Ratih menatap geram layar ponselnya, dugaannya selama ini tidak salah. Hanan sudah berani menyembunyikan sesuatu dari Ratih."Kurang ajar! Jadi selama ini Hanan sudah bertemu dengan wanita tidak tahu diuntung itu! Tidak bisa dibiarkan, aku harus memberi peringatan untuk wanita itu. Tunggu saja kau, Naya. Aku akan membuat perhitungan denganmu," ucap Ratih dengan penuh amarah.Ratih menyimpan ponselnya di dalam tas, dan segera beranjak pergi. Dia memutuskan untuk pergi menemui Naya. Ratih sudah mengetahui alamat Naya dari orang suruhannya."Masih pagi sudah bersiap pergi, memangnya mau kemana, Bu?" tanya Hanan saat melihat sang ibu akan keluar rumah.Ratih menghentikan langkahnya, netranya menyorot tajam pada sang putra. Ratih geram sekali pada Hanan yang masih tidak bisa melupakan Naya.''Dasar lemah, masih saja mengharapkan Naya, aku tidak akan membiarkan kalau kamu merusak rencanaku,'' batin Ratih menggerutu."Bu, kenapa diam saja?" tanya Hanan lagi mendekati Ratih."Ibu ada urusan.
[Aku ingin bertemu denganmu, apakah ada waktu?]Melisa mengembangkan senyumnya ketika melihat pesan dari Naya. Kebetulan sekali jika Naya ingin bertemu dengannya. Melisa sedang terpuruk karena sikap Ardan yang selalu mengacuhkannya, bahkan Ardan belum pulang dari luar kota.Sedangkan untuk menghubunginya lewat ponsel, Melisa sudah mencobanya berkali-kali, tapi Ardan selalu menolak panggilan darinya. Melisa merasa frustasi karena sikap Ardan yang seperti itu.Melisa segera membalas pesan yang dikirimkan Naya dengan semangat. Jika bertemu nanti Melisa ingin mendengar pendapat Naya tentang apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi Ardan.[Baiklah, Mbak. Kita bertemu di restoran dekat sekolah saja, Mbak.]Setelah mengirimkan balasan, Melisa bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Melisa masih rutin ke sekolah untuk mengajar kembali. Dia tidak mau terus di rumah sendirian dan hanya kepikiran tentang Ardan, lebih baik dia pergi ke sekolah dan bertemu dengan murid-muridnya yang menggemaskan.
"Kurang ajar, aku tidak mengira kalau Naya menikahi pengacara yang dulu menjebloskan Hanan ke dalam penjara," gerutu Ratih saat sudah di dalam taxi.Ratih masih ingat betul sosok pengacara yang membela Naya dulu. Dia tidak pernah menyangka kalau mantan menantunya itu menikah dengan pengacaranya sendiri."Pasti Naya sudah tertarik padanya saat masih menjadi istri Hanan, aku yakin dia meminta berpisah dari Hanan karena sudah ada pengacara itu," geram Ratih sembari mengepalkan tangannya. "Aku harus memberitahukan pada Hanan seperti apa wanita yang tidak bisa dilupakannya itu."Ratih berprasangka buruk pada Naya tanpa tahu apapun yang dilalui oleh Naya dulu. Memang di mata Ratih, Naya selalu salah. Entah sampai kapan Ratih akan seperti itu pada Naya.Mobil yang ditumpangi Ratih berhenti di depan halaman rumah Hanan, Ratih bergegas membayarnya dan turun dari mobil. Ratih melangkah tergesa ingin segera bertemu dengan Hanan, dia sudah tidak tahan lagi melihat sang putra tergila-gila pada man
"Kau tahu, Han. Naya, wanita yang kau gilai itu wanita seperti apa?" Ratih membuka suara setelah lama terdiam.Hanan bergeming, dia tidak menanggapi pertanyaan Ratih. Dia muak dengan ibunya yang tidak pernah suka dengan Naya sehingga Ratih memisahkan dirinya dengan Naya."Naya, wanita yang kau cintai itu tidak lebih dari wanita murahan ....""Diam, Bu! Jangan menghina Naya, aku tidak akan membiarkan Ibu menghina Naya lagi. Sudah cukup, aku tidak mau mendengar Ibu berbicara lagi," sentak Hanan memotong pembicaraan Ratih.Ratih diam seketika mendengar Hanan sudah berani kepadanya. Putranya yang dulu sangat penurut sudah berani membangkang padanya. Ratih harus mengatur rencana untuk membuat Hanan kembali dalam genggamannya.Suasana di dalam mobil kembali hening, Hanan sudah enggan berbicara pada Ratih. Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang Ratih ucapkan. Seharusnya dari dulu Hanan tidak perlu mengikuti apa yang sang ibu katakan. Hanan sungguh menyesal sekarang, kalau saja dia tidak
"Bunda, Aryan mau coklat." Aryan menarik pelan tangan sang bunda yang digandengnya. Mereka baru saja keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil.Naya menolehkan kepalanya melihat Aryan, dia melebarkan senyumnya menanggapi permintaan putranya itu. "Baiklah, tapi Aryan cuma boleh makan satu coklat saja.""Siap, Bun," teriak Aryan kegirangan."Baiklah, kalau begitu Bunda belikan dulu, kebetulan di depan sana ada minimarket," ucap Naya setelah melihat ada minimarket di depan restoran tempatnya bertemu dengan Melisa."Biar aku saja yang beli, Nay. Kamu tunggu di mobil saja dengan anak-anak," ucap Alan kepada Naya.Naya menggeleng, "Jangan Mas, aku juga ingin membeli sesuatu di sana. Kamu saja yang tunggu di mobil, aku tidak akan lama. Hanya tinggal menyebrang saja kok." Naya menolak usulan suaminya dengan halus."Baiklah, tapi hati-hati, Nay."Naya tersenyum mendengar ucapan Alan, suaminya itu selalu sangat khawatir padanya. Naya akui kalau Alan terlalu memberikan perhatian berlebihan
Alan berjalan mondar mandir di depan ruang rawat Naya, dia sedang dilema. Alan bingung harus bagaimana menjelaskan kepada istrinya itu kalau Hananlah yang berada dalam kecelakaan yang menimpanya dan sekarang sedang dalam keadaan yang sangat kritis."Aku harus bagaimana? Apa Naya akan kuat menerima kenyataan yang sebenarnya terjadi?" gumam Alan gelisah.Alan masih bimbang, dia tidak ingin membuat sang istri berada dalam kesedihan lagi. Mendengar Melisa kritis saja sudah sangat membuatnya terpukul, apalagi jika harus menceritakan yang sesungguhnya.Hati Alan gamang, dia bingung harus meminta pendapat dari siapa. Tidak mungkin dia bertanya pada Irham, bukannya mendapat solusi, Irham bisa mengamuk jika mengetahui kalau Hanan dan ibunya ada di balik kecelakaan yang menimpa sang adik.Netra Alan berbinar ketika melihat sepasang suami istri berjalan dengan cepat ke arahnya dengan raut panik. Akhirnya dia bisa meminta pendapat dari orang yang tepat."Bagaimana keadaan Mbak Naya, Mas? Apa luka
"Maaf apa benar di sini rumah keluarga Ibu Melisa?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu rumah Widia dengan memakai seragam polisi.Widia mengernyitkan keningnya, dia memandang heran dengan kedatangan polisi tersebut. "Iya, Pak. Ada apa ya?" tanya Widia."Kedatangan saya kemari ingin memberitahukan bahwa Ibu Melisa telah mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit," jawab polisi tersebut."Astaghfirullah, Melisa." Widia terkejut mendengar jawaban polisi di depannya itu. "Lalu bagaimana keadaan menantu saya sekarang, Pak?""Maaf saya kurang tahu, Bu. Ibu bisa melihatnya langsung di rumah sakit.""Baiklah, Pak. Terima kasih sudah memberikan kabar tentang menantu saya.""Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya permisi." Polisi tersebut pamit pergi dari rumah Widia.Widia segera menutup pintu setelah polisi tersebut menghilang dari pandangannya, dia melangkah cepat mengambil ponselnya dengan panik untuk segera menghubungi Ardan. Walau Widia tahu hubungan Arda
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak