Sulis seketika terkesiap mendengar penuturan guru pembina Pramuka tersebut. Tapi secercah harapan muncul dengan keterangan dari pak Eko.
"Apa benar yang bapak katakan barusan?" tanya Sulis menegaskan."Iya benar. Untuk lebih jelas dan detailnya, saya akan langsung datang dengan sepupu saya nanti. Saya telepon hanya untuk memastikan kalau Bu Sulis ada di rumah," sahut Pak Eko."Iya saya ada di rumah, Pak. Saya tunggu kedatangan nya," sahutku.Pak Eko lalu mengakhiri panggilan telepon.Mbok Darmi menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya."Siapa yang telepon, Lis?""Guru Pramuka Damar, Mbok. Oh ya, ayo makan, Mbok? Masa aku makan sendiri."Mbok Darmi terdiam lalu menarik kursi kayu di hadapannya dan mendudukinya."Kamu beneran bisa makan dengan menggendong anak kamu?""Bisa, Mbok. Aku sudah biasa melakukan nya."Mbok Darmi terdiam sejenak. "Kalau tentang yang guru Damar, kapan mereka akan kemari?""Nanti, mbok. Saya juga tidak bertanya jam pastinya."Aku melanjutkan makan dan menatap ke arah mbok Darmi. Sejenak ragu untuk mengatakan bahwa pak Eko juga akan mengajak polisi kemari."Hm, mbok. Sebenarnya saya hargai niat mbok Darmi menolong saya. Tapi saya juga membutuh kan bantuan dari pihak yang lebih kompeten.""Hm, apa maksud kamu, Lis?""Guru bimbingan ekstra kurikuler Pramuka di sekolah Damar akan mengajak polisi ke rumah ini. Dan aku pikir hal ini penting untuk ....""Ck, polisi tidak akan bisa menemukan anak kamu. Mereka hanya percaya hal-hal yang masuk logika." Wajah mbok Darmi menunjukkan ekspresi wajah tak suka.Sulis terdiam. "Kenapa mbok Darmi berpikir bahwa kasus Damar adalah kasus ghaib. Kan kasus bocah hilang adalah hal yang bisa dijelaskan nalar?" tanya Sulis tak puas."Kan kamu lihat sendiri kalau arwah Damar masih gentayangan di rumah ini? Polisi pasti akan tertawa saat kamu mendengar arwah Damar ada di sini, sementara jasadnya entah berada di mana," sahut mbok Darmi.Sulis menatap nya. "Maaf mbok, kali ini saya memilih untuk mempercayai polisi daripada dukun untuk menemukan anak saya," sahut Sulis membuat Mbok Darmi mencebik."Kamu hanya buang-buang waktu dan uang. Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi," sahut mbok Darmi berdiri menatapku."Biarlah aku melakukan apa yang kuyakini mbok. Kalau memang apa yang kuyakini itu tidak berhasil, aku akan mengikuti saran dari mbok Darmi," sahut Sulis."Yah, terserah kamu lah. Kamu yang menjalani hal ini," ucap mbok Darmi."Bu, semua cucian alat masak dan dapur sudah bersih."Surti keluar dari dapur dan bergabung dengan Sulis dan ibunya di ruang makan."Makan, Sur," ajak Sulis tersenyum.Sulis tersenyum dan menggeleng. "Saya belum lapar, Mbak."Sulis lalu melanjutkan makannya perlahan. Pikiran nya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan."Oh, ya Sur, tadi malam apa yang sebenarnya kamu lihat di dalam kamar mandi rumah saya?" tanya Sulis pada Surti.Surti dan mbok Darmi berpandangan sejenak."Apa kamu yakin kamu tidak takut jika Surti mengatakan apa yang dilihatnya di kamar mandi kamu?" tanya Mbok Darmi."Nggak lah, Mbok. Saya harus tahu apa yang terjadi di ruma saya. Baru saya bisa mencari solusi nya."Mbok Darmi terlihat mengangguk pada Surti. Dan Surti pun menatap ke arah Sulis."Saat saya berada di kamar mandi mbak Sulis, saya melihat Damar sedang merangkak dari atap kamar mandi dengan kepala tertekuk ke bawah menatap saya. Saya yang terkejut akhirnya menjerit dan setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi."Sulis menelan ludah. Benarkah anaknya sudah ma ti. Apa dan siapa yang menyebabkan anaknya meninggal dan kenapa sekarang anaknya seakan meneror dirinya?"Lis, sekarang kamu tahu kan kalau masalah Damar ini tidak akan bisa diselesaikan oleh polisi?" tanya Mbok Darmi."Untuk saat ini saya tetap akan menghubungi polisi sesuai dengan apa kata hati saya," sahut Sulis bersikeras.Mbok Darmi menghela nafas panjang."Ya sudah. Kalau begitu kami pamit ya. Nanti malam kalau kamu membutuhkan teman untuk tidur di rumah ini, telepon saja."Sulis mengangguk. "Terima kasih, Mbok."Mbok Darmi mengangguk dan mengajak Surti untuk keluar dari rumah Sulis. Baru beberapa langkah anak beranak itu berhenti. Mbok Darmi menoleh ke arah belakang. Menatap Sulis."Oh, ya, Lis. Kalau polisi itu tidak bisa menemukan anak kamu, kamu harus melakukan saranku. Kamu butuh dukun, bukan polisi."Sulis menatap ke arah mbok Darmi dengan tetap terdiam.Setelah makan, Sulis menggendong Adinda dan menuju ke sumur yang letaknya di belakang rumah untuk mencuci piringnya. Agak susah juga untuk mencuci piring di sumur dengan menggendong Dinda. Biasanya saat Sulis mencuci piring di sumur, Dinda dijaga Abdi atau Damar.Sulis mendesah pelan saat mengingat kenangan mereka sewaktu masih bersama.'Untung saja tadi ada mbok Darmi dan Surti yang memasak, tapi aku tidak bisa menggantungkan hidup pada mereka terus. Mulai besok, aku harus melakukan semuanya sendiri dengan menggendong Dinda saat dia terjaga,' batin Sulis.Selesai mencuci piring nya, Sulis menjerang air diatas kompor dan memandikan Adinda dengan air hangat.Usai memandikan Dinda, Sulis menuju ke kamar nya dan saat melewati ruang makan, ingatannya secara spontan berputar kembali ke memori saat keluarganya masih utuh.Canda tawa Damar dan suami nya yang sedang menggendong Adinda di ruang makan seraya menunggu masakan yang dibuat oleh Sulis matang, membuat Sulis merasa ingin menghentikan waktu dan selama nya dalam kebahagiaan seperti itu. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Suami dan anak pertamanya dipanggil lebih dulu.Sulis menghela nafas, jika kematian Damar berlangsung secara wajar, mungkin dia bisa mencoba berdamai dengan takdir. Walaupun sangat berat karena kematian suaminya belum lama berselang. Tapi kalau memang kematian Damar merupakan perbuatan orang jahat, maka sampai titik darah penghabisan, Sulis bertekad ingin membalas perbuatan orang itu.Sulis menepuk-nepuk pant*t Adinda sambil menyusuinya agar anaknya segera tidur. Dan setelah menempatkan guling dan bantal di pinggir Dinda tidur, Sulis dengan perlahan berjingkat-jingkat masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi secepat kilat.Baru saja Sulis selesai menyapu lantai dapur rumahnya, saat terdengar suara salam dari arah depan.Janda muda itu segera bergegas ke kamar untuk mengenakan jilbab lalu segera menuju ke ruang tamu."Assalamualaikum, Bu Sulis," sapa pak Eko yang berdiri bersama dengan seorang lelaki berkaos biru navi berbadan tegap dengan rambut sebahu dikuncir di samping nya."Waalaikumsalam. Pak Eko, maaf kalau kita lebih baik mengobrol di teras saja ya. Untuk menghindari adanya gosip atau gunjingan warga," ucap Sulis sambil menunjuk ke empat tempat duduk dari bambu di hadapannya.Pak Eko dan saudara sepupunya mengangguk lalu duduk di hadapan Sulis."Mau minum apa, Pak?""Nanti saja, Bu Sulis. Ada hal mendesak yang harus segera kami sampaikan. Bu Sulis duduk tenang dulu dan dengarkan saudara sepupu saya."Pak Eko menatap ke arah sepupu nya dan dengan tatapan mata seolah mempersilahkan sepupunya itu untuk bicara."Ehem, baiklah Bu Sulis. Panggil saja saya Pak Raden. Saya seorang Intel polisi. Tiga hari lalu ada salah satu warga dari tetangga desa yang melapor pada polisi bahwa anaknya hilang. Dan sekarang ibu juga melaporkan bahwa anak ibu juga hilang. Bisa dijelaskan detail hilangnya anak ibu?" tanya Pak Raden.Sulis pun menceritakan dengan detail dan lengkap tentang hilangnya Damar sekaligus ditemukan nya sesosok mayat anak kecil yang saat ini sudah dikuburkan."Apa Bu Sulis mengenali ciri-ciri anak yang sudah dimakamkan itu?" tanya pak Raden.Sulis lalu menceritakan bahwa anak itu mempunyai tahi lalat di betis kirinya. Pak Raden manggut-manggut dan mengeluarkan ponsel dari saku."Apa anak laki-laki yang ditemukan warga dengan mengenakan seragam Pramuka itu adalah anak ini?" tanya pak Raden seraya menunjukkan foto seorang anak laki-laki di dalam galeri ponselnya.Sulis terkesiap. "Betul. Anak ini yang ditemukan dan saat ini sudah dikuburkan di pemakaman umum desa."Pak Raden menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuburan anak itu harus dibongkar dan mayatnya harus dikeluarkan karena keluarga anak itu juga sedang mencarinya!"Next?Pak Raden menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuburan anak itu harus dibongkar dan mayatnya harus dikeluarkan karena keluarga anak itu juga sedang mencarinya!" Sulis terhenyak. 'Bongkar makam? Hal itu tidak pernah dilakukan di desa ini. Bisa-bisa dia dan polisi ini diprotes oleh warga desa. Bagaimana ini?' batin Sulis bingung. "Tapi pak, di desa ini tidak pernah ada makam dibongkar. Saya takut kalau ada makam yang dibongkar, akan menimbulkan pro dan kontra. Lagipula, belum tentu anak yang hilang itu adalah anak dari tetangga sebelah kan?" tanya Sulis ragu. Pak Raden menatap Sulis dengan serius. "Bu Sulis, ibu sudah memastikan sendiri kan kalau anak yang ditemukan di rumah ini adalah anak yang sama dengan yang ada di galeri ponsel saya, hal itu bisa menjadi alasan kuat bagi kepolisian untuk membongkar makam anak itu. Saya akan pulang ke polres dan kembali ke desa ini segera. Saya akan berusaha membantu bu Sulis dan orang-orang yang anaknya hilang. Saya curiga ada sesuatu yang leb
Tapi alangkah terkejutnya Sulis, saat dia melihat bunga tujuh rupa dalam nampan yang telah layu, dua botol kendi dari tanah liat, dan kemenyan dalam sebuah tempayan kecil dari tanah liat yang apinya telah padam. Sulis menelan ludah. "Hah? Ada apa ini di kamar mbok Darmi? Bukan kah benda-benda ini adalah barang-barang yang biasanya dipakai oleh dukun di tivi-tivi?" gumam Sulis kaget. Dia semakin berjinjit agar bisa melihat sekeliling nya kamar mbok Darmi untuk mencari petunjuk. "Lha kok sepi. Kemana mbok Darmi membawa Adinda?" gumam Sulis kelu. Berbagai pikiran buruk melintas di dalam kepalanya. Sulis bermaksud untuk membuka jendela kamar itu saat kakinya terpeleset.Bruggghhh! "Awwww!!"Sulis memekik saat pant*tnya terjatuh di tanah. Dia mendesis kesakitan saat berusaha berdiri dari tempatnya terjatuh. Perempuan itu mengibas-ngibaskan rok nya lalu kembali ke teras rumahnya yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah mbok Darmi. Dengan lemas, Sulis duduk di anak tangga rumahny
Sulis segera membaca ayat kursi, surat Al-Ikhlas, An-Nas dan Al-Falaq bersamaan dengan dada berdebar. Dan bacaannya semakin keras saat bola api itu melaju ke arahnya dengan cepat!"Allahuakbar!" pekik Sulis seraya memejamkan mata dan berjongkok di samping ranjang Adinda. "Ibu!"Mendadak terdengar suara Damar yang muncul di hadapan Sulis. Damar yang muncul tanpa mata itu berdiri dan merentangkan kedua tangannya seolah menghalangi banaspati untuk menyerang ibunya. Mulut Damar membentuk huruf 0 dan meniupkan angin yang keluar dari mulutnya sehingga mengusir banaspati itu. Banaspati itu berbalik dari hadapan Damar lalu melayang-layang di sekitar kamar Sulis. Sulis memperhatikan banaspati itu dengan tegang. Dia teruskan membaca ayat kursi dan surat-surat pendek lainnya yang dihapalnya di luar kepala. Bahkan Damar pun ikut membacanya. Tak berapa lama berselang, banaspati itu terbang keluar dari kamar Sulis.Sulis menghela nafas lega. Sosok yang mirip Damar di hadapan nya membalikkan bada
Sulis menangis tergugu. Hatinya sesak. Mendadak dia mendengar suara jeritan yang menyayat dari rumah mbok Darmi. "Aarghhh, tolong!!!"Sulis yang tadinya duduk bersimpuh di lantai dengan memegang buku harian Damar, sekarang mencoba berdiri dengan susah payah karena kaki dan lututnya masih terasa gemetaran. Pikiran Sulis masih mencerna cerita yang baru saja dibacanya. Akhirnya setelah menstabilkan nafas, dengan perlahan Sulis mengembalikan buku Damar ke tempat nya semula. Baru saja Sulis hendak menengok rumah mbok Darmi dari jendelanya yang terbuka, Sulis mendengar suara tangis yang begitu kencang. Setengah berlari, Sulis menuju ke kamar Adinda dan mencari penyebab Adinda menangis. Segera digantinya popok Adinda yang basah terkena buang air besarnya, dengan popok baru yang bersih. Lalu Sulis segera mengambil jarik dan menggendong Dinda sambil membawanya keluar rumah menuju rumah mbok Darmi, asal suara teriakan itu. "Tolong! Tolong ibu saya!"Baru saja Sulis menutup dan mengunci pint
'Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?' batin pak Slamet galau bercampur bingung seraya melihat dengan sedih ke arah mbok Darmi yang masih pingsan. Mendadak pinggang Slamet dicolek dari belakang. Kepala desa itu menoleh dan melihat Surti yang tengah kebingungan. "Pak Slamet, saya ...""Ada apa Sur, kamu bilang saja."Surti menatap ke arah ibu angkat nya yang masih tertidur pulas. "Hm, saya bingung tentang ibu mau dirawat dikelas berapa?" tanya Surti ragu. "Sementara saya tidak punya cukup uang."Pak Slamet berpikir sejenak, 'duh kalau aku minta mbok Darmi dirawat di ruang yang bagus atau VIP, pasti nanti banyak warga yang merasa iri dan bertanya-tanya tentang hal ini. Mereka bisa curiga pada kami. Tapi kalau mbok Darmi dirawat di ruang bangsal, apa nanti tidak marah ya? Kalau begitu, lebih baik dirawat di kelas satu saja. Walaupun tidak ruang paviliun, setidaknya pasiennya tidak perlu berjubel,' batin Slamet. Akhirnya lelaki itu menatap ke arah Surti."Dirawat di kelas 1 saja.
Sulis baru saja memakaikan baju pada anaknya, Dinda, setelah anaknya mandi, saat ponselnya berbunyi nyaring. Dia segera meraih ponsel nya sambil menimang sang anak. "Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu Sulis. Ini pak Eko. Apa yang ingin ibu sampai kan?" tanya Pak Eko dari seberang telepon. "Hm, sebenarnya hal ini sangat aneh. Bersangkutan dengan hal mistis."Sulis menjeda kalimatnya. Menunggu reaksi guru anaknya itu. "Hal mistis? Maksudnya apa ya, Bu?" "Apa bapak percaya tentang santet dan jin qorin?"Suasana hening sejenak. "Jujur saja saya adalah orang yang selalu menggunakan logika dalam segala hal. Tapi saya juga mempercayai bahwa makhluk astral seperti itu ada, walaupun saya belum pernah melihatnya langsung."Suasana hening sejenak. Sulis dan Pak Eko sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Pak, saya ingin mengatakan hal yang sejujurnya. Saya tidak tahu harus mengatakannya ke siapa. Saya menanggung nya seorang diri dan dada saya serasa sesak saya ingin menceritakan pa
Beberapa tahun yang lalu,Darmi pulang dari sekolah dengan mengendarai sepeda kayuhnya saat dia melihat kucing cantik yang kakinya sedang terluka di pinggir jalan depan sebuah rumah sederhana.Gadis itu segera turun dari sepeda nya lalu menghampiri kucing berwarna hitam."Hai, kamu cantik sekali! Nama kamu siapa?"Awalnya kucing itu tampak ketakutan dan hendak lari, tapi karena kaki nya terluka, dia hanya bisa pasrah saat Darmi mengelus tubuh berbulu nya. "Darah kamu keluar banyak. Aku ikat dulu dengan pita rambut ku ya agar darahnya tidak keluar lagi," ujar Darmi seraya berlutut dan membelai kucing itu. Dengan cekatan, Darmi pun melepas kan pita yang mengikat rambut kepang duanya lalu mengikatkan nya ke kaki kucing di hadapannya. Setelah selesai, Darmi menggendong kucing di hadapannya dengan hati-hati. "Jangan sentuh kucing saya!" seru seorang laki-laki tampan dan gagah yang keluar dari rumah sederhana di hadapan Darmi. Gadis itu tercengang dan melepaskan kucing dari pelukan nya.
(Masih) beberapa saat sebelumnya,Firasat Abdi mengatakan ada yang tidak beres. Maka dia pun mengikuti mobil Slamet dengan motor maticnya. Abdi melajukan motornya dengan gusar, sesekali dia melihat ke kiri dan ke kanan jalanan yang lengang. Hari ini masih sore lepas ashar, tapi entah kenapa jalanan sudah lengang. Abdi menatap ke mobil sedan warna merah di hadapannya, memastikan tidak ada suara minta tolong atau apapun yang terlihat wajar sehingga dia bisa lapor ke polisi. Tapi nihil, tidak ada reaksi dari bocah gelandangan yang tadi dibawa masuk ke mobil itu. Abdi meraba ponsel di saku celananya. Dia mendesis kesal saat menyadari jika ponselnya ketinggalan di rumah. Padahal dia sangat ingin merekam mobil itu, atau paling tidak menyimpan gambarnya. Akhirnya Abdi hanya bisa mengingat-ingat warna mobil dan plat nomornya saja. Mendadak mobil itu berhenti di pinggir jalan, tepat di sebuah warung bakso. Tapi tidak ada tanda-tanda penghuni mobil itu akan keluar ke warung. Abdi pun iku
Ustadz Amir, Eko, Anisa, dan Raden menuju rumah kontrakan Surti. Gadis itu langsung menghambur bersimpuh memeluk kaki Sulis. "Mbak Sulis, maafkan aku!" ujar Surti seraya menangis tersedu-sedu. Sulis yang sedang menggendong Dinda hanya bisa terdiam di tempatnya. Dia melirik ke arah luka di lengan Surti yang terbuka. Batinnya ingin memaki-maki Surti tapi di sisi lain dia tidak tega melihat Surti yang telah sebatang kara itu. "Mbak Sulis, jangan diam saja! Aku nggak mau Damar meneror ku terus menerus! Bilang pada arwah anak kamu agar jangan menghantui ku, Mbak!"Sulis hanya menundukkan kepalanya. Sementara yang lain menghela nafas, melihat kondisi ruang tamu Surti yang penuh dengan bunga. Sementara dukun yang dipanggil Surtu telah kabur terbirit-birit saat sadar Surti terluka karenanya. "Bangun lah, Sur. Meskipun aku sulit melupakan kesalahan mu dan keluarga mu, tapi luka kamu harus diobati dulu."Sulis menjeda kalimat nya. "Lalu, biar polisi yang memutuskan tentang kesalahan kamu ini
"Uang dari jin Anjing dan kamu tidak berhak menikmati nya. Mengakulah pada polisi dan serahkan uangnya pada anak-anak terlantar dan keluarga korban penculikan mbok Darmi, Mbak!"Surti gemetar ketakutan, apalagi saat menatap mulut Damar yang ternganga mengeluarkan cairan hitam, pekat, dan berbau anyir. Surti menjerit-jerit sambil bersimpuh dan menutup mukanya. "Jangan sakiti aku! Pergi kamu, Damar!""Aku tidak akan pergi sampai kamu menyerah kan diri pada polisi!" Damar mendekat ke arah Surti dan gadis itupun berteriak dan menjerit-jerit sampai pandangan matanya menggelap. ***Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam rumah Surti, membangunkan gadis itu dari tidurnya yang berada di atas lantai kamar. Surti merasakan kepalanya pusing dan perlahan gadis itu duduk dan mengucek matanya. Perlahan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Dipijitnya pangkal hidung karena Surti merasa kepalanya begitu pening."Astaga, Damar! Iya, aku ingat
Seumur hidup Raden menjadi polisi baru kali ini dia mengalami kejadian mistis yang aneh seperti saat ini. Dengan ngeri dia melihat Surya yang kehilangan matanya lengkap dengan lolongannya yang mengerikan. Mendadak ponsel nya yang sedang digenggam nya untuk menyinari bagian bawah jurang, berdering. Dengan cepat Raden menerima panggilan telepon dari Ustadz Amir. "Assalamualaikum, ada apa, Ustadz? Aduh, sinyalnya putus-putus," keluh Raden. "Waalaikumsalam. Iya. Kamu dimana pak Raden? Share loct sekarang ya? Saya akan menuju ke tempat kamu saat ini!" Tut Tut Tut!Panggilan terhenti karena sinyal yang buruk. Akhirnya Raden pun mengirimkan letak lokasi nya saat ini pada ustadz Amir. Perlu menunggu waktu beberapa saat sampai letak lokasi Raden bisa diterima di ponsel Ustadz Amir. Setelah mendapat kan lokasi Raden secara pasti, Ustadz Amir segera berlari sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh Raden. Sementara itu Raden masih berusaha untuk menelepon ambulance yang masih selalu gagal
Beberapa saat sebelumnya,Dinda telah tenang dalam pelukan Anisa, sedangkan Ustadz Amir, Eko, dan Raden berkumpul di ruang tamu ruang Eko. "Ini tidak masuk di akal. Masa aku harus percaya dengan keterangan dari makhluk tak kasat mata?" tanya Raden. Matanya menyapu ke arah Ustadz Amir dan Eko. "Raden, apa kamu lupa bahwa atas petunjuk siapa jasad beberapa anak korban penculikan ditemukan?" tanya Eko menatap balik ke arah temannya yang selalu menggunakan ilmu logika itu. "Itu ... kan atas keterangan Tukiman, memangnya siapa lagi?" tanya Raden lagi. "Baiklah. Kalau memang penemuan jasad anak-anak itu semata-mata karena kesaksian dari Tukiman, apakah kamu bisa menjawab bagaimana cara Tukiman ma ti?" tanya Eko sekali lagi. Dan kali ini Raden tampak kebingungan menjawab pertanyaan Eko. "Itu ... seperti nya karena ada sejenis ular atau biawak yang masuk ke dalam penjara lalu memakan bola mata Tukiman," sahut Raden. Nada suaranya terdengar tak yakin. Tapi hal itu lebih dia percayai darip
Beberapa waktu yang lalu,Surya dan mbok Darmi telah mengatur siasat untuk membawa Sulis ke vila milik Slamet.Namun, saat mendatangi rumah Sulis, mereka hanya menemukan Eko yang sedang hilir mudik di dalam ruang tamunya. "Btary, kata Slamet dulu di rumah ini dipasangi cctv dan seperti nya penghuni rumah ini bukan Sulis lagi. Aku ingin kita mengamati lagi kemana Sulis saat ini," ujar Surya yang duduk di belakang kemudi. "Baiklah. Aku sih terserah kamu, Sur," sahut Btary Ayu santai seraya mengunyah melati dari cawan kayu yang dibawanya. Akhirnya mereka mengikuti Eko berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar sampai Eko pulang ke rumah nya. Surya dan Btary ayu terkejut saat melihat Sulis sedang menggendong Dinda keluar dari rumah Eko. "Wah, ternyata ada di sini si Sulis. Bagaimana caranya agar kita bisa membawanya?" gumam Surya lebih kepada dirinya sendiri. "Kita ikutin saja dulu gerak-gerik nya. Lalu saat Sulis sedang sendirian atau tidak siaga, kita akan membawanya segera," sahut
"Slameeet!!!" Surya berseru seperti orang kehilangan akal dan menghambur ke arah anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi."Met, Slamet!"Surya dengan panik mendekat ke arah jasad Slamet yang sudah terbujur kaku, lelaki itu berlutut di samping jasad anaknya. Dengan perlahan diusap nya punggung Slamet yang berdarah-darah dan tertembus batang pohon jambu air itu. "Ini semua gara-gara set*n sialan itu! Awas saja kamu setaaan!" seru Surya berteriak dengan suaranya yang parau. Slamet dengan penuh amarah mencoba melepaskan jasad Slamet dari batang pohon jambu air itu. Dengan susah payah, akhirnya Surya berhasil memisahkan tubuh Slamet dari potongan pohon yang menancap di tubuh nya. Dengan nanar, dipandanginya tubuh Slamet dengan luka yang menganga begitu dalam di perut Slamet. "Bapak tidak akan diam saja melihat kamu disakiti seperti ini, Met. Bapak akan balas dendam. Bapak akan membalas kan dendam kamu!" Dengan tertatih, Surya menyeret tubuh Slamet ke dalam rumah, lalu memandikan nya d
Warning : ada adegan gore ya kak... 🙏🏻Saat tangannya terulur ke arah jendela, Slamet sangat terkejut karena melihat ibunya yang berdiri mematung menatap nya di bawah pohon mangga di halaman tengah rumahnya. "Ibu?" desis Slamet terkejut. Dia dan mbok Darmi berpandangan selama beberapa saat. Mendadak lampu tidur di kamar Slamet padam selama beberapa detik. Lalu beberapa saat kemudian langsung menyala. Slamet sejenak menatap ke arah lampu kamar tidurnya dan menelan ludah, dan saat teringat ibunya yang berada di samping kamar tidurnya, Slamet segera menoleh lagi ke arah luar jendela kamarnya. Dan rupanya ibunya menghilang. Hanya desau angin malam yang menampar pipinya. "Apa aku salah lihat ya?" tanya Slamet seraya menarik daun jendela nya yang terbuat dari kayu. "Aaarrgghhhh!"Bertepatan dengan dia yang menarik daun jendela nya agar tertutup, sepotong tangan berkudis dan bernanah menarik tangannya diantara teralis jendela. Slamet menjerit sejadi-jadinya saat menatap mata ibu nya
Suara ketukan di pintu rawat inap Mbok Darmi, membuat Surti tersentak dan mengalihkan pandangan nya dari ponsel iPhone yang selama ini dirahasiakan nya. Surti lalu beranjak ke pintu dan terkejut saat melihat seorang suster yang berdiri di ambang pintu. "Mbak ini keluarga dari mbok Darmi kan?" tanya suster itu.Surti mengangguk dan suster itu mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya. "Ini ada tagihan pembayaran dari rumah sakit. Ibu Darmi sudah hampir sepuluh hari dirawat dan belum ada uang muka. Jadi pihak rumah sakit, meminta mbak ini untuk membayar tagihan selama sepuluh hari ini dahulu."Surti menelan ludah dengan susah payah. Mbok Darmi memang dirawat di ICU setelah tragedi kesurupan jin Damar, sedangkan Surti menunggu nya di paviliun agar tidak bolak balik ke rumah nya, itupun atas usul Damar. Tangan Surti meraih amplop putih itu dan memandang sang suster. "Baiklah. Saya akan baca tagihan rumah sakit dulu, Sus, baru kemudian saya bayar."Suster itu mengangguk dengan sopan
Damar baru saja dimasukkan ke liang lahat saat gerimis hujan membasahi bumi. Sulis tertegun saat menatap para penggali kubur yang mengeruk tanah dan menutupkannya ke atas makam Damar. Mendadak memori saat Damar masih hidup tergambar dengan jelas di kepala Sulis. "Damar! Damar anakku! Pak, keluar kan anak saya dari dalam dan!" seru Sulis langsung menghambur ke batu nisan milik Damar. Sulis memang bersikeras untuk mengantarkan Damar ke tempat peristirahatan terakhir nya, karena Adinda dititipkan pada istri Eko. Tapi rupanya, Sulis tidak bisa mengendalikan diri saat melihat Damar dikuburkan. Perempuan itu menangis meraung-raung saat jenazah Damar mulai tertimbun tanah. Tanpa menghiraukan hujan yang mengguyur dan tanah becek yang mengotori baju Sulis, perempuan itu berlutut dan memeluk batu nisan putra sulung nya. "Ya Allah, Damar! Kenapa Engkau memberikan aku cobaan seperti ini ya Allah! Aku nggak kuat, Ya Allah!" seru Sulis menangis dengan tersedu-sedu di atas makam anaknya. Bebe