"Kurang ajar, aku tidak mengira kalau Naya menikahi pengacara yang dulu menjebloskan Hanan ke dalam penjara," gerutu Ratih saat sudah di dalam taxi.Ratih masih ingat betul sosok pengacara yang membela Naya dulu. Dia tidak pernah menyangka kalau mantan menantunya itu menikah dengan pengacaranya sendiri."Pasti Naya sudah tertarik padanya saat masih menjadi istri Hanan, aku yakin dia meminta berpisah dari Hanan karena sudah ada pengacara itu," geram Ratih sembari mengepalkan tangannya. "Aku harus memberitahukan pada Hanan seperti apa wanita yang tidak bisa dilupakannya itu."Ratih berprasangka buruk pada Naya tanpa tahu apapun yang dilalui oleh Naya dulu. Memang di mata Ratih, Naya selalu salah. Entah sampai kapan Ratih akan seperti itu pada Naya.Mobil yang ditumpangi Ratih berhenti di depan halaman rumah Hanan, Ratih bergegas membayarnya dan turun dari mobil. Ratih melangkah tergesa ingin segera bertemu dengan Hanan, dia sudah tidak tahan lagi melihat sang putra tergila-gila pada man
"Kau tahu, Han. Naya, wanita yang kau gilai itu wanita seperti apa?" Ratih membuka suara setelah lama terdiam.Hanan bergeming, dia tidak menanggapi pertanyaan Ratih. Dia muak dengan ibunya yang tidak pernah suka dengan Naya sehingga Ratih memisahkan dirinya dengan Naya."Naya, wanita yang kau cintai itu tidak lebih dari wanita murahan ....""Diam, Bu! Jangan menghina Naya, aku tidak akan membiarkan Ibu menghina Naya lagi. Sudah cukup, aku tidak mau mendengar Ibu berbicara lagi," sentak Hanan memotong pembicaraan Ratih.Ratih diam seketika mendengar Hanan sudah berani kepadanya. Putranya yang dulu sangat penurut sudah berani membangkang padanya. Ratih harus mengatur rencana untuk membuat Hanan kembali dalam genggamannya.Suasana di dalam mobil kembali hening, Hanan sudah enggan berbicara pada Ratih. Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang Ratih ucapkan. Seharusnya dari dulu Hanan tidak perlu mengikuti apa yang sang ibu katakan. Hanan sungguh menyesal sekarang, kalau saja dia tidak
"Bunda, Aryan mau coklat." Aryan menarik pelan tangan sang bunda yang digandengnya. Mereka baru saja keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil.Naya menolehkan kepalanya melihat Aryan, dia melebarkan senyumnya menanggapi permintaan putranya itu. "Baiklah, tapi Aryan cuma boleh makan satu coklat saja.""Siap, Bun," teriak Aryan kegirangan."Baiklah, kalau begitu Bunda belikan dulu, kebetulan di depan sana ada minimarket," ucap Naya setelah melihat ada minimarket di depan restoran tempatnya bertemu dengan Melisa."Biar aku saja yang beli, Nay. Kamu tunggu di mobil saja dengan anak-anak," ucap Alan kepada Naya.Naya menggeleng, "Jangan Mas, aku juga ingin membeli sesuatu di sana. Kamu saja yang tunggu di mobil, aku tidak akan lama. Hanya tinggal menyebrang saja kok." Naya menolak usulan suaminya dengan halus."Baiklah, tapi hati-hati, Nay."Naya tersenyum mendengar ucapan Alan, suaminya itu selalu sangat khawatir padanya. Naya akui kalau Alan terlalu memberikan perhatian berlebihan
Alan berjalan mondar mandir di depan ruang rawat Naya, dia sedang dilema. Alan bingung harus bagaimana menjelaskan kepada istrinya itu kalau Hananlah yang berada dalam kecelakaan yang menimpanya dan sekarang sedang dalam keadaan yang sangat kritis."Aku harus bagaimana? Apa Naya akan kuat menerima kenyataan yang sebenarnya terjadi?" gumam Alan gelisah.Alan masih bimbang, dia tidak ingin membuat sang istri berada dalam kesedihan lagi. Mendengar Melisa kritis saja sudah sangat membuatnya terpukul, apalagi jika harus menceritakan yang sesungguhnya.Hati Alan gamang, dia bingung harus meminta pendapat dari siapa. Tidak mungkin dia bertanya pada Irham, bukannya mendapat solusi, Irham bisa mengamuk jika mengetahui kalau Hanan dan ibunya ada di balik kecelakaan yang menimpa sang adik.Netra Alan berbinar ketika melihat sepasang suami istri berjalan dengan cepat ke arahnya dengan raut panik. Akhirnya dia bisa meminta pendapat dari orang yang tepat."Bagaimana keadaan Mbak Naya, Mas? Apa luka
"Maaf apa benar di sini rumah keluarga Ibu Melisa?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu rumah Widia dengan memakai seragam polisi.Widia mengernyitkan keningnya, dia memandang heran dengan kedatangan polisi tersebut. "Iya, Pak. Ada apa ya?" tanya Widia."Kedatangan saya kemari ingin memberitahukan bahwa Ibu Melisa telah mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit," jawab polisi tersebut."Astaghfirullah, Melisa." Widia terkejut mendengar jawaban polisi di depannya itu. "Lalu bagaimana keadaan menantu saya sekarang, Pak?""Maaf saya kurang tahu, Bu. Ibu bisa melihatnya langsung di rumah sakit.""Baiklah, Pak. Terima kasih sudah memberikan kabar tentang menantu saya.""Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya permisi." Polisi tersebut pamit pergi dari rumah Widia.Widia segera menutup pintu setelah polisi tersebut menghilang dari pandangannya, dia melangkah cepat mengambil ponselnya dengan panik untuk segera menghubungi Ardan. Walau Widia tahu hubungan Arda
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak
"Sudah, Nay. Kamu yang sabar, aku lihat suami Melisa sudah sangat menyesal. Jangan lagi kamu tambah lagi penyesalannya," ucap Alan sembari mengelus puncak kepala Naya."Iya, Mas. Maaf, aku terbawa emosi karena melihat suami Melisa. Aku merasa kasihan kepada Melisa, hidupnya terlalu banyak penderitaan," sahut Naya.Alan tersenyum mendengar Naya, istrinya itu mudah sekali instropeksi diri, dia akan mengakui salah jika memang dirinya bersalah. Alan merasa sangat beruntung mendapatkan Naya sebagai istrinya.Kini mereka sedang berada di kamar rawat Naya, sedangkan Dinda pulang ke rumah Naya untuk membantu menjaga anak-anak. Kasihan mereka hanya di rumah bersama seorang pengasuh saja, Irham masih menemani Alina di rumah sakit. Dokter tidak mengijinkan Alina di rawat di rumah, mengingat kondisi Alina bisa berada dalam bahaya kapan saja.Alan tiba-tiba teringat dengan kondisi Hanan yang bertambah kritis, dia harus segera memberitahu Naya tentang kondisi Hanan. Walau bagaimanapun Hanan juga ay
"Kenapa Bunda menangis? Apa masih ada yang sakit?" tanya Aryan ketika melihat Naya masih menangis menatap sendu Aryan.Naya dan Alan sudah sampai di rumah, mereka langsung menemui Aryan yang sedang bermain bersama dengan Alisa.Naya semakin terisak mendapat pertanyaan dari putranya itu, dia sangat sedih, Aryan belum terlalu mengenal ayah kandungnya tapi ayahnya tersebut sudah tiada.Alan yang melihat Naya hanya bisa menangis pun mulai berjalan mendekati Aryan. Alan mengelus puncak kepala Aryan lembut. Dikecupnya kening putra sambungnya tersebut dengan kasih sayang."Ikut kami yuk, Nak," ucap Alan."Mau kemana, Yah? Terus kenapa Bunda menangis? Apa Bunda masih sakit, Yah? Kalau Bunda masih sakit, kita bawa ke rumah sakit lagi saja." Aryan bertanya bertubi-tubi, dia masih belum mengerti kesedihan sang bunda."Ki-ta pergi untuk melihat ayah Aryan, mau ya, Nak?" bujuk Alan lembut.Aryan mengernyit, "Ayah Aryan kan sudah di sini," jawab Aryan memutar badannya membelakangi Alan.Aryan menun
"Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Apakah masih belum ada keputusan dari Bang Irham, Nay?" tanya Alan kepada Naya yang sedang bersiap untuk ke rumah sakit.Naya menggeleng lesu menanggapi pertanyaan sang suami. Abangnya itu sangat keras kepala. Padahal Melisa tidak punya waktu banyak, keadaannya sudah semakin memburuk. Jika Abangnya belum juga memberikan keputusan, Naya takut jika Melisa tidak bisa bertahan lagi dan Alina tidak mempunyai donor untuk jantungnya lagi.Sejak sadar pertama kali, Melisa sudah tidak pernah bangun lagi. Kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit. Ardan masih ingin mempertahankan nyawa sang istri sampai Irham memberikan keputusannya.Ardan sudah rela jika sang istri memiliki keinginan untuk memberikan jantungnya pada Alina. Dia sudah ikhlas jika memang keinginan terakhir Melisa seperti itu."Kita tunggu saja, Nay. Mungkin Bang Irham masih bimbang," tambah Alan."Mau ditunggu sampai kapan, Mas? Bang Irham itu keras kepala, tidak tahu sampai kapan pikirannya itu akan berubah," sah
Ratih mengerjapkan matanya pelan, netranya bergerak ke sana kemari pelan. Memandang ruangan yang serba putih dengan aroma obat-obatan yang sangat kuat. Ratih melihat Dara yang tertidur dengan posisi membungkuk, tangan Ratih kaku ketika digerakkan untuk meraih Dara yang sedang tertidur di samping ranjangnya.Bibir Ratih bergerak tanpa suara memanggil Dara, tenggorokan Ratih terasa kering, dia ingin meminta minum pada Dara."Ra ... Da ... Ra," panggil Ratih dengan suara lirih.Dara tidak merespon panggilan Ratih, dia masih pulas tertidur. Dara kecapekan karena harus mondar mandir mengurus Ratih dan juga Hanan.Ratih pun menggerakkan tangannya dengan paksa untuk meraih Dara, walaupun tenaganya masih lemah, dia harus membangunkan Dara.Dara yang merasakan pergerakan Ratih akhirnya terbangun, "Ibu ... Ibu sudah bangun?" Dara segera bangkit dari duduknya dengan mata yang berbinar."Mi-num ...," lirih Ratih.Dara bergegas mengambilkan Ratih air putih dan membantu Ratih untuk meminumnya. Dara
"Apa? Apa maksudmu, Nay?" Irham meninggikan suaranya. Dia sedang berbicara dengan Naya di depan ruang rawat Alina."Bang, tolong jangan egois. Abang tahu sendiri kondisi Mbak Alina seperti apa. Sudah lama Mbak Alina belum juga menemukan donor untuk jantungnya, kini setelah ada yang mendonorkan jantungnya untuk Mbak Alina, kenapa Abang menolaknya mentah-mentah?"Naya sudah memberi tahu Irham tentang permintaan Melisa yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Alina. Tetapi Irham terlihat menolak permintaan Melisa."Tapi kenapa harus jantung wanita pelakor itu, Nay? Kenapa tidak dari yang lain saja?" lirih Irham."Kita tidak punya pilihan lain, Bang. Jika saja kita masih mempunyai pilihan lain lagi, tentu Abang bisa memilih sesuka hati Abang," sahut Naya menatap sendu Irham."Aku tidak bisa, Nay. Aku tidak mau Alina memiliki bagian tubuh dari wanita itu. Aku tidak bisa menerimanya, hatiku tidak bisa, Nay." Irham masih bersikeras menolak.Naya menggelengkan kepala melihat sifat keras kepala
Tidak terasa sudah satu minggu semenjak Hanan meninggal, Melisa belum juga sadarkan diri. Ardan selalu berada di samping Melisa, dia tidak pernah meninggalkan Melisa barang sejenak.Naya juga mengunjungi Melisa setiap hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Melisa walau hanya sebentar saja. Ardan dan juga Naya sudah tak lagi saling berkata tajam, mereka sudah saling bermaafan. Naya yang lebih dulu meminta maaf pada Ardan karena berbicara kasar padanya. Naya hanya ingin Ardan sadar tentang kesalahannya saja, dia tidak bermaksud melukai perasaan Ardan.Dan Ardan pun juga sebaliknya, dia juga meminta maaf atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukannya pada Naya.Hari ini Naya datang lagi menjenguk Melisa, tapi dia tidak sendirian. Alisa ikut bersama dengannya melihat kondisi Melisa. Naya pikir tidak mengapa jika Alisa ingin ikut dengannya, mungkin saja dengan kedatangan Alisa, Melisa bisa sadarkan diri.Naya sangat berharap Melisa bisa membuka matanya lagi. Dia ingin Meli
"Kenapa Bunda menangis? Apa masih ada yang sakit?" tanya Aryan ketika melihat Naya masih menangis menatap sendu Aryan.Naya dan Alan sudah sampai di rumah, mereka langsung menemui Aryan yang sedang bermain bersama dengan Alisa.Naya semakin terisak mendapat pertanyaan dari putranya itu, dia sangat sedih, Aryan belum terlalu mengenal ayah kandungnya tapi ayahnya tersebut sudah tiada.Alan yang melihat Naya hanya bisa menangis pun mulai berjalan mendekati Aryan. Alan mengelus puncak kepala Aryan lembut. Dikecupnya kening putra sambungnya tersebut dengan kasih sayang."Ikut kami yuk, Nak," ucap Alan."Mau kemana, Yah? Terus kenapa Bunda menangis? Apa Bunda masih sakit, Yah? Kalau Bunda masih sakit, kita bawa ke rumah sakit lagi saja." Aryan bertanya bertubi-tubi, dia masih belum mengerti kesedihan sang bunda."Ki-ta pergi untuk melihat ayah Aryan, mau ya, Nak?" bujuk Alan lembut.Aryan mengernyit, "Ayah Aryan kan sudah di sini," jawab Aryan memutar badannya membelakangi Alan.Aryan menun
"Sudah, Nay. Kamu yang sabar, aku lihat suami Melisa sudah sangat menyesal. Jangan lagi kamu tambah lagi penyesalannya," ucap Alan sembari mengelus puncak kepala Naya."Iya, Mas. Maaf, aku terbawa emosi karena melihat suami Melisa. Aku merasa kasihan kepada Melisa, hidupnya terlalu banyak penderitaan," sahut Naya.Alan tersenyum mendengar Naya, istrinya itu mudah sekali instropeksi diri, dia akan mengakui salah jika memang dirinya bersalah. Alan merasa sangat beruntung mendapatkan Naya sebagai istrinya.Kini mereka sedang berada di kamar rawat Naya, sedangkan Dinda pulang ke rumah Naya untuk membantu menjaga anak-anak. Kasihan mereka hanya di rumah bersama seorang pengasuh saja, Irham masih menemani Alina di rumah sakit. Dokter tidak mengijinkan Alina di rawat di rumah, mengingat kondisi Alina bisa berada dalam bahaya kapan saja.Alan tiba-tiba teringat dengan kondisi Hanan yang bertambah kritis, dia harus segera memberitahu Naya tentang kondisi Hanan. Walau bagaimanapun Hanan juga ay
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak