Hai readers ... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada kalian yang telah mengikuti novel ini sampai sekarang. Untuk 3 orang yang telah memberikan gem tertinggi aku masih tunggu DM-nya di I* @caffeinated_writer88 yaa. Ada gift dari aku sebagai bentuk ucapan terima kasih karena apresiasi yang telah diberikan atas novel Bunuh Aku, Sayang! ini. Sejujurnya aku sedang mempersiapkan season 2 dari kisah Richie, Patty dan Jack. Kalau kalian mau aku melanjutkan novel ini sampai ke season 2 silahkan tinggalkan komentar kalian yaa. Kalau ternyata tidak ada yang berkomentar, aku akan melanjutkan season 2 ini tapi mungkin di lapak yang berbeda. Terima kasih, readers ... Love/DeyaaDeyaa
Jack menoleh ke arah gudang peternakan sebelum berjalan mengikuti Richie. Dia melihat James baru saja keluar sambil membawa dua buah ember berisi air. Tadi Jack memang menyuruh pemuda itu untuk memberi minum sapi-sapi yang baru datang. Jack menyeka peluhnya. Semoga saja James tidak membuat kekacauan lagi. Kalau tidak bisa-bisa kandang ternak itu tidak akan bisa bertahan lebih dari satu bulan. Kemudian Jack mengimbangi langkah Richie menuju sebuah rumah kosong yang tak berpagar. “Duduklah. Di manapun kau bisa duduk …” ucap Richie seraya menaruh bokongnya ke atas sebuah potongan batang pohon tua. “Ceritakan, ada berapa kasus yang dulu pernah kau tangani terkait dengan Sadico?” Jack menyusun dedaunan kering di lantai teras lalu duduk di atasnya. “Seingatku kami hanya dua kali menangani mereka. Pertama, atas kasus keribuatan yang dibuat oleh seorang anggota Sadico di rumah bordil. Kedua – dan yang paling parah adalah saat mereka melakukan penembakan terhadap sepasang bangsawan Amerika.
“A – ampuni aku, bung … a – aku punya seorang putra di rumah. Ka – kalau boleh, ijinkan aku melihatnya untuk terakhir kali.” Dengan suara bergetar terbata, seorang pria tambun yang terpojok membungkuk dan memohon di depan pria yang berjalan lambat, tidak terburu-buru tetapi beraura predator. “Tolong … aku akan memberikan seluruh kekayaanku asal kau mau melepaskan aku.” Terdengar bunyi klik pertama langsung diikuti klik lainnya, pria itu meraung-raung semakin kencang, menyadari arti bunyi tersebut. Dalam genggaman tangan pria di depannya, telah teracung sepucuk senjata dengan posisi siap menembak. “Aku mohon … aku belum mau mati. Aku akan bertobat dan menjadi pria baik-baik …” pria itu meracau. Malaikat maut berdiri siaga di sebelahnya, siap menangkap nyawanya sesudah tembakan pertama dilepaskan. “Kata-kata terakhir?” Ucapan yang serupa ancaman itu menusuk telinga pria yang kini berlutut di tanah. “I – istriku … dia memasak sup asparagu
Setelah teriakan meraungnya, ingatan terakhir Richie hanyalah tetesan hujan yang turun membasahi tubuhnya. Hingga kemudian dia terbangun dari tidur panjangnya dan melihat dirinya dalam keadaan telanjang, hanya memakai secarik kain menutupi bagian kemaluannya. Richie berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi usahanya sia-sia. Kaki dan tangannya di pasangi papan penyangga yang berat. “Sialan! Di mana aku? Kenapa aku dipasung?” Matanya membelalak. Keringat dingin bermunculan di sela-sela dahinya. “Siapapun! Lepaskan aku!” Pintu kamar dibuka, seorang wanita berpakaian pelayan masuk membawa troli berisi obat-obatan. Seorang pria berkacamata bulat dengan wajah tenang tersenyum menatap Richie yang kebingungan. “Kau sudah bangun rupanya, nak … kami telah lama menunggumu.” “Siapa kau? Mau apa kau dengan tubuhku?” Pria itu tertawa kecil, “maaf kalau kau merasa dipermalukan. Lihat – badanmu penuh luka. Tanganmu patah, begitu juga dengan kakimu. Dalam keadaan
Kembali pada masa kini, Richie dengan kekasih roda duanya memasuki halaman luas sebuah mansion yang tersembunyi di tengah hutan pinus. Udara dingin semakin menyergap, menusuk tulang. Richie memarkirkan kekasihnya di dekat kolam air mancur dan mengucapkan salam perpisahan. Dia berjalan menaiki puluhan anak tangga yang panjang. Kini, mansion yang luas itu hanya di huni oleh dirinya dan Alfa Boss. Kamar mereka berseberangan. Richie di sayap kanan, sementara boss-nya di sayap kiri – kamar utama di mansion itu. Richie menengok pintu kamar Alfa sebelum masuk ke kamar. Pintunya sedikit terbuka. Richie pun berbelok menuju kamar Alfa. Dia berniat mengajukan protesnya sekarang, mumpung pria itu masih terjaga. Namun, baru saja tangannya hendak mengetuk pintu kamar, terdengar suara terengah seorang wanita diiringi makian ala surgawi yang terucap dari mulut seorang pria. Richie mendengus jijik. Pria flamboyan berdarah dingin itu pasti sedang bercinta dengan salah satu gun
Richie terbangun gelagapan, langit sudah berubah gelap. Lampu jalanan berpendar kekuningan dengan malas. Sayup-sayup dia mendengar suara ramai orang-orang yang mengobrol dan tertawa. Richie melompat dari posisi tidur lalu membuka matanya lebar-lebar.Tiga jam yang lalu dia tiba di Woodstock diantarkan seorang kakek tua suruhan Alfa. Sungguh menyedihkan, dia tidak diijinkan untuk membawa kekasihnya yang kedinginan di taman mansion. Setibanya di Woodstock, Richie langsung menyadari bahwa dirinya telah berhasil dibodohi boss-nya.Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya tadi siang, dia sama sekali tak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan penduduk desa. Daripada menyebut wilayah tersebut sebagai sebuah desa, Richie lebih setuju kalau menyebutnya sebagai tempat jin buang anak.Sunyi, kering dan mati – tiga kata itu berhasil menjelaskan kenapa Woodstock yang dipilih Alfa Boss sebagai tempat ‘berlibur’ Richie. “Alfa Boss berengsek!”
Gerakan spontan Richie mencuri perhatian sebagian besar orang yang berada di dalam bar. Tetapi orang-orang itu hanya bersikap siaga sebagai penonton, bukan sebagai orang yang hendak menolong. Richie menarik tinggi kerah baju pemuda itu. Mata mereka bertemu dan Richie dapat melihat getaran di kedua bola mata lawannya. “Berapa usiamu? 20 tahun? Pakai otakmu untuk memikirkan masa depan, bukan untuk melecehkan seorang gadis!” Richie menggeram – jarak wajah mereka terpisah satu jengkal saja. “Cih! Siapa suruh dia memakai rok sependek itu? Jadi saja aku memakai otakku untuk membayangkan bokong di balik roknya,” pemuda itu cukup bernyali menjawab kata-kata Richie, membuat Richie semakin bernafsu mengencangkan tarikannya. Tenggorokan pemuda itu tercekik, “be-berani bertaruh, kau juga suka membayangkan hal yang sama kan, pak – pak tua?” ucapnya terbata. Richie melirik Patty yang berdiri kaku di sampingnya. Diamati dari dekat, gadis itu memang sangatlah c
Masih terlalu pagi, semalaman Richie gagal memejamkan matanya. Ternyata sekalipun dikatakan liburan, instingnya tidak serta merta berlibur. Tempat satu-satunya yang bisa membuatnya tertidur seperti bayi hanyalah di mansion. Di luar sini dia tetap harus terjaga dari bahaya yang sewaktu-waktu mengicarnya.Saat pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan mengenai seperti apakah desa Woodstock ini sesungguhnya, Richie melihat serombongan pria yang berjalan melewati depan karavannya.Sebuah truk telah menunggu mereka. Supir truk tampak marah-marah meneriaki rombongan itu. "Lebih cepat! Masuk! Masuk! Kita sudah terlambat!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangannya.Salah seorang pria menengok ke arah karavan. Mungkin dia menyadari kalau kini ada seseorang yang menghuni karavan itu. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding karavan. Dia belum ingin lagi berinteraksi dengan banyak warga di sana setelah kejadian semalam.Richie mengapit kedua tangan di sela-
Jack menoleh ke arah gudang peternakan sebelum berjalan mengikuti Richie. Dia melihat James baru saja keluar sambil membawa dua buah ember berisi air. Tadi Jack memang menyuruh pemuda itu untuk memberi minum sapi-sapi yang baru datang. Jack menyeka peluhnya. Semoga saja James tidak membuat kekacauan lagi. Kalau tidak bisa-bisa kandang ternak itu tidak akan bisa bertahan lebih dari satu bulan. Kemudian Jack mengimbangi langkah Richie menuju sebuah rumah kosong yang tak berpagar. “Duduklah. Di manapun kau bisa duduk …” ucap Richie seraya menaruh bokongnya ke atas sebuah potongan batang pohon tua. “Ceritakan, ada berapa kasus yang dulu pernah kau tangani terkait dengan Sadico?” Jack menyusun dedaunan kering di lantai teras lalu duduk di atasnya. “Seingatku kami hanya dua kali menangani mereka. Pertama, atas kasus keribuatan yang dibuat oleh seorang anggota Sadico di rumah bordil. Kedua – dan yang paling parah adalah saat mereka melakukan penembakan terhadap sepasang bangsawan Amerika.
Hai readers ... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada kalian yang telah mengikuti novel ini sampai sekarang. Untuk 3 orang yang telah memberikan gem tertinggi aku masih tunggu DM-nya di I* @caffeinated_writer88 yaa. Ada gift dari aku sebagai bentuk ucapan terima kasih karena apresiasi yang telah diberikan atas novel Bunuh Aku, Sayang! ini. Sejujurnya aku sedang mempersiapkan season 2 dari kisah Richie, Patty dan Jack. Kalau kalian mau aku melanjutkan novel ini sampai ke season 2 silahkan tinggalkan komentar kalian yaa. Kalau ternyata tidak ada yang berkomentar, aku akan melanjutkan season 2 ini tapi mungkin di lapak yang berbeda. Terima kasih, readers ... Love/DeyaaDeyaa
“Kau! Sudah aku bilang kau harus mengaturnya seperti ini – bukan begini!” Jack terlihat berada di tengah-tengah kandang sapi bersama dengan James. “Rasanya yang belasan tahun menjadi anak desa itu kau! Kenapa sekarang jadi aku yang lebih tahu darimu?”“Itu karena anda pria yang hebat, paman Jack!” ucap James dengan wajah polosnya yang membuat Jack semakin kesal.“Tidak usah memuji berlebihan! Kerjakan saja apa yang aku perintahkan dengan sebaik mungkin. Baru nanti aku akan menilai dirimu seperti apa.” Jack menggelengkan kepalanya dan berlalu dari hadapan James.Sudah sekitar seminggu lamanya, Jack berkutat dengan ratusan hewan ternak yang datang ke Woodstock. Setelah pembicaraan terakhir Richie dengan James sewaktu itu, pemuda yang hanya tinggal sendirian itupun bersedia menjual tanah dan gudang jerami milik kakeknya. Karena Richie berencana untuk membuat peternakan besar di desa tersebut. Pembangunan kandang-kandang ternak di tanah yang berhektar-hektar itu memakan waktu sekitar sat
Tiga bulan berlalu,Richie melakukan pembenahan dan perombakan besar-besaran terhadap Caedis. Mansion milik Alfa Boss, telah direnovasi dan difungsikan sebagai tempat tinggal para anggota Caedis. Selain itu, mansion itu juga difungsikan menjadi pusat pelatihan dan perekrutan anggota baru.Kini, Caedis tidak lagi menjadi kelompok pembunuh yang menghabisi nyawa seseorang dengan bayaran tinggi. Richie telah mengalihkan pekerjaan sebagian besar anggota Caedis khususnya yang telah terlatih untuk menjadi secret bodyguard. Tentu saja dengan bayaran yang tetap di atas rata-rata karena Caedis berani menjamin keamanan penyewanya.“Besok kita akan membereskan rumah ini. Jika ada bagian rumah yang ingin kau ubah, katakan saja kepadaku,” ucap Richie kepada Patty saat mereka bermalam di rumah lama Patty.“Rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku. Kenapa rasanya tidak tega yaa kalau harus mengubahnya.” Patty mengelus perutnya yang mulai membuncit.“Aku masih menganggap rumah ini tidak nyaman untu
“Pastor …” Patty berbicara dari balik sekat bilik pengakuan dosa.“Anakku …” suara serak seorang pria menyambut sapaan Patty.Persis pertama kali Richie menguping pengakuan dosa Patty, dia duduk dalam diam di bilik sebelah kanan dan Patty di sebelah kiri. Sementara Pastor Xavier, Pastor yang masih bertahan untuk menjaga gereja itu, duduk di bagian tengah bilik. Mendengarkan dalam diam semua pengakuan Patty.“Takdir telah membawaku pada sebuah petualangan cinta yang berbahaya. Mencoba kabur tapi aku tidak bisa beranjak sedikitpun dari jerat yang terus menggodaku. Aku sadar, pastor … bahwa aku telah melakukan sebuah dosa besar.” Patty menuturkan pengakuannya dengan nada yang diselimuti perasaan bersalah. Membuat Richie yang ikut mendengarkan menjadi sedikit canggung.“Namun sekarang aku telah menjalani hidup kudus bersama pria yang telah menjeratku dengan pesonanya. Aku memiliki kehidupan yang bahagia. Kiranya Tuhan mengampuni dosaku …”Pastor berdehem kemudian berbicara, “semua orang p
Wilson terjungkal untuk kedua kalinya. Kini wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Darah mengucur dari mana-mana dan mengotori pakaiannya yang lusuh. Pria yang menghajar Wilson berdiri tanpa kegentaran sedikitpun. Ibarat semut melawan gajah, mereka dua orang yang sangat tidak seimbang.“Kau pria yang mengacau di pertambangan, bersama kawanmu yang berlagak jagoan itu. Akan aku laporkan apa kau lakukan kepada ketua desa.” Wilson meludahkan darahnya ke tanah.“Silahkan saja! Kebetulan aku baru saja dari rumah beliau. Pie daging buatan istri ketua desa sangat enak. Tampaknya aku akan sering mencari alasan untuk datang ke rumahnya,” ucap pria itu dengan santai.“Sialan! Desa ini sekarang penuh orang-orang berengsek!”“Termasuk kau, tua bangka! Pergi kau dari rumahku atau sahabatku ini akan membuatmu pergi ke neraka! Huuss!! Sana!!” Bernadeth mengibaskan tangannya mengusir Wilson.Pria itu sekuat tenaga mengangkat tubuhnya dari tanah. Mau tidak mau dia harus pergi dari tempat itu, kalau dia m
“Bernadeth …” sontak pria di dalam truk turun kala melihat Bernadeth yang baru saja pulang sehabis mengurus bar. “Bernadeth tunggu!” panggilnya. Wanita yang menggendong tas dan membawa paper bag berisi makanan itupun menengok ke sumber suara. Tampak seorang pria dengan penampilan lusuh, wajah menyedihkan dan rambut awut-awutan, berdiri di depan rumahnya. Penampilan itu membuat Bernadeth mengingat kalau dia pernah punya seorang suami. “Barry Wilson??” Bernadeth terbelalak. “Iya, Bernadeth. Ini aku, sayang … bagaimana keadaan anak-anak? Aku merindukan kalian …” Bernadeth memundurkan langkahnya. Berbulan-bulan pria itu menghilang bak ditelan bumi. Jangankan memberikan uang bagi kebutuhan anak-anak, memberi kabarpun tidak. Padahal ada banyak pekerja tambang lainnya yang masih menyempatkan diri untuk pulang menemui keluarganya. “Rindu? Sekarang baru kau katakan kau rindu dengan mereka? Ke mana saja kau selama ini?” “Maafkan aku, sayang … aku terlalu berambisi dalam pekerjaanku hingga
Rintik hujan mulai turun menyemarakkan keheningan malam yang hanya berisi desahan dua orang yang tengah memadu kasih. Pemilik rumah itu masih menyisakan pertanyaan dia benak Richie ataupun Patty. Sementara Nancy sendiri hanya menduga-duga kalau keluarga rumah tersebut telah menjadi korban kejahatan yang pernah Hayden lakukan.Tetapi apapun kisah dibalik rumah itu, tidak sedikitpun mempengaruhi hasrat yang telah membucah di antara mereka. Richie telah dalam posisi siap di atas tubuh Patty. Sebelum masuk ke pergerakan inti mereka malam itu, Richie lebih dulu memandangi wajah Patty yang berada di bawah kungkungannya.Wajah Patty begitu belia karena usia gadis itu dua kali lebih muda darinya. Sempat berkelebat dalam benaknya, kenapa dia begitu berlama-lama untuk menemukan Patty? Sehingga gadis itu harus merasakan hidup sendirian dalam waktu yang lama.“Andai saja aku menemukanmu lebih cepat, Patty. Kau tidak akan jadi gadis yang kesepian,” bisik Richie.“Cepat atau lama, aku tetap merasa
Desa kecil di selatan Amerika itu tetaplah desa yang asri dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kebakaran yang sempat terjadi di pertambangan nyatanya tidak berpengaruh besar terhadap desa tersebut.Karena setelah diselidiki, sebagian besar buruh yang menjadi korban dari kejadian itu bukanlah warga asli Woodstock. Mereka warga pendatang yang hanya tinggal sementara di desa itu untuk bekerja.Karavan itu masih ada di sana, tidak bergerak satu centimeter pun dari tempatnya sejak terakhir kali ditinggalkan Richie. Bar tua itu juga masih beroperasi. Bernadeth kini menjadi satu-satunya wanita yang paling menonjol di bar itu. Kelihatannya pertemuannya dengan Jack waktu itu membuat rasa percaya dirinya meningkat.“Satu burger dan soda!” Bernadeth menyerukan orderan yang telah dia catat. “Hah? Soda? Apa aku tidak salah catat? Siapa yang memesan soda?” serunya lagi seraya melayangkan pandangannya berkeliling bar.Seorang gadis berkaos oblong putih mengangkat tangan dengan senyuman lebar. Patty melam