“Shit!” Richie mengumpat. Matanya lurus menatap tubuh mungil yang setiap inchinya telah begitu dia kenal. Diseret seorang pemuda berbadan kurus dengan langkah terburu-buru.
Jack yang masih menjejakkan kakinya ke tubuh Wilson juga menangkap sosok Patty yang terseret-seret dan menengok tajam kepada Richie. Sedangkan dua orang yang telah di hajar Richie hanya bisa meringis kesakitan, tak berani beranjak dari posisinya.
“Harusnya aku sudah membunuh pemuda itu sejak pertama bertemu!” geram Richie ketika matanya mengenali sosok pemuda itu.
“Kalau begitu lakukan saja!” seru Jack memprovokasi.
“Kau yang akan melakukannya, soldier.” Richie melemparkan pistol rampasannya kepada Jack yang ditangkap dengan sigap oleh tangan berotot pria itu.
“Bagaimana kalau meleset dan aku mengenai kekasihmu?” ucap Jack menggoda Richie.
Richie mengacuhkan Jack. Dengan langkah kaki lambat dan pasti, Richie mela
Alarm berbunyi nyaring memekakan telinga. Derap langkah sepatu bot bersahutan dengan suara alarm. Patty mencengkeram tangan Richie, air matanya telah kering namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Jack berlari meninggalkan Wilson serta dua anak buahnya dan berdiri mengapit Patty di antara mereka “Are you okay, little girl?” tanya Jack kepada Patty. “Kau berhutang goresan di pelipisku,” jawab Patty dengan suara serak – percampuran antara lelah, cemas takut dan aneka emosi lainnya. “Dia benar. Kau harus membayarnya,” sahut Richie. “Whatever, mate! Aku berhitung – peluruku hanya tersisa tiga butir.” “Damn!” Serombongan pria, sebagian bertelanjang dada dan sebagian lagi mengenakan jumpsuit bengkel, berjalan ke arah gudang dengan membawa bermacam benda di tangan mereka. Senjata api atau senjata apapun yang bisa mereka raih. “Ri – Richie!!” Patty merogoh kantung jins-nya. “Aku belum menggunakannya – sama sekali. Isinya
Jeep menerobos api. Di kursi belakang, Patty membungkuk sedalam mungkin ke atas jok. Tangannya terlipat ke atas kepala, melindungi diri dari berbagai kemungkinan yang berbahaya. Richie duduk bersebelahan dengan Jack, mengatur nafasnya naik turun. Wajah ketiganya bercucuran keringat. Panas pertambangan bercampur dengan panas api belerang yang mereka terobos. Palang pintu di tutup dengan cepat oleh petugas di pos menjagaan. Namun, itu bukan sebuah halangan yang berarti bagi seorang Jack Sherman. Jack menambah kecepatan Jeep dan menerobos palang pintu. Membuat penjaga pos keamanan yang bertubuh gemuk itu berteriak menyumpahi mereka. Jeep melesat – menggerus bebatuan yang menyebar di sepanjang jalan. Richie menengok ke arah belakang dan menegur Patty. “Hei, Patty! Aku harap kau masih bernafas,” ucapnya dengan nafas yang mulai teratur. “Ooh Tuhan! Apa kita sudah menjauh dari tempat itu?” tanya Patty. “Belum terlalu jauh, tapi setidaknya tak a
Richie memasukkan lidahnya ke mulut Patty, mengunci setiap getaran manis yang keluar dari tubuh mereka. Patty gadis kecil yang sangat cepat belajar. Kini ciumannya terasa sangat nikmat bagi Richie. Dia bukan pencium pasif. Lidahnya aktif mengimbangi liukan lidah Richie di dalam mulut mereka. Patty mengatupkan mulutnya di sekeliling lidah Richie. Merangsang Richie untuk membayangkan betapa luar biasanya andai mulut Patty menggulum kejantanannya. Richie mengerang atas fantasinya sendiri. Richie menyadari, bercinta dengan Patty adalah ide buruk. Dia seakan menjerumuskan sebuah gadis belia pada bahaya, bersama seorang pembunuh bayaran. Tetapi kini, saat dia memiliki akses tak terbatas atas tubuh seksi itu, ia tidak akan berhenti – demi apa pun. “Richie …” Patty merintih di sela-sela ciuman mereka yang semakin panas. Erangan tipis lolos dari mulutnya. Richie melepaskan ciumannya sembari jemarinya memutir perlahan pucuk dada Patty yang sangat mudah dirangsa
Jack berjalan semakin dalam, menerobos rimbunan pohon-pohon tua yang menjulang. Dia merogoh celana cargo-nya dan mengeluarkan senter kecil dari dalamnya. Cahaya senter yang berpendar kekuningan hanya berhasil menyoroti sebagian kecil dari lajur jalanan di depannya. Sol sepatunya yang aus menginjak rerumputan dan tanah becek. Ada satu hal yang dia sesalkan karena terburu-buru menyusul Richie ke Woodstock. Dia lupa untuk kembali ke rumah dan menukar sepatunya dengan yang masih bagus. “Rumah?” Jack menelan ludahnya dan bergumam, “beraninya kau keluar dari rumah dan mengkhianatiku, Elisa! Dasar wanita jalang!” umpatnya penuh penyesalan. Bertahun-tahun lalu, Jack tergabung dalam sebuah kesatuan militer angkatan bersenjata Amerika. Keahliannya menyusun strategi perang dan memimpin penangkapan penjahat-penjahat kelas kakap; teroris, mafia, gangster, membawa pria itu sebagai anggota terbaik dalam kesatuannya. Namun suatu hari, dalam sebuah misi peringkusan se
Denting pisau dan garpu beradu di atas piring. Steak wagyu dengan potongan salad tersaji mewah dihadapan seorang pria yang memimpin sebuah kelompok mafia besar – Crudelis. Kelompok mafia yang memiliki bisnis kotor di bidang pertambangan dan senjata api. Pria itu memotong daging steak, mengunyah dan menelannya dengan rakus. Sorot matanya tampak bergairah. Setelah sekian lama tidak ada yang mengusik bisnisnya, baru-baru ini kekacauan terjadi di pertambangannya. Menewaskan lebih dari 10 anak buahnya dan melukai anak buah andalannya – Barry Wilson. Di balik pintu ruang makan yang luas itu, Nancy mati-matian menahan Gabriel untuk menjauh dari depan pintu. Gabriel menggenggam sebotol wine pada tangan kanannya dan gelas berkaki panjang di tangan kirinya. Boss mereka selalu meminta wine sebagai penutup makan siangnya. “Lepaskan aku, Nancy! Tuan Hayden menunggu wine-nya!” hardik Gabriel. “Tidak – sebelum kau berjanji akan tutup mulut.” “Tutup mulut unt
“Nancy?! Kau baik-baik saja?” Roman sigap menangkap botol wine yang dipegang Nancy, sebelum wanita itu menjatuhkannya. “Tarik nafas perlahan. Sudah kuduga, kau pasti sedang sakit.”“Kenapa kau yang ada di sini? Mana Gabriel?” Hayden menatap Nancy dengan tegas.Nancy berdiri sambil mengatur nafasnya. Dadanya naik turun dan rahangnya menegang. Roman perlahan mengusap punggung Nancy dengan curahan perhatian yang terlihat berlebihan bagi Hayden. Pria itu berdecak dan mengulang pertanyaannya dengan lebih lantang.“Ada hal darurat di dapur. Jadi uncle menitipkan botol wine ini kepadaku untuk menuangkannya bagi anda, tu – tuan Hayden.” Nancy menundukkan kepalanya dalam-dalam.“Tuang lagi yang benar!” perintah Hayden. Wajahnya terlihat jengkel.Nancy mengambil botol wine di tangan Roman dan menuangkannya lagi dengan lebih hati-hati ke gelas bossnya. Ruang makan seketika menjadi hening, hanya
Semalam, mereka bertiga tiba di sebuah penginapan tua yang hanya memiliki dua puluh kamar untuk disewakan. Seorang pria raksasa berdada kekar dengan berewok hitam lebat yang menyatu dengan rambutnya, menyambut mereka di meja pemesanan.Richie memilih dua buah kamar di lantai atas untuk tempat beristirahat mereka. Patty memanfaatkan bak berendam Jacuzzi – yang di luar dugaan ada di penginapan itu. Dia keramas dengan kuat dan menggosok kulit kepalanya. Ia juga membasuh wajahnya berkali-kali untuk menghilangkan darah yang mengering – darah dari goresan peluru Jack. Kemudian tertidur dalam pelukan Richie.Jack menempati kamar sebelah yang berada di pojokan lantai dua. Dari kamarnya Jack dapat melihat lahan kosong di bagian depan dan samping penginapan itu secara bersamaan. Dia terjaga semalam-malaman, sampai pagi menjelang barulah dia tidur nyenyak seperti anak kucing.“Good, Patty! Teruskan … agak lebih ke bawah … oohh …&rdquo
“Cepat habiskan.” Patty mendongakkan kepalanya dari roti lapis yang disediakan penginapan, kepada Richie yang berdiri sambil bertolak pinggang. “Aku tidak suka rasanya. Lebih enak roti lapis buatan Bernadeth.” “Kau belum makan sejak kemarin.” “Aku makan permen coklat yang ada di tas.” Richie berdecak. Dia akan membuang banyak waktu kalau harus berdebat dengan gadis kecil hanya untuk urusan roti lapis. Dia menahan dirinya untuk tidak memaksa dan berusaha untuk tetap tersenyum. Pria itu akhirnya menggambil potongan roti lapis Patty dan menghabiskannya. “Selesai. Sekarang kita pergi.” Wajah gadis itu berkilat senang. “Ya, kita pergi,” ucapnya. Setelah mereka keluar dari kamar, Richie memastikan sebanyak dua kali – pintu kamar mereka sudah terkunci. Lalu dia menggandeng tangan Patty dan berjalan melewati kamar Jack, turun ke tangga. Richie sempat menoleh ke sisi kiri, melihat Jeep mereka masih terparkir di tanah kosong sebelah peng
Jack menoleh ke arah gudang peternakan sebelum berjalan mengikuti Richie. Dia melihat James baru saja keluar sambil membawa dua buah ember berisi air. Tadi Jack memang menyuruh pemuda itu untuk memberi minum sapi-sapi yang baru datang. Jack menyeka peluhnya. Semoga saja James tidak membuat kekacauan lagi. Kalau tidak bisa-bisa kandang ternak itu tidak akan bisa bertahan lebih dari satu bulan. Kemudian Jack mengimbangi langkah Richie menuju sebuah rumah kosong yang tak berpagar. “Duduklah. Di manapun kau bisa duduk …” ucap Richie seraya menaruh bokongnya ke atas sebuah potongan batang pohon tua. “Ceritakan, ada berapa kasus yang dulu pernah kau tangani terkait dengan Sadico?” Jack menyusun dedaunan kering di lantai teras lalu duduk di atasnya. “Seingatku kami hanya dua kali menangani mereka. Pertama, atas kasus keribuatan yang dibuat oleh seorang anggota Sadico di rumah bordil. Kedua – dan yang paling parah adalah saat mereka melakukan penembakan terhadap sepasang bangsawan Amerika.
Hai readers ... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada kalian yang telah mengikuti novel ini sampai sekarang. Untuk 3 orang yang telah memberikan gem tertinggi aku masih tunggu DM-nya di I* @caffeinated_writer88 yaa. Ada gift dari aku sebagai bentuk ucapan terima kasih karena apresiasi yang telah diberikan atas novel Bunuh Aku, Sayang! ini. Sejujurnya aku sedang mempersiapkan season 2 dari kisah Richie, Patty dan Jack. Kalau kalian mau aku melanjutkan novel ini sampai ke season 2 silahkan tinggalkan komentar kalian yaa. Kalau ternyata tidak ada yang berkomentar, aku akan melanjutkan season 2 ini tapi mungkin di lapak yang berbeda. Terima kasih, readers ... Love/DeyaaDeyaa
“Kau! Sudah aku bilang kau harus mengaturnya seperti ini – bukan begini!” Jack terlihat berada di tengah-tengah kandang sapi bersama dengan James. “Rasanya yang belasan tahun menjadi anak desa itu kau! Kenapa sekarang jadi aku yang lebih tahu darimu?”“Itu karena anda pria yang hebat, paman Jack!” ucap James dengan wajah polosnya yang membuat Jack semakin kesal.“Tidak usah memuji berlebihan! Kerjakan saja apa yang aku perintahkan dengan sebaik mungkin. Baru nanti aku akan menilai dirimu seperti apa.” Jack menggelengkan kepalanya dan berlalu dari hadapan James.Sudah sekitar seminggu lamanya, Jack berkutat dengan ratusan hewan ternak yang datang ke Woodstock. Setelah pembicaraan terakhir Richie dengan James sewaktu itu, pemuda yang hanya tinggal sendirian itupun bersedia menjual tanah dan gudang jerami milik kakeknya. Karena Richie berencana untuk membuat peternakan besar di desa tersebut. Pembangunan kandang-kandang ternak di tanah yang berhektar-hektar itu memakan waktu sekitar sat
Tiga bulan berlalu,Richie melakukan pembenahan dan perombakan besar-besaran terhadap Caedis. Mansion milik Alfa Boss, telah direnovasi dan difungsikan sebagai tempat tinggal para anggota Caedis. Selain itu, mansion itu juga difungsikan menjadi pusat pelatihan dan perekrutan anggota baru.Kini, Caedis tidak lagi menjadi kelompok pembunuh yang menghabisi nyawa seseorang dengan bayaran tinggi. Richie telah mengalihkan pekerjaan sebagian besar anggota Caedis khususnya yang telah terlatih untuk menjadi secret bodyguard. Tentu saja dengan bayaran yang tetap di atas rata-rata karena Caedis berani menjamin keamanan penyewanya.“Besok kita akan membereskan rumah ini. Jika ada bagian rumah yang ingin kau ubah, katakan saja kepadaku,” ucap Richie kepada Patty saat mereka bermalam di rumah lama Patty.“Rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku. Kenapa rasanya tidak tega yaa kalau harus mengubahnya.” Patty mengelus perutnya yang mulai membuncit.“Aku masih menganggap rumah ini tidak nyaman untu
“Pastor …” Patty berbicara dari balik sekat bilik pengakuan dosa.“Anakku …” suara serak seorang pria menyambut sapaan Patty.Persis pertama kali Richie menguping pengakuan dosa Patty, dia duduk dalam diam di bilik sebelah kanan dan Patty di sebelah kiri. Sementara Pastor Xavier, Pastor yang masih bertahan untuk menjaga gereja itu, duduk di bagian tengah bilik. Mendengarkan dalam diam semua pengakuan Patty.“Takdir telah membawaku pada sebuah petualangan cinta yang berbahaya. Mencoba kabur tapi aku tidak bisa beranjak sedikitpun dari jerat yang terus menggodaku. Aku sadar, pastor … bahwa aku telah melakukan sebuah dosa besar.” Patty menuturkan pengakuannya dengan nada yang diselimuti perasaan bersalah. Membuat Richie yang ikut mendengarkan menjadi sedikit canggung.“Namun sekarang aku telah menjalani hidup kudus bersama pria yang telah menjeratku dengan pesonanya. Aku memiliki kehidupan yang bahagia. Kiranya Tuhan mengampuni dosaku …”Pastor berdehem kemudian berbicara, “semua orang p
Wilson terjungkal untuk kedua kalinya. Kini wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Darah mengucur dari mana-mana dan mengotori pakaiannya yang lusuh. Pria yang menghajar Wilson berdiri tanpa kegentaran sedikitpun. Ibarat semut melawan gajah, mereka dua orang yang sangat tidak seimbang.“Kau pria yang mengacau di pertambangan, bersama kawanmu yang berlagak jagoan itu. Akan aku laporkan apa kau lakukan kepada ketua desa.” Wilson meludahkan darahnya ke tanah.“Silahkan saja! Kebetulan aku baru saja dari rumah beliau. Pie daging buatan istri ketua desa sangat enak. Tampaknya aku akan sering mencari alasan untuk datang ke rumahnya,” ucap pria itu dengan santai.“Sialan! Desa ini sekarang penuh orang-orang berengsek!”“Termasuk kau, tua bangka! Pergi kau dari rumahku atau sahabatku ini akan membuatmu pergi ke neraka! Huuss!! Sana!!” Bernadeth mengibaskan tangannya mengusir Wilson.Pria itu sekuat tenaga mengangkat tubuhnya dari tanah. Mau tidak mau dia harus pergi dari tempat itu, kalau dia m
“Bernadeth …” sontak pria di dalam truk turun kala melihat Bernadeth yang baru saja pulang sehabis mengurus bar. “Bernadeth tunggu!” panggilnya. Wanita yang menggendong tas dan membawa paper bag berisi makanan itupun menengok ke sumber suara. Tampak seorang pria dengan penampilan lusuh, wajah menyedihkan dan rambut awut-awutan, berdiri di depan rumahnya. Penampilan itu membuat Bernadeth mengingat kalau dia pernah punya seorang suami. “Barry Wilson??” Bernadeth terbelalak. “Iya, Bernadeth. Ini aku, sayang … bagaimana keadaan anak-anak? Aku merindukan kalian …” Bernadeth memundurkan langkahnya. Berbulan-bulan pria itu menghilang bak ditelan bumi. Jangankan memberikan uang bagi kebutuhan anak-anak, memberi kabarpun tidak. Padahal ada banyak pekerja tambang lainnya yang masih menyempatkan diri untuk pulang menemui keluarganya. “Rindu? Sekarang baru kau katakan kau rindu dengan mereka? Ke mana saja kau selama ini?” “Maafkan aku, sayang … aku terlalu berambisi dalam pekerjaanku hingga
Rintik hujan mulai turun menyemarakkan keheningan malam yang hanya berisi desahan dua orang yang tengah memadu kasih. Pemilik rumah itu masih menyisakan pertanyaan dia benak Richie ataupun Patty. Sementara Nancy sendiri hanya menduga-duga kalau keluarga rumah tersebut telah menjadi korban kejahatan yang pernah Hayden lakukan.Tetapi apapun kisah dibalik rumah itu, tidak sedikitpun mempengaruhi hasrat yang telah membucah di antara mereka. Richie telah dalam posisi siap di atas tubuh Patty. Sebelum masuk ke pergerakan inti mereka malam itu, Richie lebih dulu memandangi wajah Patty yang berada di bawah kungkungannya.Wajah Patty begitu belia karena usia gadis itu dua kali lebih muda darinya. Sempat berkelebat dalam benaknya, kenapa dia begitu berlama-lama untuk menemukan Patty? Sehingga gadis itu harus merasakan hidup sendirian dalam waktu yang lama.“Andai saja aku menemukanmu lebih cepat, Patty. Kau tidak akan jadi gadis yang kesepian,” bisik Richie.“Cepat atau lama, aku tetap merasa
Desa kecil di selatan Amerika itu tetaplah desa yang asri dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kebakaran yang sempat terjadi di pertambangan nyatanya tidak berpengaruh besar terhadap desa tersebut.Karena setelah diselidiki, sebagian besar buruh yang menjadi korban dari kejadian itu bukanlah warga asli Woodstock. Mereka warga pendatang yang hanya tinggal sementara di desa itu untuk bekerja.Karavan itu masih ada di sana, tidak bergerak satu centimeter pun dari tempatnya sejak terakhir kali ditinggalkan Richie. Bar tua itu juga masih beroperasi. Bernadeth kini menjadi satu-satunya wanita yang paling menonjol di bar itu. Kelihatannya pertemuannya dengan Jack waktu itu membuat rasa percaya dirinya meningkat.“Satu burger dan soda!” Bernadeth menyerukan orderan yang telah dia catat. “Hah? Soda? Apa aku tidak salah catat? Siapa yang memesan soda?” serunya lagi seraya melayangkan pandangannya berkeliling bar.Seorang gadis berkaos oblong putih mengangkat tangan dengan senyuman lebar. Patty melam