"Ki, kamu mau ngapain?" tanya Darell mendekat. Sejenak menunda keinginannya untuk berenang.
"Lagi mau bikin juice mas. Kenapa?" kata Kirana sambil mencuci strawberry.
"Bikinin buat aku sekalian donk!" pinta Darell dijawab dengan anggukan Kirana.
"Mau juice apa?" tanya Kirana sambil menoleh ke arah Darell yang berdiri tepat di belakang Kirana.
Mereka berdua terlihat begitu serasi. Tubuh Darell yang tinggi dan tegap sangat cocok dengan Kirana yang sedikit mungil.
Bulu kuduk Kirana serasa berdiri saat merasakan hembusan napas Darell di sana. Jantungnya pun mulai berdebar lebih kencang.
"Iya Mas, nanti saya antar ke kolam renang ya," jawab Kirana sedikit gugup.
"Ok, kamu nggak mau berenang juga?"
"Nggak Mas."
Berdua mereka semoat beradu pandang. Saling menatap
Lamborghini Huracan itu membelah jalanan ibukota. Kali ini tujuannya bukanlah ke kantor melainkan toko bangunan.Dua sejoli ini berniat menyelidiki harga bahan bangunan. Kali ini mereka memainkan peran sebagai suami istri yang berniat untuk membangun rumah.Dengan melingkarkan tangan pada siku Darell, Kirana pun memasuki sebuah toko besar yang ada di Ibukota. Toko bangunan terlengkap yang juga menyediakan aneka produk keramik dan porselen.Seorang penjaga toko nampak mendekat ke arah mereka berdua."Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas."Mmm ya, begini kami bermaksud untuk membangun rumah, dan bermaksud melihat-lihat keramik dan juga granit untuk rumah kami," kata Darell."Sayang, nanti kita pilih warna-warna yang cocok dengan warna pastel ya," kata Kirana merajuk, mencoba mendalami perannya sebagai seorang istri.
"Telepon dari siapa Ki?" tanya Darell begitu gadisnya mengakhiri panggilan.Pria cassanova ini sedikit khawatir dan mungkin juga cemburu. Takut kalau Louis yang kembali menelepon Kirana dan mencoba mencuri gadisnya.Darell pun mendongak dan memperhatikan wajah Kirana yang memerah. Gadis itu mulai berkaca-kaca dan saat itulah kekhawatirannya berubah.Putra sulung Maxwell ini segera bergeser tempat duduk. Berpindah dari seberang ke samping Kirana. Merangkul dan mengusap pundak gadisnya lembut."Ki, kamu kenapa? Kenapa menangis?" tanya Darell khawatir."Ada yang menyakitimu?" tanyanya lagi.Kirana menggeleng lemah, kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Darell tanpa sadar. Darell yang tengah dirundung kecemasan pun merapatkan tubuhny
Seorang pria berwajah licin mengetuk pintu sebuah kamar kos. Kemudian dari dalam, nampak seorang perempuan tengah mengintip dari balik jendela."Ada apa Pak?" tanya si pemilik kamar dengan tubuh diantara pintu dan kusen.Perempuan itu berbicara dengan nada yang lembut dan tak berani menatap tamunya lama-lama. Memilih untuk menunduk menjadi hal bijak baginya saat ini."Kamu sudah tidak usah khawatir tentang Aldo dan videomu lagi," kata pria berwajah licin itu.Wajah gadis yang menunduk itu perlahan terangkat dan menatap laki-laki di hadapannya dengan sumringah. Senyum yang biasanya manis mulai dimunculkan kembali."Benarkah itu, Pak?""Iya, kamu nggak usah khawatir, semua sudah teratasi dengan baik. Kamu sudah bisa memulai aktivitasmu seperti biasa."Masih tak percaya, ia pun keluar dan menutup pintu. Mempersi
Jenny kembali membatin. Tertegun dengan pengakuan Pak Mahendra. Merasa bersyukur karena ia bukan saru-satunya orang dengan masa lalu yang buruk."Maaf," katanya."Maaf untuk apa Mbak?""Saya ikut prihatin dengan cerita Bapak.""Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Mungkin juga saya terlalu hanyut dalam masalah saya. Kedua orang tua yang meninggal dalam waktu berdekatan. Kemudian masalah kakakku yang jadi korban KDRT suaminya, semua benar-benar membuatku kacau saat itu.""Maaf ya Pak. Lalu bagaimana dengan Kakak Pak Mahendra?"Pria berkaos biru itu kembali menyalakan rokoknya. Guratan sedih pun terpancar di wajahnya."Nasibnya pun tak baik. Tak lama setelah aku keluar dari penjara, ia menghembuskan napas terakhir karena tak bisa lagi bertahan dengan kanker servick."Jenny menghembuskan napas panjang, dan memandang sosok Ma
Dengan udara yang segar dan jauh dari hiruk pikuk ibukota, Kirana terbangun dan memandang ke luar jendela. Hamparan kebun yang hijau di luar sana sungguh terasa menyejukkan. Gadis ini pun merenggangkan otot-ototnya setelah semalaman berada dalam mobil travel sungguh melelahkan.Yang diingatnya, saat membuka mata selama perjalanan kepalanya bersandar di pundak Darell. Entah berapa lama ia tertidur di sana.Gadis itu pun segera keluar kamar dan bersiap untuk mandi. Merasakan kembali segarnya mata air pegunungan yang membasahi kulitnya. Sekilas ia melirik kamar tamu yang ditempati Darell, masih tertutup."Mungkin Mas Darell kecapekan," pikirnya kemudian berlanjut ke kamar mandi.Seperti hari-hari biasanya, Kirana membantu mbak Fika untuk menyiapkan sarapan."Mbak, kok nggak ngasih tahu saya sih kalau Bapak sakit?" protes Kirana pada kakak iparnya.
Dengan mengendarai mobil sedannya, seorang wanita berhenti di rumah Keluarga Darell. Setelah seharian ia tak melihat kedatangan Darell dan Kirana di kantor.Wanita ini sudah cukup sering datang ke rumah berarsitektur Jawa ini. Pekerjaannya sebagai seorang sekretaris menuntutnya untuk sering mengantar dokumen saat Darell atau Ayahnya berhalangan.Penjanga rumah yang sudah familiar dengannya pun membiarkan dirinya masuk dan bersikap ramah."Silakan Bu," jawab Pak Muji mempersilakannya masuk.Wanita itu pun tersenyum kemudian membawa mobilnya masuk dan melangkah ke ruang duduk. Menunggu kedatangan Tuan Maxwell sambil membayangkan dirinya berada dalam rumah itu."Hmm, sepertinya menyenangkan sekali ya kalau bisa tinggal di rumah ini?" pikirnya.Semua sudah dipers
Kirana meraih tangan Darell dengan lembut dan mengusapnya setelah ia menyimpan ponsel ke dalam saku. Pemuda di hadapannya menatap wajah Kirana dengan teduh dan penuh pengharapan."Bagaimana kata Dad?" tanya Darell dengan rasa penasaran."Mas tenang ya, Dad akan memaksanya untuk melakukan tes DNA pada Juwita begitu kita pulang dari sini," kata Kirana menyejukkan."Benarkah itu?""Ya, kita bisa melakukannya nanti kalau Mas mau.Darell menggeleng cepat dan mempererat genggaman tangannya pada Kirana. Menatap wanita anggun di hadapannya dengan lembut."Nanti saja Ki,""Nanti? Memangnya Mas betah di sini?"Darell mengangguk. Walaupun keadaan di rumah Kirana jauh berbeda di tempat tinggalnya, tapi ia tetap berusaha untuk betah. Meski taknada shower ataupun air panas, juga kebiasaan makan singkong kukus sebelum makan nasi di pa
"Iya aku ke sini dua hari lalu," kata Kirana menanggapi pemuda itu dengan riang. Kemudian mempersilakannya untuk duduk di kursi tepat di samping Kirana.Tentu saja pemandangan ini tak mengenakkan di kedua mata Darell. Bagaimanapun juga Kirana adalah miliknya, itu yang ada dalam pikiran pria blasteran ini."Oh, kok kamu nggak bilang mau datang. Aku aja denger dari Mas Aria. Kalau tahu kan nanti akan aku jemput," katanya tanpa mengindahkan Darell."Sial! Apa-apaan sih, sampai nawarin diri jemput bidadari gue," runtuk Darell dalam hati.Darell yang sudah terbakar emosi karena cemburu pun segera mengambil tindakan. Ia akan melibatkan diri dalam percapakan mereka."Nggak perlu repot-repot jemput, kemarin Kirana naik mobil travel dan turun di depan rumah kok. Kami juga naik travel Amar Luxury Trans," kata Darell sengaja memberi penekanan akan petusahaan travel yan
Lima minggu telah berlalu semenjak insiden pesta itu. Meski saat itu sempat heboh, tapi tak ada yang membahasnya di sosial media ataupun media lainnya.Darell berterima kasih pada Stefan Gunawan, tuan rumah pesta. Ia mengultimatum akan memperkarakan siapapun yang mempublikasikan insiden di pestanya pada publik, meskipun melalui sosial media.Biar saja sampai hari ini gadis bergaun hijau dan laki-laki yang bersamanya tetap menjadi misteri. Yang ada dalam pikirannya sekarang, ia bersiap-siap memberi kejutan untuk Kirana.Darell sudah berjanji untuk mengajaknya pergi melihat menara Eifell, sebagai bentuk perayaan perceraiannya dengan Jenny. Darell yang mengerti kalau sejak dulu Kirana mendambakan pergi ke Paris."Kita berangkat sekarang?" tanyanya pada Kirana yang baru saja keluar dari kamar tidurnya.Mereka menyewa hotel di sekitar menara eifell. Menyewa suite room dengan dua kamar tidur.
Seorang wanita bergaun hijau dengan lengan tali dan punggung yang terbuka tengah berdansa dengan apik. Kulitnya yang halus dan langsat serta tubuh yang cenderung mungil membuat kaum adam penasaran siapa yang berada di balik topeng.Sayang tak seorang pun dari mereka berhasil untuk mendekatinya. Seorang pria gagah dengan setelan resmi tak henti beranjak dari sisinya. Pria itu juga tak segan-segan untuk merangkul pinggangnya yang ramping bagai biola.Kehadirannya ternyata tak hanya mencuri perhatian kaum Adam, tapi juga Hawa. Para wanita banyak yang mengaguminya tapi ada pula yang mencibirnya. Mungkin mereka iri karena tak bisa menjadi primadona pesta."Siapa dia?" tanya Stefan Gunawan si Tuan rumah pada asistennya yang berdiri di sampingnya.Asistennya hanya mengangkat bahu karena tidak tahu. Namun sebagai asisten yang setia, ia pun menawarkan diri untuk mencari tahu, siapa wanita misterius itu.Asisten Stefan
Kini Kirana pun mendekat ke arah Jenny dan menyalaminya."Selamat ya, kulihat hidupmu sudah lebih banyak berubah sekarang," kata Kirana.Jenny tak bisa membalas ucapan Kirana. Ia justru memeluk gadis itu erat dan mulai berkaca-kaca."Ini semua karena Mbak memberi kesempatan saya untuk jadi lebih baik. Mbak percaya kalau saya mampu. Terima kasih ya Mbak. Maafkan saya jika selama ini selalu menyakiti Mbak.""Yang sudah berlalu lupakan saja, sekarang yang penting hidupmu lebih baik.""Ya Mbak. Aku mengikuti saran Mbak, apartemen kusewakan dan kugunakan uangku untuk membeli pakaian sisa impor dan menjualnya secara daring.""Itu bagus sekali. Semoga kamu berhasil."Tiba-tiba saja Kirana melirik Darell dan terpikirkan sesuatu yang jahil. Ingin sekali mengetahui sampai dimana Darell bisa bertanggung jawab sebagai seorang pria."Hmm bicara soal pakaian, aku membutuhkan b
Darell tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya sangat pening, ia sungguh menyesal pernah terlibat dengan perempuan iblis di depannya.Juwita terus saja terisak, tak peduli lagi seperti apa bentuk riasannya saat ini. Rembesan air menghias di pipinya dan berwarna hitam, maskaranya luntur. Dia sungguh berharap belas kasihan dari Darell.Kemudian ia menangkupkan tangan di depan dada dan menatap Kirana. Berharap calon istri Bos nya dapat memaafkannya."Bu Kirana," katanya lirih."Pak James Maxwell menyerahkan semua keputusan pada Pak Darell, jangan minta padaku," jawab Kirana acuh."Pak Darell, kumohon!" pintanya, sayang Darell bergeming dan malah mengajukan pertanyaan yang lain."Apa kamu juga yang meletakkan darah ayam pada kamar mandi apartemenku?" tanya Darell menatapnya tajam.Juwita pun mengangguk, ia meminta tolong pada petugas kebersihan apartemen dan melakukannya. Juwita pun membaya
Wajah pucat Juwita mulai dipenuhi keringat. Wanita yang tadi menantang Darell pun tak lagi berani mendongakkan wajah. Cuma bisa memilin-milin kedua tangan yang ada di pangkuan."Kenapa Juwita, apakah aku salah bicara?" tanya Kirana mulai menantang.Namun Juwita bergeming, tak sepatah kata pun keluar dari bibir merahnya. Kemudian mencoba untuk menutup mulutnya dan bersiap-siap muntah. Sayangnya Darell mengerti kalau ini sandiwara."Nih, biar nggak muntah!" kata Darell menyodorkan secangkir air soda padanya.Cepat-cepat Juwita menegaknya tanpa memperhatikan air apa yang diberikan Darell. Bahkan tak ada perubahan ekspresi saat ia meminumnya.Darell melirik Kirana yang duduk di lengan kursi kanannya. Mereka pun saling mengangguk saat beradu pandang. Sama-sama mengerti dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya."Bagaimana sekarang Juwita?" tanya Darell menyelidik."Sudah lega
Seketika pekik tawa tercipta oleh Juwita. Gadis itu mendongakkan kepala dan menantang Darell. Bibir penuh hasil rombakannya sedikit dimajukan, mencoba mencibir."Hmm, jadi Anda tidak mau mengakuinya Pak Darell? Atau Anda ingin seluruh Indonesia tahu seberapa bejat perbuatan Anda?" tantang Juwita mencoba untuk memutar balikkan fakta."Satu lagi Pak, aku masih menyimpan pakaian yang kukenakan saat pertama kali kita melakukannya. Jika Anda ngotot melakukan test DNA, maka itu akan mempermalukan diri Anda sendiri."Darell tampak sedikit memundurkan kursinya. Raut wajah yang tadinya garang perlahan mengendur. Melihat ini, Juwita pun semakin menjadi."Bapak kan tinggal nikahin saya, kalau Bapak nggak mau terus sama saya kan begitu anak ini lahir kita cerai kan beres. Anak ini bisa lahir dengan status yang jelas," tambah Juwita membuat kedua alis Darell semakin terangkat dan mata yang melebar. Ia semakit terkejut dengan permintaan Ju
Sebuah undangan tergeletak di atas meja kerja Kirana. Undangan pesta topeng yang akan datang seminggu lagi. Undangan yang datang dari seoarang pengusaha muda Stefan Gunawan.Pelan-pelan ia mengamati undangan itu sambil membolak-balik. Jika ia datang, ia tak tahu bagaimana harus berada di pesta. Apalagi jika harus berdansa, rasanya susah baginya. Namun jika menolak, sepertinya tak sopan."Huh gimana ini," pikirnya sekejap kemudian meletakkan undangan itu kembali di atas meja dan menekuni pekerjaannya.Tok! Tok!"Masuk!"Pria bertubuh tegap itu pun mengintip kemudian melangkah ke arah mejanya."Ada apa, Mas," sapa Kirana."Hmm," jawabnya kemudian menyeret kursi dan duduk di depan Kirana. Sekilas, ia melirik ke arah undangan di meja Kirana dan mengambilnya."Kamu juga dapat undangan ini?" tanya Darell."Iya, Mas.""Ya sudah kalau gitunkamu datanh
Ini adalah malam terakhir bagi Darell berada di kampung Kirana. Kondisi Oom Ridwan juga sudah sangat membaik. Tekanan darahnya pun sudah mulai stabil.Esok pagi mereka akan kembali ke ibukota dan bersiap menghadapi kehidupan nyata. Masalah keuangan kantor yang menunggu untuk segera diselesaikan.Baru saja Dad mengabari kalau sudah ada titik terang. Kini tinggal selangkah lagi untuk bisa menyingkirkan para parasit itu.Perlahan pria itu pun terpejam dalam kamar tamu. Mempersiapkan hari esok yang telah menunggu gebrakannya. ***"Terima kasih ya kalian sudah datang kemari," kata Oom Ridwan begitu melepas kepergian Kirana dan Darell pagi itu."Sama-sama Oom, yang penting sekarang Oom lebih diatur lagi makannya. Jangan terlalu diforsir untuk beraktivitas," tegas Darell.Darell kembali memperhatikan ka
Selama beberapa detik, Darell merenungi apa yang diucapkan oleh Kirana. Kemudian ia membenarkan perkataan gadis itu, meski cuma dalam hati.Diraihnya lengan Kirana yang hendak mengikuti Bayu ke warung bakso."Ya sudah, Mas mau, tapi kita makan di rumah aja ya," pintanya sambil melirik ke arah warung tenda.Darell berbeda sekali dengan adiknya Audrey yang dengan santai makan di sembarang tempat. Asal menu yang disajikan cocok dengan lidahnya."Ya udah kalo gitu," jawab Kirana memimpin jalan untuk memesan makanan. Tak lupa membawa untuk Sekar dan keluarganya juga. ***"Aseeek bakso!" teriak keponakan Kirana saat mendapatkan oleh-oleh darinya.Gadis berkulit langsat itu segera mengambil mangkok dan memberikan pada Bayu dan Darell. Membuka plastik dan melayani calon suaminya.