"Telepon dari siapa Ki?" tanya Darell begitu gadisnya mengakhiri panggilan.
Pria cassanova ini sedikit khawatir dan mungkin juga cemburu. Takut kalau Louis yang kembali menelepon Kirana dan mencoba mencuri gadisnya.
Darell pun mendongak dan memperhatikan wajah Kirana yang memerah. Gadis itu mulai berkaca-kaca dan saat itulah kekhawatirannya berubah.
Putra sulung Maxwell ini segera bergeser tempat duduk. Berpindah dari seberang ke samping Kirana. Merangkul dan mengusap pundak gadisnya lembut.
"Ki, kamu kenapa? Kenapa menangis?" tanya Darell khawatir.
"Ada yang menyakitimu?" tanyanya lagi.
Kirana menggeleng lemah, kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Darell tanpa sadar. Darell yang tengah dirundung kecemasan pun merapatkan tubuhny
Seorang pria berwajah licin mengetuk pintu sebuah kamar kos. Kemudian dari dalam, nampak seorang perempuan tengah mengintip dari balik jendela."Ada apa Pak?" tanya si pemilik kamar dengan tubuh diantara pintu dan kusen.Perempuan itu berbicara dengan nada yang lembut dan tak berani menatap tamunya lama-lama. Memilih untuk menunduk menjadi hal bijak baginya saat ini."Kamu sudah tidak usah khawatir tentang Aldo dan videomu lagi," kata pria berwajah licin itu.Wajah gadis yang menunduk itu perlahan terangkat dan menatap laki-laki di hadapannya dengan sumringah. Senyum yang biasanya manis mulai dimunculkan kembali."Benarkah itu, Pak?""Iya, kamu nggak usah khawatir, semua sudah teratasi dengan baik. Kamu sudah bisa memulai aktivitasmu seperti biasa."Masih tak percaya, ia pun keluar dan menutup pintu. Mempersi
Jenny kembali membatin. Tertegun dengan pengakuan Pak Mahendra. Merasa bersyukur karena ia bukan saru-satunya orang dengan masa lalu yang buruk."Maaf," katanya."Maaf untuk apa Mbak?""Saya ikut prihatin dengan cerita Bapak.""Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Mungkin juga saya terlalu hanyut dalam masalah saya. Kedua orang tua yang meninggal dalam waktu berdekatan. Kemudian masalah kakakku yang jadi korban KDRT suaminya, semua benar-benar membuatku kacau saat itu.""Maaf ya Pak. Lalu bagaimana dengan Kakak Pak Mahendra?"Pria berkaos biru itu kembali menyalakan rokoknya. Guratan sedih pun terpancar di wajahnya."Nasibnya pun tak baik. Tak lama setelah aku keluar dari penjara, ia menghembuskan napas terakhir karena tak bisa lagi bertahan dengan kanker servick."Jenny menghembuskan napas panjang, dan memandang sosok Ma
Dengan udara yang segar dan jauh dari hiruk pikuk ibukota, Kirana terbangun dan memandang ke luar jendela. Hamparan kebun yang hijau di luar sana sungguh terasa menyejukkan. Gadis ini pun merenggangkan otot-ototnya setelah semalaman berada dalam mobil travel sungguh melelahkan.Yang diingatnya, saat membuka mata selama perjalanan kepalanya bersandar di pundak Darell. Entah berapa lama ia tertidur di sana.Gadis itu pun segera keluar kamar dan bersiap untuk mandi. Merasakan kembali segarnya mata air pegunungan yang membasahi kulitnya. Sekilas ia melirik kamar tamu yang ditempati Darell, masih tertutup."Mungkin Mas Darell kecapekan," pikirnya kemudian berlanjut ke kamar mandi.Seperti hari-hari biasanya, Kirana membantu mbak Fika untuk menyiapkan sarapan."Mbak, kok nggak ngasih tahu saya sih kalau Bapak sakit?" protes Kirana pada kakak iparnya.
Dengan mengendarai mobil sedannya, seorang wanita berhenti di rumah Keluarga Darell. Setelah seharian ia tak melihat kedatangan Darell dan Kirana di kantor.Wanita ini sudah cukup sering datang ke rumah berarsitektur Jawa ini. Pekerjaannya sebagai seorang sekretaris menuntutnya untuk sering mengantar dokumen saat Darell atau Ayahnya berhalangan.Penjanga rumah yang sudah familiar dengannya pun membiarkan dirinya masuk dan bersikap ramah."Silakan Bu," jawab Pak Muji mempersilakannya masuk.Wanita itu pun tersenyum kemudian membawa mobilnya masuk dan melangkah ke ruang duduk. Menunggu kedatangan Tuan Maxwell sambil membayangkan dirinya berada dalam rumah itu."Hmm, sepertinya menyenangkan sekali ya kalau bisa tinggal di rumah ini?" pikirnya.Semua sudah dipers
Kirana meraih tangan Darell dengan lembut dan mengusapnya setelah ia menyimpan ponsel ke dalam saku. Pemuda di hadapannya menatap wajah Kirana dengan teduh dan penuh pengharapan."Bagaimana kata Dad?" tanya Darell dengan rasa penasaran."Mas tenang ya, Dad akan memaksanya untuk melakukan tes DNA pada Juwita begitu kita pulang dari sini," kata Kirana menyejukkan."Benarkah itu?""Ya, kita bisa melakukannya nanti kalau Mas mau.Darell menggeleng cepat dan mempererat genggaman tangannya pada Kirana. Menatap wanita anggun di hadapannya dengan lembut."Nanti saja Ki,""Nanti? Memangnya Mas betah di sini?"Darell mengangguk. Walaupun keadaan di rumah Kirana jauh berbeda di tempat tinggalnya, tapi ia tetap berusaha untuk betah. Meski taknada shower ataupun air panas, juga kebiasaan makan singkong kukus sebelum makan nasi di pa
"Iya aku ke sini dua hari lalu," kata Kirana menanggapi pemuda itu dengan riang. Kemudian mempersilakannya untuk duduk di kursi tepat di samping Kirana.Tentu saja pemandangan ini tak mengenakkan di kedua mata Darell. Bagaimanapun juga Kirana adalah miliknya, itu yang ada dalam pikiran pria blasteran ini."Oh, kok kamu nggak bilang mau datang. Aku aja denger dari Mas Aria. Kalau tahu kan nanti akan aku jemput," katanya tanpa mengindahkan Darell."Sial! Apa-apaan sih, sampai nawarin diri jemput bidadari gue," runtuk Darell dalam hati.Darell yang sudah terbakar emosi karena cemburu pun segera mengambil tindakan. Ia akan melibatkan diri dalam percapakan mereka."Nggak perlu repot-repot jemput, kemarin Kirana naik mobil travel dan turun di depan rumah kok. Kami juga naik travel Amar Luxury Trans," kata Darell sengaja memberi penekanan akan petusahaan travel yan
Kirana dan Darell menyalami Pak Ridwan diikuti oleh Bayu. Kemudian masuk ke dalam dan mengambil pakaian ganti dan kunci motor.Darell pun mulai mengikuti Kirana yang hendak mengeluarkan motor dari ruangan di samping rumah. Ia tampak heran saat melihat Kirana memanasi motor dalam ruangan itu. Bukan motor matic yang biasa akrab dengan wanita yang ia lihat, tapi sebuah motor tangki keluaran akhir tahun 90an, RX-King."Kita akan naik ini?" tanyanya heran."Iya Mas, ini motor Bapak, tapi kesayanganku."Telapak tangan Darell terangkat, tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mencoba mencerna kalimat Kirana barusan, 'motor kesayanganku'. Terdengar sungguh aneh di telinganya, apa mungkin Kirana bisa mengendarainya."Nggak mungkin rasanya perempuan seperti ini bawa motor bsgini," batinnya.Di mata Darell Kirana adalah seorang perempuan lembut yang santun. Priba
"Mbak Kirana datang!" seru seorang wanita saat melihat Kirana turun dari motor.Kirana melemparkan senyum kemudian ke arah mereka sambil diikuti Darell. Kali ini mereka adalah meninjau produk yang diproduksi.Sambutan pekerja yang rata-rata warga desa begitu antusias. Mereka seperti rindu akan sosok Kirana. Bahkan Darell sampai harus memberikan ruang pada mereka untuk berdekatan dengan Kirana."Kirana sangat berjasa bagi mereka, Mas," kata Bayu yang memang sudah lama membantu menjalankan usaha mereka."O ya?""Dia sengaja mempekerjakan warga sekitar untuk menambah perekonomian warga. Membeli hasil buah dengan harga layak," Bayu mencoba menjelaskan dan Darell hanya manggut-manggut semakin kagum atas kelihaian sang calon istri."Kirana dan keluarganya memang rendah hati, Mas. Meski anak orang paling terpandang di kampung, tapi tidak pernah sombong."Darell kemudian berbincang-bincang de