Patty kaku pada posisinya. Titik laser merah itu mengarah ke tengah dahinya. Keheningan yang mencekam seketika mengambil alih perasaan Patty dan juga Richie. Masih tegap pada posisinya, Patty melirik Richie dengan sudut matanya.
Patty merapatkan giginya dan berbisik, “kali ini aku pasti mati.”
Richie meragukan sikap skeptis Patty. Seandainya snipper itu berniat membunuh, pasti dia sudah melakukannya sejak tadi. Pembunuh macam apa yang menunggu bermenit-menit hanya untuk menembak musuh yang begitu mudah untuk ditumbangkan.
Richie menggelengkan kepalanya. “Masuk. Dia tidak akan membunuhmu.”
“No,” desis Patty.
“Go! Trust me! (percaya sama aku)” seru Richie, mulai kehilangan kesabarannya.
“No! Aku bisa mati!”
Richie mengerang frustasi. Tangannya merogoh laci dan meraih bobcat-nya. Dia harus bergegas melakukan sesuatu agar gadis itu mau menurut. Di pungutnya tas yang semalam
Patty mengarahkan moncong pistol ke arah dua orang yang bersitegang. Posisi Richie memunggungi Patty. Karena itu, butuh perhitungan matang bagi seseorang yang baru memegang senjata api untuk menembak tepat sasaran. Kecuali dia memang mengincar Richie.“Patty! Aku tahu kau memegang pistol! Letakkan sekarang!” seru Richie. Matanya tetap mengawasi Matthias dan kapak pria itu.“Kenapa kau punya pistol? Ada berapa pistol yang kau miliki?” Patty bertanya dengan suara bergetar.“Oohh please, Patty! Bukan saatnya kita membahas tentang pistol. Letakkan itu sekarang juga!” Richie meneriakkan kata-kata terakhirnya.“Tidak mau! A – aku mengambilnya untuk berjaga-jaga. Tadi ada orang yang mau membunuhku.”“Shit! Kau harus tahu dulu caranya sebelum menggunakan itu! Letakkan sekarang!!” Richie kehilangan kesabarannya.Matthias tertawa kencang. “Patricia Carol? Anakku sudah lama menyuka
Mereka saling menatap ke dalam mata satu sama lain. Tatapan Richie seolah mengintimidasi Patty dengan mengatakan kepada gadis itu untuk jangan coba-coba berbohong darinya. Tetapi bukan berarti gadis itu berbohong, Richie hanya memberi peringatan. “A – aku sungguh tidak tahu dia pergi kemana. Aku juga sangat kehilangan dirinya,” ucap Patty takut-takut. “… dan setelah kepergiannya, bagaimana caranya kau dapat bertahan hidup?” tanya Richie masih pada kecurigaannya. “Bernadeth memberikan aku pekerjaan sebagai pelayan bar. Dia memberikan aku upah yang layak sehingga aku bisa membeli makanan untuk diriku.” Patty menundukkan kepalanya. “Bernadeth?” “Iya. Dia salah satu pelayan sekaligus pemilik bar itu. Suaminya seorang pelaut. Jadi dia mencari kesibukan dengan menghidupkan kembali bar yang sudah bobrok itu.” Richie menganggukkan kepalanya. Sejauh ini cerita Patty masih masuk akal dilogikanya. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk tetap berhat
Richie dengan sengaja menjauhkan bibirnya dari dada Patty, menatap dengan nikmat maha karyanya di dada Patty yang mengilap. Dalam sekejap Richie merasa lebih muda belasan tahun. Setelah bertahun-tahun hanya menganggap bercinta sebagai sebuah aktifitas olah raga penyaluran libido, sekarang dirinya merasa bahwa percintanya dengan Patty membawanya pada sebuah sensasi yang berbeda.Richie pun kembali terangsang, bahkan lebih dari yang semalam. Mereka tenggelam dalam tatap selama beberapa detik sampai gelombang hasrat yang begitu besar melesat di sekujur tubuh keduanya. Permainan pun di mulai atas inisiatif seorang gadis kecil yang masih belajar mencengkeram dengan lembut kejantanan seorang pria.Richie menggeram. Dirinya tak bisa lagi menahan hasratnya untuk memasuki Patty. Dan setelah permainan berakhir dengan sempurna, Patty yang telah kehabisan tenaga berbaring tak bergeming di samping Richie. Matanya terpejam dan bibirnya melengkungkan senyuman.“Aahh &hel
Meski dia sedikit alergi dengan tempat bernama ‘gereja’, tetapi akhirnya Richie tetap pergi menemani Patty. Satu saja alasan yang membuatnya malas mendatangi tempat itu. Dia masih belum siap kalau harus bertobat saat itu juga. Terlebih lagi dia masih punya waktu sekitar lima bulan lagi untuk bersenang-senang bersama seorang gadis.Keduanya berjalan menelusuri pepohonan rindang yang memagari jalan menuju gereja tua itu. Richie menggosok telapak tangannya. Sekalipun dirinya seorang pembunuh berdarah dingin, tapi tetap saja ada perasaan aneh yang merundungnya saat dengan sadar kalau dia tengah berjalan menuju rumah suci.Mereka tiba di pelataran gereja. Patty mendorong pintu masuk gereja dengan mudah. Dia sepertinya sudah terbiasa melakukannya. Patty menengok pada Richie yang hanya berdiri terpaku di depan pintu. Gadis itu memamerkan barisan gigi putihnya.“Ayoo … katanya kau mau menemaniku?” ajak Patty.“Maaf – ada
Seorang pria paruh baya berpakaian pastor yang sebenarnya – jubah keuskupan yang berlapis – berjalan perlahan dengan bertumpu pada tongkat keemasan di tangan kirinya. Terdengar helaan nafas berat dari bilik di bagian tengah. Richie kembali memfokuskan pandangannya pada sosok berjubah yang sudah tidak diragukan lagi jenis kelaminnya.Karena tak ada juga jawaban dari dalam bilik, Pastor kembali bertanya, “suster Nancy, apa anda baik-baik saja? Jam berapa helikoptermu akan menjemput?” Nafasnya terengah.Suster Nancy terkesan tidak ingin menjawab pertanyaan pastor. Dia sepertinya dapat merasakan kehadiran Richie di bilik sebelahnya. Langkah kaki pastor semakin mendekati bilik. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding terdalam bilik.“Yes, Father! Anda sudah lebih baik?” Sosok itu pun akhirnya bersuara. Suaranya lembut dan merdu. Richie menerka membayangkan wajah yang akan cocok untuk suara yang indah itu.“Yah begitulah
“Richie! Kau mau ke mana?!” Patty berteriak memanggil Richie yang melesat meninggalkannya.Tanpa mempedulikan seruan gadis itu, Richie terus berlari mengejar sosok wanita berjubah yang telah sangat mencurigakan baginya. Dia berlari kencang menembus hutan pinus. Dan jauh ke dalam hutan, pepohonan menjadi semakin beragam dengan dedaunan yang menjuntai.Suasana dalam sekejap berubah dingin dan menegangkan. Richie berlari melompati batang pohon yang tumbang, menembus ranting-ranting yang menjulur rendah dan menginjak dedaunan kering yang berguguran. Sosok wanita itu terus berlari mengikuti arah helikopter.Richie menebak-nebak, akan sejauh mana wanita itu masuk ke dalam hutan. Namun satu yang pasti, helikopter tersebut datang untuk menjemput wanita itu. Dan di dalam helikopter sudah ada satu atau dua orang menunggu.Richie tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyergap wanita itu. Harga dirinya akan terkoyak seandainya kecepatan berlarinya dikala
Dua belas tahun yang lalu, Woodstock hanyalah sebuah desa kecil dengan penghuni tak lebih dari seribu orang. Desa yang teduh dengan pohon rindang di sepanjang jalan serta bugenvile yang merambat di dinding-dinding rumah. Persis seperti yang pernah dihembuskan Alfa Boss saat menyuruh Richie untuk berlibur. Desa sunyi yang kemungkinan hanya diminati oleh para veteran dan pensiunan untuk menghabiskan masa tua mereka. Setenang itulah Woodstock – sebelum keberadaannya ditemukan oleh sekelompok mafia besar yang mengiming-imingi penduduk desa dengan berbagai fasilitas dan teknologi. Tawaran menggiurkan yang menutupi sebuah kejahatan terselubung. Malam itu, seorang gadis kecil berlari menerobos pintu kamarnya dan menuruni tangga. Dia kegirangan saat pengasuhnya mengatakan kalau ayah gadis itu akan mengajak mereka berkeliling kota. Sudah satu bulan lamanya mereka mendekam di dalam mansion dan gadis kecil itu hampir setiap hari menangis karena bosan. “Nancy, kapan ayah
Jack menyeret langkahnya mendekati Richie dan menatap sahabatnya tanpa berkedip.“Kau pembunuh Caedis yang paling hebat, Richie. Tidakkah kau merasa kalau keberadaanmu itu bisa sangat berbahaya?” tanyanya.Richie berkacak pinggang. “Omong kosong, Jack! Bahkan rasanya aku sudah tidak peduli dengan nyawaku sendiri!” ucapnya skeptis.“Mengesankan!” Jack menyuar rambut hitamnya.“Demi Tuhan, Jack! Selama empat belas tahun hidup di mansion, yang ada dalam pikiranku hanyalah membalas budi atas kebaikan Alfa Lord kepadaku. Aku tak pernah berpikir untuk menandingi dirinya atau siapapun di Caedis.”Keduanya tidak mengucapkan apa-apa selama beberapa detik. Lalu Richie kembali berkata, “katakan saja, Jack. Kau ke sini untuk ‘menanganiku’. Iya kan?”Jack menarik senyum di ujung bibirnya. “Kurang lebih seperti itu, bung.”“Great! Aku juga sudah menebaknya sej
Jack menoleh ke arah gudang peternakan sebelum berjalan mengikuti Richie. Dia melihat James baru saja keluar sambil membawa dua buah ember berisi air. Tadi Jack memang menyuruh pemuda itu untuk memberi minum sapi-sapi yang baru datang. Jack menyeka peluhnya. Semoga saja James tidak membuat kekacauan lagi. Kalau tidak bisa-bisa kandang ternak itu tidak akan bisa bertahan lebih dari satu bulan. Kemudian Jack mengimbangi langkah Richie menuju sebuah rumah kosong yang tak berpagar. “Duduklah. Di manapun kau bisa duduk …” ucap Richie seraya menaruh bokongnya ke atas sebuah potongan batang pohon tua. “Ceritakan, ada berapa kasus yang dulu pernah kau tangani terkait dengan Sadico?” Jack menyusun dedaunan kering di lantai teras lalu duduk di atasnya. “Seingatku kami hanya dua kali menangani mereka. Pertama, atas kasus keribuatan yang dibuat oleh seorang anggota Sadico di rumah bordil. Kedua – dan yang paling parah adalah saat mereka melakukan penembakan terhadap sepasang bangsawan Amerika.
Hai readers ... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada kalian yang telah mengikuti novel ini sampai sekarang. Untuk 3 orang yang telah memberikan gem tertinggi aku masih tunggu DM-nya di I* @caffeinated_writer88 yaa. Ada gift dari aku sebagai bentuk ucapan terima kasih karena apresiasi yang telah diberikan atas novel Bunuh Aku, Sayang! ini. Sejujurnya aku sedang mempersiapkan season 2 dari kisah Richie, Patty dan Jack. Kalau kalian mau aku melanjutkan novel ini sampai ke season 2 silahkan tinggalkan komentar kalian yaa. Kalau ternyata tidak ada yang berkomentar, aku akan melanjutkan season 2 ini tapi mungkin di lapak yang berbeda. Terima kasih, readers ... Love/DeyaaDeyaa
“Kau! Sudah aku bilang kau harus mengaturnya seperti ini – bukan begini!” Jack terlihat berada di tengah-tengah kandang sapi bersama dengan James. “Rasanya yang belasan tahun menjadi anak desa itu kau! Kenapa sekarang jadi aku yang lebih tahu darimu?”“Itu karena anda pria yang hebat, paman Jack!” ucap James dengan wajah polosnya yang membuat Jack semakin kesal.“Tidak usah memuji berlebihan! Kerjakan saja apa yang aku perintahkan dengan sebaik mungkin. Baru nanti aku akan menilai dirimu seperti apa.” Jack menggelengkan kepalanya dan berlalu dari hadapan James.Sudah sekitar seminggu lamanya, Jack berkutat dengan ratusan hewan ternak yang datang ke Woodstock. Setelah pembicaraan terakhir Richie dengan James sewaktu itu, pemuda yang hanya tinggal sendirian itupun bersedia menjual tanah dan gudang jerami milik kakeknya. Karena Richie berencana untuk membuat peternakan besar di desa tersebut. Pembangunan kandang-kandang ternak di tanah yang berhektar-hektar itu memakan waktu sekitar sat
Tiga bulan berlalu,Richie melakukan pembenahan dan perombakan besar-besaran terhadap Caedis. Mansion milik Alfa Boss, telah direnovasi dan difungsikan sebagai tempat tinggal para anggota Caedis. Selain itu, mansion itu juga difungsikan menjadi pusat pelatihan dan perekrutan anggota baru.Kini, Caedis tidak lagi menjadi kelompok pembunuh yang menghabisi nyawa seseorang dengan bayaran tinggi. Richie telah mengalihkan pekerjaan sebagian besar anggota Caedis khususnya yang telah terlatih untuk menjadi secret bodyguard. Tentu saja dengan bayaran yang tetap di atas rata-rata karena Caedis berani menjamin keamanan penyewanya.“Besok kita akan membereskan rumah ini. Jika ada bagian rumah yang ingin kau ubah, katakan saja kepadaku,” ucap Richie kepada Patty saat mereka bermalam di rumah lama Patty.“Rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku. Kenapa rasanya tidak tega yaa kalau harus mengubahnya.” Patty mengelus perutnya yang mulai membuncit.“Aku masih menganggap rumah ini tidak nyaman untu
“Pastor …” Patty berbicara dari balik sekat bilik pengakuan dosa.“Anakku …” suara serak seorang pria menyambut sapaan Patty.Persis pertama kali Richie menguping pengakuan dosa Patty, dia duduk dalam diam di bilik sebelah kanan dan Patty di sebelah kiri. Sementara Pastor Xavier, Pastor yang masih bertahan untuk menjaga gereja itu, duduk di bagian tengah bilik. Mendengarkan dalam diam semua pengakuan Patty.“Takdir telah membawaku pada sebuah petualangan cinta yang berbahaya. Mencoba kabur tapi aku tidak bisa beranjak sedikitpun dari jerat yang terus menggodaku. Aku sadar, pastor … bahwa aku telah melakukan sebuah dosa besar.” Patty menuturkan pengakuannya dengan nada yang diselimuti perasaan bersalah. Membuat Richie yang ikut mendengarkan menjadi sedikit canggung.“Namun sekarang aku telah menjalani hidup kudus bersama pria yang telah menjeratku dengan pesonanya. Aku memiliki kehidupan yang bahagia. Kiranya Tuhan mengampuni dosaku …”Pastor berdehem kemudian berbicara, “semua orang p
Wilson terjungkal untuk kedua kalinya. Kini wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Darah mengucur dari mana-mana dan mengotori pakaiannya yang lusuh. Pria yang menghajar Wilson berdiri tanpa kegentaran sedikitpun. Ibarat semut melawan gajah, mereka dua orang yang sangat tidak seimbang.“Kau pria yang mengacau di pertambangan, bersama kawanmu yang berlagak jagoan itu. Akan aku laporkan apa kau lakukan kepada ketua desa.” Wilson meludahkan darahnya ke tanah.“Silahkan saja! Kebetulan aku baru saja dari rumah beliau. Pie daging buatan istri ketua desa sangat enak. Tampaknya aku akan sering mencari alasan untuk datang ke rumahnya,” ucap pria itu dengan santai.“Sialan! Desa ini sekarang penuh orang-orang berengsek!”“Termasuk kau, tua bangka! Pergi kau dari rumahku atau sahabatku ini akan membuatmu pergi ke neraka! Huuss!! Sana!!” Bernadeth mengibaskan tangannya mengusir Wilson.Pria itu sekuat tenaga mengangkat tubuhnya dari tanah. Mau tidak mau dia harus pergi dari tempat itu, kalau dia m
“Bernadeth …” sontak pria di dalam truk turun kala melihat Bernadeth yang baru saja pulang sehabis mengurus bar. “Bernadeth tunggu!” panggilnya. Wanita yang menggendong tas dan membawa paper bag berisi makanan itupun menengok ke sumber suara. Tampak seorang pria dengan penampilan lusuh, wajah menyedihkan dan rambut awut-awutan, berdiri di depan rumahnya. Penampilan itu membuat Bernadeth mengingat kalau dia pernah punya seorang suami. “Barry Wilson??” Bernadeth terbelalak. “Iya, Bernadeth. Ini aku, sayang … bagaimana keadaan anak-anak? Aku merindukan kalian …” Bernadeth memundurkan langkahnya. Berbulan-bulan pria itu menghilang bak ditelan bumi. Jangankan memberikan uang bagi kebutuhan anak-anak, memberi kabarpun tidak. Padahal ada banyak pekerja tambang lainnya yang masih menyempatkan diri untuk pulang menemui keluarganya. “Rindu? Sekarang baru kau katakan kau rindu dengan mereka? Ke mana saja kau selama ini?” “Maafkan aku, sayang … aku terlalu berambisi dalam pekerjaanku hingga
Rintik hujan mulai turun menyemarakkan keheningan malam yang hanya berisi desahan dua orang yang tengah memadu kasih. Pemilik rumah itu masih menyisakan pertanyaan dia benak Richie ataupun Patty. Sementara Nancy sendiri hanya menduga-duga kalau keluarga rumah tersebut telah menjadi korban kejahatan yang pernah Hayden lakukan.Tetapi apapun kisah dibalik rumah itu, tidak sedikitpun mempengaruhi hasrat yang telah membucah di antara mereka. Richie telah dalam posisi siap di atas tubuh Patty. Sebelum masuk ke pergerakan inti mereka malam itu, Richie lebih dulu memandangi wajah Patty yang berada di bawah kungkungannya.Wajah Patty begitu belia karena usia gadis itu dua kali lebih muda darinya. Sempat berkelebat dalam benaknya, kenapa dia begitu berlama-lama untuk menemukan Patty? Sehingga gadis itu harus merasakan hidup sendirian dalam waktu yang lama.“Andai saja aku menemukanmu lebih cepat, Patty. Kau tidak akan jadi gadis yang kesepian,” bisik Richie.“Cepat atau lama, aku tetap merasa
Desa kecil di selatan Amerika itu tetaplah desa yang asri dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kebakaran yang sempat terjadi di pertambangan nyatanya tidak berpengaruh besar terhadap desa tersebut.Karena setelah diselidiki, sebagian besar buruh yang menjadi korban dari kejadian itu bukanlah warga asli Woodstock. Mereka warga pendatang yang hanya tinggal sementara di desa itu untuk bekerja.Karavan itu masih ada di sana, tidak bergerak satu centimeter pun dari tempatnya sejak terakhir kali ditinggalkan Richie. Bar tua itu juga masih beroperasi. Bernadeth kini menjadi satu-satunya wanita yang paling menonjol di bar itu. Kelihatannya pertemuannya dengan Jack waktu itu membuat rasa percaya dirinya meningkat.“Satu burger dan soda!” Bernadeth menyerukan orderan yang telah dia catat. “Hah? Soda? Apa aku tidak salah catat? Siapa yang memesan soda?” serunya lagi seraya melayangkan pandangannya berkeliling bar.Seorang gadis berkaos oblong putih mengangkat tangan dengan senyuman lebar. Patty melam