Saat akhir pekan, tidak biasanya Alif ikut pulang ke Kota Tangerang berbarengan dengan teman-temannya yang akan kembali ke Jabodetabek. Namun, teman-teman Alif maklum setelah melihat stelan mendaki gunungnya.
Jika teman-temannya kembali ke rumahnya masing-masing ada yang membawa oleh-oleh khas Sumur Pandeglang atau barang bawaan lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Jumat sore itu, Alif kembali membawa carier 65liternya saat pulang ke rumah.
“Bang bro, gue kayaknya hari Minggu sampai di Tangerang sekitaran Asar. Tungguin yak hehehe.”
“Emang mau naik gunung mana bang?” Tanya Fatma.
“Belum tahu nih, ya sedapatnya aja deh.”
“Lha, ini orang kok mau naik gunung tapi belum tahu tujaunnya,” Mustafa menimpali.
“Paling mau ambil sekitaran Jawa Barat bang, antara Gunung Pangranggo atau Gunung Gede deh.”
“Terus ini pulang ke rumah dulu kan?”
“Ya iyal
Alif berangkat menuju titik temu yang telah diberitahukan Rizal, yaitu di ring road Alam Sutra Tangerang Selatan. Sesampaikanya di tempat titik temu, ia melihat Rizal dan seorang lagi sedang asyik dengan gawainya.“Assalamualaikum,” sapa Alif.“Walaikumsalam, kak Alif sendirian aja?” Rizal menghampiri Alif untuk bersalaman. “Nanda, loe fokus banget sama game.”“Eh kak Alif, maaf kak hehehehe.”“Gimana persiapan bro?”“Beres kak, nesting, tikar tambahan per orang, flyhseet, dan kompor udah masuk packing semua. Sisanya sih ya tambahan aja,” jawab Rizal.“Berarti tinggal logistik ya?”“Iya kak.”“Okay nanti kita berhenti di minimarket sekitaran puncak aja ya biar nggak terlalu berat bawaannya.”Alif, Rizal, dan Nanda lalu berangkat menuju puncak ke kawasan Gunung Gede Pangrango. Mereka melewati rute BSD ke ar
“Bro, Loe jadi mau diurut Mang Asep” tanya Mustafa.“Jadi bang, beneran dah ini kaki pada sakit.”“Makanya lain kali kalau mau naek gunung cari waktu yang aga senggang dikit, loe dari sini langsung bablas naek gunung terus kesini lagi. Itu badan masih bagus cuma keram.”“Iya bang iya paham. Tapi, ini karena kemarin waktu turun gue malah lari sih soalnya kan ngejar waktu kesini bang.”****“Kak Alif beneran turun disini?” Rizal masih keheranan.“Iya nggak apa-apa bro, palingan mau sekalian bersih-bersih dulu di masjid ini sambil nunggu teman balik ke Ujung Kulon.” Alif turun dari motor dan menurunkan barang bawaannya.“Emang jam berapa kak temannya nyampe sini?”“Paling lepas magrib bro. Eh nanti motor minta tolong anterin ke rumah yak sama tenda tolong dikondisikan.”“Sip kalem, okay kita mau lanjut ya kak.”
“Astagfirullahal adzhim.” Alif menarik napas dalam-dalam dan mencoba fokus.****Tiga minggu sudah berlalu, sejak Alif pulang ke rumah. Saat kembali ke Sumur Pandeglang, Alif seakan tidak lagi memiliki gairah dalam hidup. Hari-harinya dipenuhi dengan lamunan dan diam menyendiri.Meski berulang kali ia ke pantai saat sore hari, berulang kali juga ia kembali dengan keadaan masih terpuruk. Sapuan ombak ke pasir putih di Pantai Daplangu yang diharapkan mampu menghilangkan rasa sakit di hatinya ternyata tidak berefek apa pun. Ruang kosong di hatinya bahkan tidak bisa terisi dengan kata-kata semangat dan motivasi dari orang-orang terdekatnya.“Adikmu mas, Kamu yang sabar ya.”Suara tangis, lantunan ayat Alquran, dan tanah di pusara masih membekas di ingatan Alif. Selama ini, ia berupaya bekerja sebaik mungkin untuk menjadi kebanggan keluarga, mencari uang untuk membantu ekonomi keluarga dan membiayai pendidikan adiknya.&ld
Alif menembus derasnya hujan melewati flyover Tol Serang-Panimbang, sesaat kemudian ia sudah sampai di Mandala Rangkasbitung. Ada jejak dan sisa dari nalurinya yang mengingatkan ia untuk berbelok ke arah Alun-alun Rangkasbitung. Tapi kesadaran dan logikanya jauh lebih menyadarkan keberadaan Nurul sudah hilang terhapus air hujan.Alif berhenti di minimarket lampu merah, ia berteduh sekadar mengisirahatkan tubuh karena jarak pandang pun tak kurang dari lima meter, terlalu beresiko jika perjalanan diteruskan.Ia masuk ke minimarket dan mencari cup untuk membuat kopi, setelah melakukan pembayaran di kasir ia pun mencari tempat duduk yang disediakan di depan minimarket. Asap dari kopi hitam buatannya masih mengepul.Pada rintik hujan yang membasahi semua makhluk dan benda di bumi, ia berdoa semoga segala sakit, kesulitan, pedih, dan perih yang ia dan orang-orang rasakan dapat hilang terhapus derasnya rahmat dari hujan yang diberikan Tuhan.Satu teguka
Rutinitas Alif kali ini lebih banyak dihabiskan dengan keluarganya, kembali ke Ujung Kulon saat hari kerja, dan selebihnya ia mencoba mencari peluang untuk membuka bisnis.----/Assalamualaikum....Punten kak sebelumnya mau tanya, kakak punya teman yang aktif di komunitas majlis kah? Untuk wilayah Serang dan Pandeglang?----Kembali, Alif kembali mendapat notifikasi dari Nisa. Ia berkali-kali menghela napas panjang.“Ya Allah, apa lagi ini?”----//WalaikumsalamGa punya Nis---/Ok siap nuhun kak----//Sama-samaSejak Nisa kembali membuka komunikasi dengannya, Alif hanya biasa saja saat meresponnya. Selain ia masih mencoba berdamai dengan kenyataan setelah kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya, ia juga masih belum mau membuka hati setelah hubungannya dengan Nurul kandas.Terlebih, orang yang saat ini kembali mencoba intens komunikasi dengannya ialah N
Minggu pertama di bulan Januari Alif telah mengabari orang rumahnya bahwa ia tidak pulang. Setiap awal tahun, di tempat kerjanya banyak sekali rapat-rapat penyusunan agenda dan program kerja. Segala hal yang akan ia kerjakan selama satu tahun kedepan akan disusun dalam agenda penyusunan program tahunan.Kedua orang tua Alif maklum dengan anaknya, terlebih sebagai “orang baru” yang bekerja di kampung orang Alif harus bisa menujukan kinerjanya dengan baik.“Iya Mas, Nggak apa-apa kalau minggu ini nggak pulang dulu, lagian kamu juga harus jaga kesehatan. Bolak-balik Ujung Kulon Tangerang dengan motoran kan nggak sejam dua jam. Ibu selalu doakan kamu dari sini.”Penat dan suntuknya efek dari rapat akhir tahun akhirnya Alif rasakan. Biasanya ia akan melampiaskan rasa suntuknya dengan traveling atau sekadar ke tempat-tempat alam terbuka.“Bang Zul, Minggu ini kan nggak balik nih. Otw kemana gitu yuk!”“Iya nih bt
Sesampainya di indekost, Alif baru memeriksa telepon pintarnya. Sejak sampai di Ujung Jaya yang merupakan desa terakhir di ujung Banten, ia menonaktifkan data internetnya. Beberapa notifikasi masuk, baru saja Alif menyandarkan tubuhnya di tembok kamar matanya menangkap pesan beruntun dari ibunya.----/Assalamualaikum, mas ini siapa yang datang ke rumah?----/Mas Alif, kamu ada janji apa sama Khairunnisa?----/Mas, mbo yo dibalas pesan ibu. Ini ada Nisa di rumahEmangnya kamu jadi pulang?----Jedaggh, Alif menjadi kebingungan dibuatnya. Alif belum membalas pesan dari ibunya, ia mengingat-ingat kembali apa memang ia punya janji atau mengundang Nisa ke rumahnya.----//Walaikumsalam, ibu maafin Alif baru sempat balasAlif baru pulang dari Taman Nasional Ujung KulonAlif nggak janji apa-apa atau mengundang Nisa bu, Alif mau salat dulu ya bu----Alif menenangkan pi
“Udahlah, coba aja dulu, nggak ada salahnya kan?” Mustafa merapikan dokumen kerjanya. “Emang mau sampai kapan loe nutup diri gitu mas?”“Gue nggak nutup diri bang, lagi ngerasa nggak pas aja gitu untuk sekarang.”“Mas bro, Coba deh loe pikir baik-baik. Apa ada seorang perempuan yang datang jauh-jauh dari Pasar Rebo Jakarta Selatan cuma buat numpang ngeteh doang di rumah seorang cowok, ke rumah loe?”
Di sepanjang jalan Alif terus-terusan kepikiran, duduknya tak tenang, tangannya berkali-kali melihat gawai. Baru saja Alif merasakan indahnya kebersamaan yang sedang ia bangun dengan Fatimah, tanpa ada angin dan badai tiba-tiba Nurul malah kembali membuka komunikasi dengannya. Alif tentu tidak asing dengan profil WA yang tadi mengirim pesan kepadanya, itu jelas Nurul. Meskipun nomernya sudah ia hapus, tapi tetap mudah ia kenali.Alif tidak membalas pesan yang ia dapat, ia berusaha untuk tetap menjaga rumah tangganya dengan Fatimah. Setelah semua yang ia alami saat dahulu bersama Nurul, rasanya sudah cukup ia merasakan pahitnya dikhianati. Alif hanya bisa mendoakan agar Nurul selalu baik-baik saja, bukan semata karena ia ingin membalas sakit hati yang pernah ia alami, tetapi ia pun sadar jika menyimpan rasa kesal dan sesal yang berkepanjangan hanya akan menjadi penyakit di hatinya.****“Kamu mau kemana lagi?”“Kamu kenapa sih nanya terus? Udah kayak anak kecil aja.”“Eh, aku ini istr
Hari Alif kembali ke Sumur Pandeglang, atas masukan dan dukungan Fatimah, ia akhirnya tidak jadi resign dan masih bekerja seperti biasa. Untungnya Alif masih bisa berangkat bersama dengan Mustafa dan Zulham. Teman-temannya itu lewat Tol Serang-Panimbang, jadi Alif bisa menunggu mereka di pintu keluar tol, di Rangkasbitung. Tol Serang-Panimbang memang belum sepenuhnya selesai, jalan yang sudah selesai baru sampai Rangkasbitung.Alif mendapat kabar jika proyek yang dipegang oleh timnya sudah mendapat izin dari pemerintah setempat dan dinas pariwisata, sehingga objek wisata air Wahangan yang ditugaskan padanya bisa mulai dibuka untuk umum.“Kapan nih makan-makannya, Lif? Ucap Mustafa.“Lah, loe belum makan, Bang?”“Bukannya belum makaaaaan, panjul. Proyek loe kan lancar tuh.”“Hehehe, hayuk. Nyobain ikan nila di Bendungan Cikoncang gimana?”“Dimana tuh?”“Daerah munjul, nanti ambilnya dari arah pasar Panimbang belok kiri.”“Makin jauh dong kita.”“Yah, itu sih penawaran, Kalau mau ya hay
Namun, kali ini saat hal yang sama terjadi, ia hanya diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ada kegetiran dalam hatinya, kini ia tidak lagi merasakan manisnya kata-kata indah dan penuh harap dari suaminya.Udara di kamarnya tak kunjung sejuk, keberadaan AC 2pk ditambah kipas angin seakan percuma. Guratan kecewa nampak jelas di wajahnya, tapi tetap ia coba sembunyikan saat bertemu orang lain.Saat di awal pernikahan, betapa ia merasa diperlakukan bak seorang ratu. Ia yang merupakan anak bungsu dari keluarganya, memang sangat nyaman saat dihadirkan kasih sayang. Belakangan, ia jarang mendapatkannya.Di tengah kepenatan dari sikap suaminya dan untuk menghilangkan rasa suntuknya, ia sengaja membuka gawainya, dengan maksud pikirannya bisa teralihkan. Jemarinya digerakan naik turun, lalu berhenti di salah satu status media sosial seseorang yang ia kenal di instagram.Semula ia hanya melihat kata-kata yang tertera di bawah foto itu, akhirnya ia klik juga dan masuklah ke akun si pemilik fo
/Assalamualaikum, selamata ya Mas. Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Maaf baru ngucapin selamat, aku baru liat foto profil kamu, hehehe.Btw minat maaf lagi baru tiga bulan berselang ngucapinnya.----Manisnya masa-masa awal pernikahan Alif hanya berlangsung tiga bulan, sebelum pesan dari Nurul terdampar di WAnya. Semula, ia tidak menggubrisnya. Tapi, saat pesan yang sama ia dapatkan tiga kali dalam waktu satu hari. Dengan berat hati, Alif membalasnya.----//Walaikumsalam. Terima kasih, ya.----Alif telah sepakat dengan Fatimah, mereka memulai perjalanan keluarga kecilnya tetap tinggal di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, Fatimah memang sudah meminta izin kepada Alif untuk bisa tetap dekat dengan Abahnya, yang saat ini sendirian. Sementara Alif, ia sedang mencari cara untuk mutasi ke Lebak atau memutuskan untuk resign dari pegawai negeri.Alasannya untuk mutasi, jelas karena ingin dekat dengan Fatimah dan bisa meluangkan waktu dengannya. Sebagai keluarga yang baru seum
Proyek revitasilasi kawasan wisata yang beberapa bulan lalu disurvei oleh Alif, ternyata harus memenuhi dua dokumen lagi untuk bisa dibuka untuk masyarakat umum. Kawasan wisata yang ia tangani adalah wisata air yang memiliki potensi besar jika bisa dikelola dengan baik, yaitu berupa sungai yang di sisinya berdiri tebing tinggi mirip Grand Canyon. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah “wahangan”. Semula lokasi tersebut luput dari perhatian penduduk sekitar karena memang tempat-tempat sejenis wahangan dianggap sungai biasa yang airnya biasa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Namun, dengan ketelitian dari tim yang dibawahi oleh Alif, masyarakat sekitar akhirnya menemui titik temu untuk sepakat dikelola sebagai objek wisata agar bisa menggerakan roda ekonomi warga.Hanya tinggal menunggu dokumen yang kelengkapan ternyata bisa ditangani oleh rekan kerjanya, Akif memutuskan kembali ke indekost. Besok ada hal besar yang tengah menantinya.Alif menda
“Kenapa sih mas harus selalu menjadikan alasan segala hal di masa lalu kita untuk sulit melangkah ke depan? Memahami dan belajar ilmu agama itu memang penting, wajib malahan. Tapi kalau kita bukan orang yang diberi kesempatan untuk sama dengan orang-orang yang bisa belajar ilmu agama, kenapa nggak menjadi orang yang mencegah diri dari berbuat yang bisa membuat Allah murka.” Alif masih teringat kata-kata Fatimah saat ia berbincang dengannya beberapa hari yang lalu, saat itu Alif dengan sadar mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, ia mengutarakan hal seperti itu karena merasa perlu disampaikan kepada Fatimah, tetapi Fatimah malah memberikan jawaban yang menurut Alif begitu berimbang. Fatimah sepertinya memahami bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing, tanpa harus mengungkit masa lalu dan mencari-cari alasan mengapa seseorang tidak belajar ilmu agama dengan serius, ia lebih kepada memiliki pemikiran untuk me
Azan subuh belum terdengar, fajar shadiq yang merupakan pertanda datangnya waktu Salat Subuh belum nampak, langit masih pekat. Fajar shadiq menjadi tanda sebagai batas antara akhir waktu malam dengan permulaan waktu pagi. Sayup terdengar suara seseorang yang sedang tadarus dari musala yang terletak di samping bangunan majelis talim.Satu kamar yang berada di rumah utama lingkungan pondok pesantren sudah menyala lampunya. Si pemilik kamar sudah duduk dengan hikmat di atas sajadah, lisannya basah oleh kalimat tasbih.Satu gelas teh hangat berada di meja kamarnya. Saat bangun tidur, rutinitasnya memang memasak air terlebih dahulu, membuat teh manis, satu untuk abahnya yang ia letakan di meja makan dan satu lagi untuknya sendiri. Sejak wafatnya bu nyai, Fatimah sepenuhnya berkhidmat di rumah, menjaga abah yang kesehatannya sedang naik turun.Selepas Salat Subuh, ia melanjutkan aktivitasnya dengan masuk, menyiapkan sarapan untuk abah. Baktinya dengan orang tua, sudah
Hari ini Alif ikut pulang dengan teman-temannya, baik Zulham, Mustafa, Fatma, dan Arini sepakat untuk pulang lewat jalur utama ke alun-alun Pandeglang. Kurang lebih, begitulah rutinitas orang-orang yang bertugas jauh dari rumah. Bagaimanapun kondisinya, jika memungkinkan dan ada kesempatan untuk bertemu keluarga, maka pilihan itulah yang utama. Lika-liku bekerja jauh dari rumah memang masih mereka jalani, ada yang sewaktu-waktu harus pulang lebih awal karena ada keperluan menyangkut keluarga yang amat mendesak, ada pula yang mesti rela tidak pulang hingga beberapa bulan karena banyak pekerjaan atau kondisi kesehatan yang menurun.Walaupun banyak orang-orang yang menyarankan kepada Alif dan teman-temannya untuk menetap di Sumur Ujung Kulon. Namun, tetap saja pada episode ini yang menjadi tokoh utama jelas Alif dan teman-temannya. Terkadang, ketika seseorang memberikan saran, tidak mendalami dan memahami betul kondisi atau pertimbangan mendasar mengapa sampai saat ini Alif dan teman-tem
“Udah nih pakaiannya, pada salin gih.” Pak Nandi memberikan pakaian ganti.“Iya loe bang, sana gih. Mana belum Salat Asar,” Fatma menimpali.“Eh, jam berapa ini ya?”“Udah mau jam lima bang.”Alif menuju kamar mandi yang sekaligus tempat untuk membilas bagi orang-orang yang mandi di pantai. Di Pantai Daplangu disediakan musala panggung yang bersebelahan dengan kamar mandi, tidak jauh dari gerbang pintu masuk.Setelah puas hampir tiga jam Alif bermain air di Pantai Daplangu, mereka sepakat untuk pulang.“Gimana rasanya Lif? Masih penasaran nggak?”“Hahahaha, kalau tahu asyik kayak gini dari kemarin-kemain aja yak nyeburnya.”****Untuk menghilangkan rasa suntuk, Alif sengaja mengupload fotonya saat di pantai.-----/Jalan-jalan terooooos----Satu pesan WA masuk, mengomentari status WA Alif.----//He