil dan bersikap seolah tak menikirkan masa depan."Lalu?" tanya Darell penasaran."Kau akan mengetahuinya n
Seperti biasa, hidangan beraneka ragam tersaji di meja saat sarapan. Aneka roti dan pelengkapnya serta nasi dan kawan-kawannya. Untuk pagi hari, aneka sajian memang sudah tersedia di meja, tidak menunggu permintaan baru dibuatkan seperti saat siang dan malam.Yang membedakan adalah, hari ini ada pemandangan yang sedikit berbeda. Iswari menata meja dengan ditemani seorang perempuan dan bukan pelayan di rumah mewah itu.Meski ada pelayan, Iswari selalu ikut serta menata meja menyiapkan keperluan suaminya. Darell terlihat tak semangat pagi ini, terlebih saat Ibunya menyenggol gadis yang menemaninya. Dengan patuh gadis itu pun mendekat ke arah Darell."Mas mau sarapan apa?" tanya Kirana yang sudah berada di samping Darell.Darell hanya memandangnya sinis, tak menjawab dan memilih untuk duduk."Kirana, Darell biasa minum kopi hitam saat sarapan, kamu buatin sana!" perintah Ibunya,
"Solusi?" tanya Darell mengeryitkan dahi."Ya, tiba-tiba saja aku kepikiran suatu ide.""Apa idemu?" tanya Darell tak sabar."Loe kudu nikah Rell.""Sialan loe, gue kira apaan. Sama aja kayak ide kemauan bokap gue. Enggak ah gue nggak bakal mau nikah sama cewek macam dia."Bastian tertawa melihat sahabatnya yang terkenal playboy itu. Ini pertama kalinya Bastian melihat Darell dipusingkan oleh seorang perempuan. Biasanya sahabatnya punya sejuta cara untuk menolak perempuan yang mengejar-ngejarnya."Tenang dulu Bro, gue kan belum kelar ngomongnya.""Apalagi kalau bukan nikah dengan Kirana. Loe tega ngeliat gue sengsara seumur hidup.""Yaela nggak gitu juga kali Rell, atau jangan-jangan loe beneran ngebet mau nikah sama dia."Darell meletakkan kotak rokoknya dengan kasar ke atas meja. Ia sungguh tak setuju dengan pernyataan Bastian.
"Kenapa Darell?" tanya gadis itu sambil memainkan rambut panjangnya."Nggak ... nggak ada apa-apa kok," jawab Darell menutupi keterkejutannya.Perempuan yang menegurnya adalah Jenny, gadis yang pernah dikencaninya beberapa hari saat mengunjungi kerabat Ayahnya di Sydney dua tahun lalu. Saat itu Jenny masih menjadi mahasiswa di sana."Kok sepertinya kamu kaget.""Iya kaget banget donk, kamu tinggal di sini?""Iya aku sudah hampir satu tahun tinggal di sini, dan hanya ini yang tersisa," jawabnya sedikit lirih."Kok aku nggak pernah lihat kamu, apa karena tempatku cuma aku jadikan tujuan istirahat saja ya.""Bisa jadi, aku pun juga bekerja sekarang.""Oh kamu kerja, sudah lulus ya berarti."Gadis itu tak menjawab pertanyaan Darell, sejenak ia menunduk, jelas terlihat perubahan pada raut wajah Jenny. Dia yang tadinya senang melihat Dare
Dengan manja Jenny mengalungkan kedua lengannya di leher Darell. Membiarkan laki-laki itu menyentuh lembut pahanya yang terbuka."Membuatku nyaman? Maksudmu?" tanya perempuan berambut panjang itu tak mengerti.Jemari Darell menyentuh dagu perempuan dalam pangkuannya."Aku punya penawaran untuknya, Sayang.""Penawaran apa?""Menikah denganku," jawab Darell santai seolah tanpa beban.Jenny yang terkejut dengan perkataan Darell pun langsung berdiri."Kamu nggak lagi mabuk kan Rell?" tanya Jenny."Apa kamu mencium aroma alkohol dari napasku?"Jenny merasa ada yang aneh dari ucapan Darell. Meski ia sempat mencoba menghubungi Darell saat hubungan mereka berakhir, namun sebenarnya ia sadar kalau laki-laki ini tidak bisa berkomitmen dengan perempuan.Ajakan menikah dari Darell terasa begitu tiba-tiba
Kirana menatap ke arah Audrey yang menjauh ke lantai dua bersama dua orang temannya. Sejenak mereka berdua beradu pandang dan Audrey mengangguk padanya. Kemudian kembali pada dua temannya dan tertawa lagi.Kirana hanya mengangkat bahu melihat tingkah Audrey. Sejenak gadis kampung ini melihat bayangannya yang terpantul pada ornamen mesin kopi, kemudian menggelengkan kepala."Apa salahku ya, hingga menjadinbahan tertawaan?" tanya Kirana dalam hati.Kirana pun memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan masalah barusan. Ia sangat yakin kalau tidak melakukan kesalahan apapun. Gadis kampung ini pun akhirnya menuju gazebo sambil membawa tiga cangkir teh.***"Makasih Ki," sahut Dad sambil menyeruput teh buatan Kirana."Sama-sama Dad," jawab Kirana lembut."Gimana kesanmu setelah bertemu dengan Darell Ki?" tanya Mom serius.Kirana menunduk lesu. Sejujutnya
Lima minggu telah berlalu semenjak insiden pesta itu. Meski saat itu sempat heboh, tapi tak ada yang membahasnya di sosial media ataupun media lainnya.Darell berterima kasih pada Stefan Gunawan, tuan rumah pesta. Ia mengultimatum akan memperkarakan siapapun yang mempublikasikan insiden di pestanya pada publik, meskipun melalui sosial media.Biar saja sampai hari ini gadis bergaun hijau dan laki-laki yang bersamanya tetap menjadi misteri. Yang ada dalam pikirannya sekarang, ia bersiap-siap memberi kejutan untuk Kirana.Darell sudah berjanji untuk mengajaknya pergi melihat menara Eifell, sebagai bentuk perayaan perceraiannya dengan Jenny. Darell yang mengerti kalau sejak dulu Kirana mendambakan pergi ke Paris."Kita berangkat sekarang?" tanyanya pada Kirana yang baru saja keluar dari kamar tidurnya.Mereka menyewa hotel di sekitar menara eifell. Menyewa suite room dengan dua kamar tidur.
Seorang wanita bergaun hijau dengan lengan tali dan punggung yang terbuka tengah berdansa dengan apik. Kulitnya yang halus dan langsat serta tubuh yang cenderung mungil membuat kaum adam penasaran siapa yang berada di balik topeng.Sayang tak seorang pun dari mereka berhasil untuk mendekatinya. Seorang pria gagah dengan setelan resmi tak henti beranjak dari sisinya. Pria itu juga tak segan-segan untuk merangkul pinggangnya yang ramping bagai biola.Kehadirannya ternyata tak hanya mencuri perhatian kaum Adam, tapi juga Hawa. Para wanita banyak yang mengaguminya tapi ada pula yang mencibirnya. Mungkin mereka iri karena tak bisa menjadi primadona pesta."Siapa dia?" tanya Stefan Gunawan si Tuan rumah pada asistennya yang berdiri di sampingnya.Asistennya hanya mengangkat bahu karena tidak tahu. Namun sebagai asisten yang setia, ia pun menawarkan diri untuk mencari tahu, siapa wanita misterius itu.Asisten Stefan
Kini Kirana pun mendekat ke arah Jenny dan menyalaminya."Selamat ya, kulihat hidupmu sudah lebih banyak berubah sekarang," kata Kirana.Jenny tak bisa membalas ucapan Kirana. Ia justru memeluk gadis itu erat dan mulai berkaca-kaca."Ini semua karena Mbak memberi kesempatan saya untuk jadi lebih baik. Mbak percaya kalau saya mampu. Terima kasih ya Mbak. Maafkan saya jika selama ini selalu menyakiti Mbak.""Yang sudah berlalu lupakan saja, sekarang yang penting hidupmu lebih baik.""Ya Mbak. Aku mengikuti saran Mbak, apartemen kusewakan dan kugunakan uangku untuk membeli pakaian sisa impor dan menjualnya secara daring.""Itu bagus sekali. Semoga kamu berhasil."Tiba-tiba saja Kirana melirik Darell dan terpikirkan sesuatu yang jahil. Ingin sekali mengetahui sampai dimana Darell bisa bertanggung jawab sebagai seorang pria."Hmm bicara soal pakaian, aku membutuhkan b
Darell tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya sangat pening, ia sungguh menyesal pernah terlibat dengan perempuan iblis di depannya.Juwita terus saja terisak, tak peduli lagi seperti apa bentuk riasannya saat ini. Rembesan air menghias di pipinya dan berwarna hitam, maskaranya luntur. Dia sungguh berharap belas kasihan dari Darell.Kemudian ia menangkupkan tangan di depan dada dan menatap Kirana. Berharap calon istri Bos nya dapat memaafkannya."Bu Kirana," katanya lirih."Pak James Maxwell menyerahkan semua keputusan pada Pak Darell, jangan minta padaku," jawab Kirana acuh."Pak Darell, kumohon!" pintanya, sayang Darell bergeming dan malah mengajukan pertanyaan yang lain."Apa kamu juga yang meletakkan darah ayam pada kamar mandi apartemenku?" tanya Darell menatapnya tajam.Juwita pun mengangguk, ia meminta tolong pada petugas kebersihan apartemen dan melakukannya. Juwita pun membaya
Wajah pucat Juwita mulai dipenuhi keringat. Wanita yang tadi menantang Darell pun tak lagi berani mendongakkan wajah. Cuma bisa memilin-milin kedua tangan yang ada di pangkuan."Kenapa Juwita, apakah aku salah bicara?" tanya Kirana mulai menantang.Namun Juwita bergeming, tak sepatah kata pun keluar dari bibir merahnya. Kemudian mencoba untuk menutup mulutnya dan bersiap-siap muntah. Sayangnya Darell mengerti kalau ini sandiwara."Nih, biar nggak muntah!" kata Darell menyodorkan secangkir air soda padanya.Cepat-cepat Juwita menegaknya tanpa memperhatikan air apa yang diberikan Darell. Bahkan tak ada perubahan ekspresi saat ia meminumnya.Darell melirik Kirana yang duduk di lengan kursi kanannya. Mereka pun saling mengangguk saat beradu pandang. Sama-sama mengerti dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya."Bagaimana sekarang Juwita?" tanya Darell menyelidik."Sudah lega
Seketika pekik tawa tercipta oleh Juwita. Gadis itu mendongakkan kepala dan menantang Darell. Bibir penuh hasil rombakannya sedikit dimajukan, mencoba mencibir."Hmm, jadi Anda tidak mau mengakuinya Pak Darell? Atau Anda ingin seluruh Indonesia tahu seberapa bejat perbuatan Anda?" tantang Juwita mencoba untuk memutar balikkan fakta."Satu lagi Pak, aku masih menyimpan pakaian yang kukenakan saat pertama kali kita melakukannya. Jika Anda ngotot melakukan test DNA, maka itu akan mempermalukan diri Anda sendiri."Darell tampak sedikit memundurkan kursinya. Raut wajah yang tadinya garang perlahan mengendur. Melihat ini, Juwita pun semakin menjadi."Bapak kan tinggal nikahin saya, kalau Bapak nggak mau terus sama saya kan begitu anak ini lahir kita cerai kan beres. Anak ini bisa lahir dengan status yang jelas," tambah Juwita membuat kedua alis Darell semakin terangkat dan mata yang melebar. Ia semakit terkejut dengan permintaan Ju
Sebuah undangan tergeletak di atas meja kerja Kirana. Undangan pesta topeng yang akan datang seminggu lagi. Undangan yang datang dari seoarang pengusaha muda Stefan Gunawan.Pelan-pelan ia mengamati undangan itu sambil membolak-balik. Jika ia datang, ia tak tahu bagaimana harus berada di pesta. Apalagi jika harus berdansa, rasanya susah baginya. Namun jika menolak, sepertinya tak sopan."Huh gimana ini," pikirnya sekejap kemudian meletakkan undangan itu kembali di atas meja dan menekuni pekerjaannya.Tok! Tok!"Masuk!"Pria bertubuh tegap itu pun mengintip kemudian melangkah ke arah mejanya."Ada apa, Mas," sapa Kirana."Hmm," jawabnya kemudian menyeret kursi dan duduk di depan Kirana. Sekilas, ia melirik ke arah undangan di meja Kirana dan mengambilnya."Kamu juga dapat undangan ini?" tanya Darell."Iya, Mas.""Ya sudah kalau gitunkamu datanh
Ini adalah malam terakhir bagi Darell berada di kampung Kirana. Kondisi Oom Ridwan juga sudah sangat membaik. Tekanan darahnya pun sudah mulai stabil.Esok pagi mereka akan kembali ke ibukota dan bersiap menghadapi kehidupan nyata. Masalah keuangan kantor yang menunggu untuk segera diselesaikan.Baru saja Dad mengabari kalau sudah ada titik terang. Kini tinggal selangkah lagi untuk bisa menyingkirkan para parasit itu.Perlahan pria itu pun terpejam dalam kamar tamu. Mempersiapkan hari esok yang telah menunggu gebrakannya. ***"Terima kasih ya kalian sudah datang kemari," kata Oom Ridwan begitu melepas kepergian Kirana dan Darell pagi itu."Sama-sama Oom, yang penting sekarang Oom lebih diatur lagi makannya. Jangan terlalu diforsir untuk beraktivitas," tegas Darell.Darell kembali memperhatikan ka
Selama beberapa detik, Darell merenungi apa yang diucapkan oleh Kirana. Kemudian ia membenarkan perkataan gadis itu, meski cuma dalam hati.Diraihnya lengan Kirana yang hendak mengikuti Bayu ke warung bakso."Ya sudah, Mas mau, tapi kita makan di rumah aja ya," pintanya sambil melirik ke arah warung tenda.Darell berbeda sekali dengan adiknya Audrey yang dengan santai makan di sembarang tempat. Asal menu yang disajikan cocok dengan lidahnya."Ya udah kalo gitu," jawab Kirana memimpin jalan untuk memesan makanan. Tak lupa membawa untuk Sekar dan keluarganya juga. ***"Aseeek bakso!" teriak keponakan Kirana saat mendapatkan oleh-oleh darinya.Gadis berkulit langsat itu segera mengambil mangkok dan memberikan pada Bayu dan Darell. Membuka plastik dan melayani calon suaminya.