Dengan senyum mengembang, aku turun lagi, berjalan ke dapur memenuhi panggilan nenekku. Cupping hidungku langsung bergerak kembang kempis, ada aroma wangi yang sangat menggugah selera. "Masak apa Nek?" Aku melihat ke wajan. "Lagi goreng bakwan jagung kesukaanmu," kata Nek Ipah. "Udah ada yang mateng?" Mataku langsung berbinar, aku sangat suka bakwan jagung buatan nenek-nenekku. "Tuh," tunjuk Nek Ipah dengan mengerucutkan bibirnya ke arah sudut dapur. Dengan semangat aku langsung ke situ, mencomot satu bakwan yang ternyata masih sangat panas."Uh panas." Sontak aku mencampakkan bakwan itu lagi ke piring. Nek Ipah dan Nek Wiyah tertawa melihat tingkahku. "Oalah Ndok, bukannya pake tisu megangnya," kata Nek Ipah. "Haya kok sore banget pulangnya?" tanya Nek Wiyah. Diambilkannya satu bakwan dengan tisu, dibelah dua biar cepat hangat. Sejak kecil kalau, makananku masih panas, Ayah memang melarangku meniup makananku. Tunggu hangat baru dimakan. "Ke rumah temen tadi Nek." Terpaksa bo
"Huihh, segernya. Astaghfirullah!" Aku terlonjak melihat wajah Dara tau-tau langsung nongol ketika aku membuka pintu kamar mandi. "Hehe, bisa kaget juga." Dara malah cengengesan. Dasar! Hantu koplak. "Ya bisalah. Beruntung jantung ini buatan Tuhan, kalau buatan manusia udah jatoh kali," sungutku. Kulepas handuk yang melilit rambutku, aku udah langsung pakai baju tidur dari kamar mandi tadi. Kukibas-kibaskan rambutku agar cepat kering. "Hei, pelan-pelan dong! Nyiprat nih," gerutu Dara."Loh, kena? Kirain airnya tembus juga." Gantian aku yang cengengesan. Seandainya kalian bisa lihat, betapa lucunya ekspresi Dara.Aku berulangkali mengelap rambutku dengan handuk, agar tak ada sisa air yang menetes."Eh, Riko mana?" tanyaku sambil merapikan rambutku dengan jari-jari tanganku."Nggak tau. Ngapain nanyain dia?" "Emang nggak boleh?""Bukan nggak boleh, kali aja kamu ada perlu." "Nggak juga sih. Aku pikir, kalian selalu bareng." "Nggak juga. Dia memang suka ngilang." "Loh, hantu kan
"Haya." Kudengar ada yang memanggilku. Suaranya berbisik seperti dibawa oleh angin. "Siapa itu?" tanyaku pada suara yang memanggilku. Aku mengedarkan pandanganku.Dimana aku? Kamar siapa ini?"Haya." Suara itu lagi. Suara seorang laki-laki. Kepalaku menoleh kesana kemari, tak ada siapa-siapa. Aku keluar dari kamar dengan berjingkat. Aku merasa diawasi. Padahal gak ada siapa-siapa di sini.Rumah ini kayak rumah zaman dulu. Semua perabotannya terbuat dari kayu yang hanya di pelitur saja. Sangat klasik tapi terkesan elegan. "Halo. Apa ada orang?" Aku beranikan diri untuk bertanya, tapi nggak tau juga, bertanya pada siapa. Aku terus berjalan menyusuri rumah ini. Saat membuka pintunya, mataku langsung tertumbuk pada sebuah patung kuda yang ada di halaman depan rumah. Patung kuda itu terlihat seram sekali, tapi gagah. Kayak kuda yang ada di film-film perang. Warnanya coklat keemasan, dengan surai panjang. Kakinya diangkat ke atas, dengan sorot mata tajam seperti sedang marah."Haya." S
Kaki kuda itu tiba-tiba bergerak. Dia seperti ingin mendekatiku. "Cepat Haya, pergi!" titah Bunda."Haya, ini Kakek." Bapak itu juga bangkit dari duduknya. Sorot matanya membuat aku takut. "Haya, ayo Nak. Kita pulang!" Bunda menarik tanganku sangat kuat."Haya. Bangun Sayang." Suara siapa itu. Kenapa jadi banyak suara memanggilku. "Haya." "Haya."Seperti ada yang menepuk ringan pipiku. Perlahan kubuka mataku, berat sekali. Kukerjabkan mataku berulang kali, agar bisa melihat dengan jela, dimana aku sekarang. Ini kamarku, nggak salah, aku udah ada di dalam kamarku lagi. Ketiga nenekku dan kakek juga ada disini. Mereka memandangku cemas. Nafasku sangat memburu, seakan habis berlari jauh. "Ayah." Kenapa aku jadi lemas begini. "Minum dulu Ndok." Nek Ipah menyodorkan air putih yang dipegangnya. Ayah membantuku duduk. Dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Ayah mengambil gelas itu dari tangan Nek Ipah, dan membantuku untuk minum. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Ayah. Rasanya aku belum b
"Nanti cerita sama Nenek ya." Nek Wid bangkit juga. Aku menggandeng tangan nenekku. Tak lupa, kubawa juga sisa bakwan jagungku yang sudah dingin.Dari atas aku bisa melihat, ayah, kakek, Nek Ipah, Nek Wiyah, Pak Dirman sama Bik Jum bersiap mau sholat. Nek Wid mempercepat langkahnya. Dia terburu-biru agar tak ketinggalan. Sambil menunggu, aku duduk santai saja di ruang keluarga sambil menikmati bakwan jagungku. Tak kuhidupkan tivi, takut mengganggu konsentrasi yang sedang sholat. Aku masih memikirkan mimpiku tadi. Bunda, kenapa Bunda tak hadir di dunia nyataku. Kenapa di mimpiku tadi, Bunda datang. Apakah Bunda hanya akan datang kalau aku sedang butuh pertolongan? Walaupun hanya mimpi, cukup mengobati rasa rinduku sama Bunda. Siapa laki-laki tadi? Kenapa dia mengaku kakekku? Dia meminta Nek Wid untuk datang menemuinya. Tunggu dulu, ini seperti sebuah teka teki rasanya. Nek Wid, Ibu kandung Ayah kan? Kek Darma, Bapak Ayah. Tapi mereka bukan suami istri. Hah, aku kok baru kepikiran
"Kamu kok nanya gitu?" tanya Ayah heran.Ceritain nggak ya, tentang mimpiku tadi sama Ayah. Nanti pasti dianggap bunga tidur lagi. Tapi aku merasa yakin, itu bukan mimpi biasa. "Ditanya malah diam," kata Ayah lagi."Tadi di mimpi Haya. Ada bapak-bapak ngaku kakek Haya. Wajahnya mirip sma Ayah, tapi nggak terlalu mirip sih." Cerita aja lah. Daripada aku terus penasaran dan bertanya-tanya sendiri. "Itu hanya bunga tidur," kata Ayah. Tuh kan, benar dugaanku. Pasti Ayah akan bilang hanya bunga tidur. Gak jadi cerita semua ah. Cerita dikit aja, udah nggak asik.Tapi, kok ekspresi Ayah jadi terlihat cemas. Kakek sama nenek-nenekku juga. Kelihatan mereka kayak agak serba salah gitu. "Mau kemana Nek?" tanyaku pada Nek Ipah yang bangkit lebih dulu. "Mau buat teh. Haya mau?" kata Nek Ipah."Nggak Nek." Aku mencoba fokus dengan tontonan yang ada di layar kaca, ekor mataku melirik seluruh keluargaku, kok kayaknya jadi pada diem. Nek Wiyah juga bangkit, kali ini aku nggak nanya apa-apa, past
Cantik sekali pemandangan malam ini. Masih tampak semburat jingga di ujung sana, yang hampir tertutup awan. Senja baru berlalu, akan berganti dengan malam. Tapi sang matahari masih enggan tenggelam dengan sempurna, hingga semburat merah pun masih mengintip dengan malu-malu.Wajar saja, Maghrib baru saja berlalu. Apalagi hari ini cuaca cukup cetar membahana, hingga malam terasa lambat merayap menggantikan siang hari. Kok aku jadi puitis gini hehe. Habis pemandangannya indah sekali, dilihat dari atas begini. Siapapun akan mendadak menjadi melow. Hhhh, kok aku jadi kepikiran mimpiku tadi. Apa benar hanya bunga tidur saja? Tapi … aku merasa, ada sesuatu dalam mimpi itu. Tapi apa? Kenapa Ayah tak jawab pertanyaanku tadi. Kakek juga diam aja. Nenekku semua juga diam, nggak ada yang menjawab. Kalaupun benar Kek Darma bukan Bapak kandung Ayah, nggak ada salahnya kan? Diamnya Ayah, justru membuat aku jadi penasaran. "Ngapain?" "Hah, kamu!" Dara bikin kaget aja. Orang lagi mikir berat, di
"Mereka memang sayang sama aku. Tapi tak bisa meluangkan waktu buatku, alasannya karena aku sudah cukup besar, sudah mandiri." Dari cara bicaranya, aku tau kalau Dara sedang sedih saat ini. "Huh, ternyata hantu sama juga kayak manusia ya. Bisa merasa sedih juga." "Iya dong. Kamu tuh jauh lebih beruntung dari aku. Banyak yang sayang sama kamu." "Tapi tetap aja, beda rasanya kalau nggak ada Bunda." "Memang benar ya, manusia nggak ada kata puas." Aku melengos mendengar kata-kata Dara. "Ra, aku tadi mimpi." "Mimpi apa?" "Aku mimpi, berada di sebuah rumah yang sama sekali belum pernah aku lihat. Disana aku bertemu Bapak-bapak yang mengaku kakekku." Lebih baik aku cerita sama Dara, siapa tau dia ngerti arti mimpi hehe. "Kakekmu? Bukannya kakekmu di sini. Atau kamu punya kakek yang lain?" "Nggak tau juga. Aku udah coba cerita sama Ayah, tapi Ayah bilang hanya bunga tidur. Tapi ada yang aneh di depan rumah itu." "Maksudnya?" tanya hantu manis yang tetap berpakaian ala remaja yang hi
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc