POV penulis
"Waalaikumsalam, pak Eko. Apa pak Eko mempunyai kenalan seorang polisi? Damar hilang dan sampai sekarang belum pulang ke rumah.""Astaghfirullah! Jadi Damar hilang, Bu?""Benar, Pak. Damar hilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Saya bingung harus mencari kemana," sahut Sulis nyaris putus asa.Suasana di seberang telepon hening sejenak. Tapi terdengar secara samar, pak Eko seperti berbicara dengan orang di samping nya."Hm, besok kami akan ke rumah Damar setelah acara Persami ini selesai, Bu. Walaupun mungkin Damar tidak hilang di sekolah, tapi kami pihak sekolah juga ingin ikut serta membantu mencari anggota sekolah yang hilang.Kalau tentang anggota polisi, kebetulan sepupu saya adalah salah satu anggota polres. Saya akan mengajak saudara sepupu saya untuk ke rumah Damar juga.""Terimakasih, Pak. Terima kasih sekali. Saya akan sangat menantikan kehadiran bapak dan ibu guru Damar," sahut Sulis lega. Jujur saja saat ada seseorang yang bisa dipercaya mau membantunya, beban di hati Sulis seolah terangkat sebagian.Mendadak Sulis teringat pada uang dalam amplop yang tersimpan dalam saku. Lalu dia merog*h saku dan mengeluarkan amplop berwarna coklat itu. Dengan perlahan mengeluarkan isinya. Mata Sulis membola saat melihat lembaran uang berwarna merah sebanyak dua puluh lembar."Dua juta?! Banyak sekali!" desis Sulis. Dimasukkan nya uang itu lagi ke dalam amplop dan menyimpan nya di dalam lemari baju. Setelah itu Sulis merebahkan diri kembali di ranjang seraya memeluk Adinda.Berulang kali dia mencoba memejamkan mata tapi bayangan Damar yang melintas di kepala membuatnya tak bisa terpejam.'Ya Allah, aku merindukan Damar. Lindungi lah anakku dimana pun anakku berada. Tapi jika memang terjadi sesuatu pada anakku, kuharap Engkau memberiku petunjuk dan memberiku keihklasan,' ratap Sulis dalam hati diiringi derai air mata yang menderas.Hingga suara kentongan terdengar sebanyak dua kali Sulis merasa rasa kantuk menyerang dan saat dia mulai memejamkan mata, Sulis merasa kan tubuh nya begitu ringan dan melayang. Mendadak dia mendengar suara Damar."Ibu! Ibu! Tolong!"Damar dengan memakai baju Pramuka didatangi oleh dua orang bertopeng hitam. Kedua orang itu memakai mantel warna coklat tua dan tidak jelas jenis kelamin mereka laki-laki atau perempuan.Damar meronta-ronta dan menangis saat kedua orang itu melepas paksa baju Damar."Ibu! Ibu!"Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Damar. Suara Damar terdengar menyayat.Mata Sulis terbuka. Dan dia sangat terkejut saat menyadari bahwa dia tidak berbaring di atas ranjang lagi. Tapi sedang berada di sebuah lorong gelap tanpa ujung.Sulis berusaha berdiri dan melihat Damar yang mengulurkan tangan padanya."Ibu! Tolong aku!""Damar! Damar!"Sulis berlari mendekat ke arah Damar. Tapi kedua orang yang memegang kedua tangan Damar menyeret anaknya dengan paksa. Bahkan salah satu diantara dua orang itu membawa pergi baju dan celana Pramuka Damar.Sulis menambah kecepatan larinya, dia berusaha untuk meraih tangan Damar. Namun sayang sekali, tangannya tidak bisa menyentuh Damar. Tangan Sulis menembus tubuh dan tangan Damar.Sulis keheranan dan kebingungan saat melihat dia tidak bisa memegang dan menyelamatkan anaknya. Perempuan itu menatap tangannya dengan bingung."Ibu! Ibu!"Terdengar teriakan Damar sebelum akhirnya Damar dibaringkan dia atas meja kayu besar. Mulut anak itu di lakban dan kedua tangan dan kakinya di ikat di ujung meja.Suasana hening seketika. Dan mendadak terdengar tawa bergemuruh yang muncul dari ujung lorong. Sulis hanya bisa tercengang dengan tubuh lemas melihat sosok tinggi besar dengan badan berbentuk manusia berwajah seperti anjing.Perlahan manusia berkepala anjing itu menunjukkan wujud nya dengan utuh. Anjing itu begitu besar dengan tinggi sekitar lima meter. Bulu kepalanya berwarna kecoklatan. Lidahnya panjang menjulur keluar, taringnya begitu runcing dengan air liur yang bertetesan, telinganya tegak lancip terulur kaku ke atas. Mata anjing itu merah dan mengerikan.Manusia anjing itu mendekat ke arah Damar dengan menggeram. Damar ketakutan dan air mata berlelehan menatap anjing itu.Sulis terkejut saat melihat anjing itu mendekat ke arah Damar dengan menggeram perlahan. Perlahan wajah anjing itu mendekat ke arah wajah Damar dan mengarahkan taring nya ke arah mata Damar."Jangan dekati anakku! Pergi!"Entah mendapat keberanian dari mana, mendadak Sulis melompat ke arah manusia anjing itu sambil merentangkan kedua tangannya di depan meja batu tempat Damar dibaringkan, mencoba menghalangi manusia anjing yang akan menerkam sang anak.Anjing itu menggeram dan menatap Sulis penuh amarah. Bahkan anjing itu mendengus begitu dekat di wajah Sulis, sehingga Sulis bisa merasakan nafasnya yang panas dan melihat air liur anjing yang bertetesan itu.Hhhhhwwaaarhhh!Sekali lagi anjing itu menggeram seolah mengusir Sulis tapi Sulis bersikeras untuk tetap melindungi Damar dari apapun. Sulis memalingkan wajahnya agar tidak terkena hembusan nafas anjing itu.Hwwwwaaarh! Anjing itu tampak marah. Makhluk itu lalu mengarahkan taring nya ke bahu Sulis lalu menggigitnya."Aaarrgghhhh!!"Sulis menjerit bersamaan dengan itu terdengar suara adzan subuh."Astaghfirullah! Hanya mimpi!" desis Sulis. Mendadak Adinda terbangun dan menangis kencang."Ssst, cup, cup, cup."Sulis segera duduk dan memeriksa kondisi Adinda yang ternyata buang air besar. Dengan perlahan, Sulis membuka popok Adinda."Aduh, kok perih ya," keluh Sulis saat merasakan bahu nya sakit. Perlahan Sulis menoleh ke arah bahu kanan nya dan dia terkejut saat melihat bahunya terluka dengan daster yang sudah sobek.Bulu kuduk Sulis meremang saat melihat luka di bahunya. Tak hentinya dia berpikir bagaimana bisa bahunya benar-benar terluka padahal dia hanya digigit anjing itu dalam mimpi.**Sulis terbangun saat mencium aroma wangi sop dan telur dadar dari arah dapur. Setelah salat subuh, Sulis memang sengaja tidur lagi karena masih mengantuk dan karena Dinda juga tidur.Dinda menggerak-gerakkan tangan dan kakinya dengan menangis keras dan Sulis segera menyusuinya hingga kenyang. Sulis lalu menggendong Dinda menuju ke arah dapur."Wah mbok Darmi dan Surti, repot-repot sekali memasak padahal kalian tamu di sini," tukas Sulis dengan wajah tak enak.Mbok Darmi menggeleng dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Lis. Kamu kamu menyusui, tidak usah sungkan sama aku. Cepat makan dulu. Biar aku yang menggendong Dinda," tawar mbok Darmi."Terima kasih, tapi aku bisa makan dengan menggendong Dinda, Mbok," tolak Sulis dengan halus.Baru saja mbok Darmi hendak menanggapi ucapan Dinda saat mendadak terdengar dering telepon masuk ke ponsel Sulis."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, pak Eko.""Apa Bu Sulis ada di rumah sekarang? Saya akan menuju ke rumah Bu Sulis sekarang dengan sepupu saya terkait dengan hilangnya Damar. Penting sekali, Bu!"Sulis seketika terkesiap mendengar penuturan guru pembina Pramuka tersebut.Next?Sulis seketika terkesiap mendengar penuturan guru pembina Pramuka tersebut. Tapi secercah harapan muncul dengan keterangan dari pak Eko. "Apa benar yang bapak katakan barusan?" tanya Sulis menegaskan. "Iya benar. Untuk lebih jelas dan detailnya, saya akan langsung datang dengan sepupu saya nanti. Saya telepon hanya untuk memastikan kalau Bu Sulis ada di rumah," sahut Pak Eko. "Iya saya ada di rumah, Pak. Saya tunggu kedatangan nya," sahutku. Pak Eko lalu mengakhiri panggilan telepon. Mbok Darmi menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. "Siapa yang telepon, Lis?" "Guru Pramuka Damar, Mbok. Oh ya, ayo makan, Mbok? Masa aku makan sendiri."Mbok Darmi terdiam lalu menarik kursi kayu di hadapannya dan mendudukinya. "Kamu beneran bisa makan dengan menggendong anak kamu?""Bisa, Mbok. Aku sudah biasa melakukan nya."Mbok Darmi terdiam sejenak. "Kalau tentang yang guru Damar, kapan mereka akan kemari?""Nanti, mbok. Saya juga tidak bertanya jam pastinya."Aku melanjutkan makan dan
Pak Raden menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuburan anak itu harus dibongkar dan mayatnya harus dikeluarkan karena keluarga anak itu juga sedang mencarinya!" Sulis terhenyak. 'Bongkar makam? Hal itu tidak pernah dilakukan di desa ini. Bisa-bisa dia dan polisi ini diprotes oleh warga desa. Bagaimana ini?' batin Sulis bingung. "Tapi pak, di desa ini tidak pernah ada makam dibongkar. Saya takut kalau ada makam yang dibongkar, akan menimbulkan pro dan kontra. Lagipula, belum tentu anak yang hilang itu adalah anak dari tetangga sebelah kan?" tanya Sulis ragu. Pak Raden menatap Sulis dengan serius. "Bu Sulis, ibu sudah memastikan sendiri kan kalau anak yang ditemukan di rumah ini adalah anak yang sama dengan yang ada di galeri ponsel saya, hal itu bisa menjadi alasan kuat bagi kepolisian untuk membongkar makam anak itu. Saya akan pulang ke polres dan kembali ke desa ini segera. Saya akan berusaha membantu bu Sulis dan orang-orang yang anaknya hilang. Saya curiga ada sesuatu yang leb
Tapi alangkah terkejutnya Sulis, saat dia melihat bunga tujuh rupa dalam nampan yang telah layu, dua botol kendi dari tanah liat, dan kemenyan dalam sebuah tempayan kecil dari tanah liat yang apinya telah padam. Sulis menelan ludah. "Hah? Ada apa ini di kamar mbok Darmi? Bukan kah benda-benda ini adalah barang-barang yang biasanya dipakai oleh dukun di tivi-tivi?" gumam Sulis kaget. Dia semakin berjinjit agar bisa melihat sekeliling nya kamar mbok Darmi untuk mencari petunjuk. "Lha kok sepi. Kemana mbok Darmi membawa Adinda?" gumam Sulis kelu. Berbagai pikiran buruk melintas di dalam kepalanya. Sulis bermaksud untuk membuka jendela kamar itu saat kakinya terpeleset.Bruggghhh! "Awwww!!"Sulis memekik saat pant*tnya terjatuh di tanah. Dia mendesis kesakitan saat berusaha berdiri dari tempatnya terjatuh. Perempuan itu mengibas-ngibaskan rok nya lalu kembali ke teras rumahnya yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah mbok Darmi. Dengan lemas, Sulis duduk di anak tangga rumahny
Sulis segera membaca ayat kursi, surat Al-Ikhlas, An-Nas dan Al-Falaq bersamaan dengan dada berdebar. Dan bacaannya semakin keras saat bola api itu melaju ke arahnya dengan cepat!"Allahuakbar!" pekik Sulis seraya memejamkan mata dan berjongkok di samping ranjang Adinda. "Ibu!"Mendadak terdengar suara Damar yang muncul di hadapan Sulis. Damar yang muncul tanpa mata itu berdiri dan merentangkan kedua tangannya seolah menghalangi banaspati untuk menyerang ibunya. Mulut Damar membentuk huruf 0 dan meniupkan angin yang keluar dari mulutnya sehingga mengusir banaspati itu. Banaspati itu berbalik dari hadapan Damar lalu melayang-layang di sekitar kamar Sulis. Sulis memperhatikan banaspati itu dengan tegang. Dia teruskan membaca ayat kursi dan surat-surat pendek lainnya yang dihapalnya di luar kepala. Bahkan Damar pun ikut membacanya. Tak berapa lama berselang, banaspati itu terbang keluar dari kamar Sulis.Sulis menghela nafas lega. Sosok yang mirip Damar di hadapan nya membalikkan bada
Sulis menangis tergugu. Hatinya sesak. Mendadak dia mendengar suara jeritan yang menyayat dari rumah mbok Darmi. "Aarghhh, tolong!!!"Sulis yang tadinya duduk bersimpuh di lantai dengan memegang buku harian Damar, sekarang mencoba berdiri dengan susah payah karena kaki dan lututnya masih terasa gemetaran. Pikiran Sulis masih mencerna cerita yang baru saja dibacanya. Akhirnya setelah menstabilkan nafas, dengan perlahan Sulis mengembalikan buku Damar ke tempat nya semula. Baru saja Sulis hendak menengok rumah mbok Darmi dari jendelanya yang terbuka, Sulis mendengar suara tangis yang begitu kencang. Setengah berlari, Sulis menuju ke kamar Adinda dan mencari penyebab Adinda menangis. Segera digantinya popok Adinda yang basah terkena buang air besarnya, dengan popok baru yang bersih. Lalu Sulis segera mengambil jarik dan menggendong Dinda sambil membawanya keluar rumah menuju rumah mbok Darmi, asal suara teriakan itu. "Tolong! Tolong ibu saya!"Baru saja Sulis menutup dan mengunci pint
'Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?' batin pak Slamet galau bercampur bingung seraya melihat dengan sedih ke arah mbok Darmi yang masih pingsan. Mendadak pinggang Slamet dicolek dari belakang. Kepala desa itu menoleh dan melihat Surti yang tengah kebingungan. "Pak Slamet, saya ...""Ada apa Sur, kamu bilang saja."Surti menatap ke arah ibu angkat nya yang masih tertidur pulas. "Hm, saya bingung tentang ibu mau dirawat dikelas berapa?" tanya Surti ragu. "Sementara saya tidak punya cukup uang."Pak Slamet berpikir sejenak, 'duh kalau aku minta mbok Darmi dirawat di ruang yang bagus atau VIP, pasti nanti banyak warga yang merasa iri dan bertanya-tanya tentang hal ini. Mereka bisa curiga pada kami. Tapi kalau mbok Darmi dirawat di ruang bangsal, apa nanti tidak marah ya? Kalau begitu, lebih baik dirawat di kelas satu saja. Walaupun tidak ruang paviliun, setidaknya pasiennya tidak perlu berjubel,' batin Slamet. Akhirnya lelaki itu menatap ke arah Surti."Dirawat di kelas 1 saja.
Sulis baru saja memakaikan baju pada anaknya, Dinda, setelah anaknya mandi, saat ponselnya berbunyi nyaring. Dia segera meraih ponsel nya sambil menimang sang anak. "Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu Sulis. Ini pak Eko. Apa yang ingin ibu sampai kan?" tanya Pak Eko dari seberang telepon. "Hm, sebenarnya hal ini sangat aneh. Bersangkutan dengan hal mistis."Sulis menjeda kalimatnya. Menunggu reaksi guru anaknya itu. "Hal mistis? Maksudnya apa ya, Bu?" "Apa bapak percaya tentang santet dan jin qorin?"Suasana hening sejenak. "Jujur saja saya adalah orang yang selalu menggunakan logika dalam segala hal. Tapi saya juga mempercayai bahwa makhluk astral seperti itu ada, walaupun saya belum pernah melihatnya langsung."Suasana hening sejenak. Sulis dan Pak Eko sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Pak, saya ingin mengatakan hal yang sejujurnya. Saya tidak tahu harus mengatakannya ke siapa. Saya menanggung nya seorang diri dan dada saya serasa sesak saya ingin menceritakan pa
Beberapa tahun yang lalu,Darmi pulang dari sekolah dengan mengendarai sepeda kayuhnya saat dia melihat kucing cantik yang kakinya sedang terluka di pinggir jalan depan sebuah rumah sederhana.Gadis itu segera turun dari sepeda nya lalu menghampiri kucing berwarna hitam."Hai, kamu cantik sekali! Nama kamu siapa?"Awalnya kucing itu tampak ketakutan dan hendak lari, tapi karena kaki nya terluka, dia hanya bisa pasrah saat Darmi mengelus tubuh berbulu nya. "Darah kamu keluar banyak. Aku ikat dulu dengan pita rambut ku ya agar darahnya tidak keluar lagi," ujar Darmi seraya berlutut dan membelai kucing itu. Dengan cekatan, Darmi pun melepas kan pita yang mengikat rambut kepang duanya lalu mengikatkan nya ke kaki kucing di hadapannya. Setelah selesai, Darmi menggendong kucing di hadapannya dengan hati-hati. "Jangan sentuh kucing saya!" seru seorang laki-laki tampan dan gagah yang keluar dari rumah sederhana di hadapan Darmi. Gadis itu tercengang dan melepaskan kucing dari pelukan nya.
Ustadz Amir, Eko, Anisa, dan Raden menuju rumah kontrakan Surti. Gadis itu langsung menghambur bersimpuh memeluk kaki Sulis. "Mbak Sulis, maafkan aku!" ujar Surti seraya menangis tersedu-sedu. Sulis yang sedang menggendong Dinda hanya bisa terdiam di tempatnya. Dia melirik ke arah luka di lengan Surti yang terbuka. Batinnya ingin memaki-maki Surti tapi di sisi lain dia tidak tega melihat Surti yang telah sebatang kara itu. "Mbak Sulis, jangan diam saja! Aku nggak mau Damar meneror ku terus menerus! Bilang pada arwah anak kamu agar jangan menghantui ku, Mbak!"Sulis hanya menundukkan kepalanya. Sementara yang lain menghela nafas, melihat kondisi ruang tamu Surti yang penuh dengan bunga. Sementara dukun yang dipanggil Surtu telah kabur terbirit-birit saat sadar Surti terluka karenanya. "Bangun lah, Sur. Meskipun aku sulit melupakan kesalahan mu dan keluarga mu, tapi luka kamu harus diobati dulu."Sulis menjeda kalimat nya. "Lalu, biar polisi yang memutuskan tentang kesalahan kamu ini
"Uang dari jin Anjing dan kamu tidak berhak menikmati nya. Mengakulah pada polisi dan serahkan uangnya pada anak-anak terlantar dan keluarga korban penculikan mbok Darmi, Mbak!"Surti gemetar ketakutan, apalagi saat menatap mulut Damar yang ternganga mengeluarkan cairan hitam, pekat, dan berbau anyir. Surti menjerit-jerit sambil bersimpuh dan menutup mukanya. "Jangan sakiti aku! Pergi kamu, Damar!""Aku tidak akan pergi sampai kamu menyerah kan diri pada polisi!" Damar mendekat ke arah Surti dan gadis itupun berteriak dan menjerit-jerit sampai pandangan matanya menggelap. ***Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam rumah Surti, membangunkan gadis itu dari tidurnya yang berada di atas lantai kamar. Surti merasakan kepalanya pusing dan perlahan gadis itu duduk dan mengucek matanya. Perlahan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dipijitnya pangkal hidung karena Surti merasa kepalanya begitu pening."Astaga, Damar! Iya, aku ingat
Seumur hidup Raden menjadi polisi baru kali ini dia mengalami kejadian mistis yang aneh seperti saat ini. Dengan ngeri dia melihat Surya yang kehilangan matanya lengkap dengan lolongannya yang mengerikan. Mendadak ponsel nya yang sedang digenggam nya untuk menyinari bagian bawah jurang, berdering. Dengan cepat Raden menerima panggilan telepon dari Ustadz Amir. "Assalamualaikum, ada apa, Ustadz? Aduh, sinyalnya putus-putus," keluh Raden. "Waalaikumsalam. Iya. Kamu dimana pak Raden? Share loct sekarang ya? Saya akan menuju ke tempat kamu saat ini!" Tut Tut Tut!Panggilan terhenti karena sinyal yang buruk. Akhirnya Raden pun mengirimkan letak lokasi nya saat ini pada ustadz Amir. Perlu menunggu waktu beberapa saat sampai letak lokasi Raden bisa diterima di ponsel Ustadz Amir. Setelah mendapat kan lokasi Raden secara pasti, Ustadz Amir segera berlari sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh Raden. Sementara itu Raden masih berusaha untuk menelepon ambulance yang masih selalu gagal
Beberapa saat sebelumnya,Dinda telah tenang dalam pelukan Anisa, sedangkan Ustadz Amir, Eko, dan Raden berkumpul di ruang tamu ruang Eko. "Ini tidak masuk di akal. Masa aku harus percaya dengan keterangan dari makhluk tak kasat mata?" tanya Raden. Matanya menyapu ke arah Ustadz Amir dan Eko. "Raden, apa kamu lupa bahwa atas petunjuk siapa jasad beberapa anak korban penculikan ditemukan?" tanya Eko menatap balik ke arah temannya yang selalu menggunakan ilmu logika itu. "Itu ... kan atas keterangan Tukiman, memangnya siapa lagi?" tanya Raden lagi. "Baiklah. Kalau memang penemuan jasad anak-anak itu semata-mata karena kesaksian dari Tukiman, apakah kamu bisa menjawab bagaimana cara Tukiman ma ti?" tanya Eko sekali lagi. Dan kali ini Raden tampak kebingungan menjawab pertanyaan Eko. "Itu ... seperti nya karena ada sejenis ular atau biawak yang masuk ke dalam penjara lalu memakan bola mata Tukiman," sahut Raden. Nada suaranya terdengar tak yakin. Tapi hal itu lebih dia percayai darip
Beberapa waktu yang lalu,Surya dan mbok Darmi telah mengatur siasat untuk membawa Sulis ke vila milik Slamet.Namun, saat mendatangi rumah Sulis, mereka hanya menemukan Eko yang sedang hilir mudik di dalam ruang tamunya. "Btary, kata Slamet dulu di rumah ini dipasangi cctv dan seperti nya penghuni rumah ini bukan Sulis lagi. Aku ingin kita mengamati lagi kemana Sulis saat ini," ujar Surya yang duduk di belakang kemudi. "Baiklah. Aku sih terserah kamu, Sur," sahut Btary Ayu santai seraya mengunyah melati dari cawan kayu yang dibawanya. Akhirnya mereka mengikuti Eko berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar sampai Eko pulang ke rumah nya. Surya dan Btary ayu terkejut saat melihat Sulis sedang menggendong Dinda keluar dari rumah Eko. "Wah, ternyata ada di sini si Sulis. Bagaimana caranya agar kita bisa membawanya?" gumam Surya lebih kepada dirinya sendiri. "Kita ikutin saja dulu gerak-gerik nya. Lalu saat Sulis sedang sendirian atau tidak siaga, kita akan membawanya segera," sahut
"Slameeet!!!" Surya berseru seperti orang kehilangan akal dan menghambur ke arah anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi."Met, Slamet!"Surya dengan panik mendekat ke arah jasad Slamet yang sudah terbujur kaku, lelaki itu berlutut di samping jasad anaknya. Dengan perlahan diusap nya punggung Slamet yang berdarah-darah dan tertembus batang pohon jambu air itu. "Ini semua gara-gara set*n sialan itu! Awas saja kamu setaaan!" seru Surya berteriak dengan suaranya yang parau. Slamet dengan penuh amarah mencoba melepaskan jasad Slamet dari batang pohon jambu air itu. Dengan susah payah, akhirnya Surya berhasil memisahkan tubuh Slamet dari potongan pohon yang menancap di tubuh nya. Dengan nanar, dipandanginya tubuh Slamet dengan luka yang menganga begitu dalam di perut Slamet. "Bapak tidak akan diam saja melihat kamu disakiti seperti ini, Met. Bapak akan balas dendam. Bapak akan membalas kan dendam kamu!" Dengan tertatih, Surya menyeret tubuh Slamet ke dalam rumah, lalu memandikan nya d
Warning : ada adegan gore ya kak... 🙏🏻Saat tangannya terulur ke arah jendela, Slamet sangat terkejut karena melihat ibunya yang berdiri mematung menatap nya di bawah pohon mangga di halaman tengah rumahnya. "Ibu?" desis Slamet terkejut. Dia dan mbok Darmi berpandangan selama beberapa saat. Mendadak lampu tidur di kamar Slamet padam selama beberapa detik. Lalu beberapa saat kemudian langsung menyala. Slamet sejenak menatap ke arah lampu kamar tidurnya dan menelan ludah, dan saat teringat ibunya yang berada di samping kamar tidurnya, Slamet segera menoleh lagi ke arah luar jendela kamarnya. Dan rupanya ibunya menghilang. Hanya desau angin malam yang menampar pipinya. "Apa aku salah lihat ya?" tanya Slamet seraya menarik daun jendela nya yang terbuat dari kayu. "Aaarrgghhhh!"Bertepatan dengan dia yang menarik daun jendela nya agar tertutup, sepotong tangan berkudis dan bernanah menarik tangannya diantara teralis jendela. Slamet menjerit sejadi-jadinya saat menatap mata ibu nya
Suara ketukan di pintu rawat inap Mbok Darmi, membuat Surti tersentak dan mengalihkan pandangan nya dari ponsel iPhone yang selama ini dirahasiakan nya. Surti lalu beranjak ke pintu dan terkejut saat melihat seorang suster yang berdiri di ambang pintu. "Mbak ini keluarga dari mbok Darmi kan?" tanya suster itu.Surti mengangguk dan suster itu mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya. "Ini ada tagihan pembayaran dari rumah sakit. Ibu Darmi sudah hampir sepuluh hari dirawat dan belum ada uang muka. Jadi pihak rumah sakit, meminta mbak ini untuk membayar tagihan selama sepuluh hari ini dahulu."Surti menelan ludah dengan susah payah. Mbok Darmi memang dirawat di ICU setelah tragedi kesurupan jin Damar, sedangkan Surti menunggu nya di paviliun agar tidak bolak balik ke rumah nya, itupun atas usul Damar. Tangan Surti meraih amplop putih itu dan memandang sang suster. "Baiklah. Saya akan baca tagihan rumah sakit dulu, Sus, baru kemudian saya bayar."Suster itu mengangguk dengan sopan
Damar baru saja dimasukkan ke liang lahat saat gerimis hujan membasahi bumi. Sulis tertegun saat menatap para penggali kubur yang mengeruk tanah dan menutupkannya ke atas makam Damar. Mendadak memori saat Damar masih hidup tergambar dengan jelas di kepala Sulis. "Damar! Damar anakku! Pak, keluar kan anak saya dari dalam dan!" seru Sulis langsung menghambur ke batu nisan milik Damar. Sulis memang bersikeras untuk mengantarkan Damar ke tempat peristirahatan terakhir nya, karena Adinda dititipkan pada istri Eko. Tapi rupanya, Sulis tidak bisa mengendalikan diri saat melihat Damar dikuburkan. Perempuan itu menangis meraung-raung saat jenazah Damar mulai tertimbun tanah. Tanpa menghiraukan hujan yang mengguyur dan tanah becek yang mengotori baju Sulis, perempuan itu berlutut dan memeluk batu nisan putra sulung nya. "Ya Allah, Damar! Kenapa Engkau memberikan aku cobaan seperti ini ya Allah! Aku nggak kuat, Ya Allah!" seru Sulis menangis dengan tersedu-sedu di atas makam anaknya. Bebe